Kewajiban Penerbitan Paper

Ada hal menarik minggu ini. Weekend lalu, Ditjen Dikti menerbitkan kebijakan yang mengharuskan para mahasiswa tingka S1, S2, dan S3 untuk menerbitkan paper di jurnal (untuk S1), jurnal terakreditasi Dikti (untuk S2), dan jurnal internasional (untuk S3). Penerbitan paper ini menjadi syarat bagi kelulusan di setiap level itu. Kebijakan ini dapat disimak pada Situs Ditjen Dikti. Ada kebijakan lain beberapa minggu sebelumnya, yang menetapkan bahwa jurnal-jurnal yang diakui adalah jurnal yang juga dapat diakses secara online.

Aku sempat menyinggung soal ini, baik di Twitter maupun Facebook. Dan karena ini adalah soal akademis, tanggapan yang masuk pun bernada jernih, dengan kadar pro dan kontra tertentu pada setiap pendapat.

Kebijakan itu sebenarnya bertujuan baik. Saat ini, di luar kampus, kepakaran akademis masyarakat Indonesia tidak menarik sama sekali. Kemampuan berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan, sangat rendah — tak mampu mengeksplorasi gagasan yang dalam, kompleks, apalagi melintas bidang. Komunikasi publik di Indonesia memang terkenal ramai. Indonesia jago di Twitter, Facebook, blog. Tapi komunikasinya dangkal, dengan argumen dan gagasan yang tak tergali. Komunikasi publik bersifat instan, tak lebih dalam dari komunikasi transaksi barang dagangan. Surat dari Dikti yang membandingkan kita dengan Malaysia pun valid dan menyentak. Tak perlu dengan UK, Jepang, dll; dengan tetangga pun kita jadi tampak primitif.

Keharusan menulis paper dalam konteks ini jadi relevan. Bukan hanya untuk mengejar terget angka yang bisa dibandingkan dengan negeri jiran, tentu. Somehow kita harus menyelamatkan dan menumbuhkan komunikasi publik dan komunikasi akademis yang lebih cerdas di masa mendatang. Paper, yang direview oleh sejawat seprofesi, adalah pendekatan yang jauh lebih baik daripada kolom atau artikel di media, yang direview sesuai selera editor atau sebaliknya oleh officer yang mungkin memiliki kompetensi berbeda. Paper juga tidak bisa digantikan oleh self-publishing text yang sebagian besar masih tanpa review. Memang tidak ada sesuatu yang sempurna; tetapi paper dengan peer-review masih menjadi pilihan terbaik dalam transaksi ide dan informasi ilmiah.

Yang mengkhawatirkan dari kebijakan ini memang gayanya yang mendadak. BTW, kapan kebijakan ini harus mulai berlaku? Apakah seketika berlaku, atau perlu memperoleh semacam ratifikasi dari kampus? Atau — seperti banyak kebijakan lain — tidak dijalankan sebelum juklak dibuat. Banyak hal tak menarik bisa timbul dari kebijakan yang mendadak diberlakukan. Kesiapan jurnal-jurnal misalnya. Cukupkah jumlah jurnal per bidang studi, dan kapasitas pengolahan paper setiap jurnal itu, menghadapi kebutuhan kelulusan mahasiswa (terutama S1) yang membanjir setiap tahun. Banyak kampus yang selama ini sudah menghalalkan segala cara untuk meluluskan mahasiswanya, agar bisa segera terlepas dari mahasiswa lama dan bisa menerima mahasiswa baru. Pemaksaan ini bisa berakibat terbitnya paper-paper sampah di jurnal-jurnal yang mendadak akan turun kualitasnya juga.

Aku rasa pemerintah harus belajar untuk mengimplementasikan kebijakan yang bijak dengan cara yang bijak juga: mempersiapkan, menumbuhkan, mendukung, dan mengajak serta komunitas akademis. Dengan demikian, tidak akan terjadi penolakan atau implementasi yang kontraproduktif.

Ada pendapat lain mengenai ini?

Sementara itu, khusus masyarakat ICT, IEEE Indonesia Section tahun ini akan menyelenggarakan setidaknya tiga konferensi dan satu simposium, tempat kita bisa memasukkan paper, mempresentasikan, dan menyaksikannya diterbitkan di IEEE Explore nan bergengsi itu. Sila simak:

  • IEEE International Conference on Computational Intelligence and Cybernetics (CyberneticsCom) [info] [site]
  • IEEE International Conference on Communication, Networks and Satellite (ComNetSat) [info] [site]
  • IEEE Conference on Control, Systems & Industrial Informatics (ICCSII) [info] [site]
  • IEEE Symposium on Green Technology and Systems (ISGTS) [info] [site]

Tentu masih ada jurnal online Indonesia Internetworking Journal, yang menerima paper dalam Bahasa Inggris (diutamakan) dan Bahasa Indonesia mengenai berbagai aspek ICT dengan penekanan pada implementasi di Indonesia.

Ketua Baru Comsoc Indonesia

Sebagai salah satu society yang terkuat di IEEE, Communications Society (Comsoc) memiliki tata atur yang bersifat otonom terhadap organisasi induknya (IEEE). Jabatan President di Comsoc misalnya, memiliki masa bakti dua tahun. Ini berbeda dengan IEEE, dimana seorang yang terpilih menjadi presiden akan memangku jabatan President-Elect selama 1 tahun, President selama 1 tahun, dan Past-President selama 1 tahun. Di Indonesia, tengah diupayakan pola yang serupa untuk IEEE Comsoc Indonesia Chapter: chair dipilih setiap 2 tahun. Sayangnya, ini kadang tak berhasil. Misalnya, awal tahun 2011 lalu, Election Committee menyampaikan bahwa aku harus memegang posisi chairman di tahun ketiga, dan dengan demikian menjadi chairman pertama yang memegang posisi ini selama tiga tahun. Tahun ini, aku memastikan bahwa ini tidak akan terjadi lagi. Dan mudah2an di tahun2 berikutnya tidak akan terjadi lagi :).

Tahun ini, Election Committee telah melaksanakan tugasnya di pertengahan Januari, dan memilih ketua baru Comsoc Indonesia sbb:

IEEE Indonesia Section sendiri baru didirikan pertengahan 1980an. Di pertengahan 1990an, didirikan Joint Chapter of Computer & Communications Society, untuk mewadahi spesialisasi dari dua IEEE society yang memiliki anggota terbanyak. Di tahun 2003, diputuskan untuk memisahkan joint chapter ini menjadi IEEE Computer Society Indonesia Chapter dan IEEE Communications Society Indonesia Chapter. Selama 10 tahun ini, Comsoc Chapter mengalami kepemimpinan enam chair.

Kegiatan Comsoc selama beberapa tahun terakhir ini cukup banyak; dan sebagian sudah aku paparkan cukup rinci di blog ini. Section Chair sempat menyebut bahwa Comsoc Chapter adalah chapter teraktif di Indonesia. Jumlah anggota juga meningkat cukup significant di tahun terakhir. Tapi peningkatan ini sangat didukung oleh kebijakan Comsoc (pusat) memberlakukan keanggotaan Comsoc secara gratis di tahun pertama bagi setiap anggota IEEE yang memperpanjang keanggotaannya :).

Secara realistis, walaupun promosi ke masyarakat, baik masyarakat akademik, masyarakat industri, maupun masyarakat umum terus menerus dilakukan dengan berbagai style, namun minat masyarakat Indonesia untuk bergabung dan beraktivitas di organisasi teknis akademis semacam ini belum terlalu besar. Membandingkan dengan Jepang atau UK mungkin terlalu jauh; tapi di negara2 yang masyarakatnya sadar bahwa budaya digital adalah peluang untuk tumbuh sebagai manufacturer dan bukan sebagai konsumen, misalnya India dan Cina, jumlah anggota IEEE meningkat tajam, sehingga Section harus dipecah per wilayah untuk dapat menampung aktivitas anggota.

So, selamat bekerja, New Chairman dan tim yang akan dibentuknya. Tentu kami, para engineer di dunia telekomunikasi Indonesia, akan memberikan dukungan yang maksimal selalu.

Aku sendiri di tahun 2012 ini belum akan off dari kegiatan di IEEE. Aku masih akan bertugas di Technical Committee di COMNETSAT.

Internetworking Indonesia, Fall 2011

Seperti yang beberapa minggu lalu aku kicaukan di Twitter, Internetworking Indonesia Journal edisi Musim Gugur / Musim Dingin 2011 telah terbit. Kali ini ia merupakan terbitan khusus, bertajuk Special Issue on Social Implications of ICTs in the Indonesian Context. Ada beberapa hal yang istimewa pada terbitan ini. Pertama, kali ini (dan mudah-mudahan untuk seterusnya) semua paper telah ditulis dalam Bahasa Inggris. Memang IIJ bersifat dwibahasa, dan memperkenankan paper ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Namun kita tentu paham bahwa paper dalam Bahasa Inggris akan memiliki jangkauan pembaca yang jauh lebih luas. Kedua, edisi kali ini membahas topik yang diminati banyak kalangan, dari para peneliti, pengamat amatir, hobby-ist, pebisnis, dan developer, yaitu Media Sosial.

Editor tamu pada edisi ini adalah Prof. Merlyna Lim dari Arizona State University dan Dr. Yanuar Nugroho dari University of Manchester. Keduanya kebetulan secara personal pernah berinteraksi denganku, dan lucunya lebih banyak dalam konteks keseriusan yang bersalut candaan.

Paper pada edisi ini meliputi:

  • Guest Editors’ Introduction, by Merlyna Lim and Yanuar Nugroho
  • Cyber Taman Mini Indonesia Indah: Ethnicity and Imagination in Blogging Culture, by Endah Triastuti and Inaya Rakhmani
  • An assessment of Mobile Broadband Access in Indonesia: a Demand or Supply Problem?  by Ibrahim Kholilul Rohman and Erik Bohlin
  • The Internet and the Public Sphere in Indonesia’s New Democracy: a Study of Politikana.com, by Agustina Wayansari
  • The Experience of NGOs in Indonesia to Develop Participatory Democracy by the Use of the Internet, by Yohanes Widodo
  • The Role of Local e-Government in Bureaucratic Reform in Terong, Bantul District, Yogyakarta Province, Indonesia, by Ambar Sari Dewi

Sila kunjungi situs edisi ini, atau langsung download jurnal online ini secara gratis pada link-link ini:

[one_half][button link=”http://tlk.lv/iij6″ type=”icon” icon=”people”]IIJ Edisi 2 / 2011[/button][/one_half][one_half_last][button link=”http://tlk.lv/iij06″ type=”icon”]IIJ Edisi 2 / 2011 (PDF)[/button][/one_half_last]

Mencari Boson Higgs

Tanggal 30 Maret 2010, blog ini menyambut berhasilnya kolisi perdana di LHC. Waktu itu disebutkan: CERN akan menjalankan LHC selama 18-24 untuk menyiapkan data bagi riset-riset fisika partikel. Tujuannya tak lain dari meninjau kembali Standard Model yang menjadi dasar ilmu fisika beberapa dasawarsa terakhir. Yang konon paling banyak dicari adalah jejak dari boson Higgs yang diharapkan bakal membuka tabir misteri gravitasi. Kini masa 24 bulan hampir berhasil. Banyak data yang telah diolah, dan sebagian dipublikasikan di situs CERN. Boson Higgs berstatus sangat mungkin tampil, namun memerlukan lebih banyak pengolahan informasi dan diskusi untuk menginterpretasi triliunan butir data yang telah diperoleh dari kolisi proton di dalam LHC. Kolisi berenergi 7 TeV itu sebenarnya belum merupakan kapasitas penuh LHC. Target 14 TeV baru diperoleh beberapa tahun lagi. Namun sebenarnya, apa sih yang diributkan dari Boson Higgs?

Tepat 5 tahun lalu, 26 Desember 2006, blog ini membahas tentang partikel W+, W-, dan Z, yang menyebutkan Mekanisme Higgs. Mekanisme Higgs ini menarik, karena ia menjelaskan bagaimana materi dapat memiliki massa. Sebenarnya tidak ada alasan dalam Model Standar (Standard Model) yang menjelaskan bahwa partikel2, baik boson maupun fermion dapat memiliki massa. Untuk mengingatkan, boson adalah partikel yang mengikuti statistika Bose-Einstein, memikili spin bilangan bulat, dan membawa gaya-gaya interaksi, seperti elektromagnetika (foton), gaya nuklir lemah (W+, W-, Z), dan gaya nuklir kuat; sementara fermion, yang mengikuti statistika Fermi-Dirac, adalah partikel seperti kuark dan lepton yang membentuk materi, dengan spin bilangan pecah (±1/2, ±3/2, dll). Tapi kita bisa mengukur bahwa massa itu ada, dan bahwa setiap partikel elementer memiliki massa yang unik.

Menurut Model Standar, setiap jenis gaya atau boson terikat oleh sebuah simetri. Simetri ini menjaga hukum2 yang mengikat setiap gaya. Kerja simetri cukup sempurna untuk gaya yang tak melibatkan massa, seperti pada elektromagnetika dan gaya nuklir kuat. Prediksi interaksi gaya pada energi tinggi sangat berhasil dan hanya melibatkan mode yang ada di dunia nyata. Namun boson yang memiliki massa memiliki mode osilasi tambahan. Penerapan simetri pada boson semacam ini akan membuang osilasi tambahan pada boson2 ini, yaitu boson2 nuklir lemah. Tanpa hukum tambahan, boson lemah tak dapat mengikuti simetri Model Standar. Memaksakan simetri pada boson lemah menghasilkan partikel boson tak bermassa, yang tentu berbeda dengan realita.

Fermion, baik kuark atau lepton, dapat memiliki sifat spin kanan atau kiri. Namun fermion tangan kanan dapat dikonversi menjadi tangan kiri dan sebaliknya dengan interaksi yang sama. Namun eksperimen menunjukkan bahwa gaya lemah berlaku berbeda pada fermion tangan kiri daripada fermion tangan kanan. Lebih khusus, pada partikel dengan spin kiri, muatan lemah seolah menghilang. Pelanggaran simetri ini unik, tak terjadi pada interaksi lainnya. Jelas bahwa diperlukan hukum tambahan untuk membuat hukum2 dalam Model Standar tetap konsisten.

Kita akan menamakan muatan yang dibawa oleh energi nuklir lemah (dan boson lemah) ini sebagai muatan lemah; yang dapat diasosiasikan dengan hubungan muatan listrik dengan energi listrik (dan foton). Muatan lemah boleh saja muncul dan menghilang ke dalam ruang hampa, jika ruang hampa dianggap memiliki medan yang disebut Medan Higgs. Medan Higgs membangkitkan dan menyerap muatan lemah. Namun Medan Higgs tak disusun dari partikel, melainkan dari distribusi muatan lemah di seluruh semesta, yang akan menghasilkan atau menyerap muatan lemah di tempat2 dimana nilai medan tidak nol. Medan Higgs hanya berinteraksi dengan partikel yang memiliki muatan lemah, yaitu boson lemah, kuark, dan lepton. Interaksi dengan Medan Higgs menimbulkan perlambatan. Artinya ada kelembaman. Artinya ada massa. Mekanisme ini yang disebut dengan Mekanisme Higgs. Sebagai perbandingan, foton, yang tak berinteraksi dengan Medan Higgs, tak menerima perlambatan, sehingga tak memiliki massa, dan dapat melaju dengan kecepatan cahaya. Tentu saja :).

Ada sebuah ilustrasi menarik yang aku baca beberapa tahun yang lalu. Medan Higgs ini mirip khalayak di sebuah hall. Jika ada tokoh yang buat mereka tak menarik, mereka akan acuh, dan si tokoh kita dapat melewati hall dengan mudah. Namun jika seorang seleb masuk ke hall, khalayak akan mengerumuni sang seleb. Besar kerumunan akan tergantung tingkat popularitas (muatan) sang seleb. Sang seleb harus menggunakan energi lebih besar, dan waktu lebih lama, untuk bisa melewati hall. Kuark top tentu paling populer, sehingga massanya paling besar. Elektron memiliki popularitas kecil. Dan foton tidak populer sama sekali :). Ketidakpopuleran foton memungkinkannya berkelana amat jauh, sementara boson lemah seperti W+, W-, dan Z hanya memiliki jangkauan pendek, berat, dan lamban. Tanpa Higgs, foton sebenarnya mirip Z.

Pada level energi tinggi, atau secara kuantum pada jarak amat dekat, Mekanisme Higgs tak dapat terjadi; sehingga tak dapat dibedakan antara W+, W-, Z, atau foton. Terjadi simetri. Namun pada energi rendah, atau pada jarak yang lebih renggang, Mekanisme Higgs bekerja, meluruhkan simetri, dan boson menunjukkan diri sebagai W+, W-, Z, atau foton. Sebagai sebuah teori, ini sangat menarik dan elegant. Namun, secara eksperimen, Mekanisme Higgs belum terbukti. Dan ini yang diharapkan ditampilkan di LHC: sebuah Boson Higgs.

Boson Higgs adalah bentuk boson dari Medan Higgs. Ini agak mirip hubungan antara foton dengan medan magnet. Kita tahu foton berkait dengan medan magnet, namun kita tak harus mengamati tampilnya foton saat mengamati bekerjanya gaya magnet. Medan Higgs juga dapat bekerja tanpa pernah menampakkan Boson Higgs. Namun, seperti pada elektromagnet, jika kita memberikan usikan pada medan elektromagnet, cahaya (atau foton) dapat terpancar. Para periset ingin membuktikan adanya Medan Higgs dengan menunjukkan adanya Boson Higgs. Usikannya pada Medan Higgs itu dilakukan di LHC.

Boson Higgs diperkirakan memiliki energi (atau massa) tak terlalu besar. Ingat, ia justru tak berinteraksi pada energi tinggi. Diperkirakan massanya di bawah 800 GeV, atau jauh lebih kecil, pada orde 100 GeV. Walau kecil, tetapi ia tak mudah diamati, karena sebelumnya kita tak dapat memiliki piranti untuk mengamati interaksinya. Di LHC sendiri, Boson Higgs diharapkan berinteraksi dengan partikel2 bermassa besar, karena sifatnya yang mudah berinteraksi dengan massa. Namun LHC masih menggunakan partikel ringan, sehingga kemungkinan terdeteksinya Boson Higgs semakin kecil.

Syukur, masih ada beberapa alternatif yang diharapkan mampu menampilkan Boson Higgs. Salah satunya, tumbukan kuark, yang diharapkan dapat membentuk partikel berat, yang kemudian akan luruh sambil memancarkan Boson Higgs. Kemungkinan lain adalah jika kuark memancarkan boson lemah virtual, yang lalu bertumbuhan dan menghasilkan Boson Higgs. Kedua kemungkinan ini, di samping menghasilkan Boson Higgs, menghasilkan partikel lain yang mungkin dapat mengganggu pengamatan. Kemungkinan ketiga adalah jika gluon bertumbukan membentuk kuark top dan anti kuark top, yang dalam waktu singkat akan bertumbukan dan memancarkan Boson Higgs saja.

Kemungkinan semacam itu memang sangat kecil. Namun trilliunan tumbukan yang dilakkan di dalam LHC diharapkan dapat memberikan beberapa hasil eksperimen yang memadai.

Minggu lalu, CERN menyelenggarakan sebuah seminar yang menampilkan hasil-hasil riset di lab ATLAS dan CMS. Disampaikan bahwa riset telah cukup memadai untuk melakukan pencarian Boson Higgs, namun hasilnya belum dapat disebut konklusif. Andai Boson Higgs memang ada dan telah terdeteksi, kemungkinan besar ia memiliki rentang massa 116 – 130 GeV seperti yang tercatat di ATLAS, atau 115-127 GeV yang tercatat di CMS.

Namun masih akan banyak riset lanjutan dan alternatif model untuk memperbaiki Model Standar sebagai bagian dari pengenalan kita terhadap struktur alam, yang semuanya akan didalami dalam waktu-waktu berikutnya. Yuk kita ikuti dengan asik :)

[Credit: Gambar 1 dari situs CERN. Gambar 2 dari Lisa Randall.]

Carrier Ethernet World, Sentosa Island

Tori Bennett dan Ingerid Sorgaard kembali melakukan kontak di tengah tahun ini, memintaku hadir di awal Desember untuk meneruskan Cerita di Hong Kong tahun lalu. Masih bertajuk Carrier Ethernet World, kali ini konferensi mengambil tempat di Resort World Sentosa, Singapore. Aku fikir, di akhir tahun aku sudah agak leluasa; jadi aku sanggupi. Tapi November ini aku disibukkan banyak request di kantor, plus persiapan Indigo Fellowship 2011 dan Tencon 2011, plus lain-lain. Jadi mirip déjà vu suasana Hongkong tahun lalu :).

Aku melandas di pulau kecil ini di sore pertama di bulan Desember. Cuaca masih segar berhias rintik dan mendung terserak. Tak mempedulikan usulan penyelenggara konferensi, aku memilih menginap di Porcelain Hotel, di sekitar Chinatown. Aku memang usil: mencoba selalu mencari suasana berbeda setiap memilih hotel di Singapore. Kali ini aku tak salah pilih: hotelnya kecil tapi segar dan nyaman. Dan dengan MRT, aku hanya terpisah 10-15 menit dari Resort World Sentosa.

Konferensi ini membahas carrier ethernet, yaitu jaringan transport backbone, regional, dan akses yang menghantar informasi dalam bentuk paket berkecepatan tinggi. Di jaringan backbone, kita menggelar DWDM dengan tera routers; di regional kita mengembangkan metro ethernet sebagai aggregator yang terhubung via DWDM atau SDH; dan di akses kita mengoptimalkan GPON dengan berbagai skema FTTX evolusioner bersama dengan MSAN dan XDSL. Berbagai skema, arsitektur jaringan, dan optimasi perancangannya akan memerlukan kesalingterhubungan dan kesalingdukungan antar layer, yaitu network, service, dan aplikasi. Tema inilah yang aku paparkan dalam konferensi ini, yaitu Service-Optimised Broadband Internet Technologies.

Aku berpresentasi di hari kedua, tanggal 2 Desember jam 12:55, tepat sebelum lunch & networking time. Presentasi diawali dengan lingkungan umum Indonesia dan bagaimana publik Indonesia mengkonsumsi informasi. Lalu melompat ke pembangunan tera router dan metro ethernet oleh Telkom Indonesia, serta perencanaan jaringan akses broadband-nya. Dipaparkan juga network IPTV yang tengah digelar Telkom. Ke layer atas, dipaparkan bagaimana pengembangan network akan dikaitkan dengan service-service baru yang diharapkan ditumbuhkan melalui partnership, inkubasi, dan community-generated applications (Internet 2.0). Skemanya dapat melalui IMS, tetapi juga SDP yang lebih pragmatis untuk IT domain. Diharapkan dapat dibentuk model bisnis dan produk masa depan yang bersifat personalised, tetapi juga mudah ditumbuhkan, diintegrasikan dengan network, dan dipasarkan (alih-alih cuma digratiskan dengan mengharap advertising atau akuisisi). Di tengah para expert yang pasti jauh-jauh lebih paham mengenai pernak pernik perancangan network berskala besar, presentasi tidak dipaparkan seperti lecture, tetapi lebih seperti sharing yang mengharapkan masukan, dan sekaligus memicu ide bagi para manufacturer untuk mempertimbangkan produk yang akan lebih teroptimasi bagi konsumen yang gila memproduksi dan mengkonsumsi aplikasi dan informasi seperti di Indonesia.

Tahun ini, aku bukan satu-satunya speaker dari Indonesia. Pada hari yang sama, tampil juga Mr Ahmad Rosadi Djarkasih memaparkan Enabling of Cloud Services to the Enterprise. Dan sehari sebelumnya Ms Agnesia Candra Sulyani (a.k.a. Mrs Djarkasih) memaparkan Driving Profitability in Carrier Ethernet Services for Business.

Tak seperti tahun lalu, tahun ini aku menolak permintaan Ingerid untuk mengisi panel session. Tapi selama break session (a.k.a. networking session) aku berbincang cukup banyak dengan beberapa peserta konferensi, membahas hal2 yang buat mereka menarik dari presentasiku, dan sekaligus membahas peluang-peluang mereka buat masuk ke industri informatika Indonesia. Aku rasa networking ini lebih pas daripada panel yang sering jadi terlalu serius :).

Selesai konferensi, aku mengelana ke Somerset, mengunjungi toko buku favoritku: Harris Bookshop. Aku gak sengaja kenal toko buku unik ini. Dulu aku selalu mampir di HMV Orchard buat berburu CD musik yang gak ada di Jakarta. Tapi HMV pindah ke Somerset di tahun 2010. Dan di sebelah HMV, terletak Harris: toko buku yang segment-nya niche. Bahkan penggemar eBook macam aku, yang bisa masuk Borders dan Kinokuniya tanpa membeli satu buku pun (selain malah beli eBook lagi via Kindle), terpelanting juga dengan buku2 di Harris yang tampaknya belum akan bisa di-eBook-kan.

Hari berikutnya, sambil menunggu flight kembali ke Jakarta, aku rehat di Café Cartel Orchard, talk panjang dengan Jim Geovedi. Tapi yang ini gak di-share di blog ah.

Tencon 2011 di Sanur

Minggu2 ini, Indonesia bukan hanya menjadi tuan rumah ASEAN Summit dan SEA Games. Hanya dua hari setelah Barack Obama lepas landas dari Denpasar, IEEE Region 10 (Asia Pasifik) memulai konferensi official tahunan IEEE TENCON di Pantai Sanur, Bali. Proses persiapan konferensi ini memakan waktu beberapa tahun, dimulai dari pengajuan proposal dari IEEE Indonesia ke Region 10, bidding, recording di IEEE, lalu proses2 call for paper, paper review, event planning, dan event organising. Seluruh proses, terutama yang melibatkan paper dan hal2 akademis lainnya, melibatkan para akademisi senior di berbagai penjuru bumi. Organising dilakukan oleh IEEE Indonesia Section dan Universitas Indonesia. Dua chapter yang juga menjadi sponsor teknis adalah Comsoc Chapter dan MTT/AP Joint Chapter. Karena penyelenggaraan di Denpasar, Universitas Udayana mengerahkan pasukan volunteer untuk mendukung pelaksanaan konferensi. Ramai nian.

Aku sendiri melompat dari Jakarta ke Denpasar pada Ahad 20 November. Sisa lelah sepanjang minggu melelapkanku sepanjang penerbangan. Membuka mata, aku melihat lembah gunung Ijen (satu2nya tempat perkebunan Java coffee), Selat Bali, 10 menit pantai barat daya Bali yang cerah, jernih, landai, berpasir putih, berombak lembut, lalu Ngurah Rai airport. Siap mendarat, yess. Tapi gak jadi. Masih ada sisa ASEAN Summit: kami harus berputar mengelilingi Bali tenggara satu putaran sebelum mendarat. Plus satu putaran, satu lagi, dan satu lagi. Lalu perjalanan darat ke Pantai Sanur: Inna Bali Beach Hotel.

Berbeda dengan 2009, di tahun ini tampaknya aku tak bisa maksimal menikmati alam dan budaya Bali. Sebagai tech cosponsor mewakili Comsoc Indonesia, aku harus menyiapkan sesi tutorial dan sedikit membantu eksekusi event. Yang agak menganggu adalah bahwa beberapa speaker terhambat datang ke Bali, termasuk speaker pada sesi tutorial. Jadi banyak pekerjaan tambahan :)

Tutorial dilaksanakan Senin 21 November pk 10:00 tepat. Prof Dadang Gunawan membuka sesi ini, dan kemudian aku ambil alih dengan menyampaikan materi tentang Digital TV dan IPTV. Paparanku berfokus pada arsitektur network, standard, how-it-works, service dan content, hingga issue konvergensi. Cukup banyak, mengingat waktu tutorial yang cukup panjang. Namun lucunya hanya ada satu pertanyaan yang masuk: dari peserta asal New Zealand. Mungkin peserta lain enggan bertanya dalam bahasa Inggris, dan memilih mode telepati tanpa kabel. Sesi tutorial berikutnya diisi Pak Satrio Dharmanto dan Bu Agnes Irwanti, dengan penekanan pada migrasi TV ke DigitalTV.

TENCON 2011 sendiri dibuka resmi pada 22 November. Sebagai organising chair, Dr Wahidin Wahab dengan keceriaan dan semangatnya yang khas membuka konferensi pukul 9:00. Suasana cukup ceria, dengan iringan seekor anak kucing berwarna putih yang riang mengeong sepanjang acara. Plenary session diisi oleh empat keynote speaker, dengan dua dimoderasi Pak Arnold Djiwatampu (juga sebagai general chair), dan dua aku moderasi. Tampaknya aku cukup sukses jadi moderator, sampai satu peserta nekat naik panggung menghampiriku. Sayangnya peserta ini bukan dari kalangan akademis maupun industri, tapi seekor kucing kelabu. Plenary session yang miaow sungguh.

Tema dari para keynote speakers sangat menarik. Prof Nurul Sarkar membahas terobosan dalam strategi pendidikan engineering. Prof Ke Wu mengasyiki Substrate IC (SICs) yang diaplikasikan untuk elektronika dan fotonika masa depan berskala GHz dan THz. Prof Rinaldy Damini merinci skenario energi yang diambil berbagai negara setelah bencana Fukushima. Dan Prof Jong-Hwan Kim memaparkan dan mendemonstrasikan robot berdaya pikir. Lebih dari yang tersirat dari judulnya, setiap presentasi memberikan inspirasi tambahan yang menarik. Prof Ke Wu misalnya, dengan gambar2 menarik menjelaskan sejarah waveguide, dari metal, coax, hingga intrachip waveguide. Sementara Prof Kim yang juga disebut Bapak Sepakbola Robot menjelaskan dari level filosofis, bagaimana pikiran disusun dari info kontekstual, logika fuzzy, dan kecerdasan sosial.

Setelah sesi foto (ini kopdar loh), konferensi berpindah ke tujuh ruang, untuk mendiskusikan materi-materi yang spesifik. Aku stay di Ruang 5, yang mendalami soal arsitektur, trafik, dan aspek lain dari network. Di Ruang 5, puluhan paper dipaparkan dalam beberapa sesi dari hari Selasa hingga Kamis. Setiap presentasi dipaparkan dalam 20 menit, disusul tanya jawab. Materinya tak lagi soal filosofi atau arahanriset, melainkan rincian hasil2 riset. Pemaparnya adalah researcher, engineer, geek, jadi bisa dibayangkan cara berpresentasinya. Gue banget. Bebas dari polusi marketeer, socialita, dll, haha. Bahasanya Inggris dengan dialek Jepang, Korea, Cina, India, hingga New Zealand. Jelek kayak Bahasa Inggrisku deh :p. Syukur gak ada bahasa miaow lagi dalam diskusi.

Ada sesi makan malam, untuk networking, beramah tamah, dan menyaksikan sedikit bagian dari kekayaan budaya Bali. Ada acara jalan2 ke pantai menjelang tengah malam. Tapi sisanya adalah kontrol terus menerus atas kelancaran event.

Blog ini ditulis di satu sesi kopi, saat konferensi belum selesai. Mudah2an event ini sukses berat sampai akhir, menambah reputasi baik bagi Indonesia yang mampu lancar menyelenggarakan event akademis internasional hampir tanpa sponsor, menambah minat akademisi dan engineer Indonesia melakukan riset terfokus secara konsisten, mengubah Indonesia dari sekedar bangsa pencipta aplikasi amatir menjadi pengembang teknologi yang disegani.

BTW, Sanur asli keren :)

Surat dan Blog

Rapat anggaran minggu lalu di Bandung, rasanya mirip main anggar dua hari penuh. Rumah kehijauan di Bandung sempat disinggahi, tapi menjelang tengah malam, dan harus ditinggalkan lagi pagi2 sekali untuk main anggar lagi. Tapi dalam waktu sempit itu, aku sempat terpikir untuk mengambil satu document keeper berisi surat-surat Papap buat dibawa ke Jakarta. Surat-surat ini panjang-panjang, ditulis dalam waktu lebih dari 1 dekade. Tapi yang paling banyak adalah surat-surat dari Bangkok, waktu Papap sekolah 2 tahun di sana.

Papap memang rajin menulis.Tentu, di zaman orde baru, tentara tidak bebas menulis di media umum. Papap lebih banyak menulis soal teknologi dan strategi di jurnal-jurnal militer, plus paper-paper lain. Somehow kebiasaan semacam ini diwariskan.

Salah satu cara mewariskan kebiasaan ini adalah dengan menyuruh baca buku-buku. Salah satu buku fenomenal buat kami adalah Seandainya Mereka Bisa Bicara tulisan James Herriot. Ini dibelikan Papap buat kakakku sebenarnya. Tapi kami semua membacai dan mengulang baca buku ini. Tak seperti misalnya biografi kaum cerdas lain seperti Feynman yang melulu berisi kisah keberhasilan, atau Soe Hok Gie yang sengit menyerang sekitarnya, Herriot adalah profesional yang menghadapi keseharian hidup: keberhasilan yang manis, kegagalan yang memalukan, namun lebih sering datar. Namun Herriot dapat membuat tulisan yang menarik dari optimisme dan impressi yang diperoleh dari sekedar menatap awan dan padang rumput, menolong petani sederhana, menyendiri berkeliling Yorkshire di tengah malam, dll. Herriot mendorngku untuk mulai menulis hal-hal kecil, sambil mengajari untuk selalu optimis sekaligus realistis menatap dunia. Tahun 2010 lalu aku sempat ke rumah Herriot di Darrowby, dan sempat mengambil gambar catatan harian yang ditulisnya sejak masa sekolah.

Cara pewarisan kebiasaan menulis yang lebih efektif, tentu, dengan gaya Papap yang sering menulis surat panjang, elegan, serius, dan dengan demikian mendorong kami untuk membalas surat-suratnya dengan gaya yang setidaknya mulai mendekati gaya itu. Kami berempat mulai menulis surat panjang: diketik atau ditulis tangan, 1-3 halaman. Selesai cerita tentang pengalaman (yang tidak banyak untuk anak SMP masa itu), aku harus mengisi ruang dengan eksplorasi hal-hal lain, terutama ide-ide yang setengah jadi. Kami berempat memasukkan surat kami masing-masing ke sebuah amplop dan mengirimkannya ke Bangkok.

Kebiasaan menulis semacam itu membuatku mulai doyan menulis, biarpun ide yang dibayangkan belum jadi ide yang matang. Aku mulai punya catatan sendiri, yang diisi gabungan antara kejadian sehari-hari (yang tak banyak) dan kejadian di semesta (hahaha, lebay). Catatanku disusun dalam dua buku: Catatan harian, dan Surat untuk X. Tapi semua berakhir waktu aku mulai kuliah. Kuliah, seperti kantor, menguras sumberdaya waktu, memaksa kita belajar jadi profesional yang memiliki fokus, dll. Tapi keinginan menulis belum hilang. Aku mengakuisisi majalah Quad sebagai redaksi; menulis buku pelajaran komputer dengan pendahuluan yang selalu bergaya narasi; dan mulai mengirim tulisan ke Jawa Pos, Mikrodata, dll. Syukur mereka mau memuat tulisanku. Lalu datanglah Internet. Dan mail list. Dan personal web. Dan blog.

Tentu, buat aku, jadi blogger bukan keputusan atau pilihan. Itu terjadi secara alami. Aku doyan meracau dalam bentuk tertulis, dan aku menguasai apa pun yang bisa direpresentasikan dalam bentuk digital (sumpah, ini lebay). Bahkan sebelum ada CMS blog yang keren, aku membuat script buat blog-ku sendiri. Syukur, gak lama ada blogger.com; jadi aku bisa meninggalkan kegiatan scripting-ku, dan mulai menikmati proses menulisnya. Catatan pertama di blogku yang termigrasi ke blogger.com berisi rendez-vous dengan buku Herriot yang sudah mulai lusuh.

Blogku mulai teratur diisi waktu aku dalam masa pengasingan. Aku harus ikut program wajib di British Council beberapa bulan di akhir tahun 2000, tempat aku belum punya teman sama sekali, disusul kuliah di Coventry tahun sesudahnya. Di Coventry, aku mengakuisisi domain kun.co.ro. Dan sejarah berikutnya bisa dibaca di blog ini, haha. Sementara itu di Indonesia blogger-blogger berhimpun, membentuk komunitas-komunitas, dan menyusun event-event menarik.

Sebagai pecinta budaya digital, aku mulai doyan berkampanye buat blog, haha; termasuk memanfaatkan komunitas yang ada, mendorong komunitas baru, memanfaatkan organisasi dan company tempat kerja, dll. Mirip siram-siram lahan yang memendam banyak bibit, dan pura-pura kaget menyaksikan bunga beraneka warna tumbuh di atasnya. Kepercayaan dunia usaha akan nilai bisnis blog mulai dibangkitkan. Salah satu pelopornya a.l. Asia Blogging Network, yang mendorong memberikan value blog pada kualitas tulisan, bukan pada urusan jumlah klik. Masyarakat non-digital juga dikenalkan ke budaya digital melalui blogging, yang berawal dari teks, foto, lalu ke gaya hidup seperti kolaborasi pendidikan atau produksi secara online, promosi produk personal atau SME secara online, advokasi secara online, dll. Perhatian juga terarah pada content digital secara lebih luas. Dan aplikasi digital. Hmm, malah balik ke profesi asliku, haha. Berkembang, tapi moga bukan seperti gelembung kosong.

Blog sendiri, sebagai blog, ke mana dia? Mungkin ke masa saat keasikan menulis blog belum dinamai passion, saat obrolan para blogger belum dinamai komunitas, saat kicau bebas belum dinamai socmed. Saat itu blog boleh lepas dari sarang eksklusivitas barunya, dan kembali memberikan pencerahan dan optimisme buat dunia.

Selamat Hari Blogger :)

Kuliah Hari IEEE

Sejak tahun lalu, IEEE merayakan Hari IEEE. Iseng memang, kayak kekurangan hari :). Hari IEEE diharapkan dirayakan para anggota, tetap dengan gaya IEEE. Boleh melakukan kuliah umum, seminar, pertemuan teknis, atau pertemuan anggota, dan dianjurkan melibatkan publik. Dan soal melibatkan publik, tentu tujuannya bukan untuk membuka mata publik, melainkan justru untuk membuka mata para geek anggota IEEE mengenai pandangan publik.

Tahun ini, Hari IEEE jatuh pada 6 Oktober. Maka dalam beberapa hari, kami merancang dan mempersiapkan sebuah event. Tak perlu lama. Tak perlu perencanaan panjang untuk event kecil, dan tak boleh perencanaan mentah untuk event besar :). Atas usulan rekan-rekan di Indonesia Section, event bertemakan update atas teknologi LTE. Aku memberi judul IEEE Day Lectures on LTE Development. Pendukungnya, Indonesia Section, Indonesia Comsoc Chapter, UI Student Branch, dan ITT Student Branch.

Kami beruntung memperoleh izin melakukan kegiatan di @America. @America adalah ruang publik yang dimiliki Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta, bertempat di Pacific Place Lantai 3. Sejak berdirinya, @America sering dan secara rutin melakukan atau mendukung kegiatan sosial dan budaya di ruangnya yang bergaya modern dan kental dengan nuansa hitech. Kegiatan semacam TEDx, Fresh, Akademi Berbagi dll rutin dilakukan di sini. OK juga kalau sesekali para geek IEEE berhimpun juga di sini.

Undangan disebar secara online melalui jejaring sosial, media komunikasi IEEE, dan jaringan kampus-kampus. Mungkin karena agak mendadak, tak banyak rekan dari luar Jakarta yang dapat hadir; termasuk Section Chair :).

Seperti yang sering diulas di blog ini, beberapa tahun terakhir ini Comsoc Chapter telah menyelenggarakan serial kuliah, seminar, dan pertemuan teknis untuk membahas berbagai aspek Jaringan Mobile 4G. Sejak tahun lalu, beberapa penyelenggara network telah menggelar uji kaji jaringan LTE dan WiMAX sebagai pendahulu 4G. Maka kuliah umum Hari IEEE ini ditujukan untuk memberikan update tentang hasil trial, implementasi, dan implikasi rencana 4G, khususnya di Indonesia. Ini juga akan jadi pembuka untuk serial seminar berikutnya yang akan berfokus pada berbagai aspek 4G secara terpisah: cognitive radio, context-aware apps platform, broadcast, dll.

Tanggal 6 sore, cuaca Jakarta cukup cerah. Kami mengisi energi sebentar, bersama tim ITT Student Branch, di resto Ta Wan di Pacific Place Lt 5. Saat langit menggelap, kami turun ke @America, dan menerima briefing sebentar dari Mbak Lulu, yang betul2 meluangkan waktu dan resource lainnya buat mensukseskan kegiatan ini. Pukul 19:00, event dimulai dengan pembukaan oleh Adeline dari @America, lalu acara dikendalikan MC Satrio Dharmanto dari IEEE Indonesia Section.

Speaker dalam kuliah umum ini:

  1. Kuncoro Wastuwibowo, Introduction to IEEE, and 4G Mobile Technology
  2. Anto Sihombing, Digital Video Broadcast over LTE Network
  3. Hazim Ahmadi, Lesson Learnt from LTE Trial in Indonesia
  4. Arief Hamdani Gunawan, Regulatory and Industry Aspects of LTE

Kali ini memang aku tak banyak aktif memberikan kuliah, karena banyak materi yang lebih menarik dapat disampaikan rekan-rekan; terutama Anto dan Hazim yang mulai aktif atau aktif kembali mengisi forum-forum internasional. Aku sekedar membuka mewakili IEEE :). Tapi ada yang membuatku mendadak tercekat. Waktu aku menyebut motto IEEE “Advancing Technology for Humanity” — pengembangan teknologi demi harkat kemanusiaan, mendadak tersergap kesedihan akan meninggalnya Steve Jobs pagi harinya (WIB). Ya, Steve memang tokoh luar biasa, yang secara komprehensif (bisnis, seni, teknologi) telah memparipurnakan hidupnya buat pengembangan teknologi yang meningkatkan nilai hidup manusia. Memang baru masyarakat urban, barangkali. Tapi itu tugas kita untuk terus menerus meningkatkan harkat kemanusiaan secara universal melalui teknologi.

Jumlah peserta kuliah Hari IEEE ini mencapai 50 orang. Peserta berasal dari universitas (UI Jakarta, ITT Bandung, UGM Yogya, dan beberapa kampus lain), operator (Telkom, Telkomsel, dan XL Axiata), pemerintah (Depkominfo), konsultan, dari IEEE sendiri, dan dari kalangan lain yang meminati teknologi mobile. Dari IEEE tampak Pak Arnold Djiwatampu yang juga Past Chair dari Indonesia Section, dan Mr . Arifin Nugroho yang juga chair dari COMNETSAT.

Terima kasih, @America, volunteer IEEE, para mahasiswa, para peserta, dan para speaker, yang membuat Indonesia dapat menyelenggarakan Hari IEEE dengan sukses! Advancing technology for humanity!

Melawan Para Moron

Bully. Atau kepongahan lain. Semuanya bodoh. Dan amat tak masuk akal untuk menyerah pada kebodohan.

Kampusku dulu bukan satu yang paling terkenal se-Indonesia. Tapi para seniorku noraknya bukan main menerima adik2 angkatannya. Padahal aku sudah terbiasa menilai kecerdasan orang a.l. dari gaya berkomunikasinya. Ternyata aku gak salah. Sekian waktu kemudian, aku lihat bahwa para panitia opspek pada masa itu, tanpa kecuali, adalah kumpulan mahasiswa paling bodoh di kampus kami. Dalam encounter satu lawan satu, misalnya di warung makan, beberapa senior malah menunduk kalau aku tatap tajam tanpa berkedip. Ah, mereka cuma pengecut yang hanya berani berkelompok. Kebayang nggak sih: dari zaman itu pun aku sudah termasuk mahasiwa paling kecil mungil di kampus.

Aku pikir para moron itu sudah aku tinggalkan di sejarah kampus. Tapi cukup gila bahwa di tempat kerjaku pun ada beberapa makhluk penindas semacam itu. Waktu aku masuk ke bidang network dulu, sebagian besar perangkat sentral adalah buatan Siemens. Semua sentral di Bandung itu Siemens, kecuali satu sentral baru dari Lucent. Aku merasa agak aneh bahwa beberapa rekan senior tampak berkeberatan masuk ke ruang kontrol Siemens, dengan berbagai alasan. Aku pikir alasannya murni keamanan. Tapi halangan serupa tak tampak di sentral Lucent, yang awaknya lebih acuh. Baru dua tiga tahun berikutnya seorang senior mengakui bahwa dia memang menyuruh teman2nya mengurangi akses aku ke kontrol Siemens, khawatir ada personal opportunity yang bisa aku ambil buat melejit meninggalkan mereka. Konyol. (Si senior ini beberapa tahun kemudian makin gak betah kerja di Telkom; mengambil pensiun dini dengan uang saku sangat besar, dan pindah ke Bakrie). Sementara aku di sentral Lucent melakukan inovasi untuk meniru analisis2 yang dilakukan di Siemens. Sentral Lucent masih jarang dan kecil2. Jadi program2ku diminta rekan2 pengendali sentral Lucent di Batam, Medan, Surabaya, dll. Aku serahkan program lengkap dengan source code. Source code ini dikembangkan bersama-sama jadi sistem analisis yang lebih lengkap. Lumayan juga, aku jadi bisa jalan-jalan keliling Indonesia, ke hampir seluruh tempat yang punya sentral Lucent. Dibandingan program analisis milik Siemens yang besar, lambat, rumit, sulit dimodifikasi, plus mahal; program-program kami lebih ringan, lincah, dan customizable. Langkah berikutnya, menyusun program analisis lengkap seluruh sentral. Kali ini mudah, karena pintu-pintu yang tadinya tertutup terpaksa mulai dibuka. Program-program ini akhirnya memungkinkan aku memperoleh Penghargaan Prestasi dari Menteri Perhubungan. Haha, waktu itu secara teknis Telkom masih diasuh Menhub.

Inti ceritanya, ditindas bukan berarti harus jadi lebay. Jelas kaum penindas hanyalah sekelompok orang bodoh yang memiliki ketakutan pada kita orang2 cerdas. Dan tentu, orang cerdas harus menggunakan cara cerdas untuk menyelesaikan masalah secara elegan.

Kindle, Lumiread, iBook

Di Jakarta, di Bandung, rumah hanya dipenuhi rak2 buku. Kesannya penghuninya fanatik sekali pada media ilmu itu. Buku, bukan saja mentransfer informasi antar ruang, antar budaya, tapi juga antar waktu. Tapi justru sebagai pecinta buku yang akut, aku mulai menyadari banyak yang harus diubah dari budaya buku.

Buku berkualitas terbaik pun akan mulai pudar dan rusak — khususnya jika sering dibaca dan disimak dengan serius, dibawa ke mana2, atau dicoret-coreti. Sementara itu, tumpukan buku menimbulkan perasaan lain: perasaan bersalah ke lingkungan bahwa banyak pohon yang harus ditebangi untuk memenuhi kehausan ilmu. Perasaan yang dulu terasa fantastik saat mencium harum kertas kini dibarengi perasaan bersalah bahwa pohon tempat kayu yang harum itu berasal, kini telah hancur ditebang. Keasikan membalik2 kertas digantikan oleh dorongan ala geek bahwa waktu yang singkat bisa digunakan untuk membaca lebih cepat, lebih banyak. Dan pameran buku, dimana lebih dari 70% buku2nya benar2 tak berkualitas, sungguh jadi tontonan yang menyakitkan buat pecinta lingkungan.

Mungkin para pecinta buku harus mulai mengubah gaya hidup. Membuang keengganan memegang e-book (gadget atau apps), dan mulai mengasikinya dengan niat untuk memelihara kehidupan di bumi, dan menggali ilmu lebih cepat dan luas.

Sebagai pecinta buku, aku sempat tak berminat menggantikan buku dengan gadget centil semacam iPad. Kalaupun buku harus dielektronikkan, ia harus digantikan oleh buku elektronik. Jadi, tahun lalu, aku mengadopsi sebuah Amazon Kindle. Kindle ini dibeli di Kaskus, tetapi covernya harus beli di UK. Dibawain Mas Yanuar Nugroho, wkwk. Tanpa cover, Kindle memang terasa mirip gadget. Tapi begitu dipasangi cover, dia berubah jadi buku. Aku bisa mengasyikinya seperti mengasyiki buku kertas, dengan klik di tempat di mana halaman buku seharusnya dibalik. Lengkap dengan makian kalau lampu mendadak mati :). Kindle ini menggunakan e-ink yang ramah lingkungan. Ia hampir tak menggunakan daya, selain untuk mengubah tampilan halaman, serta untuk transfer informasi via WiFi. Gak lama, aku mengisi buku ini dengan content yang aku beli (berbayar dan gratis) dari Amazon, dari O’Reilly, dan dari tempat2 lain. Format AZW dengan DRM dari Amazon, format MOBI tanpa DRM dari O’Reilly. Dari IEEE, masih format PDF yang belum nyaman dibaca dengan Kindle.

Apa yang menarik dari Kindle? Begitu memegangnya, kita lupa bahwa ia adalah tablet mini dengan platform komputasi Fiona dengan layar selebar 6 inci. Yang kita tahu, ini adalah buku. Bahkan, di pesawat terbang, saat pramugari sudah tegas menyuruh mematikan seluruh perangkat elektronik, aku sering lupa menutup Kindle. Rasanya dia benar2 buku. Pramugari pun tak pernah menegur. Tapi ia bukan cuma buku. Ia gudang buku. Memulai perjalanan dengan baca Herriot, kita bisa ingat gaya candaan Larry Wall, dan bisa pindah ke buku Perl, lalu meneruskan baca2 soal coding, mobile coding, lalu 4G mobile technology, lalu ke jurnal2 Comsoc yang mutakhir. Semua dilakukan saat itu, tanpa harus kesal meninggalkan buku yang mendadak kita mau baca di situ juga. Dan sambil senyum melihat hutan di bawah sana, yang mudah2an tak kencang lagi ditebang.

Kindle juga memungkinkan kita membeli buku langsung ke Amazon. Buku yang baru diterbitkan, selama ada versi Kindlenya, dapat langsung kita beli, kita unduh, dan kita baca. Tak lagi kita harus tunggu 2 minggu untuk menerima buku terbaru. Dan kenapa hanya buku? Majalah2 seperti Time, Fortune, Reader Digest, Science News, dapat kita langgani di Kindle, dan langsung dikirimkan otomatis ke dalam buku kesayangan itu bahkan sebelum versi kertasnya masuk ke rak-rak di toko-toko di US. Kindle punya aku memang tak memiliki koneksi mobile. Ia hanya punya WiFi yang sederhana. Syukur iPhone-ku punya kemampuan tethering: ia jadi WiFi access point, menjadi jembatan mini antara trafik WiFi ke Kinde dengan trafik 3G Mobile ke Telkomsel. Atau Singtel, Celcom, Softbank, dll di berbagai negara.

Tentu, saat ini memang belum semua buku diterbitkan dalam versi e-Book. Infiltrasi budaya digital pun memerlukan waktu. Juga, Kindle mirip buku: tak bisa dibaca di mobil tanpa cahaya matahari, atau di rumah saat PLN berkhianat. Dan Kindle 7″ juga agak bikin pusing dipakai membaca buku yang memiliki format cetak kaku, seperti jurnal IEEE versi PDF dengan format dua kolomnya. Kadang Kindle harus menyerah. Tak heran bahwa di tasku kadang masih ditemukan jurnal2 IEEE.

Lalu datanglah Cherico. Ini nama samaran untuk Acer Iconia Tab yang dititipkan Acer buatku. Tablet bersistem Android Honeycomb berlayar 10″ ini mula2 hanya aku pakai buat test Angry Birds. Ternyata OK juga. Jadi aku instal dengan aplikasi yang pasti diinstal oleh semua pecinta buku: Book Reader. Pertama, Kindle apps. Kebetulan Android Market masih melarang warga Indonesia yang cinta damai untuk mengunduh Kindle apps. Terpaksa aku download dari ruang lain. Amazon memperkenankan kita meregistrasikan beberapa perangkat ke dalam satu account kita. Jadi, aku cukup meregistrasikan kembali Kindle apps ini, dan segera ratusan buku yang sudah kubeli di Amazon diunduh kembali ke Cherico. Sekarang aku bisa baca dalam kegelapan, di trafik malam Jakarta. Thanks, Acer :). Aku langsung menambah berlangganan National Geographic di Amazon. Dengan ketajaman layar Iconia, majalah ini tampil prima. Tentu tampilan semacam ini tak dapat dilihat di Kindle kesayanganku.

Cuman, Cherico ini masih berasa tablet, berasa gadget, bukan berasa buku. Tak terlalu mengganggu sih, karena aku sudah beradaptasi jadi pembaca ebook. Tapi kadang, di tengah asyik membaca buku, ada notifikasi kecil di bawah layar: someone mentioned you on Twitter, someone sent you a mail, someone talked to you on Gtalk, dst. Ganggu orang baca aja :).

Kindle apps for Android hanya bisa digunakan membaca buku2 dan majalah dari Amazon. Tak bisa membaca MOBI atau PDF dari third parties. Jadi aku sibuk memilih aplikasi lain buat baca buku dari O’Reilly dan jurnal2 IEEE, serta buku2 non Amazon lainnya. Akhirnya aku pilih LumiRead. Ini apps yang tidak rumit, tapi nyaman digunakan, dan dapat menampilkan buku2 dalam format PDF secara jernih dan tajam. Sekarang aku tak lagi harus bawa jurnal2 IEEE dan jurnal2 lainnya. Aku bisa baca di Cherico. Buku2 o’Reilly aku unduh ulang dalam format PDF, dan dimasukkan ke LumiRead juga.

Selain di Cherico Android, Kindle apps juga aku pasang di Mac Blue. Tapi memang versi yang ini amat jarang diakses. Seharusnya ini aku pakai untuk baca2 di tengah rapat yang membosankan, sambil pura2 sibuk ini itu di komputer. Tapi dalam praktek, aku memang sering harus sibuk ini itu di komputer, selama rapat yang selalu membosankan itu. So, ia jadi aplikasi yang duduk tenang dan manis saja di Mac Blue.

Alternatif lain, saat kita sedang berpisah dengan seluruh komputer, tablet, dan gadget, adalah iBook di iPhone. Memang iPhone-ku belum jailbroken; dan Kindle apps for iPhone juga belum bisa dibeli. Jadi aku hanya pakai iBook, dan diisi buku2 O’Reilly  dalam format EPUB. Tapi bukan hanya itu. Beberapa buku PDF dan buku2 lain juga aku re-edit dengan Pages di Mac Blue, lalu aku ekspor ke EPUB, dan dimasukkan ke iBook. Memang tak terlalu nyaman membaca di layar smartphone. Kesannya kita kayak lagi sibuk baca SMS atau tweeting. Padahal memang tweeting, ssst. Tapi, dalam keadaan tertentu, ini jadi alternatif yang menarik juga.

Dan buku kertas … yang masih ada kadang2 dibawa2 juga sih. Tapi aku sudah amat jauh mengurangi buku2 kertas yang baru. Dan aku masih bisa mengaku jadi pecinta buku. Bukan karena punya banyak buku di rak, tapi karena bisa bawa dan baca buku2ku di mana saja.

Kayak apa sih dunia, kalau buku tak pernah diciptakan?