Page 8 of 209

Surat dan Blog

Rapat anggaran minggu lalu di Bandung, rasanya mirip main anggar dua hari penuh. Rumah kehijauan di Bandung sempat disinggahi, tapi menjelang tengah malam, dan harus ditinggalkan lagi pagi2 sekali untuk main anggar lagi. Tapi dalam waktu sempit itu, aku sempat terpikir untuk mengambil satu document keeper berisi surat-surat Papap buat dibawa ke Jakarta. Surat-surat ini panjang-panjang, ditulis dalam waktu lebih dari 1 dekade. Tapi yang paling banyak adalah surat-surat dari Bangkok, waktu Papap sekolah 2 tahun di sana.

Papap memang rajin menulis.Tentu, di zaman orde baru, tentara tidak bebas menulis di media umum. Papap lebih banyak menulis soal teknologi dan strategi di jurnal-jurnal militer, plus paper-paper lain. Somehow kebiasaan semacam ini diwariskan.

Salah satu cara mewariskan kebiasaan ini adalah dengan menyuruh baca buku-buku. Salah satu buku fenomenal buat kami adalah Seandainya Mereka Bisa Bicara tulisan James Herriot. Ini dibelikan Papap buat kakakku sebenarnya. Tapi kami semua membacai dan mengulang baca buku ini. Tak seperti misalnya biografi kaum cerdas lain seperti Feynman yang melulu berisi kisah keberhasilan, atau Soe Hok Gie yang sengit menyerang sekitarnya, Herriot adalah profesional yang menghadapi keseharian hidup: keberhasilan yang manis, kegagalan yang memalukan, namun lebih sering datar. Namun Herriot dapat membuat tulisan yang menarik dari optimisme dan impressi yang diperoleh dari sekedar menatap awan dan padang rumput, menolong petani sederhana, menyendiri berkeliling Yorkshire di tengah malam, dll. Herriot mendorngku untuk mulai menulis hal-hal kecil, sambil mengajari untuk selalu optimis sekaligus realistis menatap dunia. Tahun 2010 lalu aku sempat ke rumah Herriot di Darrowby, dan sempat mengambil gambar catatan harian yang ditulisnya sejak masa sekolah.

Cara pewarisan kebiasaan menulis yang lebih efektif, tentu, dengan gaya Papap yang sering menulis surat panjang, elegan, serius, dan dengan demikian mendorong kami untuk membalas surat-suratnya dengan gaya yang setidaknya mulai mendekati gaya itu. Kami berempat mulai menulis surat panjang: diketik atau ditulis tangan, 1-3 halaman. Selesai cerita tentang pengalaman (yang tidak banyak untuk anak SMP masa itu), aku harus mengisi ruang dengan eksplorasi hal-hal lain, terutama ide-ide yang setengah jadi. Kami berempat memasukkan surat kami masing-masing ke sebuah amplop dan mengirimkannya ke Bangkok.

Kebiasaan menulis semacam itu membuatku mulai doyan menulis, biarpun ide yang dibayangkan belum jadi ide yang matang. Aku mulai punya catatan sendiri, yang diisi gabungan antara kejadian sehari-hari (yang tak banyak) dan kejadian di semesta (hahaha, lebay). Catatanku disusun dalam dua buku: Catatan harian, dan Surat untuk X. Tapi semua berakhir waktu aku mulai kuliah. Kuliah, seperti kantor, menguras sumberdaya waktu, memaksa kita belajar jadi profesional yang memiliki fokus, dll. Tapi keinginan menulis belum hilang. Aku mengakuisisi majalah Quad sebagai redaksi; menulis buku pelajaran komputer dengan pendahuluan yang selalu bergaya narasi; dan mulai mengirim tulisan ke Jawa Pos, Mikrodata, dll. Syukur mereka mau memuat tulisanku. Lalu datanglah Internet. Dan mail list. Dan personal web. Dan blog.

Tentu, buat aku, jadi blogger bukan keputusan atau pilihan. Itu terjadi secara alami. Aku doyan meracau dalam bentuk tertulis, dan aku menguasai apa pun yang bisa direpresentasikan dalam bentuk digital (sumpah, ini lebay). Bahkan sebelum ada CMS blog yang keren, aku membuat script buat blog-ku sendiri. Syukur, gak lama ada blogger.com; jadi aku bisa meninggalkan kegiatan scripting-ku, dan mulai menikmati proses menulisnya. Catatan pertama di blogku yang termigrasi ke blogger.com berisi rendez-vous dengan buku Herriot yang sudah mulai lusuh.

Blogku mulai teratur diisi waktu aku dalam masa pengasingan. Aku harus ikut program wajib di British Council beberapa bulan di akhir tahun 2000, tempat aku belum punya teman sama sekali, disusul kuliah di Coventry tahun sesudahnya. Di Coventry, aku mengakuisisi domain kun.co.ro. Dan sejarah berikutnya bisa dibaca di blog ini, haha. Sementara itu di Indonesia blogger-blogger berhimpun, membentuk komunitas-komunitas, dan menyusun event-event menarik.

Sebagai pecinta budaya digital, aku mulai doyan berkampanye buat blog, haha; termasuk memanfaatkan komunitas yang ada, mendorong komunitas baru, memanfaatkan organisasi dan company tempat kerja, dll. Mirip siram-siram lahan yang memendam banyak bibit, dan pura-pura kaget menyaksikan bunga beraneka warna tumbuh di atasnya. Kepercayaan dunia usaha akan nilai bisnis blog mulai dibangkitkan. Salah satu pelopornya a.l. Asia Blogging Network, yang mendorong memberikan value blog pada kualitas tulisan, bukan pada urusan jumlah klik. Masyarakat non-digital juga dikenalkan ke budaya digital melalui blogging, yang berawal dari teks, foto, lalu ke gaya hidup seperti kolaborasi pendidikan atau produksi secara online, promosi produk personal atau SME secara online, advokasi secara online, dll. Perhatian juga terarah pada content digital secara lebih luas. Dan aplikasi digital. Hmm, malah balik ke profesi asliku, haha. Berkembang, tapi moga bukan seperti gelembung kosong.

Blog sendiri, sebagai blog, ke mana dia? Mungkin ke masa saat keasikan menulis blog belum dinamai passion, saat obrolan para blogger belum dinamai komunitas, saat kicau bebas belum dinamai socmed. Saat itu blog boleh lepas dari sarang eksklusivitas barunya, dan kembali memberikan pencerahan dan optimisme buat dunia.

Selamat Hari Blogger :)

Kuliah Hari IEEE

Sejak tahun lalu, IEEE merayakan Hari IEEE. Iseng memang, kayak kekurangan hari :). Hari IEEE diharapkan dirayakan para anggota, tetap dengan gaya IEEE. Boleh melakukan kuliah umum, seminar, pertemuan teknis, atau pertemuan anggota, dan dianjurkan melibatkan publik. Dan soal melibatkan publik, tentu tujuannya bukan untuk membuka mata publik, melainkan justru untuk membuka mata para geek anggota IEEE mengenai pandangan publik.

Tahun ini, Hari IEEE jatuh pada 6 Oktober. Maka dalam beberapa hari, kami merancang dan mempersiapkan sebuah event. Tak perlu lama. Tak perlu perencanaan panjang untuk event kecil, dan tak boleh perencanaan mentah untuk event besar :). Atas usulan rekan-rekan di Indonesia Section, event bertemakan update atas teknologi LTE. Aku memberi judul IEEE Day Lectures on LTE Development. Pendukungnya, Indonesia Section, Indonesia Comsoc Chapter, UI Student Branch, dan ITT Student Branch.

Kami beruntung memperoleh izin melakukan kegiatan di @America. @America adalah ruang publik yang dimiliki Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta, bertempat di Pacific Place Lantai 3. Sejak berdirinya, @America sering dan secara rutin melakukan atau mendukung kegiatan sosial dan budaya di ruangnya yang bergaya modern dan kental dengan nuansa hitech. Kegiatan semacam TEDx, Fresh, Akademi Berbagi dll rutin dilakukan di sini. OK juga kalau sesekali para geek IEEE berhimpun juga di sini.

Undangan disebar secara online melalui jejaring sosial, media komunikasi IEEE, dan jaringan kampus-kampus. Mungkin karena agak mendadak, tak banyak rekan dari luar Jakarta yang dapat hadir; termasuk Section Chair :).

Seperti yang sering diulas di blog ini, beberapa tahun terakhir ini Comsoc Chapter telah menyelenggarakan serial kuliah, seminar, dan pertemuan teknis untuk membahas berbagai aspek Jaringan Mobile 4G. Sejak tahun lalu, beberapa penyelenggara network telah menggelar uji kaji jaringan LTE dan WiMAX sebagai pendahulu 4G. Maka kuliah umum Hari IEEE ini ditujukan untuk memberikan update tentang hasil trial, implementasi, dan implikasi rencana 4G, khususnya di Indonesia. Ini juga akan jadi pembuka untuk serial seminar berikutnya yang akan berfokus pada berbagai aspek 4G secara terpisah: cognitive radio, context-aware apps platform, broadcast, dll.

Tanggal 6 sore, cuaca Jakarta cukup cerah. Kami mengisi energi sebentar, bersama tim ITT Student Branch, di resto Ta Wan di Pacific Place Lt 5. Saat langit menggelap, kami turun ke @America, dan menerima briefing sebentar dari Mbak Lulu, yang betul2 meluangkan waktu dan resource lainnya buat mensukseskan kegiatan ini. Pukul 19:00, event dimulai dengan pembukaan oleh Adeline dari @America, lalu acara dikendalikan MC Satrio Dharmanto dari IEEE Indonesia Section.

Speaker dalam kuliah umum ini:

  1. Kuncoro Wastuwibowo, Introduction to IEEE, and 4G Mobile Technology
  2. Anto Sihombing, Digital Video Broadcast over LTE Network
  3. Hazim Ahmadi, Lesson Learnt from LTE Trial in Indonesia
  4. Arief Hamdani Gunawan, Regulatory and Industry Aspects of LTE

Kali ini memang aku tak banyak aktif memberikan kuliah, karena banyak materi yang lebih menarik dapat disampaikan rekan-rekan; terutama Anto dan Hazim yang mulai aktif atau aktif kembali mengisi forum-forum internasional. Aku sekedar membuka mewakili IEEE :). Tapi ada yang membuatku mendadak tercekat. Waktu aku menyebut motto IEEE “Advancing Technology for Humanity” — pengembangan teknologi demi harkat kemanusiaan, mendadak tersergap kesedihan akan meninggalnya Steve Jobs pagi harinya (WIB). Ya, Steve memang tokoh luar biasa, yang secara komprehensif (bisnis, seni, teknologi) telah memparipurnakan hidupnya buat pengembangan teknologi yang meningkatkan nilai hidup manusia. Memang baru masyarakat urban, barangkali. Tapi itu tugas kita untuk terus menerus meningkatkan harkat kemanusiaan secara universal melalui teknologi.

Jumlah peserta kuliah Hari IEEE ini mencapai 50 orang. Peserta berasal dari universitas (UI Jakarta, ITT Bandung, UGM Yogya, dan beberapa kampus lain), operator (Telkom, Telkomsel, dan XL Axiata), pemerintah (Depkominfo), konsultan, dari IEEE sendiri, dan dari kalangan lain yang meminati teknologi mobile. Dari IEEE tampak Pak Arnold Djiwatampu yang juga Past Chair dari Indonesia Section, dan Mr . Arifin Nugroho yang juga chair dari COMNETSAT.

Terima kasih, @America, volunteer IEEE, para mahasiswa, para peserta, dan para speaker, yang membuat Indonesia dapat menyelenggarakan Hari IEEE dengan sukses! Advancing technology for humanity!

Melawan Para Moron

Bully. Atau kepongahan lain. Semuanya bodoh. Dan amat tak masuk akal untuk menyerah pada kebodohan.

Kampusku dulu bukan satu yang paling terkenal se-Indonesia. Tapi para seniorku noraknya bukan main menerima adik2 angkatannya. Padahal aku sudah terbiasa menilai kecerdasan orang a.l. dari gaya berkomunikasinya. Ternyata aku gak salah. Sekian waktu kemudian, aku lihat bahwa para panitia opspek pada masa itu, tanpa kecuali, adalah kumpulan mahasiswa paling bodoh di kampus kami. Dalam encounter satu lawan satu, misalnya di warung makan, beberapa senior malah menunduk kalau aku tatap tajam tanpa berkedip. Ah, mereka cuma pengecut yang hanya berani berkelompok. Kebayang nggak sih: dari zaman itu pun aku sudah termasuk mahasiwa paling kecil mungil di kampus.

Aku pikir para moron itu sudah aku tinggalkan di sejarah kampus. Tapi cukup gila bahwa di tempat kerjaku pun ada beberapa makhluk penindas semacam itu. Waktu aku masuk ke bidang network dulu, sebagian besar perangkat sentral adalah buatan Siemens. Semua sentral di Bandung itu Siemens, kecuali satu sentral baru dari Lucent. Aku merasa agak aneh bahwa beberapa rekan senior tampak berkeberatan masuk ke ruang kontrol Siemens, dengan berbagai alasan. Aku pikir alasannya murni keamanan. Tapi halangan serupa tak tampak di sentral Lucent, yang awaknya lebih acuh. Baru dua tiga tahun berikutnya seorang senior mengakui bahwa dia memang menyuruh teman2nya mengurangi akses aku ke kontrol Siemens, khawatir ada personal opportunity yang bisa aku ambil buat melejit meninggalkan mereka. Konyol. (Si senior ini beberapa tahun kemudian makin gak betah kerja di Telkom; mengambil pensiun dini dengan uang saku sangat besar, dan pindah ke Bakrie). Sementara aku di sentral Lucent melakukan inovasi untuk meniru analisis2 yang dilakukan di Siemens. Sentral Lucent masih jarang dan kecil2. Jadi program2ku diminta rekan2 pengendali sentral Lucent di Batam, Medan, Surabaya, dll. Aku serahkan program lengkap dengan source code. Source code ini dikembangkan bersama-sama jadi sistem analisis yang lebih lengkap. Lumayan juga, aku jadi bisa jalan-jalan keliling Indonesia, ke hampir seluruh tempat yang punya sentral Lucent. Dibandingan program analisis milik Siemens yang besar, lambat, rumit, sulit dimodifikasi, plus mahal; program-program kami lebih ringan, lincah, dan customizable. Langkah berikutnya, menyusun program analisis lengkap seluruh sentral. Kali ini mudah, karena pintu-pintu yang tadinya tertutup terpaksa mulai dibuka. Program-program ini akhirnya memungkinkan aku memperoleh Penghargaan Prestasi dari Menteri Perhubungan. Haha, waktu itu secara teknis Telkom masih diasuh Menhub.

Inti ceritanya, ditindas bukan berarti harus jadi lebay. Jelas kaum penindas hanyalah sekelompok orang bodoh yang memiliki ketakutan pada kita orang2 cerdas. Dan tentu, orang cerdas harus menggunakan cara cerdas untuk menyelesaikan masalah secara elegan.

Kindle, Lumiread, iBook

Di Jakarta, di Bandung, rumah hanya dipenuhi rak2 buku. Kesannya penghuninya fanatik sekali pada media ilmu itu. Buku, bukan saja mentransfer informasi antar ruang, antar budaya, tapi juga antar waktu. Tapi justru sebagai pecinta buku yang akut, aku mulai menyadari banyak yang harus diubah dari budaya buku.

Buku berkualitas terbaik pun akan mulai pudar dan rusak — khususnya jika sering dibaca dan disimak dengan serius, dibawa ke mana2, atau dicoret-coreti. Sementara itu, tumpukan buku menimbulkan perasaan lain: perasaan bersalah ke lingkungan bahwa banyak pohon yang harus ditebangi untuk memenuhi kehausan ilmu. Perasaan yang dulu terasa fantastik saat mencium harum kertas kini dibarengi perasaan bersalah bahwa pohon tempat kayu yang harum itu berasal, kini telah hancur ditebang. Keasikan membalik2 kertas digantikan oleh dorongan ala geek bahwa waktu yang singkat bisa digunakan untuk membaca lebih cepat, lebih banyak. Dan pameran buku, dimana lebih dari 70% buku2nya benar2 tak berkualitas, sungguh jadi tontonan yang menyakitkan buat pecinta lingkungan.

Mungkin para pecinta buku harus mulai mengubah gaya hidup. Membuang keengganan memegang e-book (gadget atau apps), dan mulai mengasikinya dengan niat untuk memelihara kehidupan di bumi, dan menggali ilmu lebih cepat dan luas.

Sebagai pecinta buku, aku sempat tak berminat menggantikan buku dengan gadget centil semacam iPad. Kalaupun buku harus dielektronikkan, ia harus digantikan oleh buku elektronik. Jadi, tahun lalu, aku mengadopsi sebuah Amazon Kindle. Kindle ini dibeli di Kaskus, tetapi covernya harus beli di UK. Dibawain Mas Yanuar Nugroho, wkwk. Tanpa cover, Kindle memang terasa mirip gadget. Tapi begitu dipasangi cover, dia berubah jadi buku. Aku bisa mengasyikinya seperti mengasyiki buku kertas, dengan klik di tempat di mana halaman buku seharusnya dibalik. Lengkap dengan makian kalau lampu mendadak mati :). Kindle ini menggunakan e-ink yang ramah lingkungan. Ia hampir tak menggunakan daya, selain untuk mengubah tampilan halaman, serta untuk transfer informasi via WiFi. Gak lama, aku mengisi buku ini dengan content yang aku beli (berbayar dan gratis) dari Amazon, dari O’Reilly, dan dari tempat2 lain. Format AZW dengan DRM dari Amazon, format MOBI tanpa DRM dari O’Reilly. Dari IEEE, masih format PDF yang belum nyaman dibaca dengan Kindle.

Apa yang menarik dari Kindle? Begitu memegangnya, kita lupa bahwa ia adalah tablet mini dengan platform komputasi Fiona dengan layar selebar 6 inci. Yang kita tahu, ini adalah buku. Bahkan, di pesawat terbang, saat pramugari sudah tegas menyuruh mematikan seluruh perangkat elektronik, aku sering lupa menutup Kindle. Rasanya dia benar2 buku. Pramugari pun tak pernah menegur. Tapi ia bukan cuma buku. Ia gudang buku. Memulai perjalanan dengan baca Herriot, kita bisa ingat gaya candaan Larry Wall, dan bisa pindah ke buku Perl, lalu meneruskan baca2 soal coding, mobile coding, lalu 4G mobile technology, lalu ke jurnal2 Comsoc yang mutakhir. Semua dilakukan saat itu, tanpa harus kesal meninggalkan buku yang mendadak kita mau baca di situ juga. Dan sambil senyum melihat hutan di bawah sana, yang mudah2an tak kencang lagi ditebang.

Kindle juga memungkinkan kita membeli buku langsung ke Amazon. Buku yang baru diterbitkan, selama ada versi Kindlenya, dapat langsung kita beli, kita unduh, dan kita baca. Tak lagi kita harus tunggu 2 minggu untuk menerima buku terbaru. Dan kenapa hanya buku? Majalah2 seperti Time, Fortune, Reader Digest, Science News, dapat kita langgani di Kindle, dan langsung dikirimkan otomatis ke dalam buku kesayangan itu bahkan sebelum versi kertasnya masuk ke rak-rak di toko-toko di US. Kindle punya aku memang tak memiliki koneksi mobile. Ia hanya punya WiFi yang sederhana. Syukur iPhone-ku punya kemampuan tethering: ia jadi WiFi access point, menjadi jembatan mini antara trafik WiFi ke Kinde dengan trafik 3G Mobile ke Telkomsel. Atau Singtel, Celcom, Softbank, dll di berbagai negara.

Tentu, saat ini memang belum semua buku diterbitkan dalam versi e-Book. Infiltrasi budaya digital pun memerlukan waktu. Juga, Kindle mirip buku: tak bisa dibaca di mobil tanpa cahaya matahari, atau di rumah saat PLN berkhianat. Dan Kindle 7″ juga agak bikin pusing dipakai membaca buku yang memiliki format cetak kaku, seperti jurnal IEEE versi PDF dengan format dua kolomnya. Kadang Kindle harus menyerah. Tak heran bahwa di tasku kadang masih ditemukan jurnal2 IEEE.

Lalu datanglah Cherico. Ini nama samaran untuk Acer Iconia Tab yang dititipkan Acer buatku. Tablet bersistem Android Honeycomb berlayar 10″ ini mula2 hanya aku pakai buat test Angry Birds. Ternyata OK juga. Jadi aku instal dengan aplikasi yang pasti diinstal oleh semua pecinta buku: Book Reader. Pertama, Kindle apps. Kebetulan Android Market masih melarang warga Indonesia yang cinta damai untuk mengunduh Kindle apps. Terpaksa aku download dari ruang lain. Amazon memperkenankan kita meregistrasikan beberapa perangkat ke dalam satu account kita. Jadi, aku cukup meregistrasikan kembali Kindle apps ini, dan segera ratusan buku yang sudah kubeli di Amazon diunduh kembali ke Cherico. Sekarang aku bisa baca dalam kegelapan, di trafik malam Jakarta. Thanks, Acer :). Aku langsung menambah berlangganan National Geographic di Amazon. Dengan ketajaman layar Iconia, majalah ini tampil prima. Tentu tampilan semacam ini tak dapat dilihat di Kindle kesayanganku.

Cuman, Cherico ini masih berasa tablet, berasa gadget, bukan berasa buku. Tak terlalu mengganggu sih, karena aku sudah beradaptasi jadi pembaca ebook. Tapi kadang, di tengah asyik membaca buku, ada notifikasi kecil di bawah layar: someone mentioned you on Twitter, someone sent you a mail, someone talked to you on Gtalk, dst. Ganggu orang baca aja :).

Kindle apps for Android hanya bisa digunakan membaca buku2 dan majalah dari Amazon. Tak bisa membaca MOBI atau PDF dari third parties. Jadi aku sibuk memilih aplikasi lain buat baca buku dari O’Reilly dan jurnal2 IEEE, serta buku2 non Amazon lainnya. Akhirnya aku pilih LumiRead. Ini apps yang tidak rumit, tapi nyaman digunakan, dan dapat menampilkan buku2 dalam format PDF secara jernih dan tajam. Sekarang aku tak lagi harus bawa jurnal2 IEEE dan jurnal2 lainnya. Aku bisa baca di Cherico. Buku2 o’Reilly aku unduh ulang dalam format PDF, dan dimasukkan ke LumiRead juga.

Selain di Cherico Android, Kindle apps juga aku pasang di Mac Blue. Tapi memang versi yang ini amat jarang diakses. Seharusnya ini aku pakai untuk baca2 di tengah rapat yang membosankan, sambil pura2 sibuk ini itu di komputer. Tapi dalam praktek, aku memang sering harus sibuk ini itu di komputer, selama rapat yang selalu membosankan itu. So, ia jadi aplikasi yang duduk tenang dan manis saja di Mac Blue.

Alternatif lain, saat kita sedang berpisah dengan seluruh komputer, tablet, dan gadget, adalah iBook di iPhone. Memang iPhone-ku belum jailbroken; dan Kindle apps for iPhone juga belum bisa dibeli. Jadi aku hanya pakai iBook, dan diisi buku2 O’Reilly  dalam format EPUB. Tapi bukan hanya itu. Beberapa buku PDF dan buku2 lain juga aku re-edit dengan Pages di Mac Blue, lalu aku ekspor ke EPUB, dan dimasukkan ke iBook. Memang tak terlalu nyaman membaca di layar smartphone. Kesannya kita kayak lagi sibuk baca SMS atau tweeting. Padahal memang tweeting, ssst. Tapi, dalam keadaan tertentu, ini jadi alternatif yang menarik juga.

Dan buku kertas … yang masih ada kadang2 dibawa2 juga sih. Tapi aku sudah amat jauh mengurangi buku2 kertas yang baru. Dan aku masih bisa mengaku jadi pecinta buku. Bukan karena punya banyak buku di rak, tapi karena bisa bawa dan baca buku2ku di mana saja.

Kayak apa sih dunia, kalau buku tak pernah diciptakan?

Miraikan

Ada yang sulit dimengerti dari buku Geek Atlas. Saat orang2 Inggris sibuk memasukkan banyak research centre dan science museum di berbagai kota ke dalam buku itu, orang Jepang malah memasukkan tempat shopping semacam Akihabara. Andai aku yang jadi koresponden Jepang, aku akan memasukkan setidaknya Science Museum di Chiyoda, dan The Future Museum di Odaiba. Aku sendiri cuma punya waktu singkat di Tokyo, dan atas rekomendasi seorang rekan hanya memilih mengunjungi Odaiba.

Odaiba sendiri adalah pulau buatan di lepas Teluk Tokyo, dengan posisi seolah melindungi kota Tokyo dari berbagai ancaman dari laut. Pulau ini mulai dibuat di abad ke-19, namun mulai intens digunakan di akhir abad ke-20. Berbeda dengan Tokyo yang amat padat, suasana Odaiba sungguh lapang, dengan banyak ruang kosong, dan instalasi2 raksasa kokoh yang mengisi ruang. Odaiba dihubungkan melalui Jembatan Pelangi ke kota Tokyo. Dari Tokyo, pengunjung dapat menggunakan MRT Yurikamome dari Stasiun Shimbashi. Yurikamome ini agak terpisah dengan sistem metro Tokyo.

Di Odaiba terdapat cukup banyak obyek menarik: dari Aquatic City, pusat telekomunikasi, dan lain-lain. Tapi aku baru menghadiri konferensi mengenai infokom, jadi mungkin tak perlu menambah satu hari lagi untuk telekomunikasi. Dan, sebagai salah satu bekas pengasuh blog Pernik Ilmu, aku memilih Miraikan. Miraikan diinggriskan sebagai The National Museum of Emerging Science and Innovation. Untuk mengunjunginya, kita dapat turun di stasiun Funenokagakukan di Odaiba.

Kebetulan aku mengunjungi Miraikan pada 12 Juni. Ini hari kedua sebuah pameran yang memaparkan pembuatan Tokyo Sky Tree, yaitu proyek pembangunan menara setinggi 634m. Pameran ini dimulai dari sejarah menara2 tertinggi yang dibuat manusia, dari piramida Khufu dan mercusuar Alexandria, Eiffel di abad ke-19, hingga lomba kemegahan tower antar negara tanpa maksud jelas di abad ke-20. Namun menarik untuk menyaksikan berbagai tantangan yang harus dipecahkan untuk membuat tower berketinggian di atas setengah kilometer itu; plus bagaimana mereka harus merekayasa solusinya.

Ke lantai atas, pengunjung disambut Geo-Cosmos yang terkenal itu. Oh, sebelumnya, pengakuan dulu: blog ini dibuat karena mendadak tampak foto Geo-Cosmos dari Miraikan ini di E&T Magazine edisi terakhir :). Ge0-Cosmos ini merupakan miniatur bumi, digantung pada ketinggian 18 meter, dibuat dari kerangka aluminium, dan disaluti lebih dari 10.000 panel OLED yang masing2 berukuran 96×96 mm dengan 1024 pixel berwarna. Ia mensimulasikan kondisi bumi sesuai kebutuhan pengamatan.

Aku berpindah ke ruang inovasi. Di sini ditampilkan bagaimana kreasi sains dan teknologi dibentuk, bagaimana proses eksplorasinya, dan ke mana proses2 semacam itu mungkin membawa kita. Ini divisualkan sebagai lima sungai yang mengalir dari mata air harapan. Lima sungai itu ditampilkan dengan berbagai contoh.

  • Association. Sebagai contoh, komputasi kuantum diciptakan dengan mengasosiasikan sebuah kalkulator pada karakteristik fisika kuantum. Contoh aplikasi komputasi kuantum adalah pencarian visual, misalnya mencari wajah kita dari kumpulan file gambar.
  • Integration. Sebagai contoh adalah lab dalam sebuah chip. Berbagai fungsi yang kompleks dalam lab dimampatkan dalam sebuah chip; dan chip itu dipamerkan mampu menjawab berbagai pertanyaan.
  • Serendipity. Kadang penemuan besar diawali dari kegagalan atau basil yang tak diharapkan dari eksperimen lain. Yang dicontohkan dal am kasus ini adalah plastik konduktif.
  • Mimic. Contohnya, adalah fotosintesis buatan yang meniru fotosintesis alami. Dengan mempelajari mekanisme para alam, tumbuhan, dan makhluk lain, manusia mempelajari cars memecahkan berbagai masalah, seperti masalah lingkungan dan energi.
  • Alternative. Atau pergeseran gagasan. Misalnya, mungkinkah mengubah satu atau dua masalah dari sebuah masalah besar, kemudian memecahkannya?

Uh, cukup lama aku di sini. Aku berpindah secara acak, sambil diam2 mulai merindukan kapucino dingin :). Ini beberapa yang aku kunjungi:

  • Display bagian dalam dari wahana angkasa. Di sini ditampilkan ruang2 dalam ukuran sebenarnya, tempat para astronot hidup selama di angkasa: apa yang mereka makan (makanan instan yang mudah dilunakkan, tetapi cukup beradab), apa saja yang bisa mereka lakukan (membaca, tidur, memasang musik, baca majalah, main game), dan bagaimana mereka melakukannya.

  • Aku lupa ini di bagian mana :). Tapi benda ini membuka mataku tentang bagaimana syaraf bekerja. Di tengah itu cermin. Kita letakkan tangan kiri dan kanan di kayu hijau. Kita tutup mata kiri. Maka mata hanya melihat tangan kanan, dan bayangannya (yang seolah2 jadi tangan kiri). Sekarang, gerakkan tangan kanan saja. Mengejutkan! Syaraf kita memberi tahu bahwa tangan kiri kita bergerak. Padahal jelas tangan kiri kita diam. Mata melihat bayangan tangan kanan bergerak, mengiranya tangan kiri, dan mengirim pesan ke otak, yang kemudian membuat otot tangan kiri kita yakin bahwa ia telah bergerak.

  • Dan ini, namanya Paro. Ia robot berbentuk anak anjing laut. Tapi ia merespons suara dan sentuhan kita, seolah2 ia memang hewan piaraan yang imut dan manja. Ada yang berminat mengadopsi Paro?

  • Berikutnya adalah robot yang meniru gaya reaksi manusia. Mereka menangkap ekspresi, dan dapat memberikan ekspresi simpatik pada suara kita, seperti dengan mengangguk2 atau memberikan gaya dan lain2. Ekspresi semacam ini diyakini merupakan bagian terpadu dari komunikasi dan konversasi masa depan.

  • Wahana laut Shinkai 6500, melakukan eksplorasi jauh di kedalaman laut, di tempat yang tak tertembus sinar mentari.

  • Sisanya, masih cukup panjang dan banyak. Cukup untuk menghabiskan setengah hari. Tapi kadang lupa ambil foto juga. Dan entry blog ini mulai terlalu panjang, haha.

Selesai, kembali ke Tokyo, dan menikmati sore sebuah car-free day di Ginza, sebelum ke Haneda airport untuk kembali ke Jakarta.

Cantabile 2

Splash! Sentakan perkusi, diikuti lincah flute, lalu riuh singkat seluruh orkestra, yang disusul piano bertempo lambat sedang. Inilah Konserto Piano pada G mayor, dari Maurice Ravel. Aku terlompat dari Kemayoran ke bagian redup di pusat kota Madrid belasan tahun lalu. Cuaca sejuk menembus bajuku yang tak berjaket, dan aku masuk ke sebuah Music Shop bertingkat 7, mengambil Strauss, Stravinsky, dan Ravel. Seperti Stravinsky, dan kemudian Nielsen, Ravel memiliki posisi unik di kepalaku: ia mewarnai bagian yang menyusun intuisi, para-rational, dan selalu bisa mengembalikanku ke my real soul saat tantangan di dunia memaksa pikiran buat kalut. Aku terselamatkan lagi oleh Ravel. Huh, aku sudah kembali ke Jakarta, tahun 2011, dan Ravel benar-benar dimainkan di depanku malam ini, di Aula Simfonia Jakarta, Kemayoran. Twilite Orchestra, dengan tingkat akurasi dan expertise tinggi memainkan komposisi itu tanpa ampun, tak memahami bahwa permainan mereka sempat melemparku ke dunia yang lain. Baru di bagian adagio, dengan piano yang lambat berirama tiga, aku turun ke bumi lagi :).

Jakarta sedang bercuaca tak menentu: amat deras di timur, dan cukup kering di utara. Khawatir terhambat kronis macet Jakarta, kami ke Kemayoran lebih dini. Tapi trafik Jakarta amat ramah, dan kami sudah sampai pukul 18:30 :). Konser baru dimulai pukul 20:00 tepat. Conductor Addie MS naik ke pentas, dan Twilite Orchesta langsung membuka dengan permainan yang membangkitkan semangat: Pembukaan opera Russlan & Lyudmilla, dari Mikhail Glinka. Mengasyikkan, dan membuatku merasa bersalah atas CD Glinka yang tampaknya telantar di Bandung :). Musik ini sendiri disusun Glinka berdasar kisah yang diciptakan Alexander Pushkin.

Selesai komposisi Glinka, Addie MS mengambil waktu menyampaikan pengantar. Ini adalah Konser Cantabile yang kedua, setelah Konser Cantabile sebelumnya di Balai Sarbini. Yang menarik adalah kisah Addie tentang Twitter: bagaimana beberapa program di konser ini diusulkan dan dipilih di Twitter, bagaimana beberapa pemain mengajukan audisi untuk konser ini melalui Twitter, dan bagaimana hal ini membuat konser ini jadi didominasi anak muda, baik pemain maupun penontonnya. Benar-benar sebuah Konserto 2.0 dari Twilite Orchestra :).

Lalu Addie kembali menatap pemain, dan mengalunkan bagian dari Nutcracker, dari Tchaikovsky. Entah kenapa, bagian dari musik balet yang ini memang selalu mengingatkan ke Twilite Orchestra. Kalau gak salah, ada iklan televisi Twilite Orchestra berapa tahun lalu yang juga menggunakan bagian ini. Manis sekali :D.

Selesai bagian ini, para pemain keluar. Piano dinaikkan ke panggung, lalu masuklah pianis Felisitas Nesca Alma dan violinist Michelle Siswanti. Dengan duet yang asik, mereka memainkan Spring Sonata dari Beethoven. Ini permainan yang lebih dari sekedar luar biasa. Ada efek visual yang melebur ke dalam musiknya. Bukan saja piano bergayut elegan dengan violin, tetapi kedua pemain memainkannya dengan dialog, gesture, permainan mata, yang seluruhnya membentuk dialog yang manis. Luar biasa.

Piano tak diturunkan saat pemain Twilite Orchestra kembali ke panggung, tetapi langsung diokupasi oleh Kazuha Nakahara (yang di Cantabile 1 memainkan piano untuk Rhapsody in Blue). Dan kejutan pun terjadi buat aku: Ravel Piano Concerto in G major, seperti yang aku tulis di atas tadi :). Bagian adagio berakhir, ditutup dengan bagian presto yang cepat, penuh sentakan, dan amat disonan. Emosiku terlompat lagi. Aku dalam posisi antara tertawa, menangis, berteriak. Kacau. Syukur masih sadar bahwa aku ada di tempat umum :).

Setelah break, orkestra memainkan Simfoni Ke-9 dari Antonin Dvorak. Ini bagian yang menenangkan. Tak seperti Haydn yang ketenangannya berpotensi membawa kantuk, Dvorak menyelipkan dinamika yang menarik dalam simfoninya yang tenang dan anggun, membuat kita tetap terjaga, dan menyerap inspirasi akan kehidupan yang mengalir tanpa perlu dikejar, tapi kadang justru mengejar kita :D. Sesuai judulnya, “From The New World” :).

Ah, malam yang luar biasa :). Thank you, Twilite Orchestra. Thank you para pemain yang luar biasa. Thank you, Addie MS.

Oh ya. Special malam ini, kami juga menculik Annet, makhluk mungil yang sedang mulai belajar violin. Siapa tahu beberapa tahun lagi kita lihat Annet ikut bermain di suatu orchestra, memainkan karya luar biasa yang lainnya :).

Groovia

Juni memang selalu istimewa, wkwkwk. Juni lalu, Telkom Group melakukan grand launching atas produk IPTV-nya: Groovia. Seperti yang dicuplik deskripsi produk itu dari blog aku (nah lo), IPTV bukan sekedar televisi yang didistribusikan melalui Internet. IPTV adalah sinergi antara kekuatan interaksi Internet dan Web, dengan kekuatan broadcast media televisi. IPTV merupakan platform layanan yang merupakan tahap lebih lanjut dari bentuk interaksi multimedia yang ada saat ini.

Walaupun nama Groovia tampak ajaib, namun pemilihan nama ini mengambil pertimbangan cukup lama. Kalau domain Groovia.TV kita whois, kita dapat melihat bahwa domain ini bahkan telah direservasi 1 tahun sebelum grand launching. Pada tahun pertamanya, Groovia direncanakan akan meliputi layanan:

  • TV on demand, yaitu content televisi yang bersifat interaktif, dengan fasilitas rekaman di jaringan, yang memungkinkan pengendalian seperti pada video: pause, rewind, replay, scheduled report, dan lain-lain.
  • Video on demand, yaitu content multimedia non-televisi yang disertakan dalam layanan ini, termasuk film video, musik, karaoke, dan lain-lain, dengan berbagai bentuk interaksinya.
  • Web service, yaitu interaktivitas dunia maya yang dipadukan ke dalam sistem televisi. Di dalamnya akan dimasukkan misalnya jejaring dan media sosial, berita, informasi cuaca, saham, dan lain-lain.

Di tahun berikutnya, e-advertising, e-transaction, dan e-shopping diharapkan dapat diintegrasikan ke dalam Groovia. Dari sisi infrastruktur, diharapkan integrasi antara IPTV, SDP, dan platform lain, seperti content & applications store, dapat dilakukan dengan lancar, membentuk ekosistem interaksi multimedia yang efisien dan nyaman.

Mahalkah Groovia? Jika kita telah memiliki akses Speedy dengan data rate 1 Mb/s, 2 Mb/s, atau 3 Mb/s, maka dengan menambahkan Rp 50.000,- per bulan, kita telah dapat memiliki layanan Groovia. Gak mahal untuk jadi taste-maker :). Content yang lebih kaya dapat dipilih sesuai kebutuhan individual setiap user. Hanya, sayangnya, memang saat ini Groovia memang baru dalam tahap deployment awal, dan masih tersedia hanya di kawasan tertentu di Jakarta. Deployment ke kota-kota lain akan dimulai tahun ini juga.

Informasi yang lebih update atas Groovia dapat disimak di webnya, di Groovia.TV :).

The Geek Atlas

Biasanya perjalanan wisata dipandu oleh buku dari Lonely Planet, atau dari ensiklopedi WikiTravel. Tapi ternyata O’Reilly pernah juga menerbitkan buku “The Geek Atlas” yang juga dapat digunakan buat menarik minat berwisata ke lokus para geek, atau untuk melihat sisi geek dari kota yang kebetulan sedang kita hinggapi. Sayangnya, buku ini US-centric, jadi sekitar 40% obyek yang ditampilkan berada di US :). Dan dari 60% sisanya, i.e. 20 negara, Indonesia belum termasuk.

Yang buat aku menarik adalah bahwa aku bisa membandingkan tempat2 yang kebetulan pernah tak sengaja terkunjungi, dengan ulasan di buku ini. Ini beberapa di antaranya (mengikuti urutan dalam buku ini):

Paris: Menara Eiffel. Dari sisi estetika, banyak yang tak menyukai menara ini. Ia bertahan karena memiliki fungsi ilmiah. Gustav Eiffel membangun menara ini setelah membangun banyak jembatan, dan Patung Liberty di New York. Menara disusun dari besi dengan kadar karbon yang lebih tinggi, yang dibentuk dari besi dan karat :). Besi dibentuk menjadi lempeng, yang kemudian disambung saat masih panas di tempat, dan dibiarkan mendingin sambil berkait. Tinggi menara 324m. Dari ketinggian itu, aku sempat melihat seluruh Paris, dan sempat membuat resolusi, wkwkwkwk :). Oh ya, menara itu memiliki lekuk unik dan keren karena alasan teknis: untuk menahan tekanan angin. Eiffel sendiri menyatakan bahwa anginlah yang menjadi alasan membentuk menara seperti itu. Menara ini digunakan untuk pengukuran cuaca, eksperimen ilmiah, dan kemudian juga pemancar radio. Di bawah menara, dipahatkan nama2 ilmuwan Perancis, dari Lagrange, Laplace, Lavoisier, Ampère, Becquerel, Cauchy, Coulomb, Fourier, dan lain2.

Tokyo: Akihabara. Kaget baca nama ini di buku ini. Aku pikir ini cuman pasar elektronika terlengkap. Tapi memang ini yang disebut juga di buku ini. Kalau sebuah perangkat elektronik tak ditemukan di sini, mungkin dia tak ada di seluruh Jepang, dan pasti sulit dicari di seluruh dunia: dari perangkat tak berguna hingga perangkat mutakhir. Aku sendiri cuma lewat tempat gini, ‘gak berminat belanja :)

Taipei: Taipei 101. Konon ini gedung berpenghuni yang tertinggi di dunia. Berlokasi di tepi Pasifik, gedung ini akan rentan gempa dan taufan. Maka di bagian atas dipasanglah pendulum berwarna emas seberat 660 ton untuk mencegah gedung ini berayun atau bergetar. Tentu ini jadi pendulum terheboh di dunia, karena dapat dilihat publik, yaitu pada lantar 87 – 91. Bola pendulum dapat berayun setiap saat hingga 35cm, dan meredam getaran hingga 40%. Saat terjadi taufan, pendulum dapat berayun hingga 1.5m, dengan arah berlawanan dengan arah ayunan gedung. Bumper hidrolik akan menyerap energi dan mencegah ayunan yang terlalu besar. Periode ayun gedung ini adalah 7 detik, dan pendulum telah disetel untuk match pada periode ayun ini :).

Greenwich: Royal Observatory. Ini adalah titik 0° bujur bumi (GMT 0), yang terposisikan di Royal Observatory at Greenwich. Tak kebetulan, observatorium ini berdekatan dengan pelabuhan AL Inggris. Ini memungkinkan bakuan GMT digunakan untuk mengukur semua pelabuhan dan semua tempat di muka bumi di masa sebelum teknologi satelit, selama mereka memiliki pengukur waktu yang akurat. Oh ya, di taman yang luas dan rindang sekitar obversatorium ini, tinggal banyak tupai yang imut dan jinak :).

York: National Railway Museum. Banyak bagian dari York yang menarik. Jadi museum ini cuma aku lewati pintunya :D. Tempat ini berfungsi mereview teknologi kereta api dan sejarah Revolusi Industri. Loko dari Rocket yang berkecepatan 20 km/h hingga Flying Scotsman yang berkecepatan 160 km/h tersimpan di sini. Yang terakhir ini dapat menempuh jarak London – Edinburgh tanpa berhenti mengisi batubara.

Cambridge: Trinity College. Aku menghabiskan seharian di sekitaran college sekitar sungai Cam ini, tapi baru sadar bahwa di sana masih tumbuh sebatang pohon apel yang konon merupakan keturunan dari pohon apel yang konon mengilhami Isaac Newton :). Di sini memang aku malah sibuk menebak ruang kerja Newton, Rutherford, Dirac, hingga Hawking, dan tak sempat memikirkan apel :). Yang waktu itu cukup banyak pengantrinya adalah Wren Library.

London: The Science Museum. Mungkin aku perlu satu entry blog sendiri tentang ini — hutang dari tahun lalu. Di museum ini ditampilkan loko Rocket dari Stephenson yang asli, jam atom pertama, modul komando Apollo 10, Mesin Diferensial dari Babbage, dan banyak sekali obyek amat menarik lainnya. Lantai bawah disediakan untuk pameran2: dunia modern (misalnya Model DNA), dunia energi, dan penjelajahan angkasa. Dan, waktu aku ke tempat ini tahun lalu, ada pameran khusus tentang pengaruh peradaban (termasuk sains dan teknologi) Islam ke dalam dunia masa kini. Yang lama aku amati memang mesin diferensial. Di abad ke-19, Babbage berencana membuat mesin mekanis untuk melakukan komputasi numerik. Mesin ini belum selesai, karena ide Babbage sendiri selalu berubah, dan pemerintah tak mudah mengucurkan dana. Umumnya pengamat sejarah menyatakan bahwa teknologi masa itu belum mampu menyiapkan ribuan perangkat mekanis renik dengan presisi setinggi yang dibutuhkan Babbage. Namun di tahun 1990an museum mencoba menyusun mesin Babbage, dan ternyata mesin dengan 4000 komponen dengan berat 2.5 ton ini benar2 bekerja. Cara kerjanya? Dengan mengelaborasi deret. Misalnya, menghitung eksponensial dengan deret Taylor; namun tidak dihitung semua dari nilai inisial, melainkan dengan menghitung selisih dari selisih secara terus menerus. Ini asal nama mesin itu.

London: Natural History Museum. Berada di sebelah Science Museum. Tapi waktu itu aku terlalu sore keluar dari Science Museum, jadi Natural History Museum sudah tutup :). Padahal ini konon museum terbaik yang memaparkan dunia hayati, termasuk evolusi dari teori evolusi, dari teori yang sekedar memaparkan hipotesis Darwin, hingga penguatannya oleh eksplorasi atas DNA dan seterusnya.

Canada: Kutub Utara Magnetik. Haha, aku belum pernah ke sini. Tapi berminat sih. Posisinya di N 82° 42′ 0″ W 114° 24′ 0″. Ada yang mau ajak aku ke sana?

Sidang Comsoc Asia Pasifik

Tahun 2011 ini IEEE ICC diselenggarakan di kota Kyoto, Jepang. Seperti tahun-tahun sebelumnya, helat akbar IEEE di bidang infokom ini dibarengi beberapa pertemuan, baik teknis maupun organisasi, di lingkungan IEEE dan IEEE Comsoc. Mewakili IEEE Comsoc Indonesia Chapter, aku diundang hadir di Comsoc AP-RCCC. Undangan diterima bulan April, jadi ada waktu cukup luang untuk mempersiapkan visa Jepang, tiket, hotel, dll. Sayangnya bulan2 ini adalah bulan2 sibuk di Divisi Multimedia Telkom. Jadi aku tak sempat melakukan hal2 menarik, seperti mengingat2 kembali penulisan huruf hiragana, katakana, dan terutama kanji dasar, buat bekal jalan2.

Rute perjalananku cukup jail :). Alih-alih mengambil penerbangan Jakarta-Kansai seharga 7.5jt, aku mengambil jalur Jakarta-Haneda seharga 5jt, ditambah Shinkanzen Tokyo-Kyoto seharga 2.5jt. Jalur ajaib ini mengharuskanku terdampar tengah malam di Haneda Airport sampai pagi, sebelum melaju ke Shinagawa Station dan Kyoto.

Tapi, Shinkanzen cukup kencang, dan pagi itu juga aku sudah sampai di Kyoto, plus sempat beristirahat. Setelah melaporkan kehadiran ke organiser, aku meluangkan waktu dengan menjelajahi pusat2 budaya di Kyoto. Sebenarnya, Kyoto sendiri adalah pusat budaya Jepang klasik. Aku mengunjungi kuil Buddha dan Shinto di Kiyomuzudera, dan kuil Zen di Konnin-ji, dan menghabiskan sore dengan melihat cuplikan teater Jepang klasik di Gion Corner. Tapi akhirnya aku kembali ke hotel dan melakukan finalisasi presentasi.

ICC dan konferensi yang menyertainya diselenggarakan di KICC, sebuah resort di timur laut Kyoto. Tampaknya tempat ini memang disiapkan untuk menjadi ruang diskusi bertaraf internasional. Aku tak mengikuti sesi-sesi ICC secara penuh. Hanya sesi workshop. Tapi aku harus mengikuti sidang AP-RCCC di tempat yang sama.

Jika IEEE Region 10 Meeting di Yogyakarta lalu merupakan pertemuan organisasi dari IEEE di kawasan Asia Pasifik, maka AP-RCCC ini adalah pertemuan dari IEEE Communications Society. Membahas wilayah Asia Pasifik, pertemuan ini dihadiri Presiden Comsoc, para VP dan direktur, Region Amerika Utara, Region Amerika Selatan, serta para ketua chapter Comsoc se-Asia Pasifik. Di dalam IEEE Comsoc, Region Asia Pasifik meliputi kawasan yang membentang dari Pakistan di barat, Jepang di timur laut, hingga New Zealand di tenggara.

Presiden IEEE Comsoc, Byeong Gi Lee, membuka sidang dengan menyampaikan tantangan terkini di bidang telaah komunikasi. Konvergensi telah melalui satu tahap dalam informasi digital, dan saat ini kita masuk ke konvergensi berbagai service. Konvergensi bukan hanya antara bidang komunikasi dan komputasi, tetapi melebar ke elektronika konsumen, media, dan kawasan lainnya. Comsoc mengantisipasi hal ini dari berbagai sisi: pendekatan pendidikan dan content, pendekatan industri, dan pendekatan standardisasi. Perumusan ini diikuti juga dengan restrukturisasi organisasi Comsoc. Berbagai aspek berkaitan dengan konvergensi lebih lanjut ini memicu diskusi yang cukup menarik.

Berikutnya beberapa VP dan direktur menyampaikan laporan dan arahan. Dan setiap chapter menyampaikan laporan, rencana kegiatan, dan hal-hal lain. Indonesia memperoleh giliran pertama untuk memberikan laporan. Aku menyampaikan laporan kegiatan yang saat ini masih dititikberatkan pada kampanye teknis dan organisasi IEEE dan Comsoc, termasuk dukungan dalam pembentukan 4 IEEE student branches pertama di Indonesia, serial roadshow, dan pendekatan lain. Rencana ke depan meliputi penyusunan konferensi yang lebih besar (lebih dari saat ini yang berupa seminar atau lecturing tematis). Untuk ini diperlukan assistance dan support dari Region maupun chapter yang bertetangga. Juga disampaikan persiapan TENCON di Bali bulan November 2011, dan permintaan untuk distinguished lecturer & distinguished speaker atas progress terkini di bidang ilmu Comsoc. Cukup banyak yang menyampaikan dukungan atas kegiatan IEEE Comsoc di Indonesia ini. Perwakilan chapter lain menyusul memberikan laporan.

Selesai konferensi, aku kembali ke pusat Kyoto dengan MRT bersama Prof. Hsiao-Hwa Chen. Ada yang agak lucu sebenarnya. Pertama jumpa (sebelum konferensi), beliau menyebut namanya, lalu aku menyampaikan bahwa tentu aku kenal beliau, baca beberapa papernya, dan bahkan tahun lalu sempat berkorespondensi. Beliau menanggapi antusias. Padahal sebenarnya tahun lalu korespondensi dari beliau bernada marah akibat sebuah kesalahpahaman yang lucu :). Tapi ini tak dibahas. Malah akhirnya kami berbincang panjang dengan pengelolaan chapter, tentang pengelolaan platfrom, tentang sejarah Jepang dan Kyoto, dst.

Jadi esoknya aku menyempatkan diri menelusuri kembali kawasan2 bersejarah di Nara (ibukota Jepang yang pertama, sebagai Jepang yang telah bersatu) dan di Kyoto (ibukota Kekaisaran Jepang selama 1000 tahun), sebelum akhirnya beranjak kembali ke Tokyo (ibukota Jepang sejak Restorasi Meiji).

Cerita lengkap (non IEEE) atas kunjungan ke Jepang ini:

Crowdsource Bookshop

Akhir minggu lalu, kami mencoba melakukan fund-raising, mengumpulkan dana untuk biaya pengobatan Hamdani, seorang rekan yang menderita kanker getah bening. Hamdani saat ini dirawat di Gedung Teratai, RS Dharmais. Biarpun ada keringanan biaya, namun biaya untuk penyembuhan liver dan ginjal yang mulai rusak (harus dipulihkan sebelum kemoteapi), biaya beberapa siklus kemoterapi, dan biaya pemulihan, akan cukup besar; tak mungkin tertangani Dani yang kini justru diberhentikan oleh lembaga pendidikan tempat ia bekerja.

Fund-raising kami tak bisa dibilang berhasil baik. Maka di hari Senin kemarin, yang dipaksakan cuti oleh menteri entah apa, kami memanfaatkan waktu yang sempit untuk merancang sebuah online bookshop, tempat kami dapat mulai menjual buku2 baru atau bekas sebagai sarana penggalangan dana lebih lanjut. Membuat site cukup mudah. Engine wordpress, domain murah, hosting numpang, plugin eshop, dan desain visual. Lalu integrasi dan test. Maka tengah malam tadi, meluncurlah Online Bookshop kami: Darrowby.co.

Darrowby, tentu diambil dari nama kota rekaan James Herriot, dalam buku Seandainya Mereka Bisa Bicara (If Only They Could Talk). Buat aku, Darrowby identik dengan buku, tapi juga dengan penyembuhan, dengan kesetiakawanan yang tulus, dengan simpati dibalik sikap pura2 acuh, dengan optimisme dan semangat tak kunjung padam, dengan ketidakmampuan untuk patah semangat menghadapi tantangan.

Buku2 diambil dari koleksiku dulu. Keren-keren, tentu saja :). Dan pertama2 akan diambil dari yang kira2 akan menghasilkan rupiah terbesar. Memang buku2 ini tak dijual murah, karena kita sedang mengumpulkan dana. 100% hasilnya akan diserahkan untuk pengobatan Hamdani. Tapi kualitas bukunya takkan mengecewakan pembeli juga. Setelah test hari ini (baru dengan beberapa buku), kami akan terus menambahkan buku-buku berbagai bahasa dan berbagai level harga ke Darrowby.

Mas Harry Sufehmi langsung menawarkan buku2 koleksinya juga. Bukan surprise, buat mereka yang mengenal sosok Mas Harry :). Sekaligus Mas Harry juga melontarkan istilah ini: crowdsource bookstore :). Community-based bookstore, haha. OK, ini memang menarik. Moga akan makin banyak yang mau membeli buku, menyumbang buku, dan lain-lain. Kalau belum ada buku yang cocok untuk dibeli, kami juga bisa mengirimkan  nomor rekening agar kita tetap dapat menyumbang tanpa membeli.

Allâh tak akan mengubah keadaanmu, kecuali kamu menggerakkan diri untuk melakukan perubahan.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑