Waktu aku masih jadi Chairman of the IEEE Indonesia Section, sempat ada usulan dari anggota Advisory Board (yang dalam konteks Indonesia berarti mantan ketua IEEE Indonesia Section) tentang Israel. Saat itu, IEEE Indonesia Section tengah sangat gencar melakukan eksplorasi untuk menjadi host atas IEEE international conferences, baik yang skala region (Region 10 Asia Pacific) maupun kemudian level dunia.
Hal yang sering jadi issue adalah soal imigrasi. Banyak peserta konferensi dari negara Asia mengalami kesulitan mengurus visa masuk Indonesia, seperti dari negara Iran dan Pakistan. Beberapa anggota komite sempat menyebut bahwa filtering untuk beberapa negara memang lebih ketat. Salah satu alasannya adalah kekhawatiran Indonesia dijadikan jembatan untuk mencari jalan untuk migrasi ke Australia. Namun warganegara Pakistan yang sudah di Australia pun masih lebih sulit masuk ke Indonesia. Kadang ketua konferensi, atau bahkan ketua IEEE Indonesia Section, harus menulis surat jaminan pribadi ke Kedutaan dan Kantor Imigrasi.
Soalan lain adalah warga dari entitas ilegal zionis yang menduduki Palestina (yang demi kesederhanaan teks akan kita sebut sebagai Israel tanpa tanda petik). Kebijakan yang bijak dari Pemerintah Indonesia untuk selalu menolak adanya hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel dianggap jadi penghambat. Kami Excom IEEE Indonesia Section diminta mencari cara untuk memungkinkan dipermudahnya pemegang paspor Israel untuk memasuki Indonesia.
Secara pragmatis, waktu itu aku sampaikan bahwa banyak pemegang paspor Israel sebenarnya memiliki kewarganegaraan ganda, merangkap jadi warga negara Eropa, AS, Kanada, bahkan Singapura. Andaipun mereka hanya punya paspor Israel saja, mereka sangat dipermudah membuat paspor di negara lain. Jadi tidak ada perlunya kita mendorong pemerintah Indonesia memperlunak sikap pada pemegang paspor Israel. Kita tetap menerima mereka dengan tangan dan hati terbuka.
Salah satu anggota senior di Advisory Board kemudian menyampaikan bahwa persoalannya bukan bisa lewat jalan samping, tetapi secara politis Indonesia dianggap tidak ramah pada Israel, dan posisi ini menyulitkan Indonesia mengajukan diri sebagai tuan rumah berbagai konferensi internasional.
Atas statement itu, aku saat itu memberikan jawaban bahwa jika persyaratan tertulis atau tak tertulis untuk jadi host adalah harus memberikan rekomendasi atau saran kepada pemerintah Indonesia untuk memperlunak sikap kepada Israel, aku memilih tidak akan mengajukan IEEE Indonesia Section sebagai host — setidaknya selama aku jadi ketua.
Aku rasa, sikap yang sudah diambil Bapak Bangsa kita, untuk melihat perspektif geopolitis global secara lebih cerdas dan mengedepankan perikemanusiaan dan perikeadilan, masih relevan hingga kini, masih jadi kebijakan Pemerintah Indonesia yang patut didukung, dan sudah menjadi bagian dari perspektif pribadi dalam negosiasi global.
“Tuhan, seperti apa pun, akan berada di luar pemahaman kita. Kita harus mengakui bahwa konsepsi akan Tuhan lahir dari pikiran kita,” John Tomlinson berkisah. “Tokoh seperti Wotan disembah sebagai dewa oleh jutaan orang selama ratusan tahun. Tapi akhirnya orang tak lagi memikirkan dia, dan dia jadi tidak ada. Kisah-kisah lama ini dikemas Wagner seorang diri menjadi sebuah mitos yang baru. Wotan, dewa adikuasa, memiliki kewenangan mengatur hukum yang mengendalikan semesta. Tapi ia pun tak boleh melanggar hukum-hukum itu. Saat akhirnya tak bisa lagi berkelit dari berbagai kekusutan itu, runtuhlah seluruh kekuasaan dewa-dewa.”
Wagner sendiri menulis tetralogi Der Ring ini dalam status buron saat pemberontakan anarkisnya bersama Bakunin ditumpas di abad ke-19 lalu. Tampak jelas baginya bahwa kekuasaan lama memang sudah seharusnya tumbang. Tapi kekuasaan silih berganti dengan pembenarannya masing-masing: kerajaan, demokrasi, republik, komunisme, kapitalisme, membentuk rasionalisasi atas tata masyarakat yang sesungguhnya selalu hanya transien. Maka setiap saat kisah keruntuhan dewa ini diinterpretasikan kembali, dan opera Wagner selalu memperoleh nyawa baru.
Nyawa baru dengan kata-kata yang sama? Mungkinkah?
Pun dalam kurun waktu yang seberapa jauh, itu dimungkinkan. Beberapa tahun, aku mendengarkan (dan menonton versi digital dari) Der Ring versi Boulez. Ini dimainkan di Bayreuth tahun 1970-an, dan videonya diterbitkan di awal 1980-an. Versi CD-nya, yang terbit di awal 1990-an seolah menjadi standar masa itu. Padahal di awal 1990-an itu, Bayreuth tentu saja tak lagi memainkan versi Boulez. Tokoh kontroversial Daniel Barenboim memimpin orkestrasi Der Ring masa itu.
Aku pernah menulis tentang Barenboim di tahun 2005 [URL]. Tokoh ini adalah sahabat dari filsuf Edward Said [URL]. Edward Said, dengan nama campuran Inggris-Arab, adalah warga Palestina, beragama Kristen Anglikan, dan menjadi profesor di Columbia Univ. Hal2 seperti ini menjadikannya bukan saja minoritas, tetapi selalu menjadi orang asing. Daniel tak jauh berbeda. Ia keturunan Yahudi, sekian lama memimpin orkestra di Jerman (bahkan di Bayreuth), memainkan karya Wagner (yang sering dicap sebagai rasis dan anti-yahudi); namun malah memilih memainkan Wagner di Tel Aviv, yang langsung menimbulkan ledakan protes dari parlemen dan kemudian presiden kaum zionis (presiden Katsav Balav yang kini jadi narapidana itu). Daniel & Edward memiliki pemahaman amat berbeda mengenai asal konflik Palestina vs zionis, namun memilih menjadi sahabat, dan sering memperbincangkan solusi terbaik bagi konflik bangsa mereka.
Der Ring versi Barenboim baru aku dapat dari kunjungan di Hongkong akhir tahun lalu. Agak ragu untuk menambah koleksi Wagner. Tapi aku belum punya versi lengkap dari Der Ring yang dimainkan dalam satu musim (i.e. satu sesi interpretasi). Jadi set yang tak terlalu mahal ini aku ambil. Dan, ternyata, aku serasa punya satu set rekaman opera yang benar-benar baru.
Musik dipimpin oleh Barenboim, dan teater disutradarai oleh Harry Kupfer. Seperti Tomlinson bilang, hampir semua pemain yang direkrut adalah pemain yang baru pertama kali memainkan peran ini. Tomlinson pertama kali memainkan Wotan; Siegfried Jerusalem pertama kali memainkan Siegfried, dll. Dan Kupfer mengatur mereka dengan gaya yang membuat cerita itu terasa berbeda dengan versi pendahulunya.
Siegmund, yang dalam cerita memang digambarkan sebagai pemberontak yang terdampar, yang dalam permainan misalnya Placido Domingo digambarkan benar2 lemah dan romantis, kini dimainkan sebagai pemberontak yang keras, dengan tekad dan perlawanan yang tetap keras (namun tetap tak dapat melawan karena tak memiliki senjata). Saat Wotan harus mengkhianati Siegmund, dia mematahkan pedangnya, tapi lalu memeluk Siegmund, dan membiarkan Hunding menusuk Siegmund. Siegmund mati dalam pelukan Wotan. Cara Boulez menggambarkan Siegfried membuat pedang Notung di tahun 1976 memang fantastis, dengan tungku besar berbunga api. Versi Kupfer tak menampilkan tungku seheboh itu. Namun pedangnya benar-benar dileburkan dan dibentuk kembali di atas pentas. Brünnhilde yang di versi Boulez membuat akhir kisah Götterdämmerung agak membosankan, oleh Kupfer disentuh menjadi sangat aktif dan emosional agar kita tak sempat bosan.
Dan kalau Boulez menggambarkan kutukan Brünnhilde membuat kahyangan (OK, Valhalla) turut menyala terbakar api merah, maka Kupfer merasa bahwa dewa-dewa perlu dihukum lebih kejam dari itu. Cincin dibawa peri Rhein kembali ke sungai; mereka menari riang sampai ke ufuk, lalu menghilang. Lalu manusia seperti kita mengisi panggung, dengan aneka rupa: dari yang bergaya pesta resmi, sampai bergaya rumahan; tapi mereka tak peduli dengan urusan dewa, peri, cincin, dan semacamnya. Mereka acuh menonton TV. Tetap dengan nada gemuruh runtuhnya Valhalla. Acuh. Hanya seorang anak perempuan menatap langit. Lalu seorang anak lelaki dengan jas menghampirinya, menggenggam tangannya, lalu membimbingnya menggunakan lampu senter kecil pergi menjauhi kerumunan massa yang hanya peduli TV itu. Dan Alberich, si licik pencari kuasa, hanya bisa kecewa, dengan muka jeleknya, di sudut pentas.
Tomlinson bilang, ini seperti nubuwat untuk awal abad ke-21. TV mungkin memang tak terlalu laku lagi. Orang abad ke-21 berkicau dengan Twitter. Tapi si licik pencari kuasa masih ada, dengan bodohnya mencoba menggaruk kekayaan dan kekuasaan seolah kita masih hidup di abad pertengahan. Moga nubuwat Kupfer benar: si licik Alberichal hanya akan kecewa di atas kepunahan keluarganya, dengan nafas tetap bau lumpur.
Itu adalah sebuah Selasa di akhir musim panas. Tapi musim panas itu menghabiskan panasnya di pertengahan tahun saja. Udara September 2001 di kota Coventry nan imut itu membuatku merutuki diri bahwa sekali lagi aku lupa bawa jaket. Yang kubawa di tas biruku juga tak menambah kehangatan. Waktu berlari. Tak bisa lagi banyak membaca buku sains, budaya asing, musik, filsafat yang bertumpuk bagai harta karun di perpustakaan bermenara mirip sarang burung itu. Waktu menipis. Yang kubawa hanya buku tentang broadband network, konfigurasinya untuk trafik tinggi, balancingnya untuk daerah luas berpenduduk tak merata, teknologinya yang konon mau berkonvergensi tapi selalu mismatch. Heh, kita dulu mencandai satu buku ini sebagai buku sastra Yunani. Pernah baca formula trafik paket? Hahah, deretan huruf Yunaninya pasti lebih seram dari Homer :).
Sekarang bayangkan, pasti senyap sekali bis yang membawa aku pulang ke Westwood Heath. Lebih sepi dari seharusnya. Karena suhu yang tak ramah, waktu yang kurang pas, atau karena formula pengendalian trafik itu sudah mulai terinstansiasi ke jalan-jalan Warwickshire yang terlindung pohon-pohon berdaun hijau coklat lebat itu?
Kamarku berpintu merah. Kunci kartu kuselipkan untuk membukanya. Notebook kukeluarkan dari tas. Juga buku-buku. Lalu kuhempaskan badan ke kasur kecil. Maunya. Nggak jadi. Telefon berdering. Suara mendesak di ujung sana. “Pasang TV sekarang juga. Gedung WTC ditabrak pesawat.”
Harus kuakui sekarang. Aku tak terkesan. Tapi bayangkan: itu tahun 2001. BBC setiap hari menyampaikan bagaimana negeri kita dibanjiri kekerasan. Mayat diseret di kota Malang. Pembunuhan sadis di Sampit. Krisis Poso. Jakarta. Ada yang ingat bahwa di tahun 2001 itu BBC menampilkan deretan panjang tank dan panser di Jakarta? Saat presiden menurunkan dekrit membubarkan DPR, dan memerintahkan militer membubarkan paksa DPR? Syukurlah waktu itu militer punya akal sehat dan memilih diam. Tapi juga ada Ambon. Dan Aceh yang tak kunjung selesai. Di masjid, para pemuda Palestina membacaan doa buat Indonesia selesai shalat Jumat. Ah, kalian yang kini berdoa untuk Palestina setelah shalat Jumat … kalian tak menyangka kan?
OK, kita kembali ke TV. Maka BBC menampilkan sekali dan sekali lagi dan sekali lagi adegan yang kini menjadi memori kita semua. Satu pesawat menghujam tubuh satu dari dua gedung kembar WTC. Lalu satu lagi menghujam gedung lainnya. Lalu runtuhan implosif mengakhiri kerja jahat itu dengan menghancurkan semuanya. Diperkirakan antara 20.000 hingga 40.000 orang meninggal. (Sekitar 6000, beberapa hari kemudian disampaikan). Menatap semuanya tanpa henti, baru aku sadar: ini adalah pernyataan perang. Tanggal 11 September, angka 9/11, menjadi sejarah.
Hebohkah? Sore itu, kami memperbincangkan apa yang terjadi di New York. Dengan suasana ketidakpastian. Tidak dengan kemarahan, ketakutan, atau ketakjuban. Seorang Cina yang biasanya mencerca US (sedang terjadi krisis diplomatik saat itu antara PRC dan US) terdiam. Tapi hidup tak langsung berubah. Beberapa hari itu, kami masih ke kota. Di pusat kota orang berkumpul. Membawa bunga, menandatangani tanda duka, mengenakan pita, dan bendera. Di BBC ditampilkan sekelompok ibu-ibu Palestina yang berteriak gembira menyambut hancurnya gedung WTC. Mereka mungkin bodoh, tapi tidak jahat. Mereka dari kampung yang temboknya tidak ada yang utuh. Keluarga mereka, bahkan hingga anak kecil, setiap saat terkena bom dan peluru Israel. Yang mereka tahu adalah bahwa Israel kuat karena dukungan AS. Jadi ledakan di AS adalah kegembiraan. Aku tak berminat membenarkan mereka. Tapi mohon jangan juga menyalahkan mereka. Mereka cuma korban perang.
Di akhir minggu, di tengah publikasi hasil penyelidikan kasus 911 di AS (plus segala macam wacana simpang siur tentang konspirasi dan hal2 menyebalkan semacamnya), aku ke Nottingham. Di sana, aku ikut antri menandatangani tanda duka. Tak mengenakan pita tapi. Juga tak memasang bendera. Lalu menghadiri pengajian Kibar. Mas Zulkiflimansyah dari Scotland masih jadi ketua pengajian (atau baru jadi mantan ketua pengajian, aku lupa). Tapi kami tak membahas tentang terorisme. Kami membahas ekonomi Islam: sesuatu yang berbasiskan rasionalitas dan akuntabilitas. Lalu prihatin bahwa Islam yang mulai dikenal rasional dan ramah itu kini kembali diidentikkan dengan kejahatan.
Beberapa pihak mulai menampakkan tanda permusuhan. Termasuk Baroness Thatcher. Masjid di kampus Coventry dikawal polisi untuk mencegah ada yang melakukan kekerasan terhadap umat muslim. Tetapi di kota lain, kekerasan tak dapat dicegah. Di Scotland, sebuah masjid mengalami ledakan ringan (tak lama setelah provokasi Thatcher). Dan tesisku mulai tertunda.
Tesisku akhirnya selesai di bulan Ramadhan. US, UK, dan pasukan sekutu sudah mengirim pasukan ke Afganistan, mengejar teroris Al-Qaidah. Ujian berakhir. Pulang. Perang terhadap teroris mulai overdosis. Bendahara pengajian di UK, Perancis, dll, dibawa ke kantor polisi, diinterogasi tentang aliran dana zakat dan infaq kami. Kegiatan kami mengirimkan dana kemanusiaan ke tanah air terpaksa dihentikan saat itu. Di tahun 2002, ISNET bahkan sempat terhenti. Majelis Syuro-nya non aktif.
Pembersihan Al-Qaidah menjadi kerjasama internasional. Tapi jadi problematik di Indonesia, yang saat itu baru mulai menata kembali masyarakatnya yang mulai mau merekatkan diri, biarpun hati mereka masih berat. Banyak hal yang jadi tabu dibicarakan, diselesaikan. Semuanya melalui gerakan lambat dan toleransi. Salah satu efeknya adalah bahwa Al-Qaidah yang tadinya berkembang di Malaysia, dan kemudian menyempir gerakknya karena terjadi pembersihan, akhirnya bermigrasi ke Indonesia, termasuk duet bomber Azhari – Noordin Top. Satu sudah jadi bangkai, tapi satu masih buron. Dan sampai sekarang kita masih menuai bom di pusat Jakarta.
Palestina masih tertindas. Sebagian oleh kekejian abadi kaum zionist. Sebagain oleh perpecahan terus menerus antara para pejuang Palestina sendiri — perpecahan tanpa toleransi tanpa kasih persaudaraan.
11 September 2001 belum lama berlalu. Apa yang terpikirkan oleh kita saat mengenang peristiwa itu, dan peristiwa-peristiwa sesudahnya?
Putus asa aku mengamati jadwalku, malam itu, sekitar 5 tahun lalu. Nggak ada harapan untuk melihat presentasi Edward Said di Warwick University — hanya 15 menit jalan kaki dari kamarku. Sedih, hmm. Tapi aku kasih tahu ke beberapa teman, barangkali mereka berminat datang. Reaksi Adnan khas sekali: siapa itu Edward Said? Dan Khaldoun harus menjelaskan ke dia, sambil aku fade off.
Edward Said, selalu membuat aku berpikir tentang keterasingan. Seperti aku yang nggak pernah diterima dalam komunitas sukuistis di mana pun, terutama Jawa dan Sunda. Said tidak pernah merasa at home di negeri mana pun. Keluarga Palestina, tumbuh di Mesir, dan akhirnya tinggal dan menjadi profesor di Columbia, AS. Punya nama depan yang diambil dari nama pangeran Inggris, serta nama keluarga yang Arab nian, makin mengokohkan keterasingannya.
Di AS, Said tak pernah melupakan Palestina. Sebagai cendekiawan kelas dunia, ia terus menyuarakan keprihatinan atas Palestina. Bahkan ia sempat duduk di Dewan Nasional Palestina. Cita2nya bukanlah menghabisi orang Yahudi, tetapi melumpuhkan kekuatan militer Israel dan mendirikan negara demokratis non apartheid non rasialis di bumi Palestina, berisikan orang2 Yahudi, Kristen, Islam, dan agama mana pun. Sikap itu makin mengokohkan keasingan Said. Orang2 zionist menudingnya sebagai musuh berbahaya yang berhasil menyusup di tengah kaum cendekia Amerika, dan cenderung menggagalkan upaya misinformasi internasional mereka. Sementara orang2 Arab memakinya karena ia tak hendak mengusir orang Yahudi.
Said dipecat Arafat dari Dewan Nasional Palestina, karena sikapnya menolak perjanjian damai Oslo. Kenapa orang seperti Said menolak inisiatif damai? Said yakin, ini penipuan. Arafat tidak membaca seluruh naskah, selain beberapa pasal yang mengamankan posisi dirinya sendiri; dan ia dikelilingi veteran perang yang tak paham hukum serta tak mahir berbahasa Inggris. Setelah perjanjian, Arafat baru sadar bahwa tak satu pasal pun yang menyatakan adanya negara Palestina yang diakui.
Setelah kemenangan Hizbullah memaksa mundur pasukan Israel di Libanon Selatan, Israel membuat buffer berupa lahan kosong belasan kilo sebagai zona pengaman antara Israel dengan Libanon. Orang Arab suka melempar batu ke arah Israel. Tentu itu simbolis. Tak ada orang atau bangunan apa pun yang bisa kena. Tapi waktu Said berkunjung ke sana, ia becanda dengan beberapa pemuda, dan berlomba melempar batu sejauh mungkin. Foto Said sedang melempar itu dipasang sebagai headline di media-media AS, dengan seruan untuk memecat Said dari Columbia serta mengusirnya. Pimpinan Columbia University acuh.
Selama insiden itu, Said sedang mempersiapkan paparan di Lembaga Freud di Wina. Akibat ancaman orang2 zionist, pimpinan lembaga membatalkan paparan itu. Namun akhirnya Said diundang untuk memaparkan tulisannya itu di London, 2003. Temanya, sekali lagi, tentang keterasingan: Freud dan orang-orang bukan Eropa. Hal2 yang Said paparkan mungkin memang bikin marah orang Israel, yang akhir2 ini tengah mencari bukti2 arkeologis untuk memvalidasi keberadaan entitas itu di bumi Palestina. Said justu memaparkan bahwa konsep monotheisme orang Yahudi diambil Musa dari orang2 Mesir, bukan dari tradisi Ibrahim hingga Yusuf yang sementara itu sudah hilang. Nama tuhan sendiri, Yahweh, diambil para pengikut Musa itu dari suku Arab Midian di sekitar Sinai.
Said sendiri mempunyai beberapa sahabat Yahudi. Daniel Barenboim, salah satunya. Barenboim tak kalah asingnya :). Dia adalah minoritas conductor Yahudi yang gemar memainkan simfoni dan bahkan opera-opera Wagner, saat di Israel segala musik Wagner diharamkan oleh parlemen. Barenboim dan Said sempat membuat perbincangan panjang tentang Wagner, dan sempat membukukannya: Parallels and Paradoxes.
Said meninggal tahun 2003. Leukemia. Bukunya yang terakhir adalah On Late Style. Biografinya berjudul Out of Place. Asing.
Seorang pekerja sosial berkebangsaan Inggris meninggal tertembak peluru Israel waktu sedang bekerja di kawasan pengungsi Palestina di Jenin. Tidak cukup hanya mengorbankan tenaga, dana, dan waktu yang seharusnya dipakai untuk bertemu keluarga dan kawan-kawan. Tidak cukup. Hidup pun harus dikorbankan buat ketamakan rezim zionist.
Dan untuk Mr Blair: Don’t you think that a British life is much much more valuable than the entire zionist regime?
ISP Palnet di Ramallah (Palestina) didatangi sekelompok tentara rezim rasialis zionis. Server dimatikan. Para pegawai ditangkap. Gedung disegel. Dan ribuan orang Palestina tidak lagi memiliki akses Internet.
Kota Al Khalil a.k.a. Hebron di Palestina dikepung dan terus dibomi tentara penjajah. Terus-menerus bencana dipuja-puja manusia. Hebron, kota tempat tinggal si Khaldoun.
Seorang politisi (errr) dengan sinis berujar bahwa orang Indonesia terlalu emosional soal Palestina, seolah-olah Palestina itu negara kita sendiri.
Dia benar. Palestina memang bangsa kita, negara kita. Setiap bangsa, di mana kemanusiaan masih dihinakan, dan ketamakan bertopeng masih berkuasa, adalah bangsa kita, tempat kita meletakkan hati kita.
Di Palestina ada dua danau yang sangat berbeda. Satu adalah Laut Galilea, yaitu sebuah danau yang luas dengan air yang jernih dan bisa di minum. Ikan dan makhluk lain berenang dalam laut tersebut. Danau itu juga dikelilingi oleh ladang dan kebun hijau. Banyak rumah didirikan di sekitarnya. Laut yang lain bernama Laut Mati. Seperti namanya, segala sesuatu yg ada didalamnya mati.
Airnya sungguh asin sehingga kita bisa sakit jika meminumnya. Danau itu tidak ada ikannya dan tidak ada sesuatupun yg sanggup tumbuh di tepiannya. Tak juga ada orang yg ingin tinggal di sekitarnya, sebab baunya sangat tak sedap.
Yang menarik adalah bahwa sungai yang mengalir ke dua danau itu adalah sungai yang sama: sungai Yordan.
Bedanya, sungai Yordan mengalir ke Laut Galilea dan mengalir keluar dari dasar danau itu, mengalir ke tempat lain, termasuk ke Laut Mati. Laut Mati menyimpan air Sungai Yordan bagi dirinya sendiri. Tidak ada jalan keluar bagi air yang mengalir.
Hal itulah yang membuatnya mati: hanya menerima dan tidak mau memberi.
Orang-orang Palestina “katanya” malah berbahagia dalam tragedi WTC ini. Namun kita tahu, mereka dibomi setiap hari. Syarafnya sudah tak peka lagi pada ledakan. Masa mereka disuruh meratap?
Di berita-berita santer disebut orang-orang Palestina yang “katanya” tertawa-tawa. Lihat di CNN, BBC, Skynews, ITV, NBC. Namun ternyata gambarnya segelintir orang yang itu-itu juga. Sengaja menyesatkan.
Dengan memanfaatkan perhatian dunia ke Manhattan, pasukan zionist meningkatkan serangan berdarah ke kawasan Palestina di Jenin. Sumber di rumah sakit setempat menyebutkan bahwa tank-tank zionist membomi kota dan desa di Jenin, membunuhi penduduk, termasuk anak-anak.
Peristiwa Sabra-Shatila ramai dibahas lagi, setelah BBC menampilkan gambar-gambar manusia-manusia Palestina korban pembunuhan pasukan Falangis di kamp pengungsi Sabra-Shatila. BBC memaparkan gambar-gambar yang selama ini disembunyikan: orang-orang tua dan anak-anak dengan tubuh yang hancur di sepanjang jalan, ibarat bangkai yang terhinakan. Semua orang yang bisa membela mereka telah diusir sebelumnya oleh tentara Israel. Dan BBC memaparkan bahwa malam itu Ariel Sharon (astaga, akhirnya nama iblis itu tertulis di sini) sendiri yang memerintahkan pasukan Falangis melakukan “pembersihan”.
Bagi sebagian orang, ini memang cerita klasik. Tapi mereka tidak melihat bahwa si iblis justru dijadikan pimpinan tertinggi di Israel. Mereka juga tidak melihat bahwa cara-cara biadab seperti itu masih dilestarikan oleh para penerus iblis (bahkan sampai minggu lalu, di Ambon).