Miraikan

Ada yang sulit dimengerti dari buku Geek Atlas. Saat orang2 Inggris sibuk memasukkan banyak research centre dan science museum di berbagai kota ke dalam buku itu, orang Jepang malah memasukkan tempat shopping semacam Akihabara. Andai aku yang jadi koresponden Jepang, aku akan memasukkan setidaknya Science Museum di Chiyoda, dan The Future Museum di Odaiba. Aku sendiri cuma punya waktu singkat di Tokyo, dan atas rekomendasi seorang rekan hanya memilih mengunjungi Odaiba.

Odaiba sendiri adalah pulau buatan di lepas Teluk Tokyo, dengan posisi seolah melindungi kota Tokyo dari berbagai ancaman dari laut. Pulau ini mulai dibuat di abad ke-19, namun mulai intens digunakan di akhir abad ke-20. Berbeda dengan Tokyo yang amat padat, suasana Odaiba sungguh lapang, dengan banyak ruang kosong, dan instalasi2 raksasa kokoh yang mengisi ruang. Odaiba dihubungkan melalui Jembatan Pelangi ke kota Tokyo. Dari Tokyo, pengunjung dapat menggunakan MRT Yurikamome dari Stasiun Shimbashi. Yurikamome ini agak terpisah dengan sistem metro Tokyo.

Di Odaiba terdapat cukup banyak obyek menarik: dari Aquatic City, pusat telekomunikasi, dan lain-lain. Tapi aku baru menghadiri konferensi mengenai infokom, jadi mungkin tak perlu menambah satu hari lagi untuk telekomunikasi. Dan, sebagai salah satu bekas pengasuh blog Pernik Ilmu, aku memilih Miraikan. Miraikan diinggriskan sebagai The National Museum of Emerging Science and Innovation. Untuk mengunjunginya, kita dapat turun di stasiun Funenokagakukan di Odaiba.

Kebetulan aku mengunjungi Miraikan pada 12 Juni. Ini hari kedua sebuah pameran yang memaparkan pembuatan Tokyo Sky Tree, yaitu proyek pembangunan menara setinggi 634m. Pameran ini dimulai dari sejarah menara2 tertinggi yang dibuat manusia, dari piramida Khufu dan mercusuar Alexandria, Eiffel di abad ke-19, hingga lomba kemegahan tower antar negara tanpa maksud jelas di abad ke-20. Namun menarik untuk menyaksikan berbagai tantangan yang harus dipecahkan untuk membuat tower berketinggian di atas setengah kilometer itu; plus bagaimana mereka harus merekayasa solusinya.

Ke lantai atas, pengunjung disambut Geo-Cosmos yang terkenal itu. Oh, sebelumnya, pengakuan dulu: blog ini dibuat karena mendadak tampak foto Geo-Cosmos dari Miraikan ini di E&T Magazine edisi terakhir :). Ge0-Cosmos ini merupakan miniatur bumi, digantung pada ketinggian 18 meter, dibuat dari kerangka aluminium, dan disaluti lebih dari 10.000 panel OLED yang masing2 berukuran 96×96 mm dengan 1024 pixel berwarna. Ia mensimulasikan kondisi bumi sesuai kebutuhan pengamatan.

Aku berpindah ke ruang inovasi. Di sini ditampilkan bagaimana kreasi sains dan teknologi dibentuk, bagaimana proses eksplorasinya, dan ke mana proses2 semacam itu mungkin membawa kita. Ini divisualkan sebagai lima sungai yang mengalir dari mata air harapan. Lima sungai itu ditampilkan dengan berbagai contoh.

  • Association. Sebagai contoh, komputasi kuantum diciptakan dengan mengasosiasikan sebuah kalkulator pada karakteristik fisika kuantum. Contoh aplikasi komputasi kuantum adalah pencarian visual, misalnya mencari wajah kita dari kumpulan file gambar.
  • Integration. Sebagai contoh adalah lab dalam sebuah chip. Berbagai fungsi yang kompleks dalam lab dimampatkan dalam sebuah chip; dan chip itu dipamerkan mampu menjawab berbagai pertanyaan.
  • Serendipity. Kadang penemuan besar diawali dari kegagalan atau basil yang tak diharapkan dari eksperimen lain. Yang dicontohkan dal am kasus ini adalah plastik konduktif.
  • Mimic. Contohnya, adalah fotosintesis buatan yang meniru fotosintesis alami. Dengan mempelajari mekanisme para alam, tumbuhan, dan makhluk lain, manusia mempelajari cars memecahkan berbagai masalah, seperti masalah lingkungan dan energi.
  • Alternative. Atau pergeseran gagasan. Misalnya, mungkinkah mengubah satu atau dua masalah dari sebuah masalah besar, kemudian memecahkannya?

Uh, cukup lama aku di sini. Aku berpindah secara acak, sambil diam2 mulai merindukan kapucino dingin :). Ini beberapa yang aku kunjungi:

  • Display bagian dalam dari wahana angkasa. Di sini ditampilkan ruang2 dalam ukuran sebenarnya, tempat para astronot hidup selama di angkasa: apa yang mereka makan (makanan instan yang mudah dilunakkan, tetapi cukup beradab), apa saja yang bisa mereka lakukan (membaca, tidur, memasang musik, baca majalah, main game), dan bagaimana mereka melakukannya.

  • Aku lupa ini di bagian mana :). Tapi benda ini membuka mataku tentang bagaimana syaraf bekerja. Di tengah itu cermin. Kita letakkan tangan kiri dan kanan di kayu hijau. Kita tutup mata kiri. Maka mata hanya melihat tangan kanan, dan bayangannya (yang seolah2 jadi tangan kiri). Sekarang, gerakkan tangan kanan saja. Mengejutkan! Syaraf kita memberi tahu bahwa tangan kiri kita bergerak. Padahal jelas tangan kiri kita diam. Mata melihat bayangan tangan kanan bergerak, mengiranya tangan kiri, dan mengirim pesan ke otak, yang kemudian membuat otot tangan kiri kita yakin bahwa ia telah bergerak.

  • Dan ini, namanya Paro. Ia robot berbentuk anak anjing laut. Tapi ia merespons suara dan sentuhan kita, seolah2 ia memang hewan piaraan yang imut dan manja. Ada yang berminat mengadopsi Paro?

  • Berikutnya adalah robot yang meniru gaya reaksi manusia. Mereka menangkap ekspresi, dan dapat memberikan ekspresi simpatik pada suara kita, seperti dengan mengangguk2 atau memberikan gaya dan lain2. Ekspresi semacam ini diyakini merupakan bagian terpadu dari komunikasi dan konversasi masa depan.

  • Wahana laut Shinkai 6500, melakukan eksplorasi jauh di kedalaman laut, di tempat yang tak tertembus sinar mentari.

  • Sisanya, masih cukup panjang dan banyak. Cukup untuk menghabiskan setengah hari. Tapi kadang lupa ambil foto juga. Dan entry blog ini mulai terlalu panjang, haha.

Selesai, kembali ke Tokyo, dan menikmati sore sebuah car-free day di Ginza, sebelum ke Haneda airport untuk kembali ke Jakarta.

Cantabile 2

Splash! Sentakan perkusi, diikuti lincah flute, lalu riuh singkat seluruh orkestra, yang disusul piano bertempo lambat sedang. Inilah Konserto Piano pada G mayor, dari Maurice Ravel. Aku terlompat dari Kemayoran ke bagian redup di pusat kota Madrid belasan tahun lalu. Cuaca sejuk menembus bajuku yang tak berjaket, dan aku masuk ke sebuah Music Shop bertingkat 7, mengambil Strauss, Stravinsky, dan Ravel. Seperti Stravinsky, dan kemudian Nielsen, Ravel memiliki posisi unik di kepalaku: ia mewarnai bagian yang menyusun intuisi, para-rational, dan selalu bisa mengembalikanku ke my real soul saat tantangan di dunia memaksa pikiran buat kalut. Aku terselamatkan lagi oleh Ravel. Huh, aku sudah kembali ke Jakarta, tahun 2011, dan Ravel benar-benar dimainkan di depanku malam ini, di Aula Simfonia Jakarta, Kemayoran. Twilite Orchestra, dengan tingkat akurasi dan expertise tinggi memainkan komposisi itu tanpa ampun, tak memahami bahwa permainan mereka sempat melemparku ke dunia yang lain. Baru di bagian adagio, dengan piano yang lambat berirama tiga, aku turun ke bumi lagi :).

Jakarta sedang bercuaca tak menentu: amat deras di timur, dan cukup kering di utara. Khawatir terhambat kronis macet Jakarta, kami ke Kemayoran lebih dini. Tapi trafik Jakarta amat ramah, dan kami sudah sampai pukul 18:30 :). Konser baru dimulai pukul 20:00 tepat. Conductor Addie MS naik ke pentas, dan Twilite Orchesta langsung membuka dengan permainan yang membangkitkan semangat: Pembukaan opera Russlan & Lyudmilla, dari Mikhail Glinka. Mengasyikkan, dan membuatku merasa bersalah atas CD Glinka yang tampaknya telantar di Bandung :). Musik ini sendiri disusun Glinka berdasar kisah yang diciptakan Alexander Pushkin.

Selesai komposisi Glinka, Addie MS mengambil waktu menyampaikan pengantar. Ini adalah Konser Cantabile yang kedua, setelah Konser Cantabile sebelumnya di Balai Sarbini. Yang menarik adalah kisah Addie tentang Twitter: bagaimana beberapa program di konser ini diusulkan dan dipilih di Twitter, bagaimana beberapa pemain mengajukan audisi untuk konser ini melalui Twitter, dan bagaimana hal ini membuat konser ini jadi didominasi anak muda, baik pemain maupun penontonnya. Benar-benar sebuah Konserto 2.0 dari Twilite Orchestra :).

Lalu Addie kembali menatap pemain, dan mengalunkan bagian dari Nutcracker, dari Tchaikovsky. Entah kenapa, bagian dari musik balet yang ini memang selalu mengingatkan ke Twilite Orchestra. Kalau gak salah, ada iklan televisi Twilite Orchestra berapa tahun lalu yang juga menggunakan bagian ini. Manis sekali :D.

Selesai bagian ini, para pemain keluar. Piano dinaikkan ke panggung, lalu masuklah pianis Felisitas Nesca Alma dan violinist Michelle Siswanti. Dengan duet yang asik, mereka memainkan Spring Sonata dari Beethoven. Ini permainan yang lebih dari sekedar luar biasa. Ada efek visual yang melebur ke dalam musiknya. Bukan saja piano bergayut elegan dengan violin, tetapi kedua pemain memainkannya dengan dialog, gesture, permainan mata, yang seluruhnya membentuk dialog yang manis. Luar biasa.

Piano tak diturunkan saat pemain Twilite Orchestra kembali ke panggung, tetapi langsung diokupasi oleh Kazuha Nakahara (yang di Cantabile 1 memainkan piano untuk Rhapsody in Blue). Dan kejutan pun terjadi buat aku: Ravel Piano Concerto in G major, seperti yang aku tulis di atas tadi :). Bagian adagio berakhir, ditutup dengan bagian presto yang cepat, penuh sentakan, dan amat disonan. Emosiku terlompat lagi. Aku dalam posisi antara tertawa, menangis, berteriak. Kacau. Syukur masih sadar bahwa aku ada di tempat umum :).

Setelah break, orkestra memainkan Simfoni Ke-9 dari Antonin Dvorak. Ini bagian yang menenangkan. Tak seperti Haydn yang ketenangannya berpotensi membawa kantuk, Dvorak menyelipkan dinamika yang menarik dalam simfoninya yang tenang dan anggun, membuat kita tetap terjaga, dan menyerap inspirasi akan kehidupan yang mengalir tanpa perlu dikejar, tapi kadang justru mengejar kita :D. Sesuai judulnya, “From The New World” :).

Ah, malam yang luar biasa :). Thank you, Twilite Orchestra. Thank you para pemain yang luar biasa. Thank you, Addie MS.

Oh ya. Special malam ini, kami juga menculik Annet, makhluk mungil yang sedang mulai belajar violin. Siapa tahu beberapa tahun lagi kita lihat Annet ikut bermain di suatu orchestra, memainkan karya luar biasa yang lainnya :).

Groovia

Juni memang selalu istimewa, wkwkwk. Juni lalu, Telkom Group melakukan grand launching atas produk IPTV-nya: Groovia. Seperti yang dicuplik deskripsi produk itu dari blog aku (nah lo), IPTV bukan sekedar televisi yang didistribusikan melalui Internet. IPTV adalah sinergi antara kekuatan interaksi Internet dan Web, dengan kekuatan broadcast media televisi. IPTV merupakan platform layanan yang merupakan tahap lebih lanjut dari bentuk interaksi multimedia yang ada saat ini.

Walaupun nama Groovia tampak ajaib, namun pemilihan nama ini mengambil pertimbangan cukup lama. Kalau domain Groovia.TV kita whois, kita dapat melihat bahwa domain ini bahkan telah direservasi 1 tahun sebelum grand launching. Pada tahun pertamanya, Groovia direncanakan akan meliputi layanan:

  • TV on demand, yaitu content televisi yang bersifat interaktif, dengan fasilitas rekaman di jaringan, yang memungkinkan pengendalian seperti pada video: pause, rewind, replay, scheduled report, dan lain-lain.
  • Video on demand, yaitu content multimedia non-televisi yang disertakan dalam layanan ini, termasuk film video, musik, karaoke, dan lain-lain, dengan berbagai bentuk interaksinya.
  • Web service, yaitu interaktivitas dunia maya yang dipadukan ke dalam sistem televisi. Di dalamnya akan dimasukkan misalnya jejaring dan media sosial, berita, informasi cuaca, saham, dan lain-lain.

Di tahun berikutnya, e-advertising, e-transaction, dan e-shopping diharapkan dapat diintegrasikan ke dalam Groovia. Dari sisi infrastruktur, diharapkan integrasi antara IPTV, SDP, dan platform lain, seperti content & applications store, dapat dilakukan dengan lancar, membentuk ekosistem interaksi multimedia yang efisien dan nyaman.

Mahalkah Groovia? Jika kita telah memiliki akses Speedy dengan data rate 1 Mb/s, 2 Mb/s, atau 3 Mb/s, maka dengan menambahkan Rp 50.000,- per bulan, kita telah dapat memiliki layanan Groovia. Gak mahal untuk jadi taste-maker :). Content yang lebih kaya dapat dipilih sesuai kebutuhan individual setiap user. Hanya, sayangnya, memang saat ini Groovia memang baru dalam tahap deployment awal, dan masih tersedia hanya di kawasan tertentu di Jakarta. Deployment ke kota-kota lain akan dimulai tahun ini juga.

Informasi yang lebih update atas Groovia dapat disimak di webnya, di Groovia.TV :).

The Geek Atlas

Biasanya perjalanan wisata dipandu oleh buku dari Lonely Planet, atau dari ensiklopedi WikiTravel. Tapi ternyata O’Reilly pernah juga menerbitkan buku “The Geek Atlas” yang juga dapat digunakan buat menarik minat berwisata ke lokus para geek, atau untuk melihat sisi geek dari kota yang kebetulan sedang kita hinggapi. Sayangnya, buku ini US-centric, jadi sekitar 40% obyek yang ditampilkan berada di US :). Dan dari 60% sisanya, i.e. 20 negara, Indonesia belum termasuk.

Yang buat aku menarik adalah bahwa aku bisa membandingkan tempat2 yang kebetulan pernah tak sengaja terkunjungi, dengan ulasan di buku ini. Ini beberapa di antaranya (mengikuti urutan dalam buku ini):

Paris: Menara Eiffel. Dari sisi estetika, banyak yang tak menyukai menara ini. Ia bertahan karena memiliki fungsi ilmiah. Gustav Eiffel membangun menara ini setelah membangun banyak jembatan, dan Patung Liberty di New York. Menara disusun dari besi dengan kadar karbon yang lebih tinggi, yang dibentuk dari besi dan karat :). Besi dibentuk menjadi lempeng, yang kemudian disambung saat masih panas di tempat, dan dibiarkan mendingin sambil berkait. Tinggi menara 324m. Dari ketinggian itu, aku sempat melihat seluruh Paris, dan sempat membuat resolusi, wkwkwkwk :). Oh ya, menara itu memiliki lekuk unik dan keren karena alasan teknis: untuk menahan tekanan angin. Eiffel sendiri menyatakan bahwa anginlah yang menjadi alasan membentuk menara seperti itu. Menara ini digunakan untuk pengukuran cuaca, eksperimen ilmiah, dan kemudian juga pemancar radio. Di bawah menara, dipahatkan nama2 ilmuwan Perancis, dari Lagrange, Laplace, Lavoisier, Ampère, Becquerel, Cauchy, Coulomb, Fourier, dan lain2.

Tokyo: Akihabara. Kaget baca nama ini di buku ini. Aku pikir ini cuman pasar elektronika terlengkap. Tapi memang ini yang disebut juga di buku ini. Kalau sebuah perangkat elektronik tak ditemukan di sini, mungkin dia tak ada di seluruh Jepang, dan pasti sulit dicari di seluruh dunia: dari perangkat tak berguna hingga perangkat mutakhir. Aku sendiri cuma lewat tempat gini, ‘gak berminat belanja :)

Taipei: Taipei 101. Konon ini gedung berpenghuni yang tertinggi di dunia. Berlokasi di tepi Pasifik, gedung ini akan rentan gempa dan taufan. Maka di bagian atas dipasanglah pendulum berwarna emas seberat 660 ton untuk mencegah gedung ini berayun atau bergetar. Tentu ini jadi pendulum terheboh di dunia, karena dapat dilihat publik, yaitu pada lantar 87 – 91. Bola pendulum dapat berayun setiap saat hingga 35cm, dan meredam getaran hingga 40%. Saat terjadi taufan, pendulum dapat berayun hingga 1.5m, dengan arah berlawanan dengan arah ayunan gedung. Bumper hidrolik akan menyerap energi dan mencegah ayunan yang terlalu besar. Periode ayun gedung ini adalah 7 detik, dan pendulum telah disetel untuk match pada periode ayun ini :).

Greenwich: Royal Observatory. Ini adalah titik 0° bujur bumi (GMT 0), yang terposisikan di Royal Observatory at Greenwich. Tak kebetulan, observatorium ini berdekatan dengan pelabuhan AL Inggris. Ini memungkinkan bakuan GMT digunakan untuk mengukur semua pelabuhan dan semua tempat di muka bumi di masa sebelum teknologi satelit, selama mereka memiliki pengukur waktu yang akurat. Oh ya, di taman yang luas dan rindang sekitar obversatorium ini, tinggal banyak tupai yang imut dan jinak :).

York: National Railway Museum. Banyak bagian dari York yang menarik. Jadi museum ini cuma aku lewati pintunya :D. Tempat ini berfungsi mereview teknologi kereta api dan sejarah Revolusi Industri. Loko dari Rocket yang berkecepatan 20 km/h hingga Flying Scotsman yang berkecepatan 160 km/h tersimpan di sini. Yang terakhir ini dapat menempuh jarak London – Edinburgh tanpa berhenti mengisi batubara.

Cambridge: Trinity College. Aku menghabiskan seharian di sekitaran college sekitar sungai Cam ini, tapi baru sadar bahwa di sana masih tumbuh sebatang pohon apel yang konon merupakan keturunan dari pohon apel yang konon mengilhami Isaac Newton :). Di sini memang aku malah sibuk menebak ruang kerja Newton, Rutherford, Dirac, hingga Hawking, dan tak sempat memikirkan apel :). Yang waktu itu cukup banyak pengantrinya adalah Wren Library.

London: The Science Museum. Mungkin aku perlu satu entry blog sendiri tentang ini — hutang dari tahun lalu. Di museum ini ditampilkan loko Rocket dari Stephenson yang asli, jam atom pertama, modul komando Apollo 10, Mesin Diferensial dari Babbage, dan banyak sekali obyek amat menarik lainnya. Lantai bawah disediakan untuk pameran2: dunia modern (misalnya Model DNA), dunia energi, dan penjelajahan angkasa. Dan, waktu aku ke tempat ini tahun lalu, ada pameran khusus tentang pengaruh peradaban (termasuk sains dan teknologi) Islam ke dalam dunia masa kini. Yang lama aku amati memang mesin diferensial. Di abad ke-19, Babbage berencana membuat mesin mekanis untuk melakukan komputasi numerik. Mesin ini belum selesai, karena ide Babbage sendiri selalu berubah, dan pemerintah tak mudah mengucurkan dana. Umumnya pengamat sejarah menyatakan bahwa teknologi masa itu belum mampu menyiapkan ribuan perangkat mekanis renik dengan presisi setinggi yang dibutuhkan Babbage. Namun di tahun 1990an museum mencoba menyusun mesin Babbage, dan ternyata mesin dengan 4000 komponen dengan berat 2.5 ton ini benar2 bekerja. Cara kerjanya? Dengan mengelaborasi deret. Misalnya, menghitung eksponensial dengan deret Taylor; namun tidak dihitung semua dari nilai inisial, melainkan dengan menghitung selisih dari selisih secara terus menerus. Ini asal nama mesin itu.

London: Natural History Museum. Berada di sebelah Science Museum. Tapi waktu itu aku terlalu sore keluar dari Science Museum, jadi Natural History Museum sudah tutup :). Padahal ini konon museum terbaik yang memaparkan dunia hayati, termasuk evolusi dari teori evolusi, dari teori yang sekedar memaparkan hipotesis Darwin, hingga penguatannya oleh eksplorasi atas DNA dan seterusnya.

Canada: Kutub Utara Magnetik. Haha, aku belum pernah ke sini. Tapi berminat sih. Posisinya di N 82° 42′ 0″ W 114° 24′ 0″. Ada yang mau ajak aku ke sana?

Sidang Comsoc Asia Pasifik

Tahun 2011 ini IEEE ICC diselenggarakan di kota Kyoto, Jepang. Seperti tahun-tahun sebelumnya, helat akbar IEEE di bidang infokom ini dibarengi beberapa pertemuan, baik teknis maupun organisasi, di lingkungan IEEE dan IEEE Comsoc. Mewakili IEEE Comsoc Indonesia Chapter, aku diundang hadir di Comsoc AP-RCCC. Undangan diterima bulan April, jadi ada waktu cukup luang untuk mempersiapkan visa Jepang, tiket, hotel, dll. Sayangnya bulan2 ini adalah bulan2 sibuk di Divisi Multimedia Telkom. Jadi aku tak sempat melakukan hal2 menarik, seperti mengingat2 kembali penulisan huruf hiragana, katakana, dan terutama kanji dasar, buat bekal jalan2.

Rute perjalananku cukup jail :). Alih-alih mengambil penerbangan Jakarta-Kansai seharga 7.5jt, aku mengambil jalur Jakarta-Haneda seharga 5jt, ditambah Shinkanzen Tokyo-Kyoto seharga 2.5jt. Jalur ajaib ini mengharuskanku terdampar tengah malam di Haneda Airport sampai pagi, sebelum melaju ke Shinagawa Station dan Kyoto.

Tapi, Shinkanzen cukup kencang, dan pagi itu juga aku sudah sampai di Kyoto, plus sempat beristirahat. Setelah melaporkan kehadiran ke organiser, aku meluangkan waktu dengan menjelajahi pusat2 budaya di Kyoto. Sebenarnya, Kyoto sendiri adalah pusat budaya Jepang klasik. Aku mengunjungi kuil Buddha dan Shinto di Kiyomuzudera, dan kuil Zen di Konnin-ji, dan menghabiskan sore dengan melihat cuplikan teater Jepang klasik di Gion Corner. Tapi akhirnya aku kembali ke hotel dan melakukan finalisasi presentasi.

ICC dan konferensi yang menyertainya diselenggarakan di KICC, sebuah resort di timur laut Kyoto. Tampaknya tempat ini memang disiapkan untuk menjadi ruang diskusi bertaraf internasional. Aku tak mengikuti sesi-sesi ICC secara penuh. Hanya sesi workshop. Tapi aku harus mengikuti sidang AP-RCCC di tempat yang sama.

Jika IEEE Region 10 Meeting di Yogyakarta lalu merupakan pertemuan organisasi dari IEEE di kawasan Asia Pasifik, maka AP-RCCC ini adalah pertemuan dari IEEE Communications Society. Membahas wilayah Asia Pasifik, pertemuan ini dihadiri Presiden Comsoc, para VP dan direktur, Region Amerika Utara, Region Amerika Selatan, serta para ketua chapter Comsoc se-Asia Pasifik. Di dalam IEEE Comsoc, Region Asia Pasifik meliputi kawasan yang membentang dari Pakistan di barat, Jepang di timur laut, hingga New Zealand di tenggara.

Presiden IEEE Comsoc, Byeong Gi Lee, membuka sidang dengan menyampaikan tantangan terkini di bidang telaah komunikasi. Konvergensi telah melalui satu tahap dalam informasi digital, dan saat ini kita masuk ke konvergensi berbagai service. Konvergensi bukan hanya antara bidang komunikasi dan komputasi, tetapi melebar ke elektronika konsumen, media, dan kawasan lainnya. Comsoc mengantisipasi hal ini dari berbagai sisi: pendekatan pendidikan dan content, pendekatan industri, dan pendekatan standardisasi. Perumusan ini diikuti juga dengan restrukturisasi organisasi Comsoc. Berbagai aspek berkaitan dengan konvergensi lebih lanjut ini memicu diskusi yang cukup menarik.

Berikutnya beberapa VP dan direktur menyampaikan laporan dan arahan. Dan setiap chapter menyampaikan laporan, rencana kegiatan, dan hal-hal lain. Indonesia memperoleh giliran pertama untuk memberikan laporan. Aku menyampaikan laporan kegiatan yang saat ini masih dititikberatkan pada kampanye teknis dan organisasi IEEE dan Comsoc, termasuk dukungan dalam pembentukan 4 IEEE student branches pertama di Indonesia, serial roadshow, dan pendekatan lain. Rencana ke depan meliputi penyusunan konferensi yang lebih besar (lebih dari saat ini yang berupa seminar atau lecturing tematis). Untuk ini diperlukan assistance dan support dari Region maupun chapter yang bertetangga. Juga disampaikan persiapan TENCON di Bali bulan November 2011, dan permintaan untuk distinguished lecturer & distinguished speaker atas progress terkini di bidang ilmu Comsoc. Cukup banyak yang menyampaikan dukungan atas kegiatan IEEE Comsoc di Indonesia ini. Perwakilan chapter lain menyusul memberikan laporan.

Selesai konferensi, aku kembali ke pusat Kyoto dengan MRT bersama Prof. Hsiao-Hwa Chen. Ada yang agak lucu sebenarnya. Pertama jumpa (sebelum konferensi), beliau menyebut namanya, lalu aku menyampaikan bahwa tentu aku kenal beliau, baca beberapa papernya, dan bahkan tahun lalu sempat berkorespondensi. Beliau menanggapi antusias. Padahal sebenarnya tahun lalu korespondensi dari beliau bernada marah akibat sebuah kesalahpahaman yang lucu :). Tapi ini tak dibahas. Malah akhirnya kami berbincang panjang dengan pengelolaan chapter, tentang pengelolaan platfrom, tentang sejarah Jepang dan Kyoto, dst.

Jadi esoknya aku menyempatkan diri menelusuri kembali kawasan2 bersejarah di Nara (ibukota Jepang yang pertama, sebagai Jepang yang telah bersatu) dan di Kyoto (ibukota Kekaisaran Jepang selama 1000 tahun), sebelum akhirnya beranjak kembali ke Tokyo (ibukota Jepang sejak Restorasi Meiji).

Cerita lengkap (non IEEE) atas kunjungan ke Jepang ini:

Crowdsource Bookshop

Akhir minggu lalu, kami mencoba melakukan fund-raising, mengumpulkan dana untuk biaya pengobatan Hamdani, seorang rekan yang menderita kanker getah bening. Hamdani saat ini dirawat di Gedung Teratai, RS Dharmais. Biarpun ada keringanan biaya, namun biaya untuk penyembuhan liver dan ginjal yang mulai rusak (harus dipulihkan sebelum kemoteapi), biaya beberapa siklus kemoterapi, dan biaya pemulihan, akan cukup besar; tak mungkin tertangani Dani yang kini justru diberhentikan oleh lembaga pendidikan tempat ia bekerja.

Fund-raising kami tak bisa dibilang berhasil baik. Maka di hari Senin kemarin, yang dipaksakan cuti oleh menteri entah apa, kami memanfaatkan waktu yang sempit untuk merancang sebuah online bookshop, tempat kami dapat mulai menjual buku2 baru atau bekas sebagai sarana penggalangan dana lebih lanjut. Membuat site cukup mudah. Engine wordpress, domain murah, hosting numpang, plugin eshop, dan desain visual. Lalu integrasi dan test. Maka tengah malam tadi, meluncurlah Online Bookshop kami: Darrowby.co.

Darrowby, tentu diambil dari nama kota rekaan James Herriot, dalam buku Seandainya Mereka Bisa Bicara (If Only They Could Talk). Buat aku, Darrowby identik dengan buku, tapi juga dengan penyembuhan, dengan kesetiakawanan yang tulus, dengan simpati dibalik sikap pura2 acuh, dengan optimisme dan semangat tak kunjung padam, dengan ketidakmampuan untuk patah semangat menghadapi tantangan.

Buku2 diambil dari koleksiku dulu. Keren-keren, tentu saja :). Dan pertama2 akan diambil dari yang kira2 akan menghasilkan rupiah terbesar. Memang buku2 ini tak dijual murah, karena kita sedang mengumpulkan dana. 100% hasilnya akan diserahkan untuk pengobatan Hamdani. Tapi kualitas bukunya takkan mengecewakan pembeli juga. Setelah test hari ini (baru dengan beberapa buku), kami akan terus menambahkan buku-buku berbagai bahasa dan berbagai level harga ke Darrowby.

Mas Harry Sufehmi langsung menawarkan buku2 koleksinya juga. Bukan surprise, buat mereka yang mengenal sosok Mas Harry :). Sekaligus Mas Harry juga melontarkan istilah ini: crowdsource bookstore :). Community-based bookstore, haha. OK, ini memang menarik. Moga akan makin banyak yang mau membeli buku, menyumbang buku, dan lain-lain. Kalau belum ada buku yang cocok untuk dibeli, kami juga bisa mengirimkan  nomor rekening agar kita tetap dapat menyumbang tanpa membeli.

Allâh tak akan mengubah keadaanmu, kecuali kamu menggerakkan diri untuk melakukan perubahan.

Para Influencer

Yang menarik dari Kindle adalah bahwa setiap saat kita meminati buku baru (pun baru terbit), kita bisa langsung beli, dan langsung baca di piranti yang kini jauh terasa sebagai buku ini (alih2 perangkat elektronik). Memang membahayakan sih, dari sisi kemudahan belanja :). Mulai agak mengganggu, bahwa setiap saat ide dan kepenasaranan (curiosity) kita melompat, kita mengambil satu buku lagi :). Weekend ini aku sebenarnya hampir menamatkan “Quantum Man” dari Lawrence Krauss. Buku ini berdongeng tentang Richard Feynman. Alih2 menceritakan sisi manusiawi Feynman yang sudah sangat banyak ditulis sana sini, buku ini lebih berfokus ke sisi keilmuwanan Feynman, biarpun bentuknya tetap dongeng buat kaum awam. Di account Facebook-ku bisa diintip beberapa cuplikan buku itu.

Sayangnya, Amazon mendadak mengiming2i buku menarik lagi: Everything is Obvious, Once You Know The Answer. Penulisnya Duncan J Watts, seorang fisikawan yang melakukan riset di engineering, dan akhirnya berprofesi sebagai periset sosiologi. Dia mengawali bukunya dengan berkisah tentang beberapa kasus di mana orang2 penting, seperti penulis John Gribbin, serta senator AS, menganggap riset sosiologi bukan hal yang penting, misalnya sepenting riset fisika. Riset di bidang fisika tentu amat penting. Namun agak lucu kalau menganggap riset sosial itu tak penting dengan alasan — menurut mereka — bahwa hasilnya bisa ditebak dengan logika biasa, tanpa harus melakukan riset yang luas. Di dekade kedua abad ke-21 ini, dengan analisis yang cukup banyak mengenai jejaring sosial, kita mulai tahu bahwa banyak hal yang lebih menarik di riset ilmu sosial, selain sekedar memainkan urusan game theory yang banyak berfokus di urusan insentif, motivasi, dan nilai2. Tapi banyak yang tetap menganggap, penelitian fisika memberikan hasil yang luar biasa, dan menembus batas pikiran sederhana (common sense), sementara ilmu sosial tidak menghasilkan hal2 di luar itu. Masalahnya memang, kalau ilmu sosial itu sederhana, mengapa masalah sosial tak mudah dipecahkan? Soalnya bukan pada resource yang akan terlalu besar untuk memecahkan masalah itu, tetapi benar2 pada ketidaktrampilan kita memahami manusia, sebagai individu maupun masyarakat :D.

Penulis lalu memberikan contoh2 kecil. Paul Lazarsfeld pernah membuat riset pada para prajurit di Perang Dunia II. Ia memaparkan beberapa hasil. Misalnya, penemuan nomor 2: “Pemuda dari pedesaan umumnya memiliki semangat lebih baik dalam ketentaraan daripada pemuda perkotaan.” Reaksi kita? Tentu saja. Itu masuk akal. Pemuda desa lebih terbiasa dengan lingkungan yang keras, kerja keras, gotong royong, dll. Tapi lalu Lazarfeld mengatakan, “Ups. salah baca. Maksudnya, pemuda dari perkotaan umumnya memiliki semangat lebih baik.” Reaksi kita? Haha. OK. Tetap bisa dipahami. Pemuda kota lebih biasa hidup bersesakan, kerja dengan birokrasi panjang yang tidak pasti, penuh tata cara yang mudah berubah, dll. Semuanya masuk akal. Tapi, jika kedua hasil yang berlawanan itu masuk akal, maka ada yang salah dengan urusan “masuk akal” itu: itu masuk akal hanya setelah dijelaskan hasilnya. Yang kita sebut sebagai akal sehat, common sense, sebenarnya tak mampu menyusun prediksi; selain hanya menyusun alasan atas sesuatu yang diketahui hasilnya.

Atau, mengikuti Stephen Hawking di buku satunya, The Grand Design, akal sehat hanyalah kesimpulan dari kumpulan pengalaman pribadi yang terjadi pada masa hidup yang pendek, dan bukan kebijakan yang diperoleh sebagai hasil penelitian yang nyata atas perilaku semesta. Tapi, hanya berbekal akal sehat dari pengalaman singkat ini, banyak keputusan2 diambil. Para politisi yang mencoba mengatasi masalah kemiskinan merasa telah paham mengapa manusia bisa miskin. Penyusun marketing plan menyusun kampanye dengan anggapan bahwa mereka tahu apa yang diinginkan target pasar, dan bagaimana membuat target itu tertarik lagi. Penyusun kebijakan atas kualitas pendidikan,  kesehatan, dll, merasa paham atas efek skema insentif. Dan dalam skala lebih kecil, 90% orang Amerika merasa berkecakapan di atas rata2 dalam mengemudi, 25% merasa masuk 1% orang terbaik dalam kepemimpinan, dll, dll.

Watts pun mulai menceritakan sebuah riset. Risetnya mengharuskan mahasiswa meminta tempat duduk di kereta bawah tanah di New York :). Rinciannya agak panjang. Tapi dari sini, kita menangkap kompleksitas hubungan antar manusia, kekuatan (atau keterbatasan kekuatan) autoritas, kekuatan konsensus cair yang bahkan sulit ditembus oleh para peneliti, dan hal2 menarik lain. Lalu dibahaslah soal pengambilan keputusan pada manusia, yang selalu berujung pada soal nilai2 personal (dan sosial). Dan tentu soal konteks. Contoh kasus: dua orang yang tak saling kenal diberi $100. Salah satu (P1) harus membagi dua (tak harus sama besar), dan satunya (P2) memutuskan apakah ia akan menyetujui pembagian itu. Jika P2 tak setuju, uang $100 ditarik lagi, dan keduanya tak memperoleh apa2. Menarik. Sebagian besar P1 membagi sama rata: 50:50, namun tentu banyak juga yang mengambil kesempatan dengan mengambil lebih, misalnya 70:30. Asumsinya P2 akan lebih baik menerima 30 daripada tak menerima apa2. Tapi ada yang sedemikian bakhilnya untuk mengajukan 90:10. Umumnya pembagian yang amat tidak adil ditolak P2. Ahli ekonomi tradisional (yang berfokus pada insentif) akan terkejut mendapati bahwa P2 memilih tak memperoleh apa2 daripada “dimanfaatkan” :). Tetapi memang keadilan adalah nilai universal yang dipuja banyak orang, walau dengan pengorbanan uang. Level ketidakadilan di mana P2 masih mau menerima amat berbeda dari satu etnik ke etnik lainnya. Suku tertentu di Papua malah tak mau menerima pembagian 50:50 — P2 hanya mau nilai yang lebih daripada P1. Unik. Tak universal. Nilai2 antar etnik, antar kelompok, antar budaya, begitu beragamnya, dan cukup banyak yang saling bertentangan; dengan masing2 menganggap kumpulan nilai2 lainnya gila dan tak masuk akal. Tak heran jika dalam mensikapi yang terjadi di budaya lain, kita sering cuma bilang: bangsa sinting — semua logikanya terbalik. Pandangan yang tampak logis, biarpun cuma menunjukkan bahwa kita sama sekali tak memiliki kearifan.

Kesalahan pertama dalam meramalkan (dan mengubah) perilaku adalah bahwa kita mengira manusia digerakkan faktor2 seperti insentif, motivasi, dan nilai2. Sementara, banyak hal2 lain yang justru sengaja atau tidak turut mempengaruhi keputusan akhir: cara berkomunikasi (bentuk komunikasi, pilihan kata, latar musik, bentuk font, warna), atau hal2 lain yang cukup banyak. Kedua, pemodelan kita atas perilaku kolektif lebih buruk lagi. Ada berbagai warna interaksi internal di dalam kelompok yang masing2 pagarnya tak mesti tegas: alur kuasa dan pengetahuan sungguh cair, dan tak mudah diramalkan hanya dengan melihat elemen2nya. Kita cenderung menyederhanakan dengan menganggap kelompok sebagai individu, bernama crowd, market, karyawan, dll. Atau memilih representasi tak jelas seperti pemimpin, influencer, dll. Baru akhir2 ini dipahami bahwa penyederhanaan seperti itu bukan saja kurang tepat, tapi sungguh2 meleset.

Sungguh bacaan menarik di sebuah weekend. Untuk jadi lebih bijak di minggu-minggu ke depan.

ICT dan Socnet di Indonesia

Mungkin sudah berlebihan klaim bahwa socnet telah membawa perubahan yang significant terhadap Indonesia. Kisah koin Prita, pembebasan Chandra-Bibit, selalu diceritakan kembali sebagai kisah besar. Dan memang kisah besar :). Tapi yang terjadi mungkin hanya bahwa masyarakat (yang sesungguhnya memang jauh lebih cerdas daripada para elite politik kita) kini memiliki corong untuk menyampaikan suaranya, untuk didengar secara bising oleh para elite itu, dan memaksa mereka mengambil keputusan yang lebih masuk akal.

Yang lebih besar, dan lebih significant, namun mulai terlupakan, aku pikir, adalah #IndonesiaUnite: bagaimana kaum muda menyatukan suara dan menggaungkan ke masyarakat untuk bersatu melawan para teroris yang menggunakan kedok agama untuk memaksakan diskursusnya ke masyarakat. #IndonesiaUnite mampu meyakinkan masyarakat, bahwa perilaku teroris berkedok agama itu sungguh hina, memalukan, dan tak masuk akal untuk didukung. Lenyapnya gerombolan teroris nyaris tak menyisakan suara kehilangan :).

20110404-095725.jpg

Namun sejujurnya, di luar itu socnet belum banyak berperan mengubah negeri ini :). Bukan mengecilkan peran rekan-rekan yang sungguh aktif dengan passionnya yang luar biasa mencerlangkan negeri; tetapi situasi negeri ini memang memerlukan kerja lebih keras lagi :). Dan banyak jebakan yang mudah menanti. Socnet mengangkat suara baru yang lebih jernih; tetapi ia juga mengangkat elite baru yang terjebak seremonia dan eksklusivitas baru. Socnet meningkatkan sinergi untuk mengembangkan industri kreatif; tetapi ia juga memperkencang konsumerisme dan hedonisme. Socnet tak jelas: apakah ia menurunkan urbanisasi dengan membuat daerah segemerlap Jakarta, atau justru meningkatkan minat kaum muda untuk cepat2 pindah ke gemerlap Jakarta. Socnet sekaligus mempopulerkan karya yang elegant dan karya-karya sampah (ekstensi dari sinetron dan sinema kitsch Indonesia), lengkap dengan tukang jamu, menteri alay, banci gak jelas, intel gadungan, dll. Socnet sarang menggempur koruptor, sekaligus sarana bagi para koruptor kaya untuk meluaskan diskursus yang melenceng melalui generasi muda. Eh, mendadak bau lumpur.

Bagi para pengelola infrastruktur sendiri, socnet menarik. Seperti seluruh perusahaan lain, socnet membuat para provider menjadi transparan bagi kritik. Tapi kencangnya pipa baru bagi konversasi masyarakat ini, dan peningkatan pemanfaatan muatan aplikasi di atasnya, serta peluang pengembangan industri kreatif di atasnya, menciptakan konteks baru bagi para pengelola untuk mengembangkan bisnis, untuk menanamkan investasi baru bagi pengembangan infrastruktur. Dan seperti spiral yang terus berkembang, ini menjadi umpan bagi publik untuk berkonversasi lebih intens, lebih kreatif.

Kamu sendiri, apa yang kamu amati? Pasti banyak. Dan apa pun itu, pasti menarik. Coba sesekali apa yang teramati itu tidak ditulis dalam cericau 140 karakter, atau note singkat Facebook, atau tiga empat paragraf blog. Apalagi cuma komentar di blog :). Coba sesekali, itu kita bahas lebih serius. Semester ini, Internetworking Indonesia Journal memfokuskan pembahasan pada Implikasi Sosial dari ICT dengan konteks Indonesia. Informasi tentang paper dapat dilihat di Halaman CFP. Ini pengantarnya:

Information and communication technologies (ICTs) have become a ubiquitous part of people’s lives all over the world, including in Indonesia. The growing use of these technologies, especially the Internet, has not only implicated the ways individuals communicate, but also influenced the way they connect to each other. With the developments of social media such as blogs, wikis, collaborative websites and other social networking tools to fulfill the personal, organizational, societal and political goals and to influence the way individuals work and live, it is important to understand the implications it brings. This special issue seeks manuscripts that look at a wide variety of ICT uses and what implications these uses have on people, organizations and society in the Indonesian context as the technology becomes more widely available. This issue also welcomes those who look at the other side of the coin, i.e. manuscripts that focus on the cultural, social and political shaping of the technologies by Indonesian society. The goal of this special issue is to offer an understanding and assessment of how ICTs and society have mutually shaped each other, and theoretical considerations of the links between social implications and ICTs.

Editor tamu untuk topik ini adalah dua pakar yang tak diragukan, baik sebagai guru, wizard, researcher, sekaligus aktivis media sosial: Dr Yanuar Nugroho, dan Prof Dr Merlyna Lim.

Jadi, menulislah …

IEEE Region 10 Annual Meeting 2011

Satu tahun setelah Peristiwa Lapu-Lapu, IEEE Region 10 kembali menyelenggarakan annual meeting. Kali ini, Indonesia menjadi tuan rumah, dan pertemuan besar ini dilaksanakan di Sheraton Yogyakarta. Menariknya, minggu2 ini kegiatan di kantor sedang cukup gila, dan rescheduling kegiatan kantor yang sungguh amburadul nyaris membatalkan kehadiranku di Yogyakarta. Tapi syukur aku memilih terbang dengan Garuda Indonesia, jadi semuanya berjalan baik.

Kami sendiri  mengajukan kota Yogyakarta sebagai tuan rumah kegiatan ini dalam kegiatan serupa tahun lalu di Pulau Mactan. Saingan kami a.l. Australia, New Zealand, Bangkok, India, dan Tokyo. Namun kampanye kami efektif, sehingga tahun ini, tanggal 5-6 Maret lalu, R10 bersua di kaki gunung Merapi yang mendadak mengalirkan lahar lagi ini. Dalam annual meeting ini, hadir President-Elect of the IEEE, Gordon Day; Director of Region 10, Lawrence Wong; para pengurus  berbagai divisi, baik di level pusat maupun region; perwakilan section berbagai negara di Asia Pasifik; dan perwakilan chapter dan branch di Indonesia. Tim Indonesia sendiri diwakili chairman Muhammad Ary Murti, yang baru satu bulan ini menggantikan Arnold Ph Djiwatampu sebagai Indonesia Section Chair. Aku tentu hadir mewakili IEEE Comsoc Indonesia Chapter.

Annual meeting diselenggarakan mengikuti Robert’s Rules of Order yang juga banyak digunakan di parlemen-parlemen dunia. Chairman Lawrence Wong mengawali dengan Call to Order, dan diikuti dengan Roll Call, lalu diikuti reports. Menarik bahwa urutan kegiatan ini dapat terlaksana tepat waktu dari menit ke menit. Tanpa peduli jabatan, semua presenter hanya dapat memberikan presentasi 5-10 menit sesuai kesepakatan.

Dalam laporannya, Gordon Day, President-Elect 2011, yang tentu akan jadi President/CEO IEEE 2012, mengingatkan kembali akan transformasi yang masih terus terjadi di IEEE. Meluas dari dunia elektroteknika, IEEE kini mencakup dunia aeronautical, biomedical, electrical, electronic, computer, information technology, mathematics, physics, telecommunication, hingga automotive and biological engineering. Jumlah anggota mencapai 407 ribu. Namun jumlah ini masih kurang dari 10% para engineer di bidang kerja IEEE. Di US, hanya 7.5% engineer pada bidang ini yang menjadi anggota IEEE. Di Indonesia, hanya 0.5%.

Dengan tag advancing technology for humanity, pendekatan yang dilakukan IEEE a.l. memperkuat organisasi untuk dapat melayani generasi baru engineer, terutama di bidang-bidang baru yang akan lebih maju meningkatkan harkat hidup kemanusiaan. IEEE juga diarahkan untuk menjadi lebih global, merangkul para teknologis yang tersebar luas di seluruh dunia; serta meningkatkan peran dan kepemimpinan. Perubahan2 ekonomi, sosial, dan budaya yang terjadi makin cepat dalam waktu-waktu ini dilatarbelakangi secara strategis oleh pemanfaatan teknologi yang makin mendukung peningkatan harkat hidup manusia, secara individu dan sosial. Ini tak berhenti di sini. Dan para engineer harus terus diingatkan bahwa mereka masih memiliki tanggung jawab profesional untuk mendukung tata hidup yang lebih baik di abad-abad berikutnya.

Lawrence Wong menambahkan dengan menunjukkan keunikan wilayah Asia Pasifik: ini adalah region dengan jumlah anggota terbesar di dalam IEEE, dan dengan pertumbuhan tertinggi, terutama di kalangan mahasiswa dan engineer muda. Ini mencerminkan karakteristik kawasan ini yang merupakan kawasan teknologi paling dinamis sedunia. Yang akan dilakukan di region ini adalah meningkatkan sinergi antar wilayah, terutama dengan memanfaatkan sarana Internet.

VP MGA Howard E. Michel mendetilkan bahwa alih-alih mengurusi soal membership, IEEE akan lebih berfokus kepada member: How to Inspire, Enable, Empower and Engage the members of IEEE. Langkahnya panjang dan detail. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan IEEE Center for Leadership Excellence (CLE) untuk membangun kepemimpinan member. VP Educational Activities Tariq Durrani memaparkan beberapa prakarsa untuk mengembangkan pendidikan engineering sejak sebelum masa kuliah, misalnya TISP (program pelatihan dan penyertaan bagi guru), situs TryEngineering dan TryNano, akreditasi, sertifikasi, WIE (women in engineering), dll. Kelihatannya, selepas dari tugas di Comsoc, aku bakal suka mendalami TISP atau program semacam Faraday Lectures (dari IET). Eh. Meeting juga membahas laporan TENCON 2010 di Fukuoka, TENCON 2011 yang akan dilaksanakan tahun ini di Sanur (dipaparkan Chairman TENCON 2011 Dr Wahidin Wahab), dan TENCON 2012 di Cebu. Dan … hmm … banyak juga :).

Para peserta, yang mencapai sekitar 150 orang, juga diajak mengunjungi Candi Prambanan dan Kraton Yogyakarta, untuk mengenal budaya lokal. Dinner juga dihidangkan di kawasan Kraton Yogyakarta. Tapi di samping kunjungan bersama ini, beberapa peserta juga sudah mengincar untuk mengunjungi tempat2 menarik, seperti Candi Borobudur, dan Dalan Maliyoboro ingkang kondang sakjagad kuwi. Tampaknya Yogyakarta menjadi tuan rumah yang sukses untuk helat akbar IEEE Asia Pacific kali ini. Thank you, Yogya :)

Nodame Cantabile

Saat kata tak lagi menebarkan hikmah, melainkan hanya dusta dan prasangka. Saat konteks tak lagi memudahkan dan menyederhanakan perbincangan, tetapi melulu mengalihkan dan menyesatkan. Saat pesan singkat dan panjang hanya mengarah ke satu sampah ke sampah lainnya. … Saat itu musik terasa jadi penyelamat. Di tengah minggu yang sungguh menjengahkan itu, tampillah Twilite Orchestra.

Twilite Orchestra adalah sedikit dari nama orkestra yang sangat populer di Indonesia. Menyaksikan orkestra lain sangat mudah: kita datang, membeli tiket, memilih kursi, dan masuk :). Sebaik apa pun permainannya, tidak pernah ruang itu terisi penuh. Tapi Twilite Orchestra berbeda. Sejak dua minggu sebelumnya, hanya beberapa menit setelah Addie MS — sang director dan conductor — menyampaikan bahwa tiket mulai dijual, telah dimulai penyerbuan atas tempat2 pembelian tiket. Hari berikutnya, tiket sudah dinyatakan habis. Pendekatan Addie MS memang unik. Dari account Twitternya, @addiems, ia mulai menghimpun ide tentang performansi ini, dan apa yang ingin didengar oleh publik. Dan dalam persiapannya pun, ia menyampaikan ke publik, tetap melalui Twitter. Dari Twitter, aku memilih tempat beli tiket, dan sempat memesan 4 tiket.

Konser diperformansikan pada Kamis malam, 27 Januari 2011, di Balai Sarbini, tepat di persilangan tersibuk Kota Jakarta. Bahkan @addiems sendiri pun terus mengingatkan bahwa potensi macet besar, dan penonton diminta hadir lebih cepat. Hadir lebih cepat tentu menyenangkan, bisa menikmati satu mug kopi dulu di Plasa Semanggi :). Masuk tepat waktu, tak perlu menunggu terlalu lama sebelum Twilite Orchestra menampilkan sesi perdana: Montagues & Capulets. Aku tak terlalu akrab dengan para komposer Russia, dan hanya mengkoleksi karya mereka secara sporadik. Tapi malam ini Twilite hanya menampilkan karya2 terbaik dan terpopuler, jadi tentu karya Prokofiev yang ini sering terdengar juga. Pembukaan yang manis dan menarik.

Tapi kemudian Twilite menampilkan karya Beethoven terbaik: Simfoni Ketujuh. Yea! Dari sekian pilihan yang bisa dipilih dari Beethoven, Twilite memilih yang buat aku paling menyentuh. Twilite hanya menyajikan Act 1 dari Simfoni Ketujuh ini. Tak menggaung seram seperti saat Berliner Philharmonik memainkan dengan jumlah pemain yang sekian kali lipat Twilite Orchestra, tetapi tetap dengan kesyahduan yang menyemangati dan memberikan optimisme yang entah tadinya tertinggal di mana :).

Tapi lalu Addie MS membalik badan, dan memberi salam kepada pengunjung. Ia mengambil beberapa menit untuk menceritakan latar belakang Konser Nodame Cantabile ini. Ia mendapatkan gagasan performansi ini justru dari anaknya, dan dari kalangan muda, yang menggemari Nodame Cantabile. Cantabile itu manga jepang ciptaan Tomoko Ninomiya, yang menceritakan romansa dua pemusik muda. Manga ini menjadi populer dan berpindah ke aksi drama dan serial TV. Namun ekspresi musikal mereka bukan diambil dari musik masa kini. Alih-alih, mereka memilih musik klasik yang menurut Addie MS telah berusia ratusan tahun. Musik-musik dari drama itulah yang dipilih Addie MS untuk dikemas dan ditampilkan dalam konser yang mengambil nama Cantabile ini. Sambil Addie bercerita, aku punya waktu untuk memperhatikan para penonton. Luar biasa: malam ini penonton musik klasik lebih banyak didominasi anak muda yang datang bersama teman2nya, bukan bersama ortu seperti biasanya. Mereka tampil rapi (sesuai pesan @addiems di Twitter), bukan pakai T-Shirt dan sandal, tetapi tetap dengan gaya lincah ABG.

Kembali melihat ke panggung: Gita Bayuratri yang masih ABG memainkan Etude 10 No 4 dari Chopin. Serasa mendengar hujan mengiringi di atas :). Chopin memang fantastis. Tapi lalu Gita digantikan Audrey Sarasvathi. ABG juga. Dan yang ini tanpa basa-basi langsung menghajar sang piano dengan Danse Russe, bagian dari Petrushka, dari Stravinsky. Hantaman jari-jari yang luar biasa, sempurna sekali. Sempurna sekali. Seperti mimpi waktu Audrey meninggalkan pianonya. Dan Addie kembali memimpin orkestra, memainkan Rhapsody in Blue dari Gershwin. Ini permainan panjang paduan antara piano dengan orkestra yang lembut dan jazzy. Bagian piano dimainkan Kazuha Nakahara. Menarik, karena penataaan tempo di piano dipilih berbeda dengan beberapa versi Rhapsody in Blue yang pernah aku dengar. Gershwin, Chopin, Stravinsky, Beethoven — memang serasa masih di alam mimpi :). Lalu jeda 25 menit.

Setelah jeda, Twilite memainkan Mendelssohn. Seperti pada Prokofiev, aku tak terlalu akrab dengan Mendelssohn. CD-nya pun cuma punya satu. Tapi, karena konser malam ini memainkan karya paling populer, yang dimainkan Twilite adalah Simfoni Keempat dari Mendelssohn — komposisi pertama di satu2nya CD Mendelssohn yang aku punya itu. Dan, seperti Simfoni Ketujuh, Twilite hanya memainkan bagian pertama saja. Lalu Levi Gunardi naik memegang piano, dan Twilite memainkan Piano Concerto No 2 dari Rachmaninoff. OK, ini komposisi pertama malam ini yang aku belum punya CD-nya. Syukurlah :D. Dan Twilite berbaik hari untuk memainkan komposisi ini secara lengkap: 3 bagian. Aroma musik Russia tercium lembut  :). Felix memainkan bagian pianonya dengan elegant dan sempurna sekali.

Lalu perjalanan pulang, perjalanan ke Bandung. Wordcamp. Urusan kantor yang masih selalu tampak sporadik juga. Web. Rapat-rapat. Partnership. Inkubasi. Dan IEEE chairman rollout meeting. Kata, karya, ide, kata, karya, ide, inspirasi, cercaan, ledakan, motivasi, cercah cerlang, tekanan, optimisme, dan seterusnya. Lebih dari seminggu berlalu, dan baru sekarang aku sempat menulis. Musik, tak selalu mudah ditranslasikan menjadi kata-kata berpolusi ini lagi. Tapi yang jelas, musik dari Cantabile tak hilang setelah konser selesai. Mereka terus menemaniku dalam minggu2 yang keras ini, membuat semua gerak cepat itu serasa memiliki warna cemerlang dan harmoni musik yang terus mendorong, menyentuh, menemani, dan memuncakkan. Sungguh konser yang inspirasional.

Thank you, Mas Addie MS. Wagner kapan nih? Udah telanjur punya “adik” dinamai Tristan. Sekalian donk satu sesi Wagner yang heboh :)