Page 16 of 209

Hercules

Masih Mei, tapi minggu yang baru berlalu boleh dinamai minggu 24/7. Perjalanan, koordinasi, presentasi, dan persiapan presentasinya: Jakarta, Bandung, Jakarta, Yogya, Jakarta; 24 jam selama 7 hari. Tamu di kantor pun harus ditundai. Blog dilupakan dulu. Baru sekarang aku punya waktu untuk blogging.

Beterbangan (mmm) melintasi negeri dengan pesawat komersial; aku kadang masih ingat waktu2 aku sering menumpang pesawat TNI-AU. Hercules, Cassa, dll. Jalur umum: Malang ke Bandung, atau Malang ke Jakarta.

Hampir seluruh penerbangan mengambil waktu pagi, sekitar jam 6 atau 7. Selalu ditimbang dulu badan penumpang setiap akan naik pesawat. Aku selalu pakai ransel setiap ditimbang: biar berat badan mendekati 50kg. Malu kan kalau terlalu ringan :).

Mesin menderu kencang memekakkan setiap pesawat siap take off. Tetapi — pun saat take off — di dalam anak2 kecil masih berlarian. Dan air crew masih berdiri di dekat pintu belakang, dengan rokok terus menyala. ‘Kursi’-nya berupa kursi gantung; dan kami berpegangan saat kursi itu mengayun.

Jalur penerbangan pun bisa tentatif. Kadang aku cuman diinformasii bahwa paginya ada flight. Aku bisa lupa, ini flight ke Jakarta atau Bandung. Peduli ah, pokoknya berangkat dulu :). Tapi, jalurnya bisa lebih bervariasi. Pernah, penerbangan dari Malang ke Bandung mengambil jalur: Malang – Surabaya – Madiun – Makassar – Jakarta, dan terlalu malam untuk meneruskan ke Bandung.

Tapi pendaratan di Bandung memang paling menarik. Landasannya pendek, sampai sekarang. Pesawat menderu keras saat dia harus mengurangi kecepatan di jalur pendek itu. Dan kadang pesawat bisa memantul: turun, menyentuh landasan, memantul, naik lagi, turun, menyentuh landasan lagi. Asik sih.

Pernah membayangkan flight mirip angkot? Hmmm :). Ceritanya, pesawat dari Malang itu seharusnya bertujuan ke Bandung. Tetapi ada instruksi untuk mendarat di Jakarta. Masalahnya, ada beberapa personal yang benar2 harus ke Bandung segera. Jadi tampaknya mereka memutuskan untuk …. mmm. Begitulah. Di atas Bandung, kami dimaklumati: “Yang turun Bandung, ke depan!” Wow, aku di belakang, dan jalur jalan penuh barang. Jadi harus berjalan semi-melompat, saat pesawat turun dan landing. Tiga orang sudah turun. Aku teriak: “Bandung Pak!” dan crew di pintu teriak ke ruang pilot: “Tunggu, satu lagi!” Aku bergegas ke pintu. Pesawat sudah mulai bergerak lagi waktu aku melompat ke luar. Mau lari ke tepi landasan, dari samping terdengar teriakan: “Tiarap dulu! Awas baling-baling!” Aku tiarap, sampai pesawat melewati, dan pergi ke jalur pacu lagi. Berdiri, aku jalan ke samping, dan tak melihat satu petugas pun — mereka sudah kembali ke ruang. Sampai jalan ke luar, tak ada petugas tampak di mata, termasuk tiga penumpang yang tadi turun sebelum aku. Sampai aku keluar bandara, dan jalan ke tempat angkot di Andir.

Dan kenangan2 semacam itu bikin aku terhenyak mendengar jatuhnya Hercules tanggal 20 Mei kemarin, menewaskan sekitar 100 manusia. Dukaku untuk Keluarga TNI-AU.

Hlör u Fang Axaxaxas Mlö

Padahal kata labirin lebih mengingatkanku pada satu sesi dari serial The New Avengers. Tapi, Jorge Luis Borges, penulis dunia itu (kurasa tak perlu di waktu ini menulis, misalnya, ‘penulis Argentina’) gemar sekali dengan labirin dan pelbagai variasinya.

Borges kukenal pertama kali dari salah satu edisi awal Jurnal Kalam (yang dulu terasa mahal sekali). Cerpennya berjudul Tlön, Uqbar, dan Orbis Tertius. Terasa luar biasa, ia langsung tertamatkan, terbaca lagi. Melintas waktu, sempat ia terdiskusikan — di mail ke Nita, dan di mail ke salah satu mail group di Isnet. Di masa ini, cerpen ini mudah digoogle, dan kajiannya bisa dilirik di kepustakaan wiki. Bentuknya sastra fantasi, bermain dengan ekstrapolasi atas idealisme Berkeley. Stylenya, duh, menggabungkan antara yang real (menggunakan beberapa tokoh, termasuk Borges, penulis Bioy Casares dan Schulz Solari; juga mengupas pandangan Berkeley, Hume, Meinong, dll), yang fiktif (tokoh Herbert Ashe), dan yang fiktif (di dalam kefiktifan cerita itu, ia pun fiktif, seperti negeri Uqbar sendiri dan berbagai budaya, bahasa, dan pandangan hidupnya). Yang lebih menjengkelkan, gayanya betul-betul dibuat seperti reportase non fiksi. Misalnya, ia menambahkan satu bagian yang dimulai seperti ini: “Postskriptum (1947). Artikel di atas saya tampilkan sebagaimana aslinya, seperti termuat dalam Antologi Sastra Fantasi (1940).” Postskriptum fiktif :). Ini semua adalah cerpen yang diterbitkan tahun 1940; termasuk postskriptum bertahun 1947 itu :). Btw, Tlön sendiri adalah ruang hidup dimana bangsa di dalamnya berpandangan idealis tulen, sehingga bahasa dan turunannya (agama, sastra, metafisika) semua berlandas idealisme. Dunia bukanlah sekumpulan obyek dalam ruang, melainkan rentetan tindakan mandiri. Semuanya temporal, bukan spasial. Judul entry blog ini adalah contoh satu kalimat dari salah satu dialek Tlön yang berarti “ke atas dari balik yang mengalir tersebut beranjak membulan.”

LKIS sempat menerbitkan kumpulan terjemahan cerpen Borges, dengan judul Labirin Impian (1999). Nirwan Dewanto menulis pengantar terjemahan itu. Di dalamnya kita bisa melihat evolusi pola permainan Borges. Beberapa cerita agak mirip. Kisah labirin “Ibn Hakkan al-Bokhari”  dan kisah “Bentuk Pedang” bercerita tentang pengkhianat yang melintas negeri yang jauh (dari Arab ke Inggris di cerita pertama, dari Irlandia ke Brasil di cerita kedua); dengan penceritaan yang secara mengejutkan mendadak mengubah obyek menjadi subyek. Entah kenapa aku jadi ingat Agatha Christie (di mana tokoh kriminal bisa anak kecil [Josephine], polisi [Three Blind Mice], atau semua orang [Orient Express], atau aku [Roger Ackroyd]).

Kisah Funes si Pengingat mengingatkan aku (aku tidak boleh menggunakan kata ini: ingat) akan diskusi di Isnet juga; bahwa manusia mengenal simbol, sementara malaikat tidak — maka manusia lebih mulia. Funes ini jadi contoh Borges untuk itu. Setelah sebuah kecelakaan, otaknya bekerja tanpa simbol: ia mengingat semua hal. Seluruh angka dipahaminya tanpa penyederhanaan ratusan, puluhan, satuan. John Locke pernah mencoba membayangkan (dan menolak) bahwa setiap benda, batu, burung, bisa punya nama tersendiri. Ia menolaknya karena terlalu rumit. Funes, di lain pihak, menolaknya karena terlalu general. Anjing pada pukul 3:14 (tampak dari depan) haruslah dinyatakan berbeda dengan anjing (yang sama) dilihat pada 3:15 (dilihat dari samping). Tapi, untuk membuatnya makin seru, bayangkan bahwa pikiran dan ingatan kita sendiri pada itu kemudian haruslah memiliki pernyataan yang berbeda.

Sekarang tentang Tuhan. Kisah Mukjizat Rahasia menceritakan seorang penulis Ceska yang dihukum mati tentara Jerman, seminggu setelah disidang. Selama seminggu ia merasakan dari frustrasi, apatis, dan pada hari terakhir ia membuang pikirannya dengan merancang sebuah plot cerita. Ia berusaha menyempurnakan plot itu. Lalu ia bermohon kepada Tuhan, bahwa “Kalau benar aku ada, bukan sekedar kekeliruan plot-Mu, aku minta waktu setahun untuk memperbaiki dramaku.” Pagi harinya, pukul 9:00 (orang Jerman harus tepat waktu), ia disiapkan di depan tembok (seperti kerepotan orang mau bikin foto), lalu pasukan disiapkan, peluru ditembakkan; lalu waktu berhenti … selama setahun … hingga tokoh kita dapat menyelesaikan dramanya di dalam hati, secara lengkap, plus melakukan koreksi lengkap hingga sempurna. Saat drama itu selesai, waktu berjalan kembali, dan matilah sang pengarang.

Tapi satu cerita sebelumnya, “Tulisan Tangan Tuhan” sering kusadur waktu membahas tentang dunia para sufi (zaman dulu), justru berkomplemen (dan karenanya identik). Kisahnya tentang ahli sihir piramida Qaholom yang telah dibumihanguskan pasukan Pedro de Alvarado. Disiksa, dinista, dikurung, ia menghabiskan waktu mengingat dan memperdalam ajaran tradisinya — semuanya didalam hati. Ia merasakan penyatuan semesta, dan segala keindahannya. Ia merasakan kekuatan semesta dengan itu bangkit. Ia menjadi kuat. Ia menjadi sang maha perkasa. Kata-katanya sanggup untuk menghancurkan kembali musuh-musuhnya, dan menegakkan kembali kerajaannya. Tapi .. tapi … pada saat itu, segalanya tak penting lagi baginya. Barang siapa telah memahami rancang bangun semesta dan keindahannya, tak lagi harus memilih siapa yang harus naik dan turun dalam hidup fana manusia. Ia membiarkan hari-hari mengakhiri hidupnya.

Notung! Notung! Niedliches Schwert!

“Ein Schwert verhieß mir mein Vater,” teriak Siegmund di wisma Hunding pada Act 1 dari Die Walküre. Mein Vater juga punya pedang yang keren, terpajang indah di ruang tamu rumah Mama di Arcamanik. Dan tak sengaja, aku juga jadi kolektor minatur pedang berbagai bangsa. Terima kasih buat para manusia keren dan baik hati yang sudah ikut menyumbang buat koleksiku.

Tapi waktu mendengar pekik semangat Siegfried, “Notung! Notung! Niedliches Schwert!” — yang terbayang justru pedang yang lebih tajam: pena. Ia menghujam bukan saja rerangkai fisik yang lemah, namun juga rerangkai ide dan memetika. Pedang ini bukan lebih tajam memutus dan menghentikan, tapi juga mengulir, menjalin, menunjuk, menyebar.

Pena masa kini bisa berupa keyboard, mouse, stylus, touch screen. Lesatannya di atas jaringan mobile dan Internet melampaui yang bisa dibayangkan para penemu kertas dan mesin cetak. Perang kata, memetika, diskursus di atas media maya lebih menarik daripada perang yang menumpahkan darah.

Tapi, buat aku sendiri, pena masih memiliki nilai emosional yang berbeda. Ujungnya yang benar-benar masih tajam mengingatkan power yang dimiliki ketajaman mata pedangnya. Sentuhan dan gerakan kita atasnya memindahkan bukan saja simbol dari ide kita, tetapi juga semangat dan aliran hayati yang betul-betul tergerakkan oleh semangat itu. Jadi memang agak lucu, melihat teman2 berkomunikasi dengan iPhone atau semacamnya, sementara aku masih membawa buku kecil dan pena. Haha, lebay :). Aku juga bawa mobile browser ke mana-mana kok; sejax PDA pertama memiliki akses GPRS :).

Mulai berhenti mengkoleksi miniatur pedang, aku malah nggak sengaja mulai mengkoleksi pena. Ya, ini simbolik. Hidup juga cuman :).

Meraup Pendapatan dalam Dollar

Ya, ya. Ini kuno. Scammer zaman sekarang sudah menggunakan kata-kata yang lebih menunjukkan bahwa mereka punya otak juga (biarpun kapasitasnya cuman seperenamnya kita-kita). Eh, tapi masih ada dink yang masih pakai kata-kata mirip di atas.

Di sore berhias mendung itu, aku mendapati 3 amplop dari IEEE Computer Society. Satu menawarkan digital library. Satu memberi tahu bahwa akan datang surat berisi survei pembaca majalah IT Pro. Dan satu lagi survei itu. Surveinya cuma 4 halaman A4. Pakai kertas, huh. Zaman gini masih survei pakai kertas. Disertakan juga amplop yang tidak lagi perlu diperangkoi. Pokoknya tinggal isi, dan kirim, tanpa biaya. Eh, tapi terus ada selembar uang sedolaran di atasnya. Hah?

Tulisannya: uang itu bukan pengganti jerih payah; tetapi sedikit penghargaan karena telah mengirimkan survei dengan cepat. Hihi, ini mah maksa. Kan nggak mungkin kita balikin satu dollar itu tanpa mengirimkan via surat. Dan kalau punya waktu untuk mengirimkan ke kotak pos, kenapa nggak sekalian dikirimkan itu hasil survei?

Kreatif atau jail?

Terbit: Internetworking Indonesia

Hari ini diterbitkan Edisi Perdana dari Internetworking Indonesia Journal. Jurnal ini berfokus pada pengembangan ICT di Indonesia. Paper di dalamnya lebih banyak bertemakan pengembangan infrastruktur internetworking. Jadi memang banyak berisi muatan teknis. Namun jurnal ini juga mewadahi sisi-sisi sains, sosial, regulasi, pendidikan, dan hal-hal lain yang terkait dengan pengembangan ICT. Hal-hal yang bersifat interdisiplin lebih disukai :)

Dengan editor sebagian besar dari Indonesia, IIJ (begitu menyingkatnya, jangan dibalik) diterbitkan di Cambridge, Massachusetts. Mengusung semangat Open Access, jurnal ini hanya diterbitkan online, dan dapat diunduh gratis dari sitenya.

URL Edisi Perdana: internetworkingindonesia.org/iij-vol1-no1-spring2009.html.

Daftar isi edisi perdana:

  • Editors’ Introduction (PDF)
  • The Overhead and Efficiency Analysis on WiMAX’s MAC Management Message
    by Ardian Ulvan, Vit Andrlik & Robert Bestak (PDF)
  • Loop-back Action Latency Performance of an Industrial Data Communication Protocol on a PLC Ethernet Network
    by Endra Joelianto & Hosana (PDF)
  • “Wayang Authoring”: A Web-based Authoring Tool to Support Media Literacy for Children
    by Wahju Agung Widjajanto, Michael Lund, & Heidi Schelhowe (PDF)
  • Studi atas Prilaku Pengguna Layanan Wide Area Network (WAN) BPKP
    by Desi Nelvia & Rudy M. Harahap (PDF)
  • Issues in Elliptic Curve Cryptography Implementation
    by Marisa W. Paryasto, Kuspriyanto, Sarwono Sutikno & Arif Sasongko (PDF)

PDF lengkap edisi perdana: (PDF). ISSN = 1942-9703.

IIJ: Draft Version

Mas Thomas Hardjono pagi ini mengirimkan draft Edisi 1 dari Internetworking Indonesia Journal (IIJ). CFP-nya pernah dipampangkan di blog ini tahun lalu. Bulan-bulan terakhir ini, Mas Thomas nyaris sendirian mengepalai proses editing jurnal ini.

Tentang IIJ sendiri, demikian ditulis pada jurnal itu:

The Internetworking Indonesia Journal (IIJ) was borne out of the need to address the lack of an Indonesia-wide independent academic and professional journal covering the broad area of Information and Communication Technology (ICT) and Internet development in Indonesia. The broad aims of the Internetworking Indonesia Journal (IIJ) are thus as follows:

  • Provide an Indonesia-wide independent journal on ICT: The IIJ seeks to be an Indonesia-wide journal that is independent from any specific institution in Indonesia (such as universities and government bodies). Currently in Indonesia there are a number of university-issued journals that publish only papers from those respective universities. Often these university journals experience difficulty in maintaining sustainability due to the limited number of internally sourced papers. Additionally, most of these university-issued journals do not have an independent review and advisory board, and most do not have referees and reviewers from the international community.
  • Provide a publishing venue for graduate students: The IIJ seeks also to be a venue for publication for graduate students (i.e. Masters/S2 and PhD/S3 students) as well as working academics in the broad field of ICT. This includes graduate students from Indonesian universities and those studying abroad. The IIJ provides an avenue for these students to publish their papers to a journal that is international in its reviewer scope and in its advisory board.
  • Improve the quality of research & publications on ICT in Indonesia: One of the long term goals of the IIJ is to promote research on ICT and Internet development in Indonesia, and over time to improve the quality of academic and technical publications from the Indonesian ICT community. Additionally, the IIJ journal seeks also to be the main publication venue for various authors worldwide whose interest include Indonesia and its growing area of information and communication technology.
  • Provide access to academics and professionals overseas: The Editorial Advisory Board (EAB) of the IIJ is intentionally composed of international academics and professionals, as well as those from Indonesia. The aim here is to provide Indonesian authors with access to international academics and professionals within the context of a publication that is aware of the issues facing a developing nation. Similarly, the IIJ seeks to provide readers worldwide with easy access to information regarding ICT and Internet development in Indonesia.
  • Promote the culture of writing and authorship: The IIJ seeks to promote the culture of writing and of excellent authorship in Indonesia within the broad area of ICT. The availability of an Indonesia-wide journal with an international advisory board may provide an incentive and impetus for young academics, students and professionals in Indonesia to develop writing skills appropriate for a journal. This in-turn may encourage and train them to subsequently publish in other international journals.

Tunggu versi finalnya ya. Free of charge.

LTE: Long Term Evolution

Awal tahun ini, Telkomsel menjadi operator seluler pertama di Indonesia yang menyatakan mulai mengimplementasikan LTE (long-term evolution). Blog ini pernah membahas LTE, bersama dengan UMB dan WiMAX II, sebagai kandidat 4G. Namun LTE dianggap paling siap melangkah untuk mengarah ke 4G. 20 operator di dunia, merepresentasikan 1,8 miliar subscriber, telah menyatakan komitmen ke LTE; termasuk NTT Docomo, China Mobile, Vodafone, Verizon, T-Mobile, dan AT&T. NGMN Alliance mengakui LTE sebagai teknologi pertama yang memenuhi kualifikasi NGMN. Dan akhirnya Qualcomm – yang menjadi pendukung utama UMB – memutuskan ikut mendukung LTE alih-alih meneruskan UMB.

LTE, bersama dengan SAE (service architecture evolution), adalah inti kerja dari 3GPP Release 8. Inti atau core LTE disebut dengan EPC (evolved packet core). EPC bersifat all-IP (semua IP, dan hanya IP), dan mudah berinterkoneksi dengan network IP lainnya, termasuk WiFi, WiMAX, dan XDSL. LTE juga diharapkan mendukung network broadband personal, dengan memadukan layanan mobile dan fix. User tak harus menunggu network yang lebih stabil, misalnya untuk upload file video. LTE harus siap secara teknis (dan ekonomis) untuk menampung trafik yang dinamis dari Web 2.0, cloud computing, hingga beraneka macam gadget. ABI Research memproyeksikan bahwa perangkat seperti kamera, MP3 player, video, dll yang dilengkapi kapabilitas network akan mendekati jumlah setengah miliar unit pada tahun 2012.

Trafik yang tinggi dan dinamis itu mengharuskan penggantian kembali sistem transmisi. Dari TDMA di 2G dan CDMA di 3G, teknologi 4G akan menggunakan OFDMA, yang sekali lagi akan meningkatkan efisiensi spektrum. Kecepatan rerata berkisar pada 15 Mb/s dengan delay 15ms, walaupun nilai maksimal diharapkan dapat mencapai di atas 200Mb/s pada bandwidth 20MHz. Ya, LTE bisa bekerja pada bandwidth 1.4 hingga 20 MHz.

Akses radio akan berdasarkan penggunaan kana bersama sebesar 300Mb/s pada arah turun dan 75Mb/s pada arah naik. Jika pada 2G/3G, akses radio akan terkoneksi pada circuit-switched domain, maka E-UTRAN pada LTE hanya akan terkoneksi pada EPC. Akses radio teroptimasikan untuk trafik IP.
SAE, berbeda dengan sistem sebelumnya, hanya memberikan dua node pada user plane: base station (disebut eNodeB) dan gateway. Jumlah dan jenis persinyalan diminimalkan. RNC (radio network controller) dimasukkan sebagai satu fungsi dalam eNodeB, yang menjadikan proses handover dikelola sepenuhnya oleh eNodeB – mirip UTRAN pada 3G.

LTE akan digelar pada beraneka band spektrum. Diharapkan band baru 2,6GHz dapat digunakan, karena kapasitasnya memungkinkan untuk penyediaan band hingga 20MHz. Namun LTE juga bisa digelar pada band bekas GSM di 900MHz dan 1800MHz.

Barangkali pas kalau LTE kita jadikan tema IEEE Lecture Roadshow tahun ini. Tapi tebak: Flexi nantinya ke mana? Ikut ke LTE menemani Telkomsel, atau ke WiMAX II?

Besi Berdarah

Memang idenya dari Siegfried. Ini bagian 3 dari tetralogi Der Ring dari Wagner, dan aku lihat produksi Bayreuth di bawah conductor Boulez. Di Act 1, Mime si bajang jahil sibuk di pekerjaannya sebagai pande besi, dan mengajari Siegfried mengolah besi juga. Tapi tata panggung Act 1 ini luar biasa. Kita melihat perangkat pande besi skala menengah dengan roda putar, penumbuk dan pengeras berapi yang terus berdentang; diiringi riuh musik string yang rancak nian. Besi sendiri memang sejak zaman prasejarah telah mempengaruhi budaya manusia; dan ketinggian budaya ditentukan kualitas besi yang dibuat. Pedang Turki meyakinkan bangsa Kaukasia bahwa Eropa masa itu kalah budaya dibanding Asia. Di RRC zaman Mao, kekacauan budaya ditunjukkan oleh kualitas besi yang dibuat masa itu. Qur’an bahkan berkisah tentang peran besi dalam budaya. Eh, tapi aku mau membahas hal lain, yaitu besi di darah kita.

Pernah dengar hemokromatosis? Ini kelainan turunan yang mengganggu metabolisme besi. Seharusnya, jika darah kita memiliki cukup zat besi, badan akan berhenti menyerap besi dari makanan. Tapi hemokromatosis menghentikan mekanisme ini. Jadi darah kebanjiran besi. Dan apapun yang berlebihan itu jadi racun. Besi mengganggu kimia badan dan mulai merusak organ: hati, jantung, diabetes, artritis, otak, gejala psikiatrik, hingga memicu kanker. Hemokromatis bukan penyakit menular seperti malaria, atau penyakit akibat kejorokan seperti kanker paru-paru yang dipicu asap rokok. Kelainan ini turunan, dan tak hilang oleh evolusi. Istilah evolusinya: manusia memang membutuhkannya. Jadi mirip adanya 4 golongan darah. Nah.

Tapi soal hemokromatosis ini memang mirip golongan darah. Satu contoh, pada abad ke-14 masehi, di Eropa berjangkit wabah bubonik yang mematikan. Hampir setengah Eropa tewas: sebuah angka di sekitar 25 juta. Sisanya berputus asa. Orang Yahudi dibakari. Uh, jangan2 itu memang kebiasaan Eropa. Orang Yahudi memang tak sebanyak orang non-Yahudi terkena penyakit seram itu. Tapi bukan karena sihir seperti tuduhan khas Eropa. Saat awal wabah, mereka sedang beribadah puasa panjang, yang menjauhkan mereka dari makanan tempat awal penularan. Begitulah. OK, yang seharusnya kemudian jadi pertanyaan: kalau memang penyakit itu mematikan, kenapa tidak kemudian seluruh Eropa punah? Karena ini cuman blog, kita bisa menebak jawabannya: pasti orang yang selamat adalah yang memiliki kadar besi yang terlalu tinggi di darah. Haha: benar dan salah. Jangan lupa, segala agen infektor malah memerlukan besi di darah kita untuk berkembang. Makin banyak besi, makin cepat mereka berkembang. Pada kasus bubonik, lelaki dewasa yang sehat paling banyak jadi korban, karena kadar zat besi mereka baik. Kaum wanita, orang tua, anak2 — yang lebih telantar di masa itu — persentase punahnya tak sebesar lelaki dewasa. Syukurin — egois sih.

Lalu penderita hemokromatosis? Badan mereka memang terus menyerap zat besi sampai tahap yang membahayakan organ. Tapi mereka menyerap besi juga dari badan mereka sendiri mereka sendiri. Dan sel penjaga imunitas mereka — sejenis sel darah putih yang disebut makrofage — jadi nyaris tak memiliki besi sama sekali. Setiap infektor yang masuk akan dikeroyok makrofage ini. Pun andai si infektor menang, ia akan dikelilingi sel tanpa zat besi, dan tak bisa berkembang, lalu mati kelaparan. Hemokromatosis memungkinkan sebagian manusia masih selamat dari wabah yang besar, lalu memberikan keturunan hingga sekarang. Sebuah penyakit yang jadi berkah. Itu tadi di sisi pria. Di sisi wanita, kasus yang berbeda tapi mirip juga terjadi. Saat sebagian besar wanita masa itu menderita anemia dan kurang gizi, wanita penderita hemokromatosis jarang terkena anemia, dan bisa beranak pinak lebih sehat — tapi membawa gen hemokromatosis juga. Kalau kita serius berfikir, jangan2 semua penyakit itu berkah. Hihi, kayaknya banyak yang berdoa biar aku dapat berkah.

Hemokromatosis sendiri baru dikenali manusia melalui serentetan temuan di abad ke-19. Namun sebelumnya berbagai umat manusia menemukan bahwa bagi orang-orang tertentu, penyakit tertentu dapat diredakan dengan membuang besi dari badan. Dan karena belum ada teknologi untuk memisahkan besi dari darah, yang mereka lakukan adalah membuang darah dari badan. Semacam bekam. Ini dikenal sejak zaman Mesir penyembah berhala, dan memuncak pada … abad ke-19 :). Di abad itu, nyaris di seluruh dunia, terapi bekam dilakukan untuk nyaris semua penyakit: peradangan, syaraf, batuk, demam, mabuk, rematik, hingga — gilanya — penyakit kurang darah. Konon George Washington (di abad sebelumnya) meninggal setelah dibekam. Tak jelas apakah ia meninggal akibat infeksi atau akibat dibekam kebanyakan. Lalu terapi ini mulai turun karena dianggap tidak higienis. Sebenarnya bukan soal higienis, tetapi bahwa memang tidak seluruh manusia tepat diterapi dengan ‘pengobatan’ semacam ini. David, eh bekam, dalam level moderat, memang dianggap memiliki efek tertentu. Selain mengurangi zat besi yang bisa dipakai infektor berkembang (sambil mengurangi besi yang dipakai buat badan kita sendiri), keluarnya darah juga memicu tubuh pasien untuk membangkitkan hormon vasopressin, yang kemudian meningkatkan imunitas tubuh. Namun tetap dianjurkan bahwa terapi semacam ini hanya dilakukan oleh orang yang terdidik medis; bukan cuman tabib yang pakai pipa-pipa sederhana berbentuk fancy, lengkap dengan claim bohong bahwa perangkat macam itu bisa “menyaring” “darah kotor” — hihi.

Kembali ke besi … eh Siegfried sudah membunuh naga bercincin emas dengan besi itu. Duh. Kasihan naganya.

Engineer Paling Berpengaruh

Edisi Januari jurnal E&T (dari IET) menampilkan 25 engineer yang dianggap paling berpengaruh. Judulnya Top Movers and Shakers. Lalu para pembaca (para anggota IET) diminta melakukan online-voting untuk memilih engineer yang paling berpengaruh. Survei masih berlangsung hingga akhir bulan ini. Sementara ini, urutan hasilnya adalah sbb:

Tim Berners-Lee 18%
Vinton Cerf 9%
Andrew Viterbi 9%
James Dyson 6%
Gordon Moore 6%
Jonathan Ive 5%
Alec Broers 5%
Julia King 4%
Rattan Tata 4%
Richard Stallman 3%
Adrian Newey 3%
David Eyton 3%
Victor Scheinman 3%
Tsugio Makimoto 3%
Gordon Conway 2%
Peter Coveney 2%
Nick Winser 2%
Tom Knight 2%
Andy Hopper 2%
Alex Dorrian 2%
Woo Paik 2%
Bob Ballard 2%
Kumar Bhattacharyya 2%
Ray Ozzie 1%
John Housego 1%

Kebetulan tiga nama teratas adalah nama yang jadi kandidat untuk aku pilih juga. Haha, aku nggak golput dalam hal ini. Dari tiga itu, akhirnya aku memilih Viterbi, dan tak terkejut melihat result sementara ini. Web (Berners-Lee), Internet (Cerf), digital mobile (Viterbi) menyusup cepat dan sudah jadi bagian significant dari hidup kita sekarang. Gerakan free software (Stallman) belum dianggap sepenting itu.

Viterbi — semua anak elektro pasti kenal nama ini — memformulasikan sebuah algorithm yang dapat mendekodekan data yang terkodekan secara terkonvolusi. Umumnya mahasiswa yang mendalami telekomunikasi pernah mencobai algoritma Viterbi ini secara grafis, sebelum mencobainya dalam bentuk algoritma komputasi. Algoritma ini memungkinkan proses dekode untuk dapat secara matematis mengkoreksi kesalahan yang dapat terjadi di saluran transmisi; tanpa harus meminta pengiriman ulang. Ini diaplikasikan pada komunikasi mobile (selular dan lain-lain), serta aplikasi lain seperti analisis DNA. Asiknya, Viterbi tidak mempatenkan algoritmanya, sehingga dapat digunakan oleh siapa saja. Peran lain Viterbi adalah membantu penyusunan standar komunikasi seluler dengan CDMA. Namun nampaknya nama Viterbi tak terlalu banyak disebut di luar disiplin elektroteknika (berbeda misalnya dengan Berners-Lee dan Cerf).

Selain survei untuk mencari engineer yang berpengaruh saat ini, E&T juga menampilkan engineer berpengaruh sepanjang masa. Nama yang disebut a.l. Da Vinci, Faraday, Marconi, Tsiolkovsky, Tesla, dan Wright bersaudara. Juga ditampilkan para engineer yang mengembangkan karir tidak di engineering. Da Vinci masuk daftar lagi, disertai Alfred Hitchcock, Rowan Atkinson, Fyodor Dostoyevsky, Jimmy Carter, Boris Yeltsin, Brian May, dll. Daftar lain menyingkap para engineer yang jadi politikus dan pemimpin, termasuk Carter lagi, Hu Jintao, dan Ahmadinejad. Habibie kok nggak disebut ya? Haha.

Dan bukan orang Inggris kalau nggak cecentilan (setidaknya kalau melihat gaya Direktur British Council di Jakarta yang sekarang, haha). Maka E&T juga menampilkan sepuluh engineer fiktif yang paling berpengaruh. Di antaranya ada nama Tony Stark (Iron Man), Ellie Arroway (bekerja di proyek SETI pada buku Contact dari Carl Sagan), dan Montgomery Scott (kepala insinyur di USS Enterprise).

Lalu, siapa engineer Indonesia yang kita anggap paling berpengaruh pada hidup kita?

Kapasitas Memori Manusia

Kapasitas memori manusia sendiri masih diperdebatkan, dan seringkali menggunakan argumen-argumen yang dasarnya tak cukup kuat. Maka kita suka mendengar (sambil menahan tawa dan kantuk) bahwa kita baru menggunakan 4% kapasitas otak kita saja, atau 20%, atau 2.5%. Nggak ada bedanya: ngasal :p

John von Neumann (orang pintar yang pernah jadi matematikawan, ilmuwan, engineer, dan birokrat) di Universitas Yale tahun 1956 pernah mengestimasikan kapasitas otak manusia sebesar tiga puluh lima exabyte (satu exa = seribu peta = sejuta tera = semiliar giga). Cukup besar — pun untuk ukuran komputer zaman sekarang.

Estimasi tahun-tahun berikutnya memberikan angka yang berbeda. Diperkirakan dapat terjadi 100 trilyun koneksi syaraf antara sel-sel otak; dan ini dianggap setara dengan kapasitas 40 terabyte. Masih cukup besar, biarpun tak seseram angka von Neumann.

Prof Ralph Merkle dari Georgia Tech menyinggung bahwa sebenarnya para peneliti belum selesai menyusun asumsi dasar tentang bagaimana otak menyumpan informasi. Lalu ia mengusulkan melakukan eksperimen langsung yang mencatat kapasitas otak secara langsung. Ia mengambil beberapa hasil studi sebelumnya, dan melakukan kalkulasi ulang. Hasilnya mengesankan sekali. Kapasitas memori kita diperkirakan hanya sekitar 200 megabyte. Wow, flash drive berukuran 256MB saja sudah mulai dibuang-buang karena dianggap terlalu kecil. Buang tuh otak :).

Tapi, biarpun ini mungkin (mudah-mudahan) akan menjatuhkan ego kita, kesimpulan yang diambil cukup menarik. Otak kita istimewa: dia tak melakukan processing dan penyimpanan seperti komputer. Otak mampu melakukan pengelolaan sumberdaya memori yang luar biasa; sehingga dengan kapasitas sekian, ia mampu menyimpan dan mengolah informasi jauh lebih handal daripada komputer.

Tantangan bagi para engineer adalah: mampukah kita membuat komputer-komputer yang mulai lebih pintar mengelola sumberdaya yang terbatas untuk menghasilkan performansi yang lebih tinggi lagi. Tapi jangan serahkan pada para engineer Microsoft. Excel dan Word sudah membuat Mac lucu ini mulai belajar ngadat :).

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑