Page 145 of 210
Eksperimen mengundurkan waktu ah …
Sepanjang jalan menuju New Street, berderet stasiun-stasiun kecil, tapi nggak ada yang mirip Tile Hill. Semuanya memiliki wajah yang berbeda-beda, keunikan yang berbeda-beda.
“Birmingham New Street, This is Birmingham New Street”. Di New Street, ribuan orang bergerak, mirip gerak Brown. Segala warna manusia, berbagai bahasa, berjuta ekspresi, bergerak acak. Baru sehari sebelumnya aku di sini juga, tapi kayaknya ekspresi orang-orang itu sudah beda-beda pula.
Seseorang memegang pundakku. Senyum ramah, sambil terus bicara di handphone, terus menarik aku ke mobil. Pertama kali ketemu Mas Dani, boss PPI Birmingham, anak muda yang selalu sibuk (soalnya belum berani nyuruh-nyuruh anak buahnya –haha).
Di atas mobil baru dia menyapa, sambil melarikan mobil ke Aston. Lucu
sekaligus dinamik sekali.
Di Aston, ketemu lagi dengan Mas Harry, si da’i merangkap hacker dan junker. Trus mobil dipacu lagi ke University of Birmingham, buat ikut acara buka puasa bersama PPI Birmingham.
Argh, ini baru buka puasa yang hangat. Congrats deh buat anak-anak muda di Birmingham. Eh, ada Fajar juga. Di luar langit bersih, bulan purnama tampak terang sekali, dikelilingi halo yang melingkar nyaris sempurna. Udara membekukan badan. Brrrrrrrrr.
Perjalanan kemarin diawali dari Tile Hill, stasiun kecil mungil dan sepi. Bis 81E berhenti di stasiun waktu kereta berangkat, jadi aku harus nunggu setengah jam lagi. Pintu stasiun otomatis terbuka, dan si penjaga loket yang berkumis tebal menatap. Aku jadi masuk, tapi bukan ke loket, malah lihat-lihat suasana. Si penjaga loket meninggalkan loket, terus mengambil sapu, dan mulai menyapu stasiun, dan memunguti sampah.
Aku ke luar, ditemani dua anak sekolah yang belajar merokok dengan tanggung. Sambil terus menyapu, si penjaga loket meminta anak-anak itu menunjukkan tiket. Mereka menolak menunjukkan. Trus si penjaga mengancam memanggil polisi dalam 5 menit. Sambil memaki-maki, kedua anak itu pergi.
Beberapa orang berlalu di sekeliling stasiun, dan kedua pintu masuk bergeser membuka menutup tanpa henti. Sepasang anak kecil jadi mempermainkan si pintu, dengan melompat sepanjang garis batas, dan membuat pintu membuka menutup tanpa henti. Kereta berlalu, dan seluruh calon penumpang
di seberang rel menghilang ke atas kereta.
Ini Tile Hill. Di luar, pohon berdaun cokelat seluruhnya, dikelilingi pohon-pohon lain yang sudah tak berdaun. Aku duduk sendiri di luar. Gerimis mulai datang.
Kereta-kereta cepat antar kota berlalu, melintasi stasiun tanpa permisi, mendorong angin dingin menembus jaket. Aku masuk lagi. Sebuah pigura menampilkan sekelompok pegawai stasiun membawa pigura berisi penghargaan.
Si penjaga loket berkumis nampak paling riang di foto itu. Beberapa gambar kereta yang didesain dengan CAD menghias dinding, dengan nama perancangnya, dan ucapan terima kasih di bawahnya. Hiasan natal di ujung ruangan bukan berhias rusa, tapi bebek berkepala hijau.
Aku jadi tahu kenapa aku harus nunggu setengah jam di sini.
Tapi setengah jam akhirnya berlalu juga. Kereta Centro ke arah Birmingham tiba tepat waktu. Waktu naik kereta, rasanya aku bukan meninggalkan stasiun, tapi meninggalkan rumah seorang manusia, yang hidup dan mengisi hidupnya.
Kedengerannya jadi mirip commander Spock yang pergi ke planet entah apa itu. Cuman
Spock yang bisa pergi ke sana, soalnya dia transaksi logikanya betul-betul
logic semata, tanpa pagar emosi dan budaya (dan artinya pagar diskursus).
Dia bisa berkomunikasi dengan makhluk sana. Pun waktu dia kembali, dia nggak
bisa menceritakan apa yang terjadi. “Sistem logikanya kan berbeda,” kata dia,
“Jadi apa yang bisa diceritakan.”
Memang, sejauh yang kita tahu, logika bisa diterjemahkan, atau dipetakan,
ke sistem logika lain. Tapi oleh sebab itu kita menamainya “sejauh yang kita
tahu”, soalnya kalau ada sistem logika yang tidak bisa dipetakan ke logika
kita, kita nggak akan pernah tahu.
Yang dibahas sebenernya bukan soal fisika atau musik (itu pun kalau ada bedanya
fisika dengan musik). Tapi soal agama, atau yang disebut “agama formal”.
Agama, bukan saja berisi hukum-hukum dan nasihat-nasihat, tetapi bermaksud
mengarahkan masyarakat dengan membentuk paradigma hidup yang sesuai dengan
kemanusiaan. Tapi pergeseran paradigma, biarpun mudah disebut, tidak pernah
jadi sederhana. Soalnya adalah, bagaimana menjelaskan nilai-nilai dan logika
agama buat orang yang tidak berkenan menengok ke sistem operasi
logika yang berbeda. Bagaimana menjelaskan, bahwa dalam agama, manusia
diakui memiliki potensi yang terus berkembang, yang artinya bahwa logika
masa kini belum merupakan logika yang paling valid (seperti juga logika masa
lalu telah terbukti tidak valid di masa kini), sehingga hukum-hukum kadang
tidak bisa dijelaskan secara sederhana dengan logika masa kini? Kalau ini
diakui, ini namanya sudah memiliki iman, padahal yang mau dilakukan adalah
menjelaskan ke orang yang tidak memiliki iman.
Ada candaan yang agak lama, tentang orang yang ingin tahu teori relativitas.
“Tolong jelaskan teori relativitas dengan matematika yang sederhana saja,
yang mudah dipahami.” Tapi penjelasan macam apa yang mudah dipahami itu?
Teori relativitas khusus mudah dipahami dengan trigonometri biasa, asal kita
menjadikan kecepatan c sebagai nilai absolut yang tidak bisa dilanggar.
Teori relativitas umum juga mudah dipahami dengan mengaplikasikan geometri
Riemann alih-alih geometri Euklid yang telah dipakai berabad-abad sebelumnya.
Tapi barangkali justru itu yang ditolak untuk dipakai, soalnya kalau kita
sudah menjadikan c sebagai nilai absolut, dan kita mengaplikasikan geometri
Riemann dalam fisika, berarti kita sudah mengakui prinsip relativitas. Padahal
waktu kita minta penjelasan, kita belum mau menerima relativitas, dan segala
prinsip yang mendekati soal itu.
Akhirnya pertanyaan itu dijawab dengan “Itu mirip dengan disuruh memainkan
simfoni-simfoni Beethoven dengan harmonika.” Serem amat denger Eroica in
harmonica.
Kayaknya hari ini judulnya jadi konsultan multidimensi nih. Dari konsultan cara milih komputer sampai sistem transaksi yang aman, konsultan desain web, konsultan soal programming, konsultan soal presentasi. Dan soal-soal yang nggak boleh dipaparkan di muka publik.
Kayaknya justru dengan cara gini lah akhirnya kita belajar hidup.
Trus kalau aku yang perlu konsultasi, gimana yah? Apa ditulis aja di website ini, trus nunggu jawabannya lewat e-mail dan guestbook ?
Apa yang dilakukan orang waktu dalam kesulitan? Tentu saja minta tolong. Kan kita bermasyarakat. Ada beberapa cara untuk minta tolong. Yang paling mudah, tentu, dengan bilang “tolong”. Tapi ada cara lain, misalnya dengan kata “sialan!” — yang kadang cukup efektif.
Ada kata lain yang juga sering dipakai, ialah kata “analisis”. Itu yang jadi terpikir waktu baca tulisan berjudul analisis mendalam tentang agama, tuhan, dan negara. Judulnya pakai analisis mendalam nih — jadi terharu. Isinya tentang something-something yang berujung pada pendapat penulis bahwa religiositas tertentu akan lebih hakiki daripada agama-agama formal. Jadi lebih terharu juga nih dengan model penghakikian pendapat sendiri seperti itu.
Sekilas tulisan itu berkesan menyerang orang-orang yang menggunakan kaidah-kaidah agama formal dalam kehidupan bermasyarakat. Kesannya terluka sekali hati penulis itu dengan perilaku masyarakat beragama di Indonesia.
Sebenernya tak penting benar membahan mengapa orang memilih kata “analisis” atau bahkan “sialan” dan bukan kata “tolong”, waktu mereka sedang terluka. Yang penting adalah: bagaimana agar kita peka bahwa orang yang berteriak di sana itu sebenernya sedang dalam kesusahan dan perlu bantuan. Sayangnya, umumnya kita malah ikutan menambah luka dengan menyerang balik secara frontal. Reaksi yang konon wajar, soalnya barangkali kita juga bisa luka.
Tapi orang beragama seharusnya lebih tahan pada luka, karena hidupnya diabdikan untuk sesuatu yang lebih dari kefanaan perasaan. Dalam kelukaan pun, kita seharusnya menyembuhkan luka, bukannya ikut menjerit. Agama juga mendidik untuk bertindak arif, bukan mengikuti reaksi sekejap yang seringkali bersifat transien. Kearifan ditunjukkan dengan mencoba memahami apa yang disampaikan orang lain, apa yang sebenarnya benar-benar ingin disampaikan di baliknya, apa sebabnya, dan akhirnya … langkah strategis apa yang harus dilakukan untuk memecahkan masalah secara tepat, dan bukan sepotong-sepotong.
Justru karena tradisi seperti inilah agama-agama formal bisa bertahan jauh lebih kuat daripada ideologi manusia yang umumnya berusia seumur jagung saja.
Pohon-pohon di halaman kampus Westwood sudah kehilangan seluruh daunnya. Masih tersisa daun-daun kecoklatan di bawah pohon-pohon, menemani lapisan es tipis yang melapisi rumput itu semalam. Sepasang burung hitam berlompatan di atas hijau rumput dan es yang pucat.
Bikin tulisan tentang UMTS dan IMT-2000 pada umumnya, dengan sedikit sentuhan MBS. Maunya. Tapi di komunikasi·org, yang diminta malah GPRS. Nanggung amat, sama-sama nggak aplikatif ini, ha-ha :) :) :).