Category: Travel (Page 8 of 8)

Park @ Birmingham


Park itu penuh pohon yang rindang. Mirip oasis di tengah Birmingham yang sedang disengat matahari tanpa ampun. Manusia-manusia berbagi cerita, di samping danau kecil dengan ratusan angsa hitam dan bebek mungil. Ada Mas Sony dan Mas Arisman dari New Castle yang sibuk jadi provokator buat kegiatan beasiswa dan penyaluran buku. Ada Mas Yusron yang lagi kampanye PPI UK. Ustadz Cholid berbincang asyik dengan Bambang Widjoyanto dari LBH. Ahmad Sofyan (a.k.a. Fade2black) malu-malu jadi konsultan web designing. Teh Nizma berkeliling ambil foto (kali-kali kita mirip pengungsi). Harry Sufehmi … duh kemana sih itu anak …

Stratford-upon-Avon

Sungai Avon mengalir tenang. Segala spesies yang mengapung — ratusan angsa putih, angsa hitam, dan bebek yang terbang rendah — saling acuh menikmati kesibukan masing-masing. Mendung yang tebal pun terpaksa mengalah, menyingkir buat sekedar memberikan warna buat sepotong kota Stratford.

Dengan jarak hanya belasan kilometer dari Coventry, ada kota yang karakteristiknya jauh berbeda. Kalau Coventry kota pelajar dan industri, dan Leamington penuh nuansa seni, Stratford disiapkan khusus buat pelancong. Segalanya disiapkan buat orang yang mau meng-EGP-kan kehidupan barang sehari.

Balik ke Coventry lewat Leamington lagi. Di peternakan yang ‘itu’, ratusan kelinci masih berlarian sampai ke pinggir jalan raya, cuman berhenti buat menatap tajam pada bis yang melaju lambat-lambat. Errrrh, aku juga cuman jadi pelancong di bumi ini. Tinggal sebentar sekedar menghayati kefanaan, kemudian akan meneruskan pengelanaan ke keabadian dengan keindahan yang sempurna …

Ironiknya, aku ke Stratford-upon-Avon sekedar buat cari kartu telepon

Leamington Spa

Di sebelah kiri bis, kebun yang luas yang seluruhnya berwarna kuning tanpa cela. Di kanan, peternakan luas tempat puluhan sapi bersantai, ditemani burung-burung hitam, dan ratusan kelinci coklat yang ikut bermalasan di atas rumput (gemes). Si pelarian melintasi puri Kenilworth sambil mengintip si puri di kejauhan. Kota Kenilworth terlewati, melintasi jalan raya, dan masuk ke kota yang asri. “Alcohol is illegal here” adalah sapaan pertama.

Konon sejak pendudukan Romawi, kota Leamington adalah tempat peristihatan. Sampai sekarang gaya hidup di kota ini memang lebih anggun dari Coventry, atau bahkan Birmingham. Gedung-gedung berwarna krim. Di toko Waterstone’s banyak buku-buku yang sulit dicari di Coventry (barangkali di Coventry bukunya dihabisin para engineer dan student).

Art centre di Leam — begitu sebagian orang menyebut kota ini — tidak terlalu mencolok. Isinya pun tidak sebanyak di Coventry. Tapi buat cita rasa aku, karya yang dipamerkan sangat menarik, dan pantas dicermati satu-satu (kemewahan yang hanya bisa dirasakan kalau sedang sendirian). Lukisan Hughes, The Property Room, tampak bercahaya dan turut menyinari ruangan. Di sebelahnya, Rally menggambar anak perempuan yang sedang tertidur di bawah cahaya lampu-lampu kecil. Dan satu dinding dilobangi untuk memuat lukisan Lowry yang bolak-balik (satu kanvas). Itu sebenarnya lukisan yang gagal, dan Lowry menggambar kembali di baliknya, tapi terbalik (upside down). Yang punya museum aja iseng. Di sebelah ruang lukisan ada tempat apresiasi seniman. Dan di seberangnya ada pameran kemarik yang bentuknya aneh-aneh dari Cooper.

Kalau toh kita harus terdampar, pilihlah tempat terdampar yang mampu membangkitkan kehidupan di dalam diri kita. Tapi lutut … aduh …

Birmingham Symphony Hall

Apa yang menarik di Birmingham? Simphony-hall yang megah, jelas. Tapi yang paling menarik adalah sepasang angsa hitam yang berenang di kanal berarir hijau, dengan tiga anaknya yang masih berwarna kuning. Di atas jembatan, kita dipaksa diam menyaksikan si angsa. Dan sadar, hidup itu indah sekali.
Tapi kapan aku boleh jadi angsa hitamnya lagi …

Keramahan Inggris

Sebelum berangkat, British Council mewanti-wanti buat bawa semua dokumen. Harus asli, plus backup fotokopi. Pasfoto yang banyak. Juga dikasih surat pengantar untuk menghadapi birokrasi. Tapi Inggris tahun 2001 beda sekali dengan tahun 1995. Hanya perlu sekitar satu menit di imigrasi. Pertanyaannya pun nggak ada yang menyelidik. Di kampus juga kartu langsung dibuat, foto di tempat. Sampai sekarang nggak ada satu pun yang nanya-nanya soal dokumentasi. Foto baru kepake satu biji.

Bukan nyesel gara-gara kita semua mengoverestimasikan kerumitan orang Inggris, tapi aku malah bersyukur bahwa yang aku temui cuman kemudahan-kemudahan. Di balik muka-muka yang kaku gara-gara kedinginan, selalu ada keramahan, ternyata.

Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑