Author: Koen (Page 15 of 86)

Merdeka

MerdekaDengan nama Allâh, yang telah mengamanahkan tanah air Indonesia ini untuk kami jaga, kami pelihara, dan kami majukan:

Kami akan terus menjaga negeri ini untuk tetap merdeka dan berdaulat.

Kami akan terus membersihkan negeri kami dari segala kejahatan, kebodohan, dan pembodohan, yang telah merusak negeri ini, dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, terorisme, kemiskinan, dan penindasan.

Kami akan terus bekerja sama mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan berbagai kreasi kemanusiaan untuk memajukan dan memakmurkan rakyat negeri ini.

Indigo in Action

Aku harus menamainya passion atau mission? Ah, mission di otak kiri dan passion di otak kanan aja deh :). Apa pun itu, bulan ini tahun lalu aku pindah ke Jakarta dengan alasan itu. Lalu berkenalan dengan Indigo — platform pengembangan konten digital melalui sinergi komunitas kreatif yang didukung Telkom Group.

Objectivenya adalah yang selalu kita perbincangkan di forum-forum semacam MIKTI, Fresh, dan — aku yakin — ratusan forum dan ruang kerja lain. Tetapi merumuskan objective tidak lalu membuat orang jadi bisa bergerak. Masih banyak yang memetaforakan pesimismenya dengan ayam dan telur. Hahah :) — bahkan ayam dan telur pun sudah terjelaskan oleh teori evolusi :). Jadi begitu juga kita memecahkan pesimisme mereka: dengan pola spiral. Tumbuhkan satu sisi, sambil siapkan sisi lain menangkap dan memanfaatkan untuk tumbuh, lalu pada gilirannya meluaskan sisi lain, dan kembali ke sisi pertama, dan seterusnya. Itu bisa berlalu untuk content, aplikasi, infrastruktur, dan aktivitas komunitas; atau untuk hal lain. Revenue terkonvolusi dan membesarnya spiral kita.

Dan yang menarik, mereka semua menyenangkan untuk didalami. Sebagai engineer, aku merasa di surga kalau menyelami urusan infrastruktur; atau bergelut dalam IEEE dan forum serupa. Lalu kita melinkkan infrastruktur ini dengan aplikasi dan content melalui SDP. Maka SDP pun harus mulai dikomunikasikan ke komunitas developer dan content provider. Tapi komunitas kreatif pun harus diajak bersinergi untuk menciptakan produk yang saling mendukung. Ini bukan AS yang sudah siap segalanya. Banyaknya lubang dalam pengembangan produk memerlukan sifat saling membantu dan saling mendukung di dalam komunitas. Antar sektor, antar layer :). Antar kota :). Dan jadilah aku dan rekan-rekan lain tukang jalan-jalan :). Yang menarik, tentu, adalah bahwa komunitas2 ini bekerja tidak dengan skema tunggal. Kita sedang sadar untuk tumbuh dan saling menumbuhkan.

Dengan program Indigo Telkom sendiri, kita harus sering ke kampus2 di berbagai kota. Mengenali aplikasi potensial yang sedang ditumbuhkan. Lalu mendukung, baik dengan konsultasi, atau inkubasi, atau promosi melalui kekuatan marketing Telkom Group & afiliasinya, atau dengan mengenalkan dengan komunitas lain yang bisa saling mendukung. Tapi, dari sekian banyak yang sudah mulai kita gerakkan, berapa yang bahkan belum terdengar?

Untuk melompati halangan terakhir itu, kemudian kita menyusun program Indigo Fellowship. Jadi bukan lagi kita yang harus berkeliling ke kota2 dan kampus2; tetapi kita menyilakan para pengembang (ide, kreasi, bisnis) dari seluruh Indonesia untuk memperkenalkan diri, ide, dan kreasinya. Ide2 itu kemudian kita diskusikan dengan para expert industri kreatif (yang difungsikan sebagai dewan juri) untuk menyusun rencana pengembangan yang realistik.

Bukan berarti Indigo Fellowship membuat aku berhenti dari kewajiban jalan-jalan. Justru aku dan rekan2 masih harus berkeliling mempublikasikan program Indigo ini :). Huh, berisik :). Dan jalan2 ini bukan seperti tenaga marketing. Kita masih bertemu komunitas2, para mahasiswa, dan media; tempat kita bukan saja harus bercerita mengenai program kita, tetapi juga menerima masukan2 yang berharga, yang membuat kita juga bisa terus belajar.

Swaragama

BTW, jalan2 terakhir adalah pertengahan minggu lalu, ke UGM di Yogya. Acaranya berupa talk show di Swaragama, dilanjutkan mini seminar di University Club. Minggu depan ke …

Telefonsky

Oom Eris itu unik nian — selalu terfokus pada pekerjaan. Jadi, waktu aku menelefon minta izin nggak masuk kantor (dengan surat izin dokter), tanpa pikir panjang beliau memutuskan untuk pindah kantor ke rumahku. Bandung sudah menggelap-malam waktu beliau dan rombongan datang. Tapi begitu masuk rumah, yang dilihat malah rak buku kecilku. Kalau yang dilihat rak yang lebih besar, yang banyak buku2 anehnya sih masih bisa dipahami. Tapi rak buku kecil itu umumnya berisi buku “dan lain-lain” yang ditampung karena rak besar tak mampu lagi menyimpan. Agak lama, aku baru sadar bahwa yang dilihat Si Oom bukan buku, tapi tiga miniatur telefon antik. Haha. Masih Telkom nih :).

Aku sendiri bukan kolektor miniatur telefon antik. Syulit carinya syie. Itu miniatur telefon masuk rak juga cuman gara2 berencana mensuasanai rak buku bagian tengah, yang berisi buku2 telekomunikasi, dengan suasana sejarah telekomunikasi. Selain miniatur telefon, ada beberapa perangko dan kartu pos bertema telekomunikasi. Tapi rencana itu pun tak diteruskan. Keburu pindah ke Jakarta.

Aku cukup beruntung sempat kenal telefon sejak kecil. Zaman dulu, telefon itu langka. Hitam putih pula (eh, itu sih TV). Tapi Papap dibekali telefon rumah. Rumah yang di Malang (Kasatriyan) bertelefon hitam agak besar. Nomornya 5131 pesawat 26. Kadang2 tante-tante dari Perumtel datang melakukan “service telefon” :). Yang gawat tuh Mess di Jember. Telefonnya masih pakai engkel diputar. Wrrrrr. Listrik terkirim, dan operator (manusia) menjawab untuk menyambungkan. Waktu itu yang kadang aku telefon adalah Oom No’ yang kerja di Perumtel Bandung, nomornya 022-51507; atau rumah Embah di Cimahi, nomornya 0229-4762. Cimahi pernah 0229 loh. Dan sebelumnya pernah harus dengan komunikasi khusus karena tidak punya kode area tersendiri.

Mobile-Phone-02

Trus telefon tak menarik lagi. Mata kuliah Telefoni di Teknik Elektro juga cuman kulintasi, tak kuperdalam. Dih, hari gini, masih urusan telefon; pikirku. Mana nih ISDN — yang aku baca2 di majalah Time waktu SMA dulu? Padahal saat itu telefon tengah berevolusi ke arah informasi digital. Semua voice hanya dibawa sampai ke sentral, kemudian dibawa sebagai informasi digital 64 kb/s per kanal. Satu-satu sentral didigitalkan. Di kampus aku malah bermain dengan control & computing. Dan memutuskan untuk … Eh, tapi nggak punya bekal buat skripsi dink. Err, kebetulan Telkom menawari beasiswa ikatan dinas. Masuk nggak? Haha, untuk mendaftar masuk ke Telkom, kami harus ‘rapat’ dulu. Aku dan Ziggyt memutuskan bahwa Telkom layak dimasuki, karena urusannya nantinya bukan cuma telefon, tetapi transportasi informasi kecepatan tinggi.

Sejarah memang menyuruh aku dan Ziggyt akhirnya ikut mengawal Telkom. Cuman untuk urusan informasi kecepatan tinggi, kelihatannya kami harus menunggu lagi dan belajar lagi sekian tahun. ISDN ternyata tak aplikatif. ATM ditinggalkan sebelum implementasi. Hanya di core network saja, semuanya disiapkan. Dan mobile telecommunications melejit secara eksplosif, mengubah bisnis telekomunikasi selama2nya. Sekarang aku menikmati cita2 masa kuliah. Apa pun zaman dulu namanya, sekarang namanya adalah Mobile Internet 2.0. Informasi multimedia berlarian, menemani dan membantu kita di manapun kita berada. Tak hanya dengan akurat, tetapi juga dengan elegan, indah, dan manusiawi. Sambil …

“Sombong nih Si Koen sekarang,” kata Ziggyt — sekarang bermain bisnis Internet di Bogor. “Nggak pernah diangkat telefonnya.” Dasar Ziggyt pelupa. Memang kapan sih aku pernah betah berkomunikasi dengan telefon? Hari gini masih urusan telefon? (Déjà vu –red). Twitter atau Blog aku balas kok, Git :).

BTW, cita2 masih jauh dari usai. Salah satunya, yang selalu aku sebut2 (sampai bikin bosan temen2 di sekitarku), adalah menggantikan kebutuhan transportasi dengan telekomunikasi. Aku mencita2kan kota2 tanpa mobil berasap. Kendaraan listrik berjumlah kecil menghantar manusia bersilaturrahim dan melakukan hal2 menarik. Sekolah, kerja, administrasi, ekonomi, dan hal2 menyebalkan lainnya tak lagi akan menyesakkan dan mencampuri bumi. Semuanya akan kita pindahkan ke Internet (3.0, 4.0, sampai berapa pun). Let’s do it.

[Blog berhenti. Kerja lagi.]

Discours sur les Passions de l’Amour

Ini tentang Blaise Pascal: filsuf, ilmuwan, matematikawan, yang tidak menemukan Segitiga Pascal (yang sudah dimainkan Umar Khayam dll jauh sebelumnya) maupun Bahasa Pascal (yang ini ulah Niklaus Wirth jauh sesudahnya). Tokoh ini kebetulan lahir pada 19 Juni, di tahun 1623.

Blaise kecil sudah menggemari matematika. Tapi ayahnya justru sempat menjauhkannya dari matematika, agar ia sempat mempelajari hal2 lain juga (tipe ayah langka). Usaha itu gagal :), jadi Blaise akhirnya malah diberi kesempatan ikut menonton perbincangan rutin antar matematikawan kelas berat, termasuk Rene Descartes. BlaisePascalKemudian Blaise sempat merumuskan Teorema Pascal. Pada usia 18, Blaise juga merancang mesin hitung analog, yang kadang dinamai sebagai Pascaline. Bekerja sama dengan Fermat, ia menurunkan berbagai formulasi probabilitas. Beralih ke fisika, ia mempopulerkan tentang ruang hampa — hal yang ditentang oleh mayoritas masyarakat saat itu. Namun ia berhasil meyakinkan masyarakat bahwa ruang hampa itu ada, dan bahwa barometer bekerja dengan cara itu. Karena hal ini, kelak SI menggunakan nama pascal (Pa) sebagai satuan tekanan. Blaise juga menulis beberapa buku. Salah satunya yang dicuri dijadikan judul entry blog ini.

Tahun 1654, Blaise mendapatkan visi bahwa Tuhan telah menemuinya. “Tuhan dari Ibrahim, Ishaq, dan Yaqub,” tulisnya (dalam teks kecil yang baru bisa dibaca orang lain sekian bulan setelah ia meninggal). Ia kembali menseriusi soal ketuhanan dan agama. Untuk menjelaskan soal Tuhan kepada mereka yang belum memiliki keyakinan (dan jelas bukan untuk argumentasi bagi dirinya sendiri yang telah kembali memiliki keimanan), ia merumuskan apa yang kemudian disebut dengan Taruhan Pascal. Pada budaya Islam, pola berpikir semacam ini pernah juga diulas oleh Haramayn al-Juwayni, dengan beberapa perbedaan.

Asumsinya, Tuhan memiliki sifat yang berbeda dengan makhluk, dengan apa pun yang ada di dunia. Dengan demikian, Tuhan tak harus teramati, tak harus (dan tak dapat) terbuktikan oleh sains. Masih banyaknya kaum ilmuwan yang memiliki keimanan di masa kini (biarpun kaum ilmuwan atheist terus menerus menunjukkan bahwa Tuhan tidak terbuktikan) antara lain didorong pandangan para ilmuwan bahwa memang jika Tuhan bisa terbuktikan oleh sains, maka Ia bisa disebut tampak secara inderawi, dan bukan lagi Tuhan. Mereka bisa sibuk dengan teori string, medan kuantum, teori evolusi, dll; sambil menikmati hubungan yang manis dengan agama dan keimanannya. Fakta bahwa ide dan ketaatan atas Tuhan (dan agama) itu hanya soal budaya, soal evolusi psikologi, genetik, dan sosial, dst, dst, disikapi dengan pandangan: Begitulah Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang itu membuat diri kita mampu mengenal-Nya. Ia menyukai proses, seperti saat ia menciptakan bumi bulat dan memutarnya dekat sebuah bintang hanya untuk memberi kita siang dan malam dan siklus hidup.

Kembali ke Blaise. Karena Tuhan tak terbuktikan secara ilmiah; maka kita dihadapkan pada probabilitas bahwa 50% Tuhan ada dan 50% Tuhan tidak ada. Lalu kita punya pilihan: hidup dengan (A) cara seolah Tuhan ada atau dengan (B) cara seolah Tuhan tidak ada. Tapi kita harus menghadapi konsekuensinya: (Aa) kita bisa beriman kepada Tuhan yang ada, (Ba) kita bisa tertipu mengira Tuhan ada, (Ab) kita bisa ingkar kepada Tuhan yang ada, atau (Bb) kita bisa bebas dari Tuhan yang tidak ada. Lalu Blaise meminta kita menimbang. Pada Aa, saat kita mati kita mendapat ganjaran surga, dengan benefit tak terhingga. Pada Ab, tergantung sifat Tuhan, kita bisa disiksa selamanya atau diampuni. Pada Ba, kita bagaimanapun sudah berbuat baik, selebihnya biar saja agak mubazir. Pada Bb, kita tidak rugi menghabiskan hidup hanya untuk hura-hura. Namun lalu Blaise menunjukkan hasil timbangannya, bahwa bagaimanapun — bagi kaum yang masih ragu — akan lebih tepat untuk menjalani hidup dengan menganggap Tuhan ada.

Cukup banyak kritikan atas Taruhan Pascal ini, baik dari umat beragama maupun para atheist. Anda sendiri — hai :) — pasti punya kritikan keras. Dan percayalah, Blaise juga tahu itu. Pertama, itu hanya berlaku untuk mereka yang betul2 ragu, tidak untuk orang yang sudah memperoleh hidayah iman keimanan lalu iseng menimbang lagi, juga untuk atheist yang yakin bahwa probabilitas adanya Tuhan itu 0%. Bagaimanapun kita hidup dan memiliki konsekuensi atas pilihan kita masing2. Kedua, timbangannya adil jika agama benar2 diarahkan untuk membawa manusia menjadi khalifah di atas bumi; bukan untuk jadi perusak yang membawa2 nama agama dan kelompok sebagai pembenar. Ketiga, agama selaras dengan nurani dan membuat kita merasakan ketenangan di dalamnya, bukan misalnya agama yang misalnya mengharuskan anak kecil disembelih di altar dan jantungnya dipersembahkan ke Mimikeki (duh, kayak pernah dengar nama ini). Keempat, diasumsikan agama2, karena memiliki tujuan yang baik, tidak saling merusak :). Duh, berat kan ternyata? Kelima, keenam, dst, dst; karena itu Taruhan Pascal memang jadi tidak populer.

Aku nggak akan pakai hitungan semacam ini untuk meyakinkan orang :). Dan seperti aku bilang tadi, Blaise sendiri pun tidak menggunakan Taruhan ini. Seperti yang pernah disampaikan Kanjeng Nabi: Ihsan itu menjalani hidup seolah sambil melihat Allah; atau setidaknya sambil merasa dilihat Allah. Lalu apa kata nuranimu mengenai itu?

Blaise meninggal pada usia 39. Tapi sebelum itu pun kesehatannya selalu buruk. Selalu sakit kepala, katanya.

Ovi Store

Salah satu yang aku presentasikan di ITT bulan lalu adalah berbagai platform pengembangan aplikasi mobile saat ini. Perangkat mobile sudah melekat di manusia, bahkan di usia dini (duh, dini lagi). Dan, mengikuti trend, ke depannya ini akan lebih parah :). Saat kita menyebut three-screen, sekarang kita menomorsatukan mobile, baru diikuti komputer dan televisi. Share atas platform smartphone aku ulas bulan lalu di koen.blog.plasa.com. Untuk sales, Symbian (Nokia cs) memimpin dengan share 47%. Namun untuk Internet usage, Apple memimpin dengan share 65%. Kesannya, user iPhone kecil tetapi Internet-savvy; sementara user Nokia banyak tetapi masih sibuk di telefon dan SMS.

ovi5800Tapi Nokia berminat membalik anggapan itu. Bersamaan dengan HUT Wagner (26 Mei), Nokia meluncurkan kembali Ovi Store; bersanding dan bersaing dengan Apple Store. Beralamat di store.ovi.com, Ovi Store memulai apa yang jadi salah satu titik kuat iPhone: content & aplikasi dari developer bebas, yang ditransaksikan lebih leluasa. Ovi Store dapat diakses dari komputer, memungkinkan kita melakukan download aplikasi dan sinkronisasi ke smartphone. Tapi yang menarik tentu download langsung dari smart phone, baik melalui browser ataupun client Ovi Store yang disediakan khusus.

Smartphone masa kini umumnya telah menyediakan akses WiFi, selain 3G-mobile standard. Dipadukan dengan makin banyaknya titik hotspot yang disediakan di tempat umum (dari rumah, kos, kantor, mall, dan crowd-centre lainnya), ini meleluasakan kita menjelajah mencari aplikasi yang menarik, menginstalasi di tempat sesuai keperluan, dan langsung menjalankan. Aplikasi pertama yang aku instal (setelah client Ovi Store-nya sendiri), adalah Facebook :). Duh. Sekarang masih cari client untuk WordPress-blogging dan Twitter. Aplikasi informasi juga tampak menarik untuk dicobai. Games juga, wow banyak. Install aja banyak2. Mumpung space di Nokia 5800 masih luas. Dan aplikasi masih seluruhnya gratis dari Indonesia sini (nantinya nggak gratis lagi sih).

Untuk para developer, tentu ini jadi peluang satu lagi untuk mengkomersialkan aplikasinya. Satu frame terbuka, dengan cara pemasaran yang lebih mudah (biarpun sementara ini di Indonesia masih gratis), untuk platform dengan jumlah user yang besar; baik di Indonesia maupun di dunia — dan dengan tingkat penetrasi aplikasi yang masih rendah. Keliling di ITB, ITS, dan terakhir di ITT itu, aku sempat melihat banyak aplikasi dan content luar biasa yang bisa mulai dikembangkan secara komersial. Sayang kalau dibiarkan jadi hobby saja; sementara ini bisa dipakai untuk menarik dollar dari luar sana. Bisa dimulai di publish.ovi.com.

BTW, kita bunuh SMS yuk. Ada yang mau bikin aplikasi penggantinya?

Rimba Tak Digital

It’s 4 o’clock sharp. Setelah mendadak si alat bantu pelelap berhenti berfungsi, aku menemui pikiranku tersesat di simpangan rimbawi. Bukan labirin, yang digital dan/atau borgesian (huss), tetapi sesuatu yang rimbun, dengan hanya sedikit celah, acak menyesak, tapi … kesalnya … berpola. Berawal dari A5 (tokoh2 dalam entry ini akan dikodekan sebagai A1, A2, dst), tapi aku akan memulai tulisan ini dari A1.

Pernah si A1 yang rada sok teu abis itu memamerkan kelemahan manusiawinya. Sebel: cowok kok curhat, haha. Aku nggak bisa menghadapi dia yang berbeda; biarpun aku biasanya cukup mudah beradaptasi memahami perubahan manusia. aku cuman bilang ‘hey, trust to the global plan‘ :). Duh, gwbgt. Dengan pola pikir yang selalu mendukung multiframe dan keberagaman diskursus, dengan kesinisan hidup sisifiusian dan reinterpretasi terusmenerus (andai kata ini boleh tersambung seperti ini) derridean, atau kepragmatikan akut model para engineer yang mengabdi keanekaragaman requirement para manusia; aku masih selalu — diam2 tapi pasti — melihat hidup tetap sebagai sebuah kisah. Tunggal — tapi terlalu sakral untuk pernah diinterpretasikan secara tunggal, apalagi statik. Boleh dibilang tak berdasar; tapi aku rasa itu pikiran yang terlanjur ada dari hasil pendidikan sejak usia dini (I mean it); dan terlalu gwbgt untuk ditinggalkan — pun pada saat di mana aku diam2 menyengiri narasi2 besar.

Lalu A2. Makhluk sok teu juga. Uh, kami para cowok memang umumnya sok teu — itu penyakit turunan dan menular. Saat dia sedang down, aku malah menemani (via sebuah IM) dengan bercerita bagaimana kita menikmati … misalnya … sebuah pola warna. Pola yang sama bisa membuat berpikir tentang si pola sendiri (misalnya lukisan), tentang sebuah komposisi (Biru plus oranye ternyata ok juga. Eh, kalau ungu dan hijau muda gimana?), tentang frame kita sendiri (Hahh, ternyata cuman kegelisahan ala Mime yang dipadu semangat ), atau hal2 yang lebih luar biasa (Eh, pisang goreng jam segini kayaknya enak. Jarang loh akhir2 ini kita lihat pisang goreng di kantor). Semua dari satu pola saja. Contoh lain adalah pola si A3 masa itu: menikmati humor tidak dengan tertawa tetapi dengan membayangkan proses kognitif yang membentuknya.

Di salah satu simpang rimbawi tadi, aku mendadak ingat bahwa kapasitas informasi otak manusia terbatas. Tapi kenapa kita bisa ingat banyak fragmen hidup kita, dari yang dekat (ekspresi A4 waktu bilang mukaku lelah) dan jauh (senyum ceria A5 waktu aku iseng melungsuri mesin cuci — dan aku baru sadar itu senyum serendipity — seperti aku baru melihatnya sehingga berhak mempersepsikannya sekarang). Aku tapi terus menggugat: itu bener2 sebuah fragmen video, atau cuman beberapa frame foto statik beresolusi rendah, dengan voice yang merupakan gabungan optimal (agak, tapi tak terlalu optimal) antara vektor (kata2 dan susunan nada) dan bitmap (voice itu sendiri). Tersimpan terpisah dan holografis, mereka menggabung teranimasi ke dalam halaman depan pikiran, seolah2 frame nyata. Padahal bisa salah. Dengan nada yang sama, kita bisa merekonstruksikan hal2 masa lalu tapi dengan pilihan kata yang salah (karena terambil dari database kamus, ensiklopedia,
atau tesaurus kontekstual otak kita), atau dengan konteks yang salah, haha :).

Dan aku pikir mungkin itu terpicu tokoh A6. Tokoh yang aku baru kenal tiga puluhan jam yang lalu ini — nyaris tanpa talk selain meminjam kindle dan mengucap salam perpisahan — segera terlink kembali oleh sebuah foto di facebook (Suatu hari, kata2 seperti google, kindle, facebook menjadi kata benda biasa, dan harus ditulis tanpa huruf besar). Kunjungan ke blog (alamatnya di facebook itu juga — dan loc masih Glasgow), membuatku menemui sederetan teks yang aku cerna di tengah pikiran pragmatik bisnistik metropolitantik di dalam taksi melintas Kuningan (antara Bakrie dan KPK — kapan mereka merger ya, misalnya yang pertama diakuisisi oleh yang kedua). Lucu, deretan kata bergaya kematian surealistik itu, membuatku terhenyak. Bukan semacam hal yang menyangkut kematian itu, atau hal2 yang bersifat kognitif. Tapi aku mendadak merasa deretan kata2 yang teresapi secepat menyesap macchiato-latte itu memojokkanku sekali. Dan artinya adalah melempar jauh, tapi hanya di ruang siku yang terbatas dinding. Nafasku berhenti bukan oleh hentakan pikiran simbolik, tapi oleh perasaan terlempar. Sesak. Tapi mungkin karena aku lupa sarapan juga *gubrak*. Dan saat impresiku kutulis seperti itu, reaksi sang penulis adalah mengirimiku sebuah teks dari novel yang belum selesai.

Eh, ini tanggal 10 apa 11 sih?
11.

Aku ngantuk lagi. Sebentar lagi deh. Di abad ke 20 para penulis menggugat dan menertawai narasi2 besar. Tapi karya mereka toh masih mensiratkan frame latar yang lebih kurang berfungsi semacam itu. Dan aku yakin mereka tahu itu. Tapi belum selesai membaca teks belum selesai ini membuatku harus mengepas frame beberapa kali di setiap halamannya. Mungkin karena memang aku sengaja tak membacanya runut. Tapi aku membaca Camus, Foucault, Borges, dan Wall :) juga tak runut. Aku belum tahu apakah ini sebuah pujian untuk teks itu. Gimana kedengerannya misalnya: “Gilé, kopi lœ nyetrum amat. Pusingnya ampé pagi.” — pujian atau makian? Tergantung intensi saat kita membuat kopi juga sih: untuk dinimkati secara halus atau untuk … nyetrum. Semacam itu lah.

Aku akan meneruskan baca di jalan nanti. Sekarang aku harus meneruskan istirahat. Itu yang aku bilang pragmatik: pikiran dipaksa berhibernasi, karena besok pagi bisnis untuk membangun negeri ini masih menanti.
z z z z z

Uh, tapi trus jadi ingat si A3 lagi. Waktu lagi galau, dia malah tanya, “Dari mana sih asalnya gravitasi?” Hah, mestinya entry ini dijuduli “Curhat para cowok.” Tapi aku bobo dulu ah.

TKI ITT dan Mobile Content

Aku menjalani Hari Pendidikan Nasional di Politeknik Telkom, Bandung, 2 Mei lalu, sambil memperkenalkan beberapa aplikasi pendidikan. Tapi, mumpung lagi di Dayeuhkolot — sarang Mr Ary Murti, maka sekalian kita bikin acara koordinasi IEEE Comsoc Indonesia Chapter (aku harus bikin singkatan untuk chapter ini, kayaknya); sekaligus mini reuni TE Unibraw antar angkatan. Di tengah koordinasi merangkap reuni itu, beberapa mahasiswi ITT menginterupsi, minta aku memberikan Kuliah Umum tentang Mobile Content. Sungkan menolak di depan Mas Ary, aku iyakan saja (haha, dan itulah alasan sesungguhnya).

Institusi pendidikan di Bandung itu agak lucu. UPI jadi contoh yang lucu, tentu saja. Tapi ITT juga. Sore itu aku dapat SMS: “Berapa kira-kira biaya pembicara, termasuk transportasi dan akomodasi.” Halah, kayak ini event komersial aja :). Aku jawab aja: “Sila mengajukan surat permintaan ke Telkom; jadi urusan honor, transportasi, dan akomodasi ditanggung Telkom — kan sesama penyandang nama Telkom. Plus saya jadi nggak harus cuti.” Hi-hi :).

Seminarnya akhirnya berlangsung tanggal 19 Mei lalu. Tepat di tengah salah satu minggu paling sibuk tahun ini. Tanggal 19 itu kebetulan ada 3 acara, dan semuanya di Bandung. Penyelenggaranya adalah Fakultas Informatika ITT (sudah jadi fakultas sekarang, dengan dekan yang masih sangat muda: Mr Fazmah Arif), dan acara itu adalah bagian dari Temu Keluarga Informatika (TKI) ITT, di samping beberapa acara lain seperti pameran.

Materinya cukup panjang. Beberapa menit awal bercerita tentang mobile phone dan teknologinya. Kemudian melompat ke depan — ke masa mereka lulus atau nanti menulis skripsi. Tentu cukup sering juga ditulis di blog ini: NGMS, context-awareness, pervasive mobile communication. Kemudian balik ke masa kini: membandingkan platform operasi dan pengembangan smartphone (Symbian, RIM, Apple, WM, dll, dll). Pertanyaan dari mahasiswa meliputi soal regulasi dan konsumen, teknologi (OFDMA), Mobile 2.0, plus aspek sosial. Wuah, komplit nie. Keren.

Selesai seminar, aku menikmati pameran. Hey, sia2 aku bikin materi seminar. Aplikasi2 dari mahasiswa itu keren2. Buat apa diceramahi lagi, coba? Ada beberapa yang aku pikir bisa mulai diangkat atau diagregasikan jadi sebuah bisnis. Kelihatannya harus ada kunjungan lebih lanjut ke ITT :).

Perjalanan diteruskan ke Japati (uh, lapar). Mr Widi jadi speaker, dengan moderator Mr Prama; menyajikan arah pengembangan content & application ke para stakeholder. Dilanjutkan (dengan jeda sesi mi kocok) dengan meeting tentang [eh, kalau ditulis terus temanya, melanggar rahasia perusahaan nggak sih?] sampai gelap menyelimuti angkasa Bandung.

Hari kedua di Bandung, masih di Japati, Mr Widi jadi speaker, dengan moderator Mr Zuhed, di depan kalangan pendidikan di Bandung: dosen, guru, mahasiswa, siswa. Daripada jadi penonton, aku dilempar jadi co-speaker. Temanya ke ajakan & dukungan dari Telkom untuk menciptakan dan mengembangkan content & aplikasi. Tanpa jeda, kegiatan dilanjutkan ke rapat pengembangan portal di Japati itu juga, dilanjutkan dengan persiapan Indigo Fellowship di Gatsu (Jakarta). Tanpa asupan kopi, huh :). Dan kembali Jakarta menggelap waktu rapat berakhir. Tiket Air Asia ke Yogya, dan tiket Garuda untuk kembali ke Jakarta, telah diunduh untuk kegiatan berikutnya.

Hercules

Masih Mei, tapi minggu yang baru berlalu boleh dinamai minggu 24/7. Perjalanan, koordinasi, presentasi, dan persiapan presentasinya: Jakarta, Bandung, Jakarta, Yogya, Jakarta; 24 jam selama 7 hari. Tamu di kantor pun harus ditundai. Blog dilupakan dulu. Baru sekarang aku punya waktu untuk blogging.

Beterbangan (mmm) melintasi negeri dengan pesawat komersial; aku kadang masih ingat waktu2 aku sering menumpang pesawat TNI-AU. Hercules, Cassa, dll. Jalur umum: Malang ke Bandung, atau Malang ke Jakarta.

Hampir seluruh penerbangan mengambil waktu pagi, sekitar jam 6 atau 7. Selalu ditimbang dulu badan penumpang setiap akan naik pesawat. Aku selalu pakai ransel setiap ditimbang: biar berat badan mendekati 50kg. Malu kan kalau terlalu ringan :).

Mesin menderu kencang memekakkan setiap pesawat siap take off. Tetapi — pun saat take off — di dalam anak2 kecil masih berlarian. Dan air crew masih berdiri di dekat pintu belakang, dengan rokok terus menyala. ‘Kursi’-nya berupa kursi gantung; dan kami berpegangan saat kursi itu mengayun.

Jalur penerbangan pun bisa tentatif. Kadang aku cuman diinformasii bahwa paginya ada flight. Aku bisa lupa, ini flight ke Jakarta atau Bandung. Peduli ah, pokoknya berangkat dulu :). Tapi, jalurnya bisa lebih bervariasi. Pernah, penerbangan dari Malang ke Bandung mengambil jalur: Malang – Surabaya – Madiun – Makassar – Jakarta, dan terlalu malam untuk meneruskan ke Bandung.

Tapi pendaratan di Bandung memang paling menarik. Landasannya pendek, sampai sekarang. Pesawat menderu keras saat dia harus mengurangi kecepatan di jalur pendek itu. Dan kadang pesawat bisa memantul: turun, menyentuh landasan, memantul, naik lagi, turun, menyentuh landasan lagi. Asik sih.

Pernah membayangkan flight mirip angkot? Hmmm :). Ceritanya, pesawat dari Malang itu seharusnya bertujuan ke Bandung. Tetapi ada instruksi untuk mendarat di Jakarta. Masalahnya, ada beberapa personal yang benar2 harus ke Bandung segera. Jadi tampaknya mereka memutuskan untuk …. mmm. Begitulah. Di atas Bandung, kami dimaklumati: “Yang turun Bandung, ke depan!” Wow, aku di belakang, dan jalur jalan penuh barang. Jadi harus berjalan semi-melompat, saat pesawat turun dan landing. Tiga orang sudah turun. Aku teriak: “Bandung Pak!” dan crew di pintu teriak ke ruang pilot: “Tunggu, satu lagi!” Aku bergegas ke pintu. Pesawat sudah mulai bergerak lagi waktu aku melompat ke luar. Mau lari ke tepi landasan, dari samping terdengar teriakan: “Tiarap dulu! Awas baling-baling!” Aku tiarap, sampai pesawat melewati, dan pergi ke jalur pacu lagi. Berdiri, aku jalan ke samping, dan tak melihat satu petugas pun — mereka sudah kembali ke ruang. Sampai jalan ke luar, tak ada petugas tampak di mata, termasuk tiga penumpang yang tadi turun sebelum aku. Sampai aku keluar bandara, dan jalan ke tempat angkot di Andir.

Dan kenangan2 semacam itu bikin aku terhenyak mendengar jatuhnya Hercules tanggal 20 Mei kemarin, menewaskan sekitar 100 manusia. Dukaku untuk Keluarga TNI-AU.

Hlör u Fang Axaxaxas Mlö

Padahal kata labirin lebih mengingatkanku pada satu sesi dari serial The New Avengers. Tapi, Jorge Luis Borges, penulis dunia itu (kurasa tak perlu di waktu ini menulis, misalnya, ‘penulis Argentina’) gemar sekali dengan labirin dan pelbagai variasinya.

Borges kukenal pertama kali dari salah satu edisi awal Jurnal Kalam (yang dulu terasa mahal sekali). Cerpennya berjudul Tlön, Uqbar, dan Orbis Tertius. Terasa luar biasa, ia langsung tertamatkan, terbaca lagi. Melintas waktu, sempat ia terdiskusikan — di mail ke Nita, dan di mail ke salah satu mail group di Isnet. Di masa ini, cerpen ini mudah digoogle, dan kajiannya bisa dilirik di kepustakaan wiki. Bentuknya sastra fantasi, bermain dengan ekstrapolasi atas idealisme Berkeley. Stylenya, duh, menggabungkan antara yang real (menggunakan beberapa tokoh, termasuk Borges, penulis Bioy Casares dan Schulz Solari; juga mengupas pandangan Berkeley, Hume, Meinong, dll), yang fiktif (tokoh Herbert Ashe), dan yang fiktif (di dalam kefiktifan cerita itu, ia pun fiktif, seperti negeri Uqbar sendiri dan berbagai budaya, bahasa, dan pandangan hidupnya). Yang lebih menjengkelkan, gayanya betul-betul dibuat seperti reportase non fiksi. Misalnya, ia menambahkan satu bagian yang dimulai seperti ini: “Postskriptum (1947). Artikel di atas saya tampilkan sebagaimana aslinya, seperti termuat dalam Antologi Sastra Fantasi (1940).” Postskriptum fiktif :). Ini semua adalah cerpen yang diterbitkan tahun 1940; termasuk postskriptum bertahun 1947 itu :). Btw, Tlön sendiri adalah ruang hidup dimana bangsa di dalamnya berpandangan idealis tulen, sehingga bahasa dan turunannya (agama, sastra, metafisika) semua berlandas idealisme. Dunia bukanlah sekumpulan obyek dalam ruang, melainkan rentetan tindakan mandiri. Semuanya temporal, bukan spasial. Judul entry blog ini adalah contoh satu kalimat dari salah satu dialek Tlön yang berarti “ke atas dari balik yang mengalir tersebut beranjak membulan.”

LKIS sempat menerbitkan kumpulan terjemahan cerpen Borges, dengan judul Labirin Impian (1999). Nirwan Dewanto menulis pengantar terjemahan itu. Di dalamnya kita bisa melihat evolusi pola permainan Borges. Beberapa cerita agak mirip. Kisah labirin “Ibn Hakkan al-Bokhari”  dan kisah “Bentuk Pedang” bercerita tentang pengkhianat yang melintas negeri yang jauh (dari Arab ke Inggris di cerita pertama, dari Irlandia ke Brasil di cerita kedua); dengan penceritaan yang secara mengejutkan mendadak mengubah obyek menjadi subyek. Entah kenapa aku jadi ingat Agatha Christie (di mana tokoh kriminal bisa anak kecil [Josephine], polisi [Three Blind Mice], atau semua orang [Orient Express], atau aku [Roger Ackroyd]).

Kisah Funes si Pengingat mengingatkan aku (aku tidak boleh menggunakan kata ini: ingat) akan diskusi di Isnet juga; bahwa manusia mengenal simbol, sementara malaikat tidak — maka manusia lebih mulia. Funes ini jadi contoh Borges untuk itu. Setelah sebuah kecelakaan, otaknya bekerja tanpa simbol: ia mengingat semua hal. Seluruh angka dipahaminya tanpa penyederhanaan ratusan, puluhan, satuan. John Locke pernah mencoba membayangkan (dan menolak) bahwa setiap benda, batu, burung, bisa punya nama tersendiri. Ia menolaknya karena terlalu rumit. Funes, di lain pihak, menolaknya karena terlalu general. Anjing pada pukul 3:14 (tampak dari depan) haruslah dinyatakan berbeda dengan anjing (yang sama) dilihat pada 3:15 (dilihat dari samping). Tapi, untuk membuatnya makin seru, bayangkan bahwa pikiran dan ingatan kita sendiri pada itu kemudian haruslah memiliki pernyataan yang berbeda.

Sekarang tentang Tuhan. Kisah Mukjizat Rahasia menceritakan seorang penulis Ceska yang dihukum mati tentara Jerman, seminggu setelah disidang. Selama seminggu ia merasakan dari frustrasi, apatis, dan pada hari terakhir ia membuang pikirannya dengan merancang sebuah plot cerita. Ia berusaha menyempurnakan plot itu. Lalu ia bermohon kepada Tuhan, bahwa “Kalau benar aku ada, bukan sekedar kekeliruan plot-Mu, aku minta waktu setahun untuk memperbaiki dramaku.” Pagi harinya, pukul 9:00 (orang Jerman harus tepat waktu), ia disiapkan di depan tembok (seperti kerepotan orang mau bikin foto), lalu pasukan disiapkan, peluru ditembakkan; lalu waktu berhenti … selama setahun … hingga tokoh kita dapat menyelesaikan dramanya di dalam hati, secara lengkap, plus melakukan koreksi lengkap hingga sempurna. Saat drama itu selesai, waktu berjalan kembali, dan matilah sang pengarang.

Tapi satu cerita sebelumnya, “Tulisan Tangan Tuhan” sering kusadur waktu membahas tentang dunia para sufi (zaman dulu), justru berkomplemen (dan karenanya identik). Kisahnya tentang ahli sihir piramida Qaholom yang telah dibumihanguskan pasukan Pedro de Alvarado. Disiksa, dinista, dikurung, ia menghabiskan waktu mengingat dan memperdalam ajaran tradisinya — semuanya didalam hati. Ia merasakan penyatuan semesta, dan segala keindahannya. Ia merasakan kekuatan semesta dengan itu bangkit. Ia menjadi kuat. Ia menjadi sang maha perkasa. Kata-katanya sanggup untuk menghancurkan kembali musuh-musuhnya, dan menegakkan kembali kerajaannya. Tapi .. tapi … pada saat itu, segalanya tak penting lagi baginya. Barang siapa telah memahami rancang bangun semesta dan keindahannya, tak lagi harus memilih siapa yang harus naik dan turun dalam hidup fana manusia. Ia membiarkan hari-hari mengakhiri hidupnya.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑