Category: Travel (Page 4 of 8)

Aplikasi Visa UK

Aku sedang mempersiapkan kunjungan ketiga ke UK. Untuk kunjungan pertama, tahun 1995 (wow), ada pihak2 yang berbaik hati menguruskan visaku. Dan untuk kunjungan kedua (2000), aku dapat backing dari British Council, jadi bisa dapat visa gratis dan mudah, biarpun tetap harus dicereweti petugas di balik loket kaca di konsulat UK di Jakarta. Untuk kunjungan ketiga ini, aku harus mengurusi sendiri. Tapi aku beruntung :).

Pun tahun 2000 menunjukkan atmosfir yang berbeda dengan tahun 1995. Mudah2an bukan saja karena sejak 1997 Partai Buruh mengambil alih administrasi dari Partai Konservatif, tetapi karena UK merasa perlu menampilkan diri lebih ramah dan empatik ke dunia baru. Gerbang imigrasi yang di tahun 1995 tampak angker, di tahun 2000 berkesan amat ramah. Konsulat yang di tahun 2000 masih tampak angker, kini tak perlu lagi kita kunjungi.

UK menyerahkan administrasi pengurusan visa ke pihak ketiga. Pun dianjurkan (di Indonesia: DIHARUSKAN) untuk mengunjungi website UKVISAS.GOV.UK sebelum mulai mengurus visa. Untuk warga Indonesia yang tinggal di Indonesia, kepengurusan visa harus melalui PT VFS Services Indonesia. Banyak keuntungan pengurusan melalui pihak ketiga ini. Dari sisi warga, kita akan menghadapi customer service sebuah perusahaan swasta, tidak lagi harus menghadapi pegawai sebuah birokrasi. Dari sisi konsulat, mereka bekerja lebih efisien dan aman jika tidak harus banyak menerima tamu secara langsung.

Di Jakarta, untuk mulai mengurus visa ini, kita harus mengunjungi web VFS Services. Kita harus mengisi formulir aplikasi visa secara online. Form kosong memang disediakan, dan bisa diunduh untuk diisi. Tetapi, untuk mengurangi kemungkinan salah baca dll, kita tidak boleh memasukkan form ini. Kita harus mengisi formulir online, lalu mencetaknya, dan menandatanganinya. Formulir ini panjang :). Dan panjangnya bervariasi sesuai kebutuhan kita berkunjung ke UK. Tapi kita dapat mencicilnya dalam waktu hingga 1 minggu. Diisi, disave, diload lain waktu, diteruskan diisi, disave lagi, dst. Agar lebih cepat, aku mengisi form ini di hari libur, tanpa interupsi, sambil mendengarkan mars Rule Britannica dari Wagner. Hey, ini buat motivasi!

Berikutnya adalah dokumen pendamping. Pasfoto berwarna dengan latar kelabu muda atau krem, dan wajah tanpa senyum — haha :). Ukuran 3½ × 4½ cm — ini angka aneh, andaipun dijadikan inci. Dokumen pendamping boleh diisi selengkap mungkin, plus fotokopinya: passport (termasuk passport sebelumnya), slip gaji, rekening bank, deposito, surat tanah, SK atau surat dari perusahaan, kartu keluarga, dll. Ini bukan candaan loh :). Berhubung aku lagi mood mengumpulkan dokumen gituan, aku copy semua ke kertas dengan ukuran seragam A4, trus aku masukkan binder, yang bikin kumpulan dokumen itu jadi mirip buku biografi. Inggris memang bangsa penjajah yang selalu ingin mengubah gaya hidup kita menjadi teratur seperti layaknya bangsa yang harus diatur. Tapi aku menang, aku bisa lebih gila :).

Selesai mengkoleksi dokumen, kita harus kembali ke situs VFS Services untuk membuat appointment untuk menyerahkan dokumen2. VFS berada di Plasa Abda di daerah Sudirman, Jakarta. Kita sebaiknya hadir tepat waktu. Bawa KTP atau SIM asli, untuk diserahkan bulat2 ke resepsionis di Ground Floor, ditukar karcis MRT untuk melaju ke Lt 22, dan di sana antri lagi. Antrinya cukup lama, karena petugas memeriksai dokumen-dokumen cukup seksama — memastikan kelengkapan. Kita tidak boleh menghidupkan notebook atau telefon — jadi tidak ada Twitter dan benda2 menarik lainnya. Membawa buku dalam bentuk kertas amat dianjurkan :). Dan di akhir penantian, petugas dengan akrab memanggil kita lalu dengan ramah mendiskusikan dokumen-dokumen yang kita masukkan.

Seluruh dokumen akan diserahkan ke Konsulat UK, dan hanya passport yang akan dikembalikan. Jadi pastikan tidak ada dokumen penting yang terbawa — selain fotokopian. Setelah dinyatakan lengkap, kita boleh membayar biaya visa. Cukup mahal. Untuk visa turis jangka pendek, kira-kira Rp 1.005.000,- dan untuk visa pelajar Rp 2.600.000,- :). Biaya ini diambil Konsulat UK sebagai biaya processing visa. Andaipun visa ditolak, biaya processing ini tak dikembalikan. VFS sendiri memungut Rp 25.000,- untuk service yang diberikan kepada kita. Tapi VFS berbaik hati untuk menyuruh kita melengkapi dokumen dll jika belum lengkap atau dirasa bisa mengakibatkan visa ditolak. Jadi ini lebih baik daripada saat kita submit langsung ke Konsulat, dan bisa ditolak (plus kehilangan uang) hanya gara2 dokumen tidak lengkap.

Lalu pemeriksaan biometri. Ini cuman berarti kita diambil foto dan sidik jari di ruangan berpemandangan indah. Wow, kita bisa lihat Istora Senayan nyaris dari atas. Tapi gak boleh lama2. Kita langsung didepak pulang oleh petugas, sebelum sempat memasang tenda di ruangan ini.

VFS akan mengirimi kita SMS dan mail. Pertama adalah notifikasi saat visa kita sudah dikirimkan ke Konsulat. Kedua, notifikasi saat passport sudah boleh kita ambil. Aku sendiri cukup beruntung: visa bisa diambil kurang dari 2 hari setelah dokumen diserahkan ke Konsulat.

Tentu kita mengambil passport di VFS lagi di Plasa Abda. Visa versi tahun 2010 ini berbeda dengan visa sebelumnya. Di tahun 1995, visanya kecil berwarna merah. Di tahun 2000, visa berwarna cerah berukuran sehalaman passport. Di tahun 2010 ini, visa berwarna gelap mirip visa Eropa, tapi dilengkapi foto.

Setelah passport selesai, VFS masih mengirimi SMS ketiga, menyatakan bahwa visa sudah diambil. Haha :). Ini barangkali perlu buat yang visanya minta diambilin keponakannya :).

Sementara itu, ada reporter Northern Echo membaca blogku yang dalam bahasa Inggris. Dia langsung melakukan penjajagan untuk interview di Thirsk, sekaligus bikin foto2. Baca situs Northern Echo, aku bener2 merasa hidup di zaman Herriot: sebuah koran lokal yang pemberitaannya sekitar warga lokal yang bermasalah dengan kuda, anjing, dll. Barangkali kedatangan turis blogger dari negara penghasil tweeter paling banyak se-Asia ini dianggap pantas juga jadi berita. Aku harus baca buku Herriot lagi untuk mencoba menjawab pertanyaan sang reporter dengan pelafalan ala Yorkshire :). Reckon it’s allus a piece o’ t’awd nonsense, Sorr.

Plus kali ini mendengarkan satu mars lagi dari Wagner: Kaissermarsch. Ini adalah komposisi yang diperbincangkan James Herriot dan Siegfried Farnon di awal jumpa mereka di Skeldale House, Darrowby (Thirsk).

Cebu – Mactan

Emang blogku isinya jadi terlalu serius ya? Sukurin, haha :). Yawdah … kali ini aku cerita tentang Mactan dan Cebu dari sisi yang lain :). Nggak dijamin lucu juga sih. Dua tahun ini aku cukup banyak melakukan travelling, baik buat Telkom, IEEE, atau lainnya. Jadi jalan2 gitu kayak udah nggak pakai persiapan lagi. Beli tiket pun dilakukan dalam beberapa menit, sambil break di Gegerkalong, ditungguin Dave, yang heran lihat di Indonesia ada Mastercard dari Royal Bank of Scotland. Abis itu, ada beberapa perjalanan lagi, bikin aku bener2 nggak sempat mempersiapkan perjalanan ke negeri yang ajaib ini.

Perjalanan dimulai pukul 00.30, dari Soekarno Hatta, dengan Cebu Pacific Air. Aku pikir jarang orang berangkat semalam itu, jadi aku santai aja. Tapi Mas Ary agak nervous, dan minta berangkat dipercepat. Jadi pukul 22.30 kami sudah di Soekarno Hatta. Antrian pendek dan dibagi tiga. Tapi … lamaaaa sekali. Hampir 1 jam habis di antrian pendek itu. Untuk aku sendiri, dihabiskan sekitar 15 menit, untuk bisa memperoleh boarding pass transit di Manila. Tapi, katanya, dengan boarding pass itu, aku tetap harus ambil bagasi dan check in ulang di Manila. Hah? Jadi dari tadi buat apa lama2 :). Trus mengurus bebas fiskal, kurang dari 1 menit. Imigrasi, kurang dari 1 menit. Aku stay dulu di salah satu executive lounge yang menerima Citibank Garuda card — soalnya bisa buat 2 orang. Pak Wahidin memilih ke lounge lain. Tak lama, kami pindah ke ruang tunggu, bareng2, padahal tanpa janjian :). Dan langsung boarding.

Aku udah mempersiapkan diri menghadapi low fare airlines macam ini. Tapi ternyata Cebu Pacific belum sekelas Air Asia, misalnya. Waktu pesawat menggelinding dalam proses taxi ke runway, udah kerasa ada yang ajaib. Bannya kempes, atau ada jalan berlobang di CGK? Dengan getaran kuat, Cebu Pacific melenting kuat ke udara Jakarta. Ah, lega, pesawatnya masih utuh. Dan aku memutuskan bobo. Capek. Aku bangun 3 jam kemudian. Di bawah tampak pulau2 dan lampu2. Nggak ada info apa2. Nggak ada majalah atau bacaan lain. Lalu diumumkan bahwa pesawat siap didaratkan di Neenoy, eh, Ninoy Aquino International Airport, Manila. Eh, miring2 sebelum mendarat. Bum, dia mendarat, dan langsung berguncang keras. Beneran bannya kempes kali. Di Indonesia nggak ada pendaratan seaneh ini.

Antrian imigrasi di NAIA panjang. Dan lama. Rupanya di CGK aku memang dipersiapkan merasakan antri gaya Filipina. Beda dengan di CGK atau Changi (SIN), di mana kita cuman perlu kurang dari 1 menit. Beberapa orang di belakangku nervous berat. Aku sih cuek. Lolos dari imigrasi, ambil bagasi (tanpa menunggu lagi — mungkin tas kami sudah berputar2 beberapa kali di sana), dan langsung ke tempat check in untuk penerbangan ke Cebu. Koper dititipkan kembali, baru cari sarapan. Berbeda dengan CGK dan SIN, kurs di money changer di NAIA seram. Aku gak jadi tukar duit ke Peso. Pinjam Peso ke Pak Wahidin. Serem di sini: mau makan harus ke kasir bawa peso. Kehidupan keras. Terminal Cebu Pacific di NAIA ini baru. Jadi belum banyak diisi tempat2 menarik. GPRS juga hilang :(. Penantian yang membosankan. Tapi akhirnya kami terbang lagi. Kali ini tanpa ban kempes. Menikmati indahnya pulau2 di Kepulauan Filipina dari atas. Dalam waktu 1 jam, pesawat mendarat di Mactan Cebu Airport. Huh, miring2 lagi.

Mactan

“Minggir,” terdengar seorang awak bicara ke anak kecil, disusul kata2 asing. Hah? Itu bahasa Tagalog atau Cebuanos? Menunggu bagasi kali ini lama sekali. Dan terdengar kata2 lokal yang sekilas mirip Melayu juga. Kenapa di Manila nggak seajaib itu tadi? Ini negara menarik. Di mana2, segalanya dicetak dalam Bahasa Inggris, bukan bahasa lokal. Iklan2 sebagian besar dalam Bahasa Inggris juga — dan justru iklan2 baru yang berkilau yang menggunakan bahasa lokal. Taxi dispatcher berbicara dalam Bahasa Inggris ke kami; tapi waktu mereka saling bicara, terdengar nuansa Melayu, seperti “Ada di atas.” Heh, jangan2 memang orang Melayu. Atau Indonesia. Ragu. Orang Filipina, seperti Indonesia, juga exporter TKI. Taxi Bandara lebih mahal dari taxi luar, tapi jauh lebih baik. Dan kalau kita bicara tentang mahal, dia tetap tak lebih mahal dari Jakarta. Selain taxi, juga banyak Jeepney berseliweran, dengan tarif murah.

Kernet @ Mactan

Kalau kita menutup telinga, rasanya kita masih di Indonesia. Perawakan, gaya berkomunikasi, dll, mirip kota2 di Indonesia. Tapi tentu nyaris tak ada yang pakai kerudung di sini. Buka telinga, baru kita sadar bahwa bahasanya berbeda :). Sinyal GPRS cukup baik, baik di Mactan maupun Cebu. WiFi diberikan gratis di hotel2, dengan kecepatan OK. Credit Card tak selalu diterima. Jadi, memang kita harus selalu bawa peso. Seram. Eh, tadi sudah.

Becak @ Mactan

Pisang Bakar @ Mactan

Taxi di Cebu-Mactan menyeramkan. Mirip taxi Kota Kembang di Bandung: putih, bobrok, bau. Kabel seliweran. Drivernya menyetir ngebut dan seenaknya. Bedanya dengan di Bandung: driver angkot (Jeepney) pun menyerah atas kegilaan driver taxi di sini. Resort dan tempat2 yang dikelola untuk wisata keren sekali. Pasir putih kasar (tidak halus, jadi tak mengotori baju), pohon, dan petugas yang ramah. Di Imperial misalnya, kami nggak boleh jalan masuk, tapi diberi tumpangan mobil elektrik untuk berkeliling dengan guide yang sabar dan ramah. Gak bayar apa2, padahal kami bukan tamu yang menginap, dan mereka tahu kami menginap di hotel lain.

Mactan

Oh ya … penerbangan dari Jakarta ke Cebu-Mactan itu tidak setiap hari. Jadi kami datang terlalu cepat. Jadi serasa punya hari libur. Jadi kami ke Cebu. Lihat mall juga, haha. “Silakan,” kata satpam di depan mall, sambil mengoperasikan detektor logam (Indonesia sekali kan?). Lihat2 souvenir, benar2 tak beda dengan di Indonesia. Bedanya, mereka nggak punya batik. Ada juga songkit (dengan huruf i). Penjaganya ramah. Kami berbincang panjang sambil melihat souvenir. Tapi dia sambil menyanyi, haha. Ke ATM, wow, antri panjaaang. Aku ke ATM, soalnya udah ogah ke money changer lagi. Ambil Peso dengan ATM Mandiri, tidak ada kesulitan sama sekali (selain antrinya panjang di semua ATM di mall itu). Ke toko buku, huh, bukunya Bahasa Inggris. Padahal aku mau cari buku “Pangeran Kecil” dalam bahasa Tagalog. (Mirip waktu ke Johor — aku nggak dapat “Pangeran Kecil” dalam Bahasa Melayu). Cari makan. Gilse. Baboy euh. Baboy mulu. Sea food akhirnya :). Trus ke Department Store, soalnya aku nggak punya dasi. Di Telkom udah nggak ada budaya pakai dasi sih, jadi udah nggak punya. Harganya sekilas tampak normal. Tapi kalau kita sempat mengkurs, baru kita sadar: murahnya bersaing dengan Bandung. Haha :). Hati2 nih orang Bandung. So, aku beli dasi kelabu dan ikat pinggang (punyaku sudah lama rusak, tapi masih dipakai terus). Nggak tergoda belanja — nunggu ke Bandung aja :). Hmm, padahal ada jaket keren.

Di luar mall, suasanya nggak jauh juga dengan Bandung. Ada becak (pakai motor tapi, kayak di Medan). Ada tukang jual makanan di lampu merah. Ada angkot penuh dempul. Dan ada orang2 ramah tamah di mana2 :). Cerita tentang Starbucks aku tulis di blog satu lagi. Dari mall, kami kembali ke Mactan, dan langsung ke Shangri-La, tempat IEEE Region 10 Meeting akan diselenggarakan.

PKL @ Cebu

Shangri-La terletak hanya beberapa menit jalan kaki dari Shrine of Magellan, tempat Fernao de Magalhaes tewas dalam upayanya yang gagal untuk menjajah Pulau Mactan. Malam itu IEEE belum menyediakan dinner; sementara makanan di Shangri-La mahal. Jadi kami dari Indonesia Section dan Malaysia Section bergabung cari sea food di dekat Shrine of Magellan. Ternyata masih mahal juga, haha. Abisan, yang dimakan malah lobster dan makanan unik lainnya. Tapi langsung dibayari pihak Malaysia, soalnya salah satunya adalah pejabat Region, yang biaya dinner-nya malam itu bisa dipertanggungkan ;).

Malam itu, sekalian kami mengadakan IEEE Comsoc Indonesia Chapter Special Meeting. Mumpun ketemu aja. Dua hari berikutnya adalah IEEE Region 10 Meeting, yang udah aku tulis di dua entry sebelumnya. Apa yang menarik ya? Ya, kita sambil kampanye tentang Indonesia juga, soalnya tahun 2011 kita sudah disetujui untuk menjadi tuan rumah TENCON di Bali; sekaligus mengajukan diri jadi tuan rumah Region 10 Meeting 2011 di Yogyakarta. Diskusi2 dengan delegasi2 negara2 lain, dan dengan officer baik IEEE pusat maupun Region 10. Dievaluasi juga aktivitas Section dan Chapter. Penanggungjawab Chapter2 agak kecewa bahwa di Indonesia tidak banyak Chapter yang aktif, selain Communications Society (Comsoc) Chapter. Juga dari Computer Society, didesak untuk segera membuat Computer Society Chapter di Indonesia. Aku juga ketemu officer dari Philippine Section. Mereka kecewa gara2 aku dan tim nggak sempat memberikan lecture di Manila beberapa hari sebelumnya. Sedih juga sih. Tapi aku kan masih punya kantor :D. Dia ngasih tawaran buat ngasih lecture lagi bulan2 ini. Mudah2an bisa. Laku juga ternyata orang Indonesia ngasih lecture ;). Mas pinalakas, mas pinalawak, haha :).

Acara belum sepenuhnya selesai waktu aku melejit lagi ke Mactan Airport, meninggalkan acara2 menarik (kunjungan sosial dan budaya) di Cebu. Aku mengejar pesawat ke Manila, lalu terbang ke Singapore untuk aktivitas yang lain. Pesawatnya masih miring2 aja setiap kali mau landing. Oh ya, dari dekat runway, aku lihat pesawat Cebu Pacific Air lain juga miring2 waktu mau mendarat. Sudah Standard Operation Procedure barangkali. Mudah2an nggak sering2 naik Miring Airlines itu.

Manila

Tapi, btw, aku sama sekali nggak keberatan kalau harus berkunjung lagi ke Filipina. Negeri yang menarik :). Sayangnya, sampai Indonesia, level kesehatan agak jatuh. Rada lelah dan kacau. Temen2 yang ketemu aku di Ignite pasti melihat hal yang sama :). Dan masih terasa sampai sekarang. Kurasa aku harus beristirahat dulu.

Lapu Lapu

Apa yang terbayang dari nama Cebu? Bayangan seorang Ibu Guru di SMP yang mengajar sejarah dengan begitu passionate-nya, menceritakan penjelajahan Fernão de Magalhães, pelaut Portugis yang pernah ke Melaka bersama pasukan D’Albuquerque, lalu mengabdi Ratu Ysabel dari Spanyol, dan menjelajah ke barat untuk membuktikan bahwa bumi itu bulat. Misinya berhasil. Namun dari ratusan pelaut, hanya belasan yang kembali ke Spanyol, dipimpin oleh Juan Sebastian Elcano. Magellan (begitu namanya dieja dalam bahasa Inggris) terlalu asyik menaklukkan Kepulauan Cebu. Lalu ia berminat menaklukkan pula Pulau Mactan. Namun di Pantai Mactan, Magellan tewas dalam pertempuran di air dangkal melawan pimpinan suku Mactan, Lapu-Lapu. Tentu akhirnya Spanyol menguasai juga kepulauan besar ini, yang kemudian bernama Filipina. Penjajahan Spanyol digantikan oleh Amerika Serikat, dan kini digantikan oleh orang kaya lokal. Mactan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Cebu, yang dihubungkan dengan dua jembatan besar. Cebu Airport pun terletak di Mactan. Di kota bernama Lapu-Lapu :).

Di sebuah resort di salah satu ujung kota Lapu-Lapu ini, hanya berjarak 5 menit berjalan kaki dari tempat Pertempuran Mactan itu, IEEE menyelenggarakan Pertemuan Tahunan Region 10 (Asia Pacific). Indonesia Section mengirimkan 2 wakil, ditambah 1 dari Indonesia Comsoc Chapter, dan 1 dari organiser TENCON 2011 (yang akan diselenggarakan di Bali tahun 2011). Pertemuan ini cukup lengkap. Selain para awak Region 10 dan seluruh Section di bawahnya, hadir pula Presiden Elect IEEE Moshe Kam, dan perwakilan dari Region 8 (Eropa Afrika) Joseph Modelsky.

Menarik menyimak paparan Kam. IEEE adalah hasil merger AIEE dan IRE. AIEE adalah organisasi yang secara klasik dihuni para engineer elektrik, sedangkan IRE organisasi yang dirasuki para engineer muda yang menggemari teknologi elektronika. Mirip NEFO dan OLDEFO, haha. Keduanya memiliki jumlah anggota yang terus bertambah; namun IRE melaju cepat dan melampaui AIEE. Merger keduanya ke dalam IEEE di tahun 1963 menyelesaikan masalah dualisme. Lalu dibentuklah society, region, section, dan lain2, yang berkembang hingga kini. Kini IEEE diakui sebagai pemegang autoritas dalam berbagai bidang ilmu dan profesi keinsinyuran. Dari 20 jurnal bidang elektroteknika yang paling banyak diacu, 16 di antaranya dari IEEE. Dari 20 jurnal bidang telekomunikasi yang paling banyak diacu, 15 di antaranya dari IEEE. Dan seterusnya. Namun. Dari 20 jurnal bidang medical informatics yang paling banyak diacu, hanya 2 dari IEEE. Dan dari 20 jurnal bidang nanoscience yang paling banyak diacu, tak satu pun dari IEEE. Kam menohok: mungkinkah IEEE sudah menjadi kekuatan established seperti AIEE zaman dahulu, sementara ilmu berkembang ke arah life science yang digandrungi para ilmuwan dan engineer muda, seperti IRE zaman dahulu? Maka ia menyampaikan arahan BOD: IEEE diarahkan ke teknologi yang relevan! IEEE bukan asosiasi kaum terdidik saja, melainkan harus jadi himpunan para engineer dan profesional. Bersambut dengan itu, Region 10 menyampaikan program2 yang mengarah ke peningkatan benefit ke anggota dan masyarakat melalui pengembangan organisasi, profesi, dan teknologi yang relevan dengan kekinian.

Apa sih untungnya jadi anggota IEEE? Ini pertanyaan yang sejak aku jadi Associate Member sudah sering dikaji. Aku bertahan cukup lama di sini, dengan alasan tersendiri. Tapi tak yakin bahwa alasan pribadi ini bisa ditularkan untuk membuat rekan2 bertahan juga, atau para engineer lain jadi ikut berminat masuk serta aktif di IEEE. Beberapa hal menarik yang sering disebutkan atas IEEE meliputi: akses ke engineering knowledge, peningkatan profesionalitas, kesempatan networking, bakti buat masyarakat, kesempatan karir, dan lain-lain. Namun buat para engineer di Indonesia, mungkin itu belum cukup; terutama karena organisasi ini mengenakan iuran tahunan yang menarik (istilah yang aneh, haha). Jadi kami di Indonesia Section (dan Communication Society Chapter yang sedang aku kelola) berusaha menciptakan benefit2 lebih: membuka kesempatan2 baru untuk networking, menampilkan citra profesionalitas anggota IEEE (expertise yang digabungkan dengan kepiawaian berkomunikasi manusiawi), dan menyusun serial kegiatan berbagi ilmu. Dari pusat, mulai ada policy untuk menurunkan iuran keanggotaan, agar lebih menarik. Angkanya disimpan dulu, sampai informasinya ditampilkan resmi :).

Strategi2 ini digali dan didiskusikan hari2 ini, untuk membentuk breakthrough dalam pengembangan organisasi, profesi, dan teknologi. Beberapa hal lain meliputi keprihatinan atas kurangnya peran insinyur perempuan, padahal telah terwadahi dalam Women in Engineering (WIE). Juga perlunya peningkatan peran para insinyur baru (GOLD — graduation of the last decade). Sayap filantrofi IEEE dikembangkan melalui HTC (humanitarian technology challenge). Dan masih banyak gagasan2 lain. Ada satu hari lagi, besok.

Berbeda dengan kota2 lain di Asia Timur Raya, Mactan dan Cebu ditaburi sinar matahari yang hangat sepanjang hari, nyaris tanpa awan dan mendung. Kesejukan datang dari angin laut. Suasana kota mirip kota2 agak kecil di Indonesia, dengan berbagai jenis angkot, tukang jual makanan di pinggir dan di tengah jalan, sopir taksi yang semena2 mengenakan tarif, dan sopir angkot yang biarpun gila tapi kalah gila dibanding sopir taksi. Harga2 terasa lebih murah dari Bandung, nah lo.

Penduduknya ramah, pandai berbahasa Inggris, namun sehari2 menggunakan bahasa Cebuano, yang beberapa kosa katanya mirip Bahasa Indonesia. Haha. Segala informasi ditulis dan dicetak dalam Bahasa Inggris. Tapi, hati2, di sini kita harus bawa peso kalau mau belanja atau jalan2. Serem nggak sih?

Garuda Indonesia

Sebagai majalah engineer yang UK-centric, E&T agak jarang menyebut Indonesia. Sempat dulu tiap triwulan nama Indonesia disebut, tapi dengan tema yang sama: Uni Eropa memperpanjang blokir atas penerbangan Indonesia, plus alasan panjang bahwa keseluruhan sistem penerbangan Indonesia dikendalikan oleh birokrasi yang korup dan asal2an. Entah kemana menhub masa itu sekarang. Pemicunya memang Adam Air — penerbangan milik pengusaha merangkap penguasa dan golkar. Syukur akhirnya blokir dicabut. E&T tak lupa menulis soal itu, biarpun tentu didahului oleh media2 di Indonesia. Garuda Indonesia dan Mandala boleh menerbangi dan melandas di Eropa. Pada saat yang berdekatan, Garuda juga mengumumkan perubahan style perusahaan. Logo lama, dengan tata huruf baru, dan desain2 baru yang lebih segar.

Garuda-Indonesia

Pada saat amat berdekatan, Citibank mengirimiku SMS, menawarkan upgrade Citibank Mastercard ke Citibank Platinum Garuda. Sebagai pecinta BUMN ;), aku langsung tertarik, dan langsung call ke Citibank sekitar 3 minggu kemudian. Waktu aku menjejakkan kaki di Bali (turun dari Garuda), pihak Garuda menelefonku untuk interview pengajuan GFF (Garuda Frequest Flyer) yang dipadukan kartu Citibank. Sekaligus Neng Garuda menanyai kapan aku terakhir naik Garuda, buat tambah point GFF. Dia langsung cek ke database, dan minta maaf bahwa penerbangan pagi itu yang a.n. grup tidak bisa dimasukkan. EGP :). Tak lama di Jakarta, kartu GFF biru masuk ke kotak pos. Lalu kartu Citibank Garuda dengan nomor GFF lain yang menggantikan si kartu biru.

Kartu ini nggak aneh, selain bisa buat nabung point buat lain hari bisa terbang gratis. Juga bikit kita bisa memilih antrian pendek waktu check in. Dan ia jadi pass masuk ke banyak airport lounge, yang sering terpakai karena kemacetan di negeri ini sudah mulai teratasi sehingga aku sering kepagian ke airport. Tapi tanpa kartu ini pun, Garuda memang menarik. Agen resmi Garuda ada di sebelah kantorku. Kalau kita beli tiket di sana, memilih tanggal dan jam, si agen langsung memberikan harga. Tapi ia juga memberikan alternatif jam lain yang harganya lebih murah, sekaligus harga termurah pada hari itu. Penerbangan semacam Air Asia tak mendidik agennya memiliki kebaikan hati semacam itu.

Oh ya. Aku menulis ini di atas Garuda yang lain, dalam penerbangan ke Bali lagi. Sekitar minggu lalu, Garuda mengirimkan laporan jumlah point GFF. Cukup cepat naiknya point-ku. Padahal aku nggak selalu menggunakan Garuda. Dan perjalanan ke Bali sebelumnya, yang dibeli via grup, ternyata dimasukkan juga point-nya ke total point GFF-ku.

Garuda-Indonesia

Beberapa hal unik di Garuda. Aku nggak berharap mereka baca blog ini sih, haha :).

  • Kita bisa ke web Garuda Indonesia untuk memilih jadwal penerbangan. Tapi kalau kita sudah menentukan pilihan, jika tak terlalu terdesak, jangan bertransaksi di web. Pergi saja ke agen resmi. Aku beruntung, bisa cukup jalan kaki ke agen sebelah kantor. Di sana, mereka bisa memberi harga lebih murah daripada transaksi di web. LEbih dari itu, kadang ada diskon kejutan. Misalnya waktu beli tiket ke Batam, aku sempat tanya, “Ada diskon untuk Citibank Garuda?” dan setelah membaca2 tumpukan kertas, si neng agen dengan ceria memaklumatkan bahwa aku boleh mendapatkan diskon 15%. Not bad.
  • Pun kalau masih mau beli di web, bandingkan dulu harga tiket pulang-pergi dengan jumlah harga tiket satu jalan ke arah pergi dan ke arah pulang. Beberapa kali, harga tiket pulang-pergi justru lebih mahal, pada waktu yang sama.
  • Dibandingkan low-fare airlines, tentu Garuda memang lebih mahal. Significantly :D. Namun pada hari2 tertentu, seperti menjelang Idul Fitri lalu, atau menjelang 1 Syura di Yogya seperti weekend ini, harga tiket Garuda tak terlalu melonjak, sehingga selisihnya dengan low-fare seperti Air Asia bisa hanya belasan ribu saja.

Pilot memberikan isyarat pendek. Sebentar lagi pesawat bersiap melandas. Semua perangkat elektronik harus dimatikan. Tentu, tulisan ini baru akan dipublish di darat nanti. Dan sekaligus barangkali aku mau coba2 diskon dll yang ditawarkan, hanya dengan menggunakan boarding pass Garuda. Banyak yang menarik di Bali :).

BTW, sayang sekali account twitter @GarudaIndonesia tak dimanfaatkan maksimal.

Update:

  • E&T minggu ini memuat lagi tentang Indonesia, yaitu tentang proyek Palapa Ring.
  • Pernah merasai pesawat yang bisa tanpa jeda sedikitpun, dari taxi langsung take off? Garuda Denpasar-Jakarta yang aku tumpangi menunjukkan bahwa itu bisa :).

Rahib Berkepala Biru

Kisah2 ini adalah bagian2 awal dari buku Math Hysteria dari Ian Stewart. Aku sendiri cuman iseng baca2 halaman depan buku ini, belum beli. Tapi pernah beli buku Ian Stewart yang lain, The Collapse of Chaos. Beli bukunya waktu itu di Warwick University, tempat Prof Stewart ini bekerja.

Kisahnya di sebuah biara tempat para rahib ahli logika. Rahib K (K itu simbol kejailan) iseng mengecat biru kepala rahib A dan rahib B sewaktu mereka tidur. Bangun tidur, rahib A melihat kepala B jadi biru, tapi dia tidak bisa melihat kepalanya sendiri. Namun karena sopan, ia tidak mengatakan apa2. Demikian juga B. Nah, kemudian masuklah rahib Z. Ia tampak heran. Tapi ia cuma berkata: “Setidaknya satu dari kalian kepalanya bercat biru.”

Tentu baik A dan B tahu bahwa setidaknya satu dari mereka kepalanya bercat biru. Ini kedengarannya bukan info baru. Tapi ini jelas info baru. Sekarang A melihat B, dan sadar bahwa B tidak terkejut. B sudah tahu bahwa dari tadi setidaknya satu dari mereka kepalanya bercat biru. Padahal B tak bisa melihat kepalanya sendiri. Maka kini A tahu bahwa kepalanya sendiri bercat biru. Demikian juga B. Baru pada saat itu keduanya jadi terkejut. Ini mendefinisikan informasi :). Informasi bukan hanya data, tetapi juga berkait pada pihak yang menerima dan memberikan data, dan dengan demikian menjadi relasi data. Ingat, yang diucapkan Z itu data yang A dan B sudah tahu :).

Apa yang terjadi kalau si K mengecat bukan dua tetapi tiga kepala rahib? Misalnya A, B, dan C. Paginya, A melihat kepala B dan C biru, tapi tak bisa melihat kepalanya sendiri. Demikian juga B dan C. Lalu Z masuk dan mengatakan hal yang sama: “Setidaknya satu dari kalian kepalanya bercat biru.” Lebih rumit? Sedikit. A akan berpikir seperti ini: “Kepalaku biru nggak? Misalnya nggak biru. Si B akan melihat C yang berkepala biru dan heran bahwa C tidak tampak terkejut. Lalu B akan sadar bahwa kepalanya sendiri biru, karena C pasti melihat kepalanya biru. Tapi kenapa B nggak tampak terkejut? Artinya … Aaaaa … Kepalaku biru donk.” Barulah A terkejut, bersama dengan B dan C. Asumsinya, tentu, kecepatan berpikir mereka sama cepatnya. (Bukan sama lambatnya).

Ian meneruskan kisahnya sampai 100 rahib. 100 rahib yang diam2 kepalanya dicat biru dikumpulkan di aula. Lalu pimpinan biara mengumumkan: “Saya akan membunyikan lonceng. Barang siapa yang dapat memastikan bahwa kepalanya sendiri berwarna biru, silakan angkat tangan.” Sepuluh menit kemudian, ia membunyikan lonceng. Tak ada tangan terangkat. Pimpinan biara berkata, “Aduh, saya lupa bilang: setidaknya salah satu dari kalian memang bercat biru.” Lalu ia membunyikan lonceng lagi, setiap 10 detik. Pada lonceng 1-99, tak ada tangan terangkat. Tapi pada dering lonceng ke 100, semua tangan terangkat. Kini mereka tahu, bersamaan :). Untuk memahaminya, bayangkan salah satu rahib berpikir seperti ini: “Misalkan aku tidak tercat biru. Maka 99 rahib lain tahu. Maka mereka akan melakukan deduksi berantai sampai 99 hitungan, lalu mereka akan mengangkat tangan.” Nah, sampai 99 hitungan, tak ada satu pun yang mengangkat tangan. Dan rahib tadi berpikir: “Uh, asumsiku salah. Berarti aku bercat biru.” Maka ia mengangkat tangan pada hitungan ke 100, bersama 99 rahib lain yang berpikiran serupa.

Bagaimana cara deduksi 99 rahib yang dibayangkan salah satu rahib itu? Serupa dengan logika yang sama dengan deduksi 100 rahib. Jadi sifatnya rekursi hingga 1 rahib. Sekarang, andai hanya ada 1 rahib yang bercat biru; maka ia melihat 99 rekannya tidak bercat biru; maka ia tahu bahwa ia bercat biru pada hitungan pertama, kan? Nah, itu akhir loopingnya :). Maka andai ada 68 orang dari 100 rahib yang bercat biru; pada hitungan ke 68, ke-68 raib biru itu akan mengangkat tangan, dan rahib sisanya tidak akan mengangkat tangan.

Penasaran? Malam ini coba cat biru kepala teman2 serumah kamu waktu mereka sedang tidur. Dan lihat hasilnya besok pagi.

Traffic Jam

Pramugari Air Asia punya ciri khas: mirip robot. Sapaan yang disampaikan selalu hambar, seolah user (haha) tak sedang di sana. Peragaan keselamatan pun mirip basa basi yang tak perlu dilihat lagi, diiringi Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris yang seperti tak dipisah koma, bagai emisi sebuah speech synthesizer saja. Aku nggak keberatan sih. Malah suka — membayangkan suatu hari mereka diganti robot beneran :). Ini cuman perjalanan2 rutin. Bahkan aku tak membiasakan diri berdoa sebelum take off.

Tapi, setelah peragaan yang bising itu selesai (uh, syukurlah), dan proses taxi selesai, pesawat diam membeku. Lima menit. Tampak sebuah pesawat Lion Air melakukan landing. Dan sebuah pesawat lagi. Wow, waktunya berdekatan. Dalam 15 menit itu, 5 pesawat melakukan landing. Baru pesawatku (ku, haha) bergerak. Take off? Belum. Ternyata ada Sriwijaya Air di depan, take off duluan. Huh? Otomatis aku intip lewat jendela ke belakang. Beberapa pesawat antri di belakang. Ada 8 pesawat di belakang. Jadi total ada 10 pesawat di antrian ini, termasuk Sriwijaya Air di depan. Traffic jam di Bandara!

Biasanya kata traffic jam sudah cukup membuat keengganan, perasaan tidak nyaman, bahkan cemas. Tetapi hidup di kota2 semacam Bandung dan Jakarta membuatku terbiasa dengan kemacetan2 ringan. Dan aku mulai menjadikan kemacetan sebagai sebuah kemewahan, tempat aku akhirnya memiliki waktu menyendiri. Di kemacetan pagi, aku memang kadang memanfaatkan waktu dengan membuka komputer dan mulai bekerja. Atau blogging, kalau bosan membacai angka2. Tapi kadang tampak vulgar juga kalau orang2 di luar mulai melihati (serius loh: ada aja yang iseng ikut melihat kalau kita bekerja dengan komputer di dalam mobil). Jadi akhirnya itu yang terjadi: menikmati waktu menyendiri. Di tengah kepungan pekerjaan, communities, dan Internet; menyendiri itu mewah loh :). Kapan lagi kita bisa meluangkan waktu membaca buku2 yang menyenangkan. Buku Bad Science itu, aku tamatkan baca di kemacetan rutin :). Dan kapan lagi kita bisa mendengarkan opera sampai 1 album penuh. Dan tanpa rasa bersalah: tidak ada hal lain yang bisa dikerjakan juga :).

Jadi, terima kasih pada trafik Jakarta :). Aku bisa baca buku di pagi hari, dan mendengarkan musik yang seru malam hari. Atau musik yang lebih meriah lagi di dalam pesawat (terutama kalau kebiasaan memotret langit dan awan mulai masuk tahap bosan).

Atau, ada ide kegiatan lain untuk mengisi waktu macet? Tweeting? Googling? Apa yang kira2 bisa dilakukan tanpa HP, iPod, dll? Menulis buku? Hmmm :)

Minahasa Selatan

Ini satu tempat yang paling sempurna di muka bumi :). Lembah agropolitan tempat berbagai hasil bumi aktif diproduksi, dikelilingi bukit2 Minahasa tempat kabut tebal menyerang secara sporadik, lalu meninggalkan kita di bawah matahari ramah, atau hujan lebat, dipagari Danau Muat berliku. Ini Modoinding: satu kecamatan di Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel), provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Sulawesi Utara, yang terletak di semenanjung Minahasa, bergeografis unik: tempat ini bagian dari kerutan Lingkar Pasifik, tempat gunung dan perbukitan yang tinggi langsung bersua dengan pantai2 berkarang.

Melalui jalan darat, jarak dari Manado (1°28’N 124°50’E, ibukota provinsi Sulut) ke Amurang (1°10’N 124°35’E, ibukota kabupaten Minsel) sekitar 70km, dengan menyusur pantai laut Sulawesi di kanan dan lereng bernyiur di kiri. Dari Amurang ke Modoinding (0°46’N 124°27’E) ada jarak 70 km lagi, tetapi dengan keliukan trimatra yang kadang setara Dufan :). Keliukan ini cukup membuat sebagian manusia menyerah mengarunginya (dan sebagian lagi — termasuk aku — terkapar jauh sesudahnya). Tapi perjalanan panjang ini memberikan anugerahnya sendiri: panorama alam yang fantastik, dan inspirasi dari daerah yang tengah bangkit.

Kabupaten Minsel berdiri sekitar 5 tahun lalu. Secara cepat, ia mengembangkan diri dari industri pertanian dalam skala luas. Agropolitan, mereka menyebutnya. Performa gemilang ini membuat Minsel dimaklumkan sebagai satu dari 10 kabupaten terbaik di republik kita ini. Namun orang2 Minsel tak berhenti. Mereka kini mencoba mengembangkan bisnis pertanian mereka melalui kekuatan digital: e-Local-Government di sistem pemerintahan, dan web-promotion untuk bisnis dan awareness dunia.

Keinginan itu yang kemudian membawa tim kami menjenguk wilayah ini: Amurang & Modoinding. Tim cukup lengkap, didukung Depkominfo, ELGHD, JICA, dan Telkom. Telkom, selain dibekali PR mengembangkan infrastruktur, juga memberikan konsultansi ke masyarakat tentang web-promotion. Selain itu, CSR Telkom juga menyumbangkan komputer ke ICT learning centre di Kantor Kabupaten Minsel. Asyik melihat para pelajar SMA dan SMP menyerbu learning centre yang baru ini. Ini sesuatu yang baru dimulai; dan diharapkan akan aktif digerakkan oleh community. Jurus2 Web 2.0 harus dikerahkan :).

Foto tersimpan di Facebook, dan beberapa di antaranya terdisplay di tumblelog. Catatan lain: masakan Minahasa OK sekali. Woku ikan segar, ikan panggang, kentang, hingga klappertaart ajaib yang berbahan baku kelapa dari jutaan nyiur yang tumbuh di perbukitan, tanah datar, dan pantai di provinsi ini. Negeri yang keren :). Sayang, belum sempat jumpa blogger Manado dan sekitarnya.

Medan 3.0

Ini kunjungan ketigaku ke Medan. Di kunjungan pertama, aku masih seru2nya pakai C/C++, dan markas PDI Megawati baru diserbu gangster orba. Cari duren, gagal — maag menyerang duluan. Berakhir di klinik. Kunjungan kedua, lupa kapan, tapi gagal lagi cari duren. Kunjungan ketiga … jangan sampai lolos! Duren!

Duren Ucok

OK, jadi kunjungan kali ini bertujuan untuk sharing tentang Web 2.0 dan social networks ke rekan2 se-Sumatra Raya, pulau digital Indonesia. Acara cukup sukses, dan rekan2 aktif bersama2 cari metode2 yang lebih adiktif dan menular untuk menyebarluaskan ideologi digitalism ke seluruh Sumatra. Cuman jadi agak keracunan Facebook dan terutama Plurk mereka. My fault, my sin, I have to confess. Tadinya cuman mau menunjukkan mengapa dan bagaimana aplikasi Internet bisa menular dan membuat kecanduan; tapi ternyata mereka jadi korban duluan. Tak apalah. Penularan berjalan terus. Ya, ini bisa dibahas panjang lebar lain hari. Kali ini yang penting adalah: duren! (^_^)V.

Blogger Academy

Cerita tanggal 11 Juli.

Ini untuk pertama kalinya aku ke Yogya tanpa menyempatkan diri masuk ke kraton. Cuman sampai halaman depan. Dan sempat pamit ke Sultan (dalam bayangan): “Boss, kali ini abdi nggak sowan ya. Rada sibuk neh.”  Detik2 terakhir di Yogya dipakai buat berkeliling kampus UGM, dan langsung meluncur ke Bandara Adisucipto. Check in tanpa antri, aku dipersilahkan menunggu di Garuda lounge. Kelihatannya aku bukan blogger 100%: yang aku cari bukan akses Internet duluan, tapi kopi panas. Kopi diramu sendiri, dibawa ke sofa, kubanting badan, kusesap kopi … segar. Seorang Bapak masuk. Kutatap, rasa2 agak kenal, dan beliau menatap balik. Kuanggukkan kepala memberi salam, dan beliau membalas, sebelum akhirnya aku ingat: Ini Sri Sultan Hamengku Buwono X. Duh, yang punya negeri. Tapi tak lama aku di situ, dan memutuskan membuang waktu di Periplus. Belum 1 menit, sudah 3 buku kugenggam. Hicks, serakah itu tak baik. Jadi hanya 1 kubawa ke kasir: Wikinomics. Amex-ku ditolak. Hmm, memang tak keren Amex ini sejak dikelola Bank Danamon. Jadi pakai HSBC – diskon 10% :).

Di angkasa, buku itu tak terbaca juga. Penerbangannya singkat. Aku duduk dekat jendela kiri, jadi tak bisa melihat Merapi dari atas. Yang kelihatan malah keraton lagi, diapit alun2 utara dan alun2 selatan. Tapi tak lama, tampak sebuah gunung lagi. Nanti kita cari namanya deh :). Trus pantai utara. Trus Jakarta. Bergegas turun, nyaris balapan lagi sama … Sultan, hush. Istirahat di luar, dan membiarkan seorang bocah kecil yang gagah meluangkan waktunya untuk menyemir sepatuku. Damri mengantarku ke kawasan Slipi. Dan aku mulai sleepy. Turun dari bis, ojek mengangkatku menyelip di kawasan Palmerah yang padat, dan aku turun di kantor Kompas Gramedia.

Di kantin Sasana Budaya, Mas Pepih menyambut. Ada Mas Budi Putra dan Mas Adam Infokomputer juga. Es kapucino digelontorkan ke darah buat melawan kantuk. Dan waktu2 berikutnya, bergabung juga rekan2 blogger dari Asiablogging. Menjelang matahari tenggelam, semuanya beranjak, ke Ancol.

Di Ancol, kami melandas di Segarra. Pak Taufik Mihardja (Direktur Executive Kompas.com) dan Pak Budi Karya (Direktur Utama Jaya Ancol) sudah menanti, dikelilingi tim yang cukup lengkap. Tapi acaranya tak formal. Berbincang2 segitiga antara Ancol, Kompas, dan para blogger ABN. Materi perbincangan ditulis lain hari deh :). Intinya adalah ketertarikan pihak Jaya Ancol untuk memahami dan memainkan komunikasi melalui media online, baik media online maupun blogging (para blogger sendiri diundang oleh Kompas). Rincian menyusul. Capuccino kedua menyegarkan pikiran. Tapi perbincangan dihentikan untuk melihat atraksi Police Academy – aksi stuntmen dari Italia yang dikemas mengikuti film Police Academy. Rame sih, asal sebentar melupakan soal global warming dan makin langkanya BBM. Makan malam menyusul, dengan Mbak Mety (manager promosi Ancol) kita daulat sebagai pemberi rekomendasi. Yang beliau rekomendasikan a.l. crab, dan – yang aku ambil – lamb tongseng. Rame sih, asal sebentar melupakan soal kolesterol. Perbincangan informal diteruskan, sampai kemudian Fauzi Bowo, Gubernur DKI, mendadak bergabung. Tapi beliau didaulat bergabung berfoto saja :), bukan didaulat blogging :). Di situ diskusi ditutup dan diakhiri.

Diskusi2 tentang blogging memang selalu menarik, dan masih akan menarik. Benda satu ini membuat seorang user menjadi publisher, dengan cara yang mudah dan murah, dan langsung bisa saling mengait dengan jalinan informasi internasional. Salah satu misi kita memang mendorong agar demokrasi dan sosialisme informasi (sekaligus kapitalisasi Web 2.0) ini jalan. Jadi tidak pernah ada keinginan untuk mengeksklusifkan para blogger, atau memberi kemanjaan kepada para blogger. Sebaliknya, para blogger (dan user lain yang diajak menjadi blogger) diharap jadi punya power lebih untuk lebih dapat membantu masyarakat sekitarnya menikmati taraf hidup (ekonomi, pendidikan, dll) yang lebih baik. Siap, para blogger?

Valuetainment

Tadinya aku tak diagendakan untuk ke kota ini. Tapi memang semua tahu, aku harus dibawa ke sini, tak terelakkan. Maka dengan persiapan singkat, aku sudah di KA Lodaya Bandung-Solo dan melandas di Yogya sebelum adzan subuh digaungkan. Mengikuti alur Malioboro, aku melangkah sendiri, dan menghentikan langkah di alun2 utara, lalu menemani hidup yang mulai bangkit saat langit gelap berubah menjadi merah, dan puncak Merapi berabu tebal tampak jernih kemerahan di utara. Aku sengaja membuang lebih dari 1 jam untuk kemewahan semacam ini: waktu luang tanpa memikirkan apa pun selain menatap puncak berabu, memancing nuansa inspirasi yang tidak verbal.

Aku ke Yogya dengan judul Forum Content Nasional. Di forum ini, kami berbagi kisah2 pengembangan content, yang memang harus berbeda per wilayah, segmentasi customer, dan komunitas2. Forum dibuka Ketua Gugus Konten Widi Nugroho. Suasananya Internet 2.0 sekali, dengan keyakinan akan konsep prosumer, dan partisipasi komunitas yang makin besar untuk membentuk produk. CIO Indra Utoyo melontarkan istilah valuetainment, yang memiliki aspek spiritualitas, kreativitas, dan  knowledge. Lalu setiap DEGM menceritakan pengembangan content di divisi masing2. Aku didelegasii bercerita tentang Divre 3, Jabar Cyberland.

Hari ini forum dibagi dalam tiga kelompok. Aku bergabung di forum content development. Tapi di tengah2, aku malah sharing cerita pengembangan komunitas dengan Bu Ani. Ini my smart ex-boss yang sekarang jadi GM di Semarang. Trus balik ke forum.

Hasil forum ini dipaparkan di http://mmmm, nggak jadi ah :). Sementara itu, web kun.co.ro malah tewas. Sang hoster membunuhnya dengan alasan (seperti yang mereka bilang) bahwa site ini memakan resource prosesor hingga 300% (ajaib, bisa lebih dari 100%), dan membuat seluruh account terkena beban lebih. Kayaknya aku memang salah pilih hoster. Siap-siap migrasi lagi :).

Besok forum akan ditutup. Trus aku terbang ke Jakarta untuk jadi tamu di acara komunitas yang lain lagi :). Kayaknya memang sibuk, tapi asik juga sih. Valuetainment in real world.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑