Boim dan Kupfer

“Tuhan, seperti apa pun, akan berada di luar pemahaman kita. Kita harus mengakui bahwa konsepsi akan Tuhan lahir dari pikiran kita,” John Tomlinson berkisah. “Tokoh seperti Wotan disembah sebagai dewa oleh jutaan orang selama ratusan tahun. Tapi akhirnya orang tak lagi memikirkan dia, dan dia jadi tidak ada. Kisah-kisah lama ini dikemas Wagner seorang diri menjadi sebuah mitos yang baru. Wotan, dewa adikuasa, memiliki kewenangan mengatur hukum yang mengendalikan semesta. Tapi ia pun tak boleh melanggar hukum-hukum itu. Saat akhirnya tak bisa lagi berkelit dari berbagai kekusutan itu, runtuhlah seluruh kekuasaan dewa-dewa.”

Wagner sendiri menulis tetralogi Der Ring ini dalam status buron saat pemberontakan anarkisnya bersama Bakunin ditumpas di abad ke-19 lalu. Tampak jelas baginya bahwa kekuasaan lama memang sudah seharusnya tumbang. Tapi kekuasaan silih berganti dengan pembenarannya masing-masing: kerajaan, demokrasi, republik, komunisme, kapitalisme, membentuk rasionalisasi atas tata masyarakat yang sesungguhnya selalu hanya transien. Maka setiap saat kisah keruntuhan dewa ini diinterpretasikan kembali, dan opera Wagner selalu memperoleh nyawa baru.

Nyawa baru dengan kata-kata yang sama? Mungkinkah?

Pun dalam kurun waktu yang seberapa jauh, itu dimungkinkan. Beberapa tahun, aku mendengarkan (dan menonton versi digital dari) Der Ring versi Boulez. Ini dimainkan di Bayreuth tahun 1970-an, dan videonya diterbitkan di awal 1980-an. Versi CD-nya, yang terbit di awal 1990-an seolah menjadi standar masa itu. Padahal di awal 1990-an itu, Bayreuth tentu saja tak lagi memainkan versi Boulez. Tokoh kontroversial Daniel Barenboim memimpin orkestrasi Der Ring masa itu.

Aku pernah menulis tentang Barenboim di tahun 2005 [URL]. Tokoh ini adalah sahabat dari filsuf Edward Said [URL]. Edward Said, dengan nama campuran Inggris-Arab, adalah warga Palestina, beragama Kristen Anglikan, dan menjadi profesor di Columbia Univ. Hal2 seperti ini menjadikannya bukan saja minoritas, tetapi selalu menjadi orang asing. Daniel tak jauh berbeda. Ia keturunan Yahudi, sekian lama memimpin orkestra di Jerman (bahkan di Bayreuth), memainkan karya Wagner (yang sering dicap sebagai rasis dan anti-yahudi); namun malah memilih memainkan Wagner di Tel Aviv, yang langsung menimbulkan ledakan protes dari parlemen dan kemudian presiden Israel (presiden Katsav Balav yang kini jadi narapidana itu). Daniel & Edward memiliki pemahaman amat berbeda mengenai asal konflik Palestina-Israel, namun memilih menjadi sahabat, dan sering memperbincangkan solusi terbaik bagi konflik bangsa mereka.

Der Ring versi Barenboim baru aku dapat dari kunjungan di Hongkong akhir tahun lalu. Agak ragu untuk menambah koleksi Wagner. Tapi aku belum punya versi lengkap dari Der Ring yang dimainkan dalam satu musim (i.e. satu sesi interpretasi). Jadi set yang tak terlalu mahal ini aku ambil. Dan, ternyata, aku serasa punya satu set rekaman opera yang benar-benar baru.

Musik dipimpin oleh Barenboim, dan teater disutradarai oleh Harry Kupfer. Seperti Tomlinson bilang, hampir semua pemain yang direkrut adalah pemain yang baru pertama kali memainkan peran ini. Tomlinson pertama kali memainkan Wotan; Siegfried Jerusalem pertama kali memainkan Siegfried, dll. Dan Kupfer mengatur mereka dengan gaya yang membuat cerita itu terasa berbeda dengan versi pendahulunya.

Siegmund, yang dalam cerita memang digambarkan sebagai pemberontak yang terdampar, yang dalam permainan misalnya Placido Domingo digambarkan benar2 lemah dan romantis, kini dimainkan sebagai pemberontak yang keras, dengan tekad dan perlawanan yang tetap keras (namun tetap tak dapat melawan karena tak memiliki senjata). Saat Wotan harus mengkhianati Siegmund, dia mematahkan pedangnya, tapi lalu memeluk Siegmund, dan membiarkan Hunding menusuk Siegmund. Siegmund mati dalam pelukan Wotan. Cara Boulez menggambarkan Siegfried membuat pedang Notung di tahun 1976 memang fantastis, dengan tungku besar berbunga api. Versi Kupfer tak menampilkan tungku seheboh itu. Namun pedangnya benar-benar dileburkan dan dibentuk kembali di atas pentas. Brünnhilde yang di versi Boulez membuat akhir kisah Götterdämmerung agak membosankan, oleh Kupfer disentuh menjadi sangat aktif dan emosional agar kita tak sempat bosan.

Dan kalau Boulez menggambarkan kutukan Brünnhilde membuat kahyangan (OK, Valhalla) turut menyala terbakar api merah, maka Kupfer merasa bahwa dewa-dewa perlu dihukum lebih kejam dari itu. Cincin dibawa peri Rhein kembali ke sungai; mereka menari riang sampai ke ufuk, lalu menghilang. Lalu manusia seperti kita mengisi panggung, dengan aneka rupa: dari yang bergaya pesta resmi, sampai bergaya rumahan; tapi mereka tak peduli dengan urusan dewa, peri, cincin, dan semacamnya. Mereka acuh menonton TV. Tetap dengan nada gemuruh runtuhnya Valhalla. Acuh. Hanya seorang anak perempuan menatap langit. Lalu seorang anak lelaki dengan jas menghampirinya, menggenggam tangannya, lalu membimbingnya menggunakan lampu senter kecil pergi menjauhi kerumunan massa yang hanya peduli TV itu. Dan Alberich, si licik pencari kuasa, hanya bisa kecewa, dengan muka jeleknya, di sudut pentas.

Tomlinson bilang, ini seperti nubuwat untuk awal abad ke-21. TV mungkin memang tak terlalu laku lagi. Orang abad ke-21 berkicau dengan Twitter. Tapi si licik pencari kuasa masih ada, dengan bodohnya mencoba menggaruk kekayaan dan kekuasaan seolah kita masih hidup di abad pertengahan. Moga nubuwat Kupfer benar: si licik Alberichal hanya akan kecewa di atas kepunahan keluarganya, dengan nafas tetap bau lumpur.

Internetworking Indonesia Vol 2 No 2

Di ujung tahun 2010 ini, telah terbit Internetworking Indonesia Journal, Vol 2 No 2 (Fall/Winter 2010). Jurnal kali ini berisi paper-paper dengan tema bebas, yang ditulis baik dari kalangan researcher maupun mahasiswa pascasarjana, baik dari Indonesia maupun luar negeri. Pun kali ini, sebagian paper menggunakan Bahasa Indonesia, dan sebagian lain menggunakan Bahasa Inggris. Memang salah satu tujuan jurnal ini adalah untuk meningkatkan kemampuan menulis paper ilmiah dan teknis dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia.

Paper-paper dalam edisi ini:

  • Editors’ Introduction, by Thomas Hardjono, Budi Rahardjo and Kuncoro Wastuwibowo (PDF)
  • The Effect of IPv6 Packet Size on the Implementation of CRC Extension Header, by Supriyanto, Iznan H. Hasbullah, & Rahmat Budiarto (PDF)
  • A Modified Weighted Clustering Algorithm for Stable Clustering using Mobility Prediction Scheme, by S. Muthuramalingam, R. Viveka, B. Steffi Diana & R. Rajaram (PDF)
  • Mengamankan Single Identity Number (SIN) Menggunakan QR Code dan Sidik Jari, by Fridh Zurriyadi Ridwan, Hariyo Santoso & Wiseto Agung (PDF)
  • EnsoTracker: Mouse Controller Device using Head Movement, by Gunawan, Tri Kurniawan Wijaya, Indra Maryati & Edwin Seno Dwihapsoro (PDF)
  • UTAUT Model for Understanding Learning Management System, by I Gusti Nyoman Sedana & St. Wisnu Wijaya (PDF)
  • Star Schema Design for Concept Hierarchy in Attribute Oriented Induction, by Spits Warnars (PDF)

Edisi lengkap dapat diperoleh pada link berikut: Download Edisi Lengkap IIJ Vol 2 No 2

Terima kasih kepada para peneliti dan akademisi yang telah meluangkan berbagai sumberdaya untuk dapat menyumbangkan paper-paper di atas, juga kepada para reviewer yang menyumbangkan keahlian mereka untuk melakukan revisi dan editing pada paper.

Edisi IIJ berikutnya akan terbit pada tahun 2011, dengan fokus pada aspek sosial pada Internet di Indonesia. Mereka yang menjadi peneliti, pelaku, aktivis, pengamat, pada dinamika media dan jejaring sosial digital di Indonesia mungkin akan tertarik untuk menyumbangkan paper. CFP akan segera disampaikan oleh Guest Editor edisi berikutnya: Prof Merlyna Lim dan Dr Yanuar Nugroho.

Indigo Fellows

Tak seperti tahun lalu, sebenarnya tahun ini aku tak terlalu terlibat dalam deretan kegiatan Indigo Awards: Indigo Fellows, Indigo Fellowship, Tesca, Indigo Music Awards, dll. Tapi seorang rekan mengambil cuti untuk ibadah haji, dan aku diminta menggantikan dalam tim pengelolaan Indigo Fellows.

Indigo Fellows adalah program untuk mengangkat para teladan (inspiring person) dalam bidang pengembangan industri kreatif digital nasional. Tujuannya adalah untuk lebih menginspirasi dan memotivasi perkembangan kreativitas digital. Program ini dikerjakan bersama oleh Telkom Group dan berkala Warta Ekonomi. Waktu aku bergabung dengan tim, pekerjaan2 besar telah diselesaikan. Tim juri telah terbentuk (mula-mula diketuai Bp Mario Alisjahbana, tetapi beliau mengundurkan diri dan digantikan Bp Richard Mengko). Para peserta juga telah memasukkan proposal-proposal.

Di dalam tim, aku bertugas memeriksai proposal para kandidat Indigo Fellows. Ini tugas menarik. Klaim-klaim yang dituliskan di dalam proposal2 harus diperiksai: benarkah sang tokoh memiliki peran dalam proyek yang disebutkan, benarkah produk yang pernah dikembangkannya seberhasil yang dituliskannya, seberapa jauh keterlibatannya dalam komunitas mampu menginspirasi komunitas di sekelilingnya untuk lebih luas menciptakan dan mengembankan karya kreatif yang inovatif. Memang kata kuncinya adalah inspirasi :), karena tujuannya adalah mempercepat pengembangan industry kreatif melampaui bisnis atu bidang tugas yang digeluti saat ini. Proposal-proposal ditandai, lalu kami menemani Dewan Juri yang bertugas menilai setiap individu.

Sebagai panitia, kami tentu tidak ikut memberikan nilai, apalagi memutuskan ranking peserta :). Kami hanya memberikan saran atau masukan, jika dibutuhkan. Dewan Juri sudah amat memahami peta industri kreatif dan komunitas digital di Indonesia. Justru dari mereka, kami banyak belajar mengenai strategi penumbuhan komunitas2 kreatif.

Sidang untuk memilih finalis dilakukan di Purwakarta. Setelah itu, para finalis (yang jumlahnya hanya sekitar 3 orang per kategori) diundang ke Hotel Sahid di Jakarta untuk melakukan presentasi dan wawancara di depan Dewan Juri. Dan sekali lagi aku banyak belajar hal menarik dari interaksi antara para kandidat (i.e. para tokoh yang inspirational) dengan dewan juri. Plus perbincangan di kala rehat. Aku bayangkan, di tahap ini tugas Dewan Juri akan sangat berat. Yang dinilai benar2 tokoh berkaliber internasional :). Sidang internal Dewan Juri di tahap ini jadi cukup seru. Tak ada tokoh yang terangkat atau terturunkan dengan mudah.

Setelah sidang marathon 2 hari penuh, Dewan Juri memutuskan nama-nama Indigo Fellows 2010 sbb:

  • Tokoh Digital Creator: Oskar Riandi
  • Tokoh Digitalpreneur: Adi Sasongko
  • Tokoh Digital Academic: Dimitri Mahayana
  • Tokoh Digital Creative Promoter: Itoc Tochija
  • Tokoh Digital Community Fellow: Hari Sungkari
  • Special mention for Young Inspiring Creator: Adi Panuntun

Penganugerahan gelar Indigo Fellows dilakukan bersamaan dengan maklumat pemenang Indigo Fellowship dan Indigo Music Awards di Jakarta Convention Centre tanggal 8 Desember 2010.

Tugas menarik berikutnya barangkali justru di Indigo Fellowship. Berbeda dengan Indigo Fellows, Indigo Fellowship justru mengangkat insan kreatif Indonesia yang masih dalam tahap pengembangan kreasi maupun bisnis digital mereka. Para pemenang akan memperoleh pembinaan dan dukungan untuk mengembangkan kreasi mereka, agar dapat menjadi entrepreneur yang dapat lebih meningkatkan skala bisnis kreatif digital di Indonesia.

Carrier Ethernet World di Hongkong

“Siap-siap ke Hongkong ya!”
“Mendadak amat?”

Tapi mana ada sih akhir2 ini tugas yang nggak mendadak? Maka, di tengah kesibukan urusan akhir tahun (IPTV content, SDP service prototype, Indigo Fellows & Indigo Awards, main web reconfiguration, etc), aku menyempatkan mengumpulkan bahan, arrange tiket dan akomodasi. Sayangnya, karena waktu yang sempit (<72 jam), Garuda Indonesia menolak menjual tiket online. Akhirnya cari alternatif: Cathay Pacific. Tak seperti traveling lainnya, aku tak menyempatkan diri baca Google atau Wikitravel. Sempat sih, dikonversi Wikitravel itu ke PDF, disimpan di PDF, dibaca di Kindle di pesawat di antara awan di atas sana (biar di-nya banyak, dan tampak beda antara di sebagai pembentuk kata kerja dengan di sebagai kata sambung).  Mungkin detailnya aku ceritakan di TRAVGEEK.NET saja, biar blog yang itu punya content juga.

Acara di Hongkong ini berjudul Carrier Ethernet World 2010. Secara ringkas, carrier ethernet adalah jaringan core dan akses berkecepatan tinggi, digunakan umumnya oleh provider besar dan operator telekomunikasi untuk menghantar data, dan menggunakan standar-standar penghantaran paket data. Secara fisik, jaringan yang digunakan tetap berupa kabel optik, tetapi bukan seperti transmisi masa lalu yang menggunakan frame berbasis waktu (seperti SDH dll). Banyak hal yang masih layak didiskusikan. Pertama, alasan memigrasikan transmisi TDM menjadi carrier ethernet, yang ujungnya akan ke optimasi jaringan yang mengarah ke arsitektur horisontal dari next-generation network. Dan tentu untuk mendukung alasannya, aspek-aspek lain akan masuk, terutama service, aplikasi, content, hingga objective bagi semua stakeholder, dan ujungnya ke regulasi. Kebetulan, sepulang kuliah dulu, aku justru tak banyak lagi bermain di layer infrastruktur network. Jadi aku ditugaskan mempresentasikan hal-hal yang ada di layer atas: service dan environment yang akan mendukung pada negosiasi regulasi.

Di sisi ini, banyak yang bisa diceritakan. Telkom Indonesia bisa jadi contoh menarik. Divisi Multimedia, tempat aku didamparkan saat ini, dulu memiliki lingkup tugas dari infrastruktur hingga layanan multimedia — hal-hal yang bersifat IP-based commercial services. Sejak Telkom berbisnis TIME (dengan harapan TIME is MONEY), infrastruktur dipusatkan di Divisi Infrastruktur; sementara Divisi Multimedia memperoleh tugas menciptakan dan mengelola rentetan service, aplikasi, dan content yang akan jadi enabler untuk memungkinkan bisnis-bisnis TIME tumbuh di masa depan. Tapi tentu aku tak mempresentasikan organisasi Telkom dan posisi divisi2 di dalamnya. Aku lebih suka bercerita tentang potensi aplikasi Internet yang bisa tumbuh di negara yang sedang panas-panasnya berkonversasi multimedia seperti Indonesia, lalu bagaimana ini harus dan bisa didukung dari sisi pengembangan dan bisnis (mis. Indigo) dan dari sisi teknis (mis SDP dan IMS). Aku menikmati bagian ini: menggambar kotak2 dan struktur. Kemudian presentasi dilarikan ke bagaimana ini akan disampaikan untuk menjadi bagian dari regulasi (dan keseimbangan di sisi deregulasi). Cukup lucu bahwa salah satu kesimpulannya adalah perlunya ko-opetisi (kerjasama tanpa melupakan kompetisi).

Sebagian bahan presentasi aku ambil dari Mas Arief Hamdani juga (no link — syukurin — suruh siapa nggak bikin2 blog?). Penataan narasi (urutan cerita), pengayaan, dan ilustrasi, aku buat di perjalanan dan di hotel. Aku juga baru sadar bahwa sebagian besar dari presenter, peserta, mengenakan suite resmi. Terpaksa jaket dilemarikan, dan aku belanja jas sebentar (sempat salah nomor pula, dan harus dibalikin besoknya dengan cara yang lucu).

Presentasiku mengambil waktu sore hari. Para peserta yang siang harinya sempat menghilang sudah kembali, sehingga forum cukup penuh, padat, dan antusias. Aku menyampaikan presentasi, dan aku pikir seharusnya dapat nilai 8. Tapi 8 dalam skala Richter, kalau dihitung getaran pada meja dan lantai akibat efek demam panggung temporer. Hanya ada 1 pertanyaan; karena peserta diinformasikan bahwa kemudian ada sesi panel. Setelah satu presenter lagi dari New Zealand (yang bercerita dengan asik tentang inovasi content untuk mendukung aplikasi multimedia di NZ), panel dimulai. Sesi ini lebih menarik daripada tanya jawab dengan 1 penjawab. Jadi setiap pertanyaan didiskusikan kembali oleh forum di atas panggung.

Selesai. Lega. Tapi belum berakhir. Di sesi networking sesudahnya, beberapa peserta masih mengejar, menyampaikan apresiasi, dan terutama memenuhi kepenasaranan yang ternyata belum habis. Di meja cuma ada Coca Cola dan minuman beralkohol. Jadi aku nggak sengaja terus menjawab pertanyaan dan obrolan (yang terlalu serius untuk level networking) itu sambil terus-terusan meng-Coca Cola. Satu peserta dari US iseng menyuruhku belanja ke tempat2 menarik di sekitar Victoria Harbour (tempat konferensi diselenggarakan).

Keluar. Terjadi efek tak menyenangkan, tapi standar sekali. Penyebab: overload pekerjaan (sisa urusan kantor), kurang tidur (persiapan presentasi), kurang makan (gara2 persiapan presentasi, serta belum tahu tempat makanan halal), dan post-demam panggung-syndrome (ada ya, yang namanya kayak gitu). Berkeliling sebentar,  aku kelelahan. Balik ke hotel, lewat pasar tradisional segala. Pesan dinner dari kamar. Dan — seperti yang terjadi di bulan puasa — langsung tidur setelah kopi dan beberapa sendok makanan bisa masuk. Uh, rugi, perjalanan perdana ke Hongkong, dan isinya cuman bikin presentasi serta tidur. Haha :).

Pesta Blogger

Juli 2010 menandakan bahwa blog ini sudah berusia 10 tahun. Tapi tentu angin sedang bertiup kencang, sampai aku tak sempat meluangkan waktu untuk memperingati sesuatu. Selain itu, blog tak lagi dipandang sepenting dulu. Dulu, blog dianggap pembuka jalan bagi masyarakat untuk mengenal Internet, menggunakannya untuk mengangkat akal budi dan kesejahteraan. Kekuatan yang mandiri dari birokrasi dan kapitalisme, kekuatan persaudaraan yang diikat gagasan dan kesetaraan, dan peluang sosial ekonomi yang bisa dibangkitkannya. Tapi aplikasi jejaring sosial dan media sosial telah menggantikan fungsi blog, dengan segala kelebihan dan kekurangannya: aliansi dengan teknologi mobile dengan perangkat yang lebih mudah dan nyaman, proliferasi kesetaraan dan kekuatan 2.0, kekuatan memaksakan suara publik kepada pemerintahan yang masih ingin bertumpu pada ignoransi masyarakat, dll. Blog mungkin hanya jadi tonggak-tonggak bagi aktivis online, namun tak lagi jadi pusat komunikasi dan aktivitas. Bendera yang berkibar senyap di atas riuh.

Namun blog tak akan mati. Bendera tak akan diturunkan. Kata-kata terukir lebih kokoh menghadang waktu dalam prasasti blog daripada di atas pamflet singkat beraneka warna cerah. Para penulis blog masih seperti gerilyawan dalam senyap yang tak kunjung mampu melawan dorongan hatinya, serta komitmennya, untuk menulis. Dan para blogger, yang kini adalah sebutan bagi mereka yang sekedar menyebut diri blogger (pernah menulis blog, pernah membaca blog, pernah berkomentar di blog, dll) terus menjaga aura kekuatan dunia blog.

Words :)

Dan Oktober datang lagi. Seperti Oktober lainnya, para blogger Indonesia merayakan Pesta Blogger dengan berhimpun dalam skala besar. Sayangnya, tak seperti tahun2 lalu, tahun ini aku tak berhasil meyakinkan Telkom Indonesia untuk turut mensponsori Pesta Blogger 2010 (PB2010). Jadi Telkom juga tak menemani para blogger yang saling memberikan pelatihan dan inspirasi di berbagai kota di Indonesia. Ah, sedih :). Tapi dalam proses yang tak berhasil itu, aku jadi lumayan sering maksi bersama Rara, Presiden Blogger 2010 — she’s an inspiring personality! Dan aku pikir, warna kepemimpinan Rara itu yang membuat Pesta Blogger 2010 menjadi sebuah kesuksesan yang gemilang.

Angin yang memang lagi kencang (agak harfiah nih) memang membuat aku tak sempat meregistrasikan diri sebagai peserta Pesta Blogger 2010. Tapi ada dorongan tak terjelaskan untuk tetap nekat hadir (haha). Nyaris tanpa persiapan; satu2nya yang dibuat bekal untuk PB2010 hanya belasan buku untuk disumbangkan ke program 1000 Buku yang juga bersarang di PB2010 — dari buku anak2 sampai buku yang  terlalu rumit dibaca anak2. Aku datang ke kawasan Kuningan itu agak sore, dan langsung menghabiskan sore itu mendengarkan kabar berbagai komunitas blogger tanah air; plus berfoto2 di depan logo berbagai komunitas blogger dan onliner Indonesia.

Dari tahun ke tahun, banyak hal yang dikembangkan dalam Pesta Blogger. Nampaknya aspirasi para blogger cukup banyak didengar. Kini Pesta Blogger menjadi Pesta Blogger Plus, dengan menangkap berbagai aktivis komunitas online di luar blog. Juga komunitas yang dulu belum sempat tersentuh, misalnya komunitas pendidikan, kini mendapatkan porsi cukup besar.

Tentu yang paling menarik buat aku adalah berbincang dengan para blogger: sahabat lama dan kenalan baru. Terlalu banyak untuk ditulis satu per satu :). Plus kebagian kaos 1000 Buku dan beberapa pin yang menarik :). Memang sayangnya tak cukup lama. Aku harus kabur lagi. Ke Kemayoran. Baca entry blog sebelumnya deh :).

An die Freude

Ada kegamangan tak terjelaskan weekend ini — bagian dari intuisiku terus menerus mengingatkanku ke sesuatu yang tak juga teringatkan. Mungkin sudah waktunya dia dibungkam :D. OK, life goes on. Hari Kamis aku mulai berpindah ke ruang kerja baru di Lt 6. Ini ruang yang gue banget: bagian luas di tengah ruangan tak banyak bersekat; dan aku bisa memilih untuk bekerja di saung, kursi tegak, kursi gantung, dll. Foto2 ruangan sudah aku masukkan di Instagram :). Jumat, aku sudah menghabiskan nyaris seluruh hari di sana, selain beberapa menit mengunjungi Lt 17 dan Lt 14. Trus masuk weekend. Dan bersiap dengan sebuah malam bersama Ludwig van Beethoven di Aula Simfonia Jakarta.

Pun selama weekdays, Wagner sudah banyak tergantikan oleh Beethoven; terutama Simfoni #5, #6, #7, dan #9; plus konserto violin. Masih ada Wagner sedikit, yaitu satu versi Simfoni Beethoven #9 yang telah diaransir ulang jadi versi piano oleh Wagner, dimainkan Noriko Ogawa di Bach Collegium Japan. Simfoni 5 dan 6 di koleksiku dimainkan Kammerorchester Basel dengan konduktor Giovanni Antonini; Simfoni 9 oleh Royal Concertgebouw Orchestra dipimpin Bernard Haitink; dan Simfoni 7 (sebetulnya dengan 4 juga) oleh Berlin Philharmonic Orchestra dipimpin Herbert von Karajan.

Aku datang di Aula Simfonia Jakarta sekitar pukul 19:00, setelah sebentar mengunjungi Pesta Blogger 2010 di kawasan Kuningan. Tak seperti kunjungan pertama, bangsal tunggu kali ini tampak penuh. Tapi waktu akhirnya gong digaungkan, dan para tamu memasuki aula, barulah tampak bahwa aula tak juga penuh. Publik Jakarta tampaknya belum terlalu berminat menyaksikan live orchestra. Jadi geli membayangkan bahwa aku sempat khawatir gak kebagian tiket :).

Performer malam ini adalah Dubrovnik Symphony Orchestra. Mereka datang dari kota pantai di Kroasia itu sebagai bagian dari program The 7000 Miles, yaitu pengiriman perwakilan DSO ke beberapa negara (sejauh 7000 mil). Para pemainnya, menurut tutur pembawa acara, sebagian besar lulusan dari Zagreb Symphony Academy. Zagreb, kota yang entah kenapa pernah masuk ke mimpiku, haha.

Orkestra dikonduktori oleh Noorman Widjaja. Ya, sebuah nama Indonesia. Ia lahir dari sebuah keluarga musisi di Jakarta. Pada usia 11 tahun, ia memimpin sebuah orkestra di hadapan Presiden Soekarno, menggantikan ayahnya yang mendadak sakit. Tahun 1969 ia meneruskan pendidikan musik di Berlin, dan tahun 1982 dipercaya memimpin orkestra di Nuremberg. Sejak itu memimpin banyak orkestra di Cina, Jepang, Italia, dan Jerman.

Gelaran malam ini dimulai dengan Konserto Piano #2 dari Chopin. Piano dimainkan oleh pianis dari Georgia, Ani Takidze. Frederic Chopin dikenal sebagai musisi dari madzhab romantik, yang tampil setelah madzhab klasik. Jadi ia semadzhab, namun dalam aliran yang sungguh berbeda, dari Wagner (uh, ini lagi). Aku lebih mengarabi Chopin dengan alunan piano tunggal, dan amat jarang dalam bentuk konserto. Tapi konserto selama 30 menit ini membuka pintu pikiranku, menunjukkan ke hal2 yang sungguh menarik dari konserto piano dengan gaya Chopin. Konserto terdiri atas tiga bagian, dengan violin lembut mendominasi bagian-bagian yang tak diisi hentakan piano. Ya, ini Chopin versi menghentak :). Aku hanya bisa diam, dan kegamangan asing itu kembali, membuatku hampir lupa bernafas (selain memang asthma ringan itu kambuh lagi). Tapi ada hal menarik dengan bagian violin di Bagian #3. Kayaknya aku harus dengarkan konserto ini lagi biar lebih yakin :).

Setelah Chopin, ada waktu rehat 20 menit. Udara Jakarta malam tadi agak ramah. Angin agak sejuk dan tak terlalu kencang. Gong bergaung lagi. Kami kembali ke aula.

Dawai violin mulai sayup mengisi ruang laksana angin tipis, dibalas deretan woodwind bersahutan (khas), satu satu satu, lalu membentuk kombinasi, dan ditegaskan oleh hentak ringan timpani. DSO telah memainkan Simfoni Beethoven Kesembilan. Ini adalah Simfoni Beethoven yang paling populer, bahkan sering disebut sebagai puncak performansi musik barat sepanjang masa. Padahal Beethoven mencipta simfoni ini sudah dalam keadaan tuli. Aku sendiri nggak akan bisa menceritakan dereten fase-fase yang menghantar setiap bagian dari simfoni ini dalam sebuah entry blog semacam ini :). Bagian favoritku justru bagian 1 (allegro ma non troppo) dan 2 (scherzo), yang lembut dan riang menyemangati pagi, tanpa terlalu heboh :).

Namun tentu bagian yang paling heboh adalah bagian keempat. Sempat jeda sebentar untuk membiarkan choir dari Batavia Madrigal Singers memasuki aula, bagian ini dimulai dengan sedikit cuplikan dari bagian-bagian sebelumnya. Lalu sebuah jeda yang diisi sebuah bariton: “Hey, bukan nada semacam ini! Ayo angkat suara dengan lebih ceria!” — dan choir pun dimulai dengan meriahnya. Ini adalah satu2nya simfoni Beethoven yang dilengkapi dengan choir. Kata2 dalam choir ini diambil dan dimodifikasi Beethoven dari puisi Friedrich Schiller berjudul An die Freude, yang sering diinggriskan sebagai Ode to Joy. Puisi ini memberi semangat hidup bagi kemanusiaan dan persaudaraan. Tak heran, musik ini sering dianggap sebagai Lagu Kebangsaan Eropa.

Bagian keempat dari Simfoni Kesembilan ini menceriakan ruang selama sekitar setengah jam. Ada yang bahkan menganggap bagian keempat ini sebagai sebuah “simfoni” tersendiri, yang dibaginya menjadi empat “bagian” dengan fase2 yang menariknya serupa dengan pemfasean dalam Simfoni Kesembilan ini sendiri. Simfoni Kesembilan sendiri memakan waktu sekitar 1 jam + 15 menit.

Aku bukan musisi, jadi tak akan membahas kualitas permainan DSO, apalagi untuk karya serumit ini. Dan pembandingan subyektifpun akan jadi tak adil, karena yang biasa terdengar di player adalah permainan Royal Concertgebouw Orchestra dipimpin Bernard Haitink. Maka akan berbeda dengan pengalaman mendengarkan Simfoni Keenam di tempat yang sama bulan lalu, dimainkan Jakarta Symphony Orchestra, dimana kualitas permainan jadi terasa jauh lebih baik daripada CD player :D. OK, ini cuma untuk menjelaskan kenapa aku harus menuliskan para pemain di koleksi Beethovenku di atas :).

Anyway, menyaksikan Simfoni Kesembilan dengan An die Freude malam ini cukup untuk mengangkat semangatku lagi; dan mengingatkanku kenapa aku sampai sekarang tak pernah mau menyerah :). Thanks, Dubrovnik Symphony Orchestra, Pak Noorman Widjaja, Batavia Madrigal Singers, Aula Simfonia Jakarta :).

Telkom IPTV

Oktober, dan Telkom IPTV sudah harus siap meluncur. Wow, cukup untuk bikin mata merah :). Tapi test-test telah mulai dilakukan, dan sejauh ini hasilnya menggembirakan. Bulan-bulan mendatang, sampai akhir 2010, kami akan memulai test ke rumah-rumah, sambil menguji kualitas jaringan. Mudah-mudahan hasilnya akan tetap prima.

Walaupun IPTV berkepanjangan Internet Protocol Television, IPTV bukan sekedar televisi yang didistribusikan melalui Internet. IPTV adalah sinergi antara kekuatan interaksi Internet dan Web, dengan kekuatan media televisi. IPTV merupakan platform layanan yang merupakan tahap lebih lanjut dari bentuk interaksi multimedia yang ada saat ini. IPTV akan menawarkan a.l. hal-hal berikut:

  • Broadcast televisi dan video di atas akses Internet
  • Content on demand, yang meliputi video, TV, musik
  • Interaksi multimedia dengan kecepatan true broadband, yang meliputi layanan game, shopping, advertising, dll
  • Kualitas layanan (quality of service) dan kualitas pengalaman (quality of experience) bagi customer yang terus terpelihara

Setiap layanan akan memiliki sifat multiscreen, yaitu harus dapat ditampilkan melalui beragam perangkat:

  • Pesawat televisi
  • Komputer, notebook, dan perangkat sejenis
  • Mobile terminal dan berbagai gadget

Bagi Telkom, IPTV adalah langkah pertama dalam penggelaran aplikasi multimedia dengan interaktivitas tinggi di atas jaringan true broadband (sekaligus mencari konteks / reason buat investasi perbaikan network agar layak dimuati informasi broadband). IPTV menawarkan hal-hal berikut:

  • Pengalaman digital yang lebih interaktif, mudah, nyaman, dan lengkap.
  • Peluang, terutama bagi komunitas-komunitas kreatif digital yang sedang tumbuh di Indonesia, untuk menemukan lahan baru yang luas dalam komersialisasi produk dan karya kreatif mereka.
  • Peluang kerjasama bagi bisnis media dan industri informatika untuk memberikan layanan yang lebih lengkap.
  • Konteks baru dalam pengembangan kapasitas dan kualitas network, baik core network, cable network, hingga mobile network.

Konfigurasi yang disederhanakan dari sistem ini adalah sbb:

Dalam jaringan ini, konten televisi, video, dan berbagai layanan yang bersifat multimedia interaktif didistribusikan menggunakan arsitektur jaringan Internet. Di samping menawarkan efisiensi jaringan dan kualitas media yang dapat terkelola secara maksimal, IPTV juga diyakini membuka peluang baru untuk memaksimalkan interaktivitas layanan Internet ke dalam media televisi.

Beberapa fungsi-fungsi di dalam jaringan IPTV

  • Head-end, terdiri dari IRD (integrated receiver decoder) yang berfungsi menerima kanal televisi melalui satelit, dan encoder yang mengubah format video ke standard MPEG-4/H.264 untuk dilewatkan ke jaringan IP.
  • Middleware, berfungsi sebagai content management / delivery system (CMS/CDS). Sistem pada middleware mendukung open architecture dan mempunyai open standard interface untuk berkomunikasi dengan 3rd party application, dan mendukung pengembangan layanan baru dengan cepat.
  • VoD (video on demand) merupakan sistem yang memberikan layanan on demand kepada pelanggan. VoD didistribusikan dengan mekanisme yang memungkinkan minimalisasi biaya.
  • CA (conditional access) / DRM (digital right management) adalah suatu mekanisme yang memungkinkan sistem memberikan hak akses terautentikasi terhadap sebuah program yang diminta user.
  • CDN (content delivery network) merupakan perangkat yang digunakan untuk membantu distribusi konten di atas jaringan.
  • NMS (network management service) merupakan sistem yang digunakan untuk memelihara dan memonitor jaringan.

Beberapa standard yang digunakan dalam jaringan ini:

  • Video codec menggunakan ITU-T H.264 (ISO/IEC MPEG-4 Part 10 ) yang mendukung baseline dan main profile untuk encoding dan enkapsulasi video.
  • Multicast menggunakan protokol IGMP (RFC 2236).
  • Multicast mendukung TS (ISO 13818-1) over RTP (RFC 1889) over UDP (RFC 768), atau harus mendukung TS over RDP.
  • Untuk layanan berbasis On Demand (VoD, TVoD, PVR, TSTV), maka End User Terminal (Televisi, PC, Gadget ) harus mendukung pengaturan layaknya VCR, dengan menggunakan protokol standar, yaitu HTTP (RFC 2616) atau RTSP (RFC 2326).

Haha, teknis sekali ya? Namanya juga aku. Nanti aku cerita lagi dari sisi features dan interaktivitasnya deh.

Beethoven Night

Aku ternyata belum kenal Jakarta. Aku bahkan belum tahu di kota ini ada Aula Simfonia Jakarta. Ini bukan hanya sebuah hall / aula, tetapi benar2 sebuah gedung, bertempat di Kemayoran, tak jauh dari Merdeka Selatan, tempatku berkantor.

Sore tadi Jakarta bercuaca cukup seram. Awan hitam melintas kencang dari arah timur ke barat. Di lapisan bawahnya, awan kelabu melintas lebih kencang dari barat ke timur. Angin dingin menembus jaket. Tapi Aula Simfonia Jakarta akan menyelenggarakan Beethoven Night. Dan nama Beethoven cukup untuk mendorong kami melintasi ancaman badai itu, dan menuju ke Kemayoran: mencari sebuah aula.

Kami belum beli tiket. Begitu sampai, ticket box pun dihampiri. Tiket termurah 200K, hanya menyisakan tempat tak strategis. Ambil tiket 300K. Tapi ticket box hanya menerima cash atau debit dari sebuah bank tak menarik. Maka dompet langsung kosong untuk membayar tiket. Hall ini masih baru: belum ada café, toko, tempat snack, atau bahkan ATM. Ah, who cares. Kami naik ke atas, dan menyempatkan diri mengamati sederetan lukisan yang seluruhnya bertema musik. Musik klasik. Musik klasik eropa. Gong dibunyikan, dan kami masuk hall.

Sesuai namanya, malam tadi Orkestra Simfonia Jakarta hanya memainkan karya Beethoven. Sebagai pembuka, Kevin Suherman memainkan dua sonata piano. Kevin masih muda, dan ia bersekolah musik hingga ke Melbourne. Yang dimainkan adalah Piano Sonata op 2. Aku jarang mendengarkan sonata piano Beethoven. Jadi ini terasa jadi pemainan baru yang asik buat aku. Menyenangkan. Sayangnya terasa tak berlangsung lama. Piano dimasukkan ke bawah panggung. Lalu Orkestra Simfonia Jakarta memasuki panggung.

Konduktor untuk bagian ini adalah Rebecca Tong. Ia masih muda juga. Menempuh pendidikan di US di bidang sejarah musik, khususnya mengenai conducting, ia konon terkenal piawai memimpin musik secara dinamis. Deretan empat karya orkestral Beethoven mengalir, dengan tempo yang bergerak dari lembut ke dinamis: Coriolanus (Serumpun Padi, haha), Fidelio, Prometheus, dan Egmont. Egmont ini pernah juga aku dengarkan di Warwick entah di tahun berapa, bersama Simfoni Ketiga. Tapi Kemayoran tak mengecewakan. Dinamikanya sunguh menyegarkan.

Rehat 15 menit. Sayangnya belum ada fasilitas rehat di sini. Panitia menjual Aqua, tapi tak banyak yang berminat. Aku menghabiskan waktu melihat2 benda2 musikal yang ditata dalam ruang kaca mirip diorama. Menarik juga tempat ini sebagai museum. Sempat mengambil sedikit foto (dilarang mengambil foto selama pertunjukan berlangsung). Lalu gong bergaung lagi.

Pada bagian ini, konduktor diambil alih Dr Stephen Tong — tokoh yang sudah sekian lama membawa musik klasik keliling Indonesia, dan lalu menjadi salah satu pelopor Orkestra Simfonia Jakarta ini. Sunyi sejenak, lalu mengalun bagian awal dari Simfoni Keenam. Dawai-dawai memulai alunan, dengan gaya tenang, teduh, dan anggun. Masuklah deretan pipa-pipa mungil yang ditiup, membawa suasana riang dan lincah. Khas Beethoven: flute yang bergantian membawa suasana ceria. Lalu … hey … ada yang menarik. Ada dimensi yang memisahkanku dari skala waktu linear. Ia membawa ke alam yang luas, berwarna keemasan, dan paralel mengisi ruangan. Beda sekali dengan versi CD. Aku baru sadar, baru sekali ini aku mendengarkan Simfoni Keenam secara live. Lalu segala instrumen menderu, membawa badai dan guruh di luar sana masuk ke aula. Mendung tebal sore itu tampak lebih menghitam dan memasuki hall. Lalu ditenangkan. Tapi tak juga terasa tenang buat aku. Sampai simfoni berakhir. Masih terasa ada hentakan keras di dalam.

Kemayoran tak lagi hujan. Masih berangin tak nyaman. Tapi Beethoven membuat angin dan gelap itu terasa memiliki aroma yang menyegarkan.

Akhir Oktober, di tempat yang sama akan ditampilkan Simfoni Kesembilan, oleh Dubrovnik Symphony Orchestra. Tag di agenda! :)

Indonesia Wireless Forum

IWF belum  menjadi forum yang resmi atau reguler. Ini hanyalah sebuah seminar, tempat rekan-rekan yang sempat menghadiri APT Wireless Forum di Seoul bulan ini melakukan sharing dan diseminasi atas update yang diperolehnya kepada pelaku industri wireless di Indonesia. Karena sifatnya yang akademis sekaligus profesional, maka Telkom RDC (Research & Development Centre) menyanggupi menjadi host. Sedangkan penyelenggara kegiatan adalah IEEE Indonesia Section dan IEEE Comsoc Indonesia Chapter. Persiapan sangat singkat, karena sedang amat banyak kegiatan lainnya yang membuat 24 jam terasa jauh dari cukup. Kegiatan dilakukan 1 hari penuh, Jumat 24 September 2010, di Gegerkalong, Bandung.

Sharing yang disampaikan meliputi update dari:

  • Spectrum Working Group
  • IMT Working Group (tentu terutama IMT-Advanced)
  • Convergence Working Group (termasuk konvergensi IMS-IPTV, spt Open-IPTV)

Menarik bahwa soal konvergensi ini sudah mengerucut ke satu pilihan, yaitu OpenIPTV. Di pertemuan teknis sebelumnya, ada beberapa pola yang diajukan sebagai pilihan konvergensi:

Nampaknya pendekatan ke OpenIPTV adalah pendekatan yang telah umum dilakukan di Korea sebagai tuan rumah APT Wireless Forum.

Untuk IMT-Advanced (4G Mobile Network), disampaikan bahwa hingga kini ada 5 usulan yang telah dimasukkan sebagai kandidat-kandidat untuk teknologi mobile IMT-Advanced. Namun secara umum, kandidat-kandidat ini tetap dapat dikelompokkan sebagai dua madzhab utama: LTE-Advanced dari 3GPP dan WiMAX 802.16m dari WiMAX Forum.

IWF ditutup SGM RDC Telkom, Mr Mustapa Wangsaatmaja; yang sekaligus mengingatkan bahwa standardisasi bukan hanya untuk diikuti secara top down, melainkan — dengan melihat contoh-contoh sepanjang sejarah — untuk dikaji secara kritis dan diajukan kembali untuk memperoleh alternatif-alternatif yang lebih baik.

IYCE 2010

Mendadak Pak Widi masuk ke salah satu ruanganku, dengan senyuman maut (yang biasanya berarti: senyum sambil memberikan tugas maut). Bukan tugas berat. Untuk kesekian kali, British Council menyelenggarakan IYCE (International Young Creative Entrepreneur — cmiiw). Di tahun2 lalu, BC mengundangku di acara puncak event2 ini. Dan sebenarnya tahun ini juga. Tapi tahun ini, ada tugas tambahan buatku. CIO Mr Indra Utoyo sedang ke RRC, dan Mr Widi Nugroho jadi juri IYCE ini. Padahal ada acara corporate visit sebagai bagian dari program IYCE ini, termasuk kunjungan ke Telkom. Para senior leaders juga sedang harus ke Senayan. Ada visit dari Presiden di Pameran BUMN. Dan karena Presiden minggu sebelumnya sudah mewanti2 agar di kegiatan semacam itu Direksi Telkom harus hadir meninggalkan pekerjaan penting mereka; maka kali ini Telkom diwakili lagi oleh karyawannya yang paling tidak sibuk: Mr Koen.

Buat aku, ini pekerjaan menyenangkan. British Council sedikit banyak sudah jadi bagian dari sejarah hidupku (haha). Juga komunitas kreatif sudah jadi bagian dari hidup sehari2. Sayangnya, karena banyak kegiatan lain, support untuk acara ini jadi tak optimal. Dengan urusan budgeting yang tak habis2, aku baru bisa menyelesaikan file presentasiku sekitar jam 2:00. Koordinasi hanya dilakukan via telefon. Syukur CDC bersedia menyiapkan ruangan dan dukungan lain di Lt 11 (of Grha Citra Caraka); dan Marcom memberikan dukungan tambahan.

Corporate visit ini diikuti sebagian finalis IYCE. Sebagian lainnya masih ikut proses penjurian di Serpong. Group dipandu Mbak Winda Wastu dari British Council, dan disambut di pintu lobby GCC. Cukup meriah dan jadi candaan menarik. Mungkin rekan2 finalis IYCE membayangkan bakal jumpa pejabat BUMN yang seram dan jaim. Eh, tahu2 cuman disambut temen dugem mereka sendiri, haha. Pitra Satvika, yang cukup sering hadir di GCC sebagai panitia Fresh atau kegiatan lain, tampak paling kecewa. Bener, pingin ketawa lihat ekspresi Pitra. Sayangnya Selina Limman dan Ryan Koesuma yang cukup sering ke GCC ini tak tampak. Wajah lain yang kukenal adalah Marlin Sugama, tokoh kreatif yang animasinya — Si Hebring — menghiasi halaman TelkomSpeedy. Dan sisanya memang belum jumpa wajah, tapi namanya cukup sering baca dan dengar: Kevin Mintaraga, Aty Soedharto, sampai Si Ikin Suroboyo. Sumpah kuagèt ndelok Si Ikin — slamet gak sampèk misuh2.

Di Lt 11, aku cerita sedikit tentang Telkom dan bisnis TIME-nya. Lalu sedikit ke platform Indigo. Disusul Mr Aep dari CDC, menyampaikan program-program community development dari Telkom Group. Para peserta yang berminat atas materi presentasi, boleh kontak aku di alamat yang tertera di business card.

Siang, aku habisi dengan tugas rutin (beresin Telkomspeedy.com, urusin hutang2 kerjaan, dan hitung2 AKI untuk Capex 2011). Dan sorenya ke IYCE Awarding Ceremony di Teraskota Serpong. Cuaca Jakarta sedang menarik. Hujan dan badai di seluruh penjuru kota. Perlu sekitar 2 jam untuk menempuh jarak dari Kebon Sirih ke BSD. Tapi worth it. Ini acara yang mengesankan: sederhana tapi padat dan elegant. Aku pikir acara2 Indigo bisa mencontoh kesederhanaan semacam ini. Hadir juga HE British Ambassador, yang juga terlambat seperti aku :).

Selesai berbincang dan foto2 (hey, ini kopdar), kami balik arah ke Jakarta. Syukur kali ini tak ditemani kemacetan seperti waktu berangkat. Sampai rumah, menjelang tengah malam. Aku cuma sempat charging si Mac Blue. Trus kehilangan kesadaran. z z z z z . Bangun jam 6 pagi … Waaa, aku harus ke Bandung, ada seminar Indonesia Wireless Forum di RDC jam 9.00! Dan IEEE Comsoc Chapter Chair harus hadir di pembukaan. Help!