Author: Koen (Page 15 of 87)

Nukov

Belum satu jam sejak Garuda meluncuri lintasan di samping lereng Gunung Arjuna yang memukau itu dan melandas di Abdurrahman Saleh Airport, aku sudah berada di tempat yang seperti mimpi itu: Halaman SMA Negeri 3 Malang. Dan aku harus menulis namaku di daftar absen. Dan aku harus menulis nama di nametag. Aku pakai dua nama yang dulu aku pakai di sini: Kuncoro dan Nukov. Yang pertama buat guru2, dan yang kedua buat teman2. Koen hanya tertempel di mading (offline blog) waktu itu (pun jarang).

Bertahun kadang aku dikunjungi mimpi yang sama. Bahwa suatu hari kami harus kembali ke sini. Tapi dalam mimpi itu, kami mengenakan seragam putih abu2, kembali masuk ke kelas masing2, dan meneruskan diskusi yang dulu tertunda, dipimpin Walikelas III. Kali ini diskusinya diperkaya dengan apa yang kami pelajari setelah lulus dan setelah mengelanai dunia. Duh mimpi. Dalam realita, hari itu kami harus pakai kaos yang didesain serupa dengan yang kami pakai waktu masih kelas I, waktu kaon didesain dengan optimasi harga pewarna :). Lucunya, di dalam kaos itu, kami kehilangan semua waktu berpisah. Rasanya kayak baru berpisah 3-4 bulan dengan makhluk2 yang mukanya nggak jauh berubah. Cuman the ladies banyak yang sudah pakai kerudung, dan the gentlemen banyak yang sudah gemuk. Ah, klasik.

Nukov sebenarnya bukan satu2nya namaku. Dulu (eh, 3 bulan lalu) aku jadi wapimred, baik untuk mading maupun majalah Gema. Kadang banyak tulisan yang masuk dari rekan2. Tapi kadang hampir tak ada satu pun. Sementara setiap minggu (dan kemudian setiap dua minggu) mading harus diupdate seluruhnya. Jadi untuk mengisinya, aku harus banyak menulis juga. Dan daripada banyak nama “CrVaçtu” di sana, aku pakai nama2 lain: Cruiser, Neko Niichisan, Nukov, dll. Tapi entah kenapa pimred kami, Handy, menganggap nama Nukov itu lucu. Jadi suatu hari di sekitar 3 bulan yang lalu itu, dia meneriakiku dari lapangan basket: NUUKOOOOOV! Dan semua orang jadi memanggilku Nukov. Aku jadi merasa nama itu lucu juga, lama2 :).

Sayangnya Handy tak hadir kemarin. Seperti banyak makhluk Bhawikarsu lain, dia luar biasa. Dulu kepsek kami diganti. Penggantinya berbeda sekali dengan pendahulunya, dan membuat kami kurang nyaman. Dan tentu sindiran plus protes dilampiaskan para siswa ke mading. Waktu sekali lagi kepsek itu melakukan pungutan kurang jelas, salah satu siswa (bukan redaksi) mengirim kartun protes. Kartun :). Aku lagi sendirian hari Minggu itu. Aku pikir kartun itu selain amat lucu, juga konteksnya pas, biarpun sarkatis. Aku pasang. Trus aku pulang. Dan tentu saja di hari Senin, itu jadi masalah besar. Pimred dipanggil. Aku menawarkan diri menemani. Tapi Mr Handy Trisakti cuman bilang: «Aku penanggung jawab»  trus dia masuk ruang kepsek sendirian. Aku sempat berpikir bahwa aku sedang menghadapi HB Jassin.

Percuma menggunakan nama samaran yang berbeda, kalau gaya kita menulis tak berbeda. Maka CrVaçtu menulis essai serius tapi santai, becanda tanpa melupakan EYD (di sisi grammar, bukan di sisi kosa kata). Neko Niichisan mengasuh English Corner dan Dasar Bahasa Jepang (sekarang sudah lupa semua). Cruiser artikel2 kecil, dan jokes in Indonesian and English. Nukov, apa yang tersisa? Chaos :). Permainan kosa kata ala CrVaçtu diekstrimkan. Esai dipelesetkan. Dll. Kurasa blog ini masih meneruskan gaya CrVaçtu, dengan EYD yang sudah dicemarkan dengan tata bahasa dari budaya2 lain. Buat yang sedang mempelajari Bahasa Indonesia baku, mohon jangan gunakan blog ini sebagai contoh.

Nama2 samaran juga suka jadi masalah. Nama samaran yang bukan samaran, CrVaçtu, aku tulis di buku2, LKS, lab reports, dll. Jadi kalau hilang, tidak semua rekan tahu ke mana harus mengembalikan buku itu. Seorang teman, Antin, yang menemukan lap report-ku dari Lab Kimia, hanya bisa menebak itu report-ku bukan dari nama CrVaçtu, tapi «Soalnya banyak huruf2 asing di dalamnya. Siapa lagi kalau bukan kamu.» Haha, aku masih ingat beberapa kata asing untuk kimia. Tapi sebagian lagi lupa. Dan di kelas, tumben Bu Zaenab (calculus wizard) kami nekat mengumpulkan buku untuk checking siapa yang bener2 bikin PR. Peristiwa langka. Beliau tertib sekali. Jadi buku harus rapi (hah, buku matematika bisa rapi?). Satu per satu dipanggil untuk menerima bukunya. Tapi bukuku ditahan. Tinggal satu. Aku maju mau ambil. Beliau melarang. “Itu bukan namamu. Memang namamu siapa?” Aku cari ide, dan untungnya tidak perlu lama. “Wastu, Bu.” Beliau melirik nama crVaçtu dengan font acakadut itu, terus mengembalikan tanpa komentar. Di reuni minggu lalu, Calculus Wizard ini termasuk yang bersedia hadir. Duh, jadi terharu ketemu beliau, masih dengan mata cerdas dan gaya acuhnya. Diadu kalkulus, kayaknya aku masih bakal kalah — thanks to MathCAD.

Eh, aku tadi menyebut kimia. Entah kenapa guru2 kimia kami keren2. Aku jadi terpaksa memaksa diri punya nilai tinggi di Kimia. I mean, kita perlu kecerdasan untuk bisa bagus di matematika. Tapi untuk juga bagus di kimia, selain memanfaatkan kecerdasan, kita juga harus meluangkan waktu untuk banyak menghafal. Aku jadi harus banyak baca buku gituan di balik selimut tipis pada udara malam Malang yang … brrr. Tak mengecewakan sih hasilnya. Cuman para guru itu umumnya tak terkesan. Salah satu seniorku dulu namanya Dimitri Mahayana. Dia doolooo selaaloo punya nilai yang bagusnya ajaib. Dan setelah itu tak ada lagi murid yang lebih mengesankan, haha :). Eh, one day, selimutku di rumah diganti yang lebih tebal dan lebih hangat, dan nilai kimiaku sempat turun, haha :). Salah satu guru kimia, Bu Rukmini, kemarin hadir, dan kami sempat berbincang panjang. Masih tentang kimia. Gila nggak sih?

Dan sesuai isi mimpi, harusnya kami diskusi dipimpin Wali Kelas III. Beliau namanya Bu Henny, sekaligus mengajar Fisika. Ketemu beliau, aku langsung menjabat tangannya, bertanya apa kabar, dan dengan ceria bertanya «Masih ingat saya nggak, Bu?» Beliau tersenyum manis, dan menjawab tenang «Nggak. Duh. Nggak sama sekali.» Hihihi :).

Heh, oh ya, di zaman Nukov ini juga pertama kali aku baca teks dari Derrida — «There is nothing outside the text». Waktu itu aku belum paham :). Sekarang? Heh, there is nothing outside the tweet :).

Co-Branding

Salah satu yang dulu sering disebut dosen “business development” adalah aliansi strategis. Aliansi ini bisa dari entitas pada industri yang sama (tetapi dengan segmen sosiografis atau demografis yang berbeda), atau dari industri yang berbeda tetapi menemukan alasan kreatif untuk saling mendukung. Contoh yang pertama, waktu itu adalah aliansi antara AT&T dan BT. Hahah :). Waktu itu sempat keren, sebelum bisnis telekomunikasi kolaps terbakar seperti burung phoenix (lambang universitas kami) yang abunya membentuk industri telematika yang tumbuh pesat namun gamang seperti saat ini. Contoh yang kedua akan lebih banyak. Industri multilayer (HP, Intel Inside, MS Windows). Mereka harus bekerja sama bukan saja dari supply produksi, tetapi juga mencakup kerjasama marketing. Ini asik, karena kadang aliansinya tak bersifat eksklusif :). Contoh yang mutakhir tentu iPhone dengan AT&T baru di US, atau dengan Telkomsel di Indonesia.

Tapi ini belum unik. Setiap pihak dengan mudah mengalihkan perhatian ke aliansi lain. Telkomsel masih punya Blackberry. Apple barangkali melirik operator lain. Ini tentu sah. Tapi ada satu gejala lain dimana kita bisa mengikat komitmen lebih permanen, biarpun setiap pihak juga tetap bisa mengalihkan perhatian ke aliansi lain. Salah satunya adalah co-branding.

Aku bukan orang marketing beneran, apalagi pakar marketing. Cuman menikmati dunia ini sebagai customer, dan kadang sebagai pelaku yang mencoba melihat peluang kreatif dikaitkan dengan IT. Jadi yang pertama tampak adalah co-branding yang terpapar di layar Internet. IEEE dengan Visa misalnya; yang sayangnya hanya berlaku di US, UK, dan beberapa negara lain, tak termasuk Indonesia. Visa dan Mastercard juga kemudian melakukan kerjasama dengan banyak pihak: Amazon, Garfield, dll. Lalu masuk juga ke Indonesia. Kampus2 ITB, UI, ITS dengan Bank Mandiri, BNI, BRI. Amex dengan Telkom. Ha, yang ini istimewa, karena beritanya kubaca (dari web berita di Indonesia) justru waktu aku sedang belajar aliansi bisnis itu. Tapi harus menunggu aku pulang di tahun berikutnya untuk bisa punya kartu Amex-Telkom itu.

CobrandCards-2

Aku lihat beberapa rekan di Telkom juga tertarik pada kartu Amex itu, dan untuk pertama kali mempertimbangkan punya kartu Amex (yang waktu itu tak terlalu menarik dimiliki di Indonesia, khususnya di luar Jakarta dan Bali). Maka co-brand ini berhasil memenuhi fungsi awalnya: menggunakan cross-loyalty :). Dari sisi customer, selain terpuaskan oleh loyalty yang bertaut, juga oleh komitmen implisit; bahwa misalnya Amex memberikan layanan khusus untuk customer Telkom dan sebaliknya. Ini tentu harus dipenuhi, agar tak sekedar implisit. Kartu Amex-Telkom itu misalnya, memberikan point reward lebih untuk pembayaran billing produk-produk Telkom. Kartu lain yang seangkatan adalah Citibank-Telkomsel dan Citibank-Makro.

Beberapa tahun kemudian, bisnis ritel makin diseriusi para comblang co-branding kartu kredit. Kita jadi bisa lihat BCA-Carrefour, Citibank-Giant, Mandiri-Hypermart, dll. Kemudian juga airline. Citibank-Garuda dan HSBC-AirAsia misalnya. Yang ditawarkan ke customer makin ajaib. Untuk HSBC-AirAsia, pemilik kartu (Silver / Gold) boleh memesan 1-2 hari lebih awal untuk tiket penerbangan harga spesial. Untuk Citibank-Garuda, Mastercard Platinum berfungsi sebagai kartu Garuda Frequent Flyer kelas Platinum yang tidak akan didegradasi seumur hidup (seumur hidupnya kartu, haha). Kita yang setiap hari berbincang tentang ekonomi konseptual, empati, dan storytelling ini tak akan heran melihat para pemakai kartu Citibank ini jadi lebih memilih terbang dengan Garuda daripada penerbangan lainnya. Itu sudah jadi bagian dari personal brand mereka sekarang, biarpun tadinya mereka netral2 saja dalam memilih penerbangan. Idem dengan HSBC-AirAsia.

Seharusnya Apple-Telkomsel bisa memberikan kemasan produk yang sama. Ini bukan cuma produk iPhone berkartu Simpati, tetapi seharusnya diberi branding seperti produk serupa dari operator AT&T, Sprint, Verizon pada produk non-Apple. Ada loyalty yang meningkat, yang dibarengi dengan ekspektasi (yang harus dipenuhi) akan layanan yang lebih.

Eh, sebetulnya aku cuman lagi cari ide untuk positioning produk micropayment loh :). Aku bayangkan ini OK sekali untuk distribusi dan promosi produk2 kreatif digital di Indonesia. Ada ide?

Nine One One

Itu adalah sebuah Selasa di akhir musim panas. Tapi musim panas itu menghabiskan panasnya di pertengahan tahun saja. Udara September 2001 di kota Coventry nan imut itu membuatku merutuki diri bahwa sekali lagi aku lupa bawa jaket. Yang kubawa di tas biruku juga tak menambah kehangatan. Waktu berlari. Tak bisa lagi banyak membaca buku sains, budaya asing, musik, filsafat yang bertumpuk bagai harta karun di perpustakaan bermenara mirip sarang burung itu. Waktu menipis. Yang kubawa hanya buku tentang broadband network, konfigurasinya untuk trafik tinggi, balancingnya untuk daerah luas berpenduduk tak merata, teknologinya yang konon mau berkonvergensi tapi selalu mismatch. Heh, kita dulu mencandai satu buku ini sebagai buku sastra Yunani. Pernah baca formula trafik paket? Hahah, deretan huruf Yunaninya pasti lebih seram dari Homer :).

Sekarang bayangkan, pasti senyap sekali bis yang membawa aku pulang ke Westwood Heath. Lebih sepi dari seharusnya. Karena suhu yang tak ramah, waktu yang kurang pas, atau karena formula pengendalian trafik itu sudah mulai terinstansiasi ke jalan-jalan Warwickshire yang terlindung pohon-pohon berdaun hijau coklat lebat itu?

Kamarku berpintu merah. Kunci kartu kuselipkan untuk membukanya. Notebook kukeluarkan dari tas. Juga buku-buku. Lalu kuhempaskan badan ke kasur kecil. Maunya. Nggak jadi. Telefon berdering. Suara mendesak di ujung sana. “Pasang TV sekarang juga. Gedung WTC ditabrak pesawat.”

Harus kuakui sekarang. Aku tak terkesan. Tapi bayangkan: itu tahun 2001. BBC setiap hari menyampaikan bagaimana negeri kita dibanjiri kekerasan. Mayat diseret di kota Malang. Pembunuhan sadis di Sampit. Krisis Poso. Jakarta. Ada yang ingat bahwa di tahun 2001 itu BBC menampilkan deretan panjang tank dan panser di Jakarta? Saat presiden menurunkan dekrit membubarkan DPR, dan memerintahkan militer membubarkan paksa DPR? Syukurlah waktu itu militer punya akal sehat dan memilih diam. Tapi juga ada Ambon. Dan Aceh yang tak kunjung selesai. Di masjid, para pemuda Palestina membacaan doa buat Indonesia selesai shalat Jumat. Ah, kalian yang kini berdoa untuk Palestina setelah shalat Jumat … kalian tak menyangka kan?

OK, kita kembali ke TV. Maka BBC menampilkan sekali dan sekali lagi dan sekali lagi adegan yang kini menjadi memori kita semua. Satu pesawat menghujam tubuh satu dari dua gedung kembar WTC. Lalu satu lagi menghujam gedung lainnya. Lalu runtuhan implosif mengakhiri kerja jahat itu dengan menghancurkan semuanya. Diperkirakan antara 20.000 hingga 40.000 orang meninggal. (Sekitar 6000, beberapa hari kemudian disampaikan). Menatap semuanya tanpa henti, baru aku sadar: ini adalah pernyataan perang. Tanggal 11 September, angka 9/11, menjadi sejarah.

Hebohkah? Sore itu, kami memperbincangkan apa yang terjadi di New York. Dengan suasana ketidakpastian. Tidak dengan kemarahan, ketakutan, atau ketakjuban. Seorang Cina yang biasanya mencerca US (sedang terjadi krisis diplomatik saat itu antara PRC dan US) terdiam. Tapi hidup tak langsung berubah. Beberapa hari itu, kami masih ke kota. Di pusat kota orang berkumpul. Membawa bunga, menandatangani tanda duka, mengenakan pita, dan bendera. Di BBC ditampilkan sekelompok ibu-ibu Palestina yang berteriak gembira menyambut hancurnya gedung WTC. Mereka mungkin bodoh, tapi tidak jahat. Mereka dari kampung yang temboknya tidak ada yang utuh. Keluarga mereka, bahkan hingga anak kecil, setiap saat terkena bom dan peluru Israel. Yang mereka tahu adalah bahwa Israel kuat karena dukungan AS. Jadi ledakan di AS adalah kegembiraan. Aku tak berminat membenarkan mereka. Tapi mohon jangan juga menyalahkan mereka. Mereka cuma korban perang.

Di akhir minggu, di tengah publikasi hasil penyelidikan kasus 911 di AS (plus segala macam wacana simpang siur tentang konspirasi dan hal2 menyebalkan semacamnya), aku ke Nottingham. Di sana, aku ikut antri menandatangani tanda duka. Tak mengenakan pita tapi. Juga tak memasang bendera. Lalu menghadiri pengajian Kibar. Mas Zulkiflimansyah dari Scotland masih jadi ketua pengajian (atau baru jadi mantan ketua pengajian, aku lupa). Tapi kami tak membahas tentang terorisme. Kami membahas ekonomi Islam: sesuatu yang berbasiskan rasionalitas dan akuntabilitas. Lalu prihatin bahwa Islam yang mulai dikenal rasional dan ramah itu kini kembali diidentikkan dengan kejahatan.

Beberapa pihak mulai menampakkan tanda permusuhan. Termasuk Baroness Thatcher. Masjid di kampus Coventry dikawal polisi untuk mencegah ada yang melakukan kekerasan terhadap umat muslim. Tetapi di kota lain, kekerasan tak dapat dicegah. Di Scotland, sebuah masjid mengalami ledakan ringan (tak lama setelah provokasi Thatcher). Dan tesisku mulai tertunda.

Tesisku akhirnya selesai di bulan Ramadhan. US, UK, dan pasukan sekutu sudah mengirim pasukan ke Afganistan, mengejar teroris Al-Qaidah. Ujian berakhir. Pulang. Perang terhadap teroris mulai overdosis. Bendahara pengajian di UK, Perancis, dll, dibawa ke kantor polisi, diinterogasi tentang aliran dana zakat dan infaq kami. Kegiatan kami mengirimkan dana kemanusiaan ke tanah air terpaksa dihentikan saat itu. Di tahun 2002, ISNET bahkan sempat terhenti. Majelis Syuro-nya non aktif.

Pembersihan Al-Qaidah menjadi kerjasama internasional. Tapi jadi problematik di Indonesia, yang saat itu baru mulai menata kembali masyarakatnya yang mulai mau merekatkan diri, biarpun hati mereka masih berat. Banyak hal yang jadi tabu dibicarakan, diselesaikan. Semuanya melalui gerakan lambat dan toleransi. Salah satu efeknya adalah bahwa Al-Qaidah yang tadinya berkembang di Malaysia, dan kemudian menyempir gerakknya karena terjadi pembersihan, akhirnya bermigrasi ke Indonesia, termasuk duet bomber Azhari – Noordin Top. Satu sudah jadi bangkai, tapi satu masih buron. Dan sampai sekarang kita masih menuai bom di pusat Jakarta.

Palestina masih tertindas. Sebagian oleh kekejian abadi kaum zionist. Sebagain oleh perpecahan terus menerus antara para pejuang Palestina sendiri — perpecahan tanpa toleransi tanpa kasih persaudaraan.

11 September 2001 belum lama berlalu. Apa yang terpikirkan oleh kita saat mengenang peristiwa itu, dan peristiwa-peristiwa sesudahnya?

Malaysia

Malaysia

Kita bukan cuma serumpun. Kita bersaudara. Ada masanya persaudaraan itu manis, saat kita berbincang hangat, saat kita saling mendukung, saat kita tertawa renyah menertawai nuansa budaya kita. Namun ada pula saat dimana kita saling menyakiti. Dan — kita paham — yang ternyeri dari segala sakit adalah tusukan dari kata dan perilaku saudara kita sendiri. Tapi kita sudah sama dewasa. Kita paham bahwa persaudaraan memang harus berhias kehangatan dan kebekuan, kesejukan dan bara panas, kata manis dan pekik makian menusuk. Kita paham bahwa itu tidak akan merusak persaudaraan kita.

Tak ada gunanya mengenang kesalahan generasi sebelum kita, generasi yang pernah dan mungkin kini tengah memimpin kita. Itu bukan kita. Kita adalah generasi baru yang siap membawa bangsa dan tanah air kita maju menjadi pusat kemajuan dunia. Yang penting bagi kita adalah kerja sama, berbagi sumberdaya, bertukar dukungan, memperkuat jabat erat, melupakan segala remeh-remeh yang hanya akan melalaikan kita. Ambalat bisa kita bincangkan sambil becanda. TKI bisa kita seriusi sambil bertukar aroma kopi pagi. Batik, dan segalanya, bisa kita pecahkan sambil bergurau. Makianku di Twitter dan Facebook — lupakan sajalah. Dan pelesetan Indonesia Raya-mu yang berselera rendah itu, kita lupakan juga. Seperti kata kami: Bhinneka Tunggal Ika — kita memang berbeda, tetapi kita sama. Atau kata kalian: Bersekutu Bertambah Mutu — kita akan bawa sinergi kita memajukan negeri-negeri kita.

Jadi, untuk Saudara-Saudariku di Malaysia: SELAMAT MENYAMBUT HARI MERDEKA. Ha, merdeka — kata yang menyemangati dan membanggakan, kata yang hanya dimiliki Bangsa Indonesia dan Bangsa Malaysia. Bangga memiliki Malaysia sebagai saudara dan tetangga kami. Majulah Malaysia, Jayalah Indonesia, Malaysia Bisa, Indonesia Boleh!

Acer Mobile

Mr Rizkan pernah menanyaiku: apa yang berubah di dunia konvergensi? Pertanyaan mendadak itu aku jawab mendadak bahwa saat kita menyebut three-screens, sekarang prioritasnya sudah berubah: (1) mobile, (2) komputer, (3) TV. TV mungkin masih diminati, dan artis masih digilai. Tapi buat Generasi Z, ada kesan bahwa TV itu peninggalan masa lalu yang sebentar lagi ditinggal. Dan mobile — tentu — adalah perangkat yang setiap saat kita bawa: di kelas, di pasar, di rapat, di balik bantal. Trafik Twitter melonjak dari Indonesia dalam beberapa bulan terakhir, sementara user Facebook sudah mencapai 8.5 juta — lebih karena mobile terminal.

Namun di dunia mobile sendiri situasinya serupa: terjadi pergolakan mengikuti arus teknologi, minat user, dan lifestyle. PalmOS pernah berjaya, lalu digantikan Windows Mobile. Aku mulai jadi user di gelombang kedua ini, dengan Xphone dan XDA. Bukan hal yang buruk: banyak fungsi komputasi yang telah dijalankan di sini. Aplikasi mudah dicari, terutama dari third party. Mobile Internet masa itu sudah memungkinkan blogging, email, dll. VPN pun bisa jalan. Internet banking? Jalan sekali :). Lalu masuklah RIM dan Apple. Pemakai Blackberry masa kini, yang mengagumi fasilitas komputasi dan Internet di perangkatnya, seringkali hanya belum sadar bahwa mereka bukan trendsetter. Kalimat “Loh, loe kok bisa Facebookan? Loe kan nggak punya Blackberry?” adalah real dari pemakai Blackberry macam itu. Bahwa Blackberry dan kemudian iPhone menjadi puncak pengalaman mobile computing lebih merupakan kepiawaian RIM dan terutama Apple meramu experience, lifestyle, dan branding. Dan tentu sambil menarik kurva Moore yang memungkinkan kita bisa nonton Youtube pada layar tajam iPhone di kasur sambil mencoba bobo.

Acer-Mobile

Jadi menarik waktu aku menerima undangan dari Acer Mobile untuk memperbincangkan satu lagi terobosan pada mobile terminal. Sadar bahwa Acer Mobile ini berplatformkan Windows Mobile (versi 6.1), aku langsung berminat. Terbayang sebuah adegan The Empire Strikes Back: Bagaimana Windows harus mengerahkan kekuatannya untuk tetap unggul di ranah mobile. Jadilah aku datang, bersama beberapa blogger, ke Hotel Mulia. Tak sangka, kali ini kami disambut tim yang luar biasa lengkap. Dari Acer hadir Mr Kamarudin Abd Kahar sendiri (Direktur Pengembangan Bisnis Acer Mobile untuk Asia Pasifik) yang dikawal tim marketing, plus tim dari Windows Mobile, komplit :).

Aku mungkin bikin kaget dengan tidak terlalu banyak berbincang tentang spek teknis :). Gampang dicari di Google :). Aku lebih banyak talk tentang rencana pengembangan Acer: seserius apa mereka menerjuni dunia mobile, rencana aliansi bisnis, dan pengembangan teknologi. Seperti komputer Acer dan netbook Acer Aspire One, aku menangkap kesan bahwa Acer Mobile tidak akan menghabiskan uang untuk promosi besar, tetapi lebih akan menunjukkan ke para user tentang kualitas produk mereka, dengan harga yang terjangkau, dan dengan demikian membuat user akhirnya akan memilih mereka, sekaligus merekomendasikan ke lingkungan mereka.

F900Apple membuat ‘revolusi’ dengan AppStore, yang ditiru Nokia dengan OVI. Tetapi Acer memanfaatkan kekayaan aplikasi Windows Mobile yang telah dikembangkan para developer bertahun-tahun, mudah dicari dan diinstal, dan dengan forum pemakai yang cukup luas. Lebih dari itu, Acer sendiri mendukung dan mempromosikan content tersegmentasi. Salah satu yang dipaparkan adalah aplikasi lengkap bagi pelaku transaksi saham di IDX. Lokal sekali :).

Tapi kalau dibayangkan tampilan Acer Mobile ini mirip Windows Mobile biasa, kita akan kecele. Kalau kita melihat displaynya, yang menggunakan Acer User Interface 2.0, kita pasti langsung ingin menyentuh dan memainkannya. Displaynya memetaforakan sebuah meja kerja, dengan kalender, kartu nama, lukisan, alat tulis, dan jendela. Melongok jendela, kita akan melihat situasi cuaca, baik di tempat kita maupun di tempat lain. Memainkan kartu nama pun seperti melihat koleksi foto teman (kebetulan aku memang suka memasang foto teman-teman di Buku Alamatku). Browsing musik dan foto juga, menarik.

Aku agak bingung juga: ada 6 Acer Mobile yang boleh dimainkan. Pegang sana sini, yang langsung membuat akrab adalah F900. Pas untuk aku yang terbiasa dengan iPhone dan Nokia 5800 :). Touch screen, map, dan aplikasi lain, membuat lupa bahwa ini sebuah Windows Mobile. Hah, memang inovasi menarik, terpendam di gadget tipis (150 gram). GPS OK sekali, biarpun di dalam ruangan. Koneksi suite GSM (GPRS hingga HSDPA kat 8 dan HSUPA kat 5), atau WiFi. Yang lebih dari iPhone-ku, selain HSDPA/HSUPA, adalah Bluetooth berfungsi penuh, kamera 3.2 MP yang dilengkapi auto-focus, dan micr0-SD card. Spek lain, sila dilihat di site Acer. Tapi buat mereka yang kuno, boros, dan doyan keyboard qwerty keras (haha — canda), ada M900 juga sih. Di jajaran mid-end, ada DX900 yang enak dipegang (aku nggak bisa mendeskripsikan benda yang enak dipegang — pokoknya terasa enak).

Tapi aku memang jail. Jadi aku malah tanya: “Ssst, kenapa sih pakai Windows? Biarpun keren, tapi … Windows gitu lohh.”
Dan ini jawabannya: “Sssst, kita juga lagi siapin yang versi Android.”
Hihi, keren :).

Merdeka

MerdekaDengan nama Allâh, yang telah mengamanahkan tanah air Indonesia ini untuk kami jaga, kami pelihara, dan kami majukan:

Kami akan terus menjaga negeri ini untuk tetap merdeka dan berdaulat.

Kami akan terus membersihkan negeri kami dari segala kejahatan, kebodohan, dan pembodohan, yang telah merusak negeri ini, dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, terorisme, kemiskinan, dan penindasan.

Kami akan terus bekerja sama mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan berbagai kreasi kemanusiaan untuk memajukan dan memakmurkan rakyat negeri ini.

Indigo in Action

Aku harus menamainya passion atau mission? Ah, mission di otak kiri dan passion di otak kanan aja deh :). Apa pun itu, bulan ini tahun lalu aku pindah ke Jakarta dengan alasan itu. Lalu berkenalan dengan Indigo — platform pengembangan konten digital melalui sinergi komunitas kreatif yang didukung Telkom Group.

Objectivenya adalah yang selalu kita perbincangkan di forum-forum semacam MIKTI, Fresh, dan — aku yakin — ratusan forum dan ruang kerja lain. Tetapi merumuskan objective tidak lalu membuat orang jadi bisa bergerak. Masih banyak yang memetaforakan pesimismenya dengan ayam dan telur. Hahah :) — bahkan ayam dan telur pun sudah terjelaskan oleh teori evolusi :). Jadi begitu juga kita memecahkan pesimisme mereka: dengan pola spiral. Tumbuhkan satu sisi, sambil siapkan sisi lain menangkap dan memanfaatkan untuk tumbuh, lalu pada gilirannya meluaskan sisi lain, dan kembali ke sisi pertama, dan seterusnya. Itu bisa berlalu untuk content, aplikasi, infrastruktur, dan aktivitas komunitas; atau untuk hal lain. Revenue terkonvolusi dan membesarnya spiral kita.

Dan yang menarik, mereka semua menyenangkan untuk didalami. Sebagai engineer, aku merasa di surga kalau menyelami urusan infrastruktur; atau bergelut dalam IEEE dan forum serupa. Lalu kita melinkkan infrastruktur ini dengan aplikasi dan content melalui SDP. Maka SDP pun harus mulai dikomunikasikan ke komunitas developer dan content provider. Tapi komunitas kreatif pun harus diajak bersinergi untuk menciptakan produk yang saling mendukung. Ini bukan AS yang sudah siap segalanya. Banyaknya lubang dalam pengembangan produk memerlukan sifat saling membantu dan saling mendukung di dalam komunitas. Antar sektor, antar layer :). Antar kota :). Dan jadilah aku dan rekan-rekan lain tukang jalan-jalan :). Yang menarik, tentu, adalah bahwa komunitas2 ini bekerja tidak dengan skema tunggal. Kita sedang sadar untuk tumbuh dan saling menumbuhkan.

Dengan program Indigo Telkom sendiri, kita harus sering ke kampus2 di berbagai kota. Mengenali aplikasi potensial yang sedang ditumbuhkan. Lalu mendukung, baik dengan konsultasi, atau inkubasi, atau promosi melalui kekuatan marketing Telkom Group & afiliasinya, atau dengan mengenalkan dengan komunitas lain yang bisa saling mendukung. Tapi, dari sekian banyak yang sudah mulai kita gerakkan, berapa yang bahkan belum terdengar?

Untuk melompati halangan terakhir itu, kemudian kita menyusun program Indigo Fellowship. Jadi bukan lagi kita yang harus berkeliling ke kota2 dan kampus2; tetapi kita menyilakan para pengembang (ide, kreasi, bisnis) dari seluruh Indonesia untuk memperkenalkan diri, ide, dan kreasinya. Ide2 itu kemudian kita diskusikan dengan para expert industri kreatif (yang difungsikan sebagai dewan juri) untuk menyusun rencana pengembangan yang realistik.

Bukan berarti Indigo Fellowship membuat aku berhenti dari kewajiban jalan-jalan. Justru aku dan rekan2 masih harus berkeliling mempublikasikan program Indigo ini :). Huh, berisik :). Dan jalan2 ini bukan seperti tenaga marketing. Kita masih bertemu komunitas2, para mahasiswa, dan media; tempat kita bukan saja harus bercerita mengenai program kita, tetapi juga menerima masukan2 yang berharga, yang membuat kita juga bisa terus belajar.

Swaragama

BTW, jalan2 terakhir adalah pertengahan minggu lalu, ke UGM di Yogya. Acaranya berupa talk show di Swaragama, dilanjutkan mini seminar di University Club. Minggu depan ke …

Telefonsky

Oom Eris itu unik nian — selalu terfokus pada pekerjaan. Jadi, waktu aku menelefon minta izin nggak masuk kantor (dengan surat izin dokter), tanpa pikir panjang beliau memutuskan untuk pindah kantor ke rumahku. Bandung sudah menggelap-malam waktu beliau dan rombongan datang. Tapi begitu masuk rumah, yang dilihat malah rak buku kecilku. Kalau yang dilihat rak yang lebih besar, yang banyak buku2 anehnya sih masih bisa dipahami. Tapi rak buku kecil itu umumnya berisi buku “dan lain-lain” yang ditampung karena rak besar tak mampu lagi menyimpan. Agak lama, aku baru sadar bahwa yang dilihat Si Oom bukan buku, tapi tiga miniatur telefon antik. Haha. Masih Telkom nih :).

Aku sendiri bukan kolektor miniatur telefon antik. Syulit carinya syie. Itu miniatur telefon masuk rak juga cuman gara2 berencana mensuasanai rak buku bagian tengah, yang berisi buku2 telekomunikasi, dengan suasana sejarah telekomunikasi. Selain miniatur telefon, ada beberapa perangko dan kartu pos bertema telekomunikasi. Tapi rencana itu pun tak diteruskan. Keburu pindah ke Jakarta.

Aku cukup beruntung sempat kenal telefon sejak kecil. Zaman dulu, telefon itu langka. Hitam putih pula (eh, itu sih TV). Tapi Papap dibekali telefon rumah. Rumah yang di Malang (Kasatriyan) bertelefon hitam agak besar. Nomornya 5131 pesawat 26. Kadang2 tante-tante dari Perumtel datang melakukan “service telefon” :). Yang gawat tuh Mess di Jember. Telefonnya masih pakai engkel diputar. Wrrrrr. Listrik terkirim, dan operator (manusia) menjawab untuk menyambungkan. Waktu itu yang kadang aku telefon adalah Oom No’ yang kerja di Perumtel Bandung, nomornya 022-51507; atau rumah Embah di Cimahi, nomornya 0229-4762. Cimahi pernah 0229 loh. Dan sebelumnya pernah harus dengan komunikasi khusus karena tidak punya kode area tersendiri.

Mobile-Phone-02

Trus telefon tak menarik lagi. Mata kuliah Telefoni di Teknik Elektro juga cuman kulintasi, tak kuperdalam. Dih, hari gini, masih urusan telefon; pikirku. Mana nih ISDN — yang aku baca2 di majalah Time waktu SMA dulu? Padahal saat itu telefon tengah berevolusi ke arah informasi digital. Semua voice hanya dibawa sampai ke sentral, kemudian dibawa sebagai informasi digital 64 kb/s per kanal. Satu-satu sentral didigitalkan. Di kampus aku malah bermain dengan control & computing. Dan memutuskan untuk … Eh, tapi nggak punya bekal buat skripsi dink. Err, kebetulan Telkom menawari beasiswa ikatan dinas. Masuk nggak? Haha, untuk mendaftar masuk ke Telkom, kami harus ‘rapat’ dulu. Aku dan Ziggyt memutuskan bahwa Telkom layak dimasuki, karena urusannya nantinya bukan cuma telefon, tetapi transportasi informasi kecepatan tinggi.

Sejarah memang menyuruh aku dan Ziggyt akhirnya ikut mengawal Telkom. Cuman untuk urusan informasi kecepatan tinggi, kelihatannya kami harus menunggu lagi dan belajar lagi sekian tahun. ISDN ternyata tak aplikatif. ATM ditinggalkan sebelum implementasi. Hanya di core network saja, semuanya disiapkan. Dan mobile telecommunications melejit secara eksplosif, mengubah bisnis telekomunikasi selama2nya. Sekarang aku menikmati cita2 masa kuliah. Apa pun zaman dulu namanya, sekarang namanya adalah Mobile Internet 2.0. Informasi multimedia berlarian, menemani dan membantu kita di manapun kita berada. Tak hanya dengan akurat, tetapi juga dengan elegan, indah, dan manusiawi. Sambil …

“Sombong nih Si Koen sekarang,” kata Ziggyt — sekarang bermain bisnis Internet di Bogor. “Nggak pernah diangkat telefonnya.” Dasar Ziggyt pelupa. Memang kapan sih aku pernah betah berkomunikasi dengan telefon? Hari gini masih urusan telefon? (Déjà vu –red). Twitter atau Blog aku balas kok, Git :).

BTW, cita2 masih jauh dari usai. Salah satunya, yang selalu aku sebut2 (sampai bikin bosan temen2 di sekitarku), adalah menggantikan kebutuhan transportasi dengan telekomunikasi. Aku mencita2kan kota2 tanpa mobil berasap. Kendaraan listrik berjumlah kecil menghantar manusia bersilaturrahim dan melakukan hal2 menarik. Sekolah, kerja, administrasi, ekonomi, dan hal2 menyebalkan lainnya tak lagi akan menyesakkan dan mencampuri bumi. Semuanya akan kita pindahkan ke Internet (3.0, 4.0, sampai berapa pun). Let’s do it.

[Blog berhenti. Kerja lagi.]

Discours sur les Passions de l’Amour

Ini tentang Blaise Pascal: filsuf, ilmuwan, matematikawan, yang tidak menemukan Segitiga Pascal (yang sudah dimainkan Umar Khayam dll jauh sebelumnya) maupun Bahasa Pascal (yang ini ulah Niklaus Wirth jauh sesudahnya). Tokoh ini kebetulan lahir pada 19 Juni, di tahun 1623.

Blaise kecil sudah menggemari matematika. Tapi ayahnya justru sempat menjauhkannya dari matematika, agar ia sempat mempelajari hal2 lain juga (tipe ayah langka). Usaha itu gagal :), jadi Blaise akhirnya malah diberi kesempatan ikut menonton perbincangan rutin antar matematikawan kelas berat, termasuk Rene Descartes. BlaisePascalKemudian Blaise sempat merumuskan Teorema Pascal. Pada usia 18, Blaise juga merancang mesin hitung analog, yang kadang dinamai sebagai Pascaline. Bekerja sama dengan Fermat, ia menurunkan berbagai formulasi probabilitas. Beralih ke fisika, ia mempopulerkan tentang ruang hampa — hal yang ditentang oleh mayoritas masyarakat saat itu. Namun ia berhasil meyakinkan masyarakat bahwa ruang hampa itu ada, dan bahwa barometer bekerja dengan cara itu. Karena hal ini, kelak SI menggunakan nama pascal (Pa) sebagai satuan tekanan. Blaise juga menulis beberapa buku. Salah satunya yang dicuri dijadikan judul entry blog ini.

Tahun 1654, Blaise mendapatkan visi bahwa Tuhan telah menemuinya. “Tuhan dari Ibrahim, Ishaq, dan Yaqub,” tulisnya (dalam teks kecil yang baru bisa dibaca orang lain sekian bulan setelah ia meninggal). Ia kembali menseriusi soal ketuhanan dan agama. Untuk menjelaskan soal Tuhan kepada mereka yang belum memiliki keyakinan (dan jelas bukan untuk argumentasi bagi dirinya sendiri yang telah kembali memiliki keimanan), ia merumuskan apa yang kemudian disebut dengan Taruhan Pascal. Pada budaya Islam, pola berpikir semacam ini pernah juga diulas oleh Haramayn al-Juwayni, dengan beberapa perbedaan.

Asumsinya, Tuhan memiliki sifat yang berbeda dengan makhluk, dengan apa pun yang ada di dunia. Dengan demikian, Tuhan tak harus teramati, tak harus (dan tak dapat) terbuktikan oleh sains. Masih banyaknya kaum ilmuwan yang memiliki keimanan di masa kini (biarpun kaum ilmuwan atheist terus menerus menunjukkan bahwa Tuhan tidak terbuktikan) antara lain didorong pandangan para ilmuwan bahwa memang jika Tuhan bisa terbuktikan oleh sains, maka Ia bisa disebut tampak secara inderawi, dan bukan lagi Tuhan. Mereka bisa sibuk dengan teori string, medan kuantum, teori evolusi, dll; sambil menikmati hubungan yang manis dengan agama dan keimanannya. Fakta bahwa ide dan ketaatan atas Tuhan (dan agama) itu hanya soal budaya, soal evolusi psikologi, genetik, dan sosial, dst, dst, disikapi dengan pandangan: Begitulah Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang itu membuat diri kita mampu mengenal-Nya. Ia menyukai proses, seperti saat ia menciptakan bumi bulat dan memutarnya dekat sebuah bintang hanya untuk memberi kita siang dan malam dan siklus hidup.

Kembali ke Blaise. Karena Tuhan tak terbuktikan secara ilmiah; maka kita dihadapkan pada probabilitas bahwa 50% Tuhan ada dan 50% Tuhan tidak ada. Lalu kita punya pilihan: hidup dengan (A) cara seolah Tuhan ada atau dengan (B) cara seolah Tuhan tidak ada. Tapi kita harus menghadapi konsekuensinya: (Aa) kita bisa beriman kepada Tuhan yang ada, (Ba) kita bisa tertipu mengira Tuhan ada, (Ab) kita bisa ingkar kepada Tuhan yang ada, atau (Bb) kita bisa bebas dari Tuhan yang tidak ada. Lalu Blaise meminta kita menimbang. Pada Aa, saat kita mati kita mendapat ganjaran surga, dengan benefit tak terhingga. Pada Ab, tergantung sifat Tuhan, kita bisa disiksa selamanya atau diampuni. Pada Ba, kita bagaimanapun sudah berbuat baik, selebihnya biar saja agak mubazir. Pada Bb, kita tidak rugi menghabiskan hidup hanya untuk hura-hura. Namun lalu Blaise menunjukkan hasil timbangannya, bahwa bagaimanapun — bagi kaum yang masih ragu — akan lebih tepat untuk menjalani hidup dengan menganggap Tuhan ada.

Cukup banyak kritikan atas Taruhan Pascal ini, baik dari umat beragama maupun para atheist. Anda sendiri — hai :) — pasti punya kritikan keras. Dan percayalah, Blaise juga tahu itu. Pertama, itu hanya berlaku untuk mereka yang betul2 ragu, tidak untuk orang yang sudah memperoleh hidayah iman keimanan lalu iseng menimbang lagi, juga untuk atheist yang yakin bahwa probabilitas adanya Tuhan itu 0%. Bagaimanapun kita hidup dan memiliki konsekuensi atas pilihan kita masing2. Kedua, timbangannya adil jika agama benar2 diarahkan untuk membawa manusia menjadi khalifah di atas bumi; bukan untuk jadi perusak yang membawa2 nama agama dan kelompok sebagai pembenar. Ketiga, agama selaras dengan nurani dan membuat kita merasakan ketenangan di dalamnya, bukan misalnya agama yang misalnya mengharuskan anak kecil disembelih di altar dan jantungnya dipersembahkan ke Mimikeki (duh, kayak pernah dengar nama ini). Keempat, diasumsikan agama2, karena memiliki tujuan yang baik, tidak saling merusak :). Duh, berat kan ternyata? Kelima, keenam, dst, dst; karena itu Taruhan Pascal memang jadi tidak populer.

Aku nggak akan pakai hitungan semacam ini untuk meyakinkan orang :). Dan seperti aku bilang tadi, Blaise sendiri pun tidak menggunakan Taruhan ini. Seperti yang pernah disampaikan Kanjeng Nabi: Ihsan itu menjalani hidup seolah sambil melihat Allah; atau setidaknya sambil merasa dilihat Allah. Lalu apa kata nuranimu mengenai itu?

Blaise meninggal pada usia 39. Tapi sebelum itu pun kesehatannya selalu buruk. Selalu sakit kepala, katanya.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑