Rasulullâh Muhammad s.a.w. sedang berbincang dengan para sahabatnya. Di tengah
perbincangan, tampak serombongan orang membawa jenazah. Rasulullâh
menghentikan perbincangan, lalu berdiri dengan sikap hormat.
Seorang sahabat mengingatkan: Itu jenazah orang Yahudi.
Rasulullâh menjawab: Itu jenazah seorang manusia. Lalu beliau
meneruskan kekhidmatannya menghormati seorang manusia yang mendahuluinya
kembali ke keabadian.
Abis beberapa meeting, kayaknya aku terpaksa pegang juga beberapa proyek R&D jangka pendek. Proyek-proyek ini sebenarnya menarik, cuman bisa jadi potensi kacau kalau deadline-nya terlalu pendek, dan dananya yang seleluasa R&D jangka panjang. Ini R&D, anyway.
OK, jadi dalam tiga bulan ke depan, yang dua ini harus beres: (1) broadcast video-streaming over IP (2) integrated call-centre.
Proyek R&D, kalau aku yang memulai, harus berjangka panjang, dalam arti saling bersambung membentuk runtutan teknologi yang aplikatif dan sekaligus inspiring untuk pengembangan lebih lanjut. Dengan ide kayak gitu, aku coba mengusulkan R&D dengan topik «Differentiated & Managed Broadband Network». Judulnya rada generic, tapi arahnya barangkali bisa ditebak. Runtutan di belakangnya bisa jadi GMPLS, integrated VPN, dan lain-lain. Pendeknya: hal-hal yang bisa bikin betah kerja di tahun-tahun mendatang — semacam tempat pelarian dari rutinitas.
Di awal April 2001, aku nulis
soal Bondan Winarno, orang yang sungguh menarik dengan catatan moralis yang
menggugah kepedulian kemanusiaan kita. Tapi seperti juga orang
lain, BW bisa berubah. Mulai kapan? Nggak tau. Kali mulai dia
diangkat jadi Pimred di SP.
Tulisannya nggak mementingkan soal moral lagi.
Waktu berita-berita dunia memamerkan kekejaman otoritas, milisia,
dan para penduduk Israel (baca di media seperti BBC, jangan CNN yang jelas-jelas sering menciptakan
dan memalsukan berita); BW dengan suka cita memamerkan perjalanan
penuh sukacita ke daerah penjajahan itu.
Waktu pemerintah Indonesia semena-mena menaikkan harga sumber-sumber
energi di Indonesia, dan rakyat panik menghadapi biaya hidup yang
terus meningkat, BW malahan cerita tentang champagne. Aku
nggak keberatan kalau orang non-muslim bercerita tentang minuman
beralkohol. Aku lebih keberatan tentang rokok, yang di samping
meracuni pemakainya juga secara langsung meracuni orang-orang di
sekelilingnya. Tapi soalnya adalah kefasihan BW berkisah tentang
salah satu minuman termahal di dunia. Kenapa dia nggak cerita tentang
bir cap tikus aja sih?
Cerita dikit tentang IEEE dan Citibank. Dalam hal ini IEEE dilihat sebentar sebagai entitas bisnis, soalnya kontaknya melalui customer-service, bukan member-service.
Awal tahun 2000, aku beli buku Engineering Tomorrow dari IEEE. Transaksi dengan Citibank Visa. Tapi ada yang salah dengan IEEE. Dia menagih sekali, dikembalikan, ditagih kembali, dikembalikan lagi, ditagih lagi, dikembalikan lagi, deeste enam kali. Totalnya, aku ditagih satu kali, memang. Tapi kita tahu bahwa Citibank memberlakukan selisih kurs yang cukup besar untuk transaksi penjualan dan pembelian. Total aku kehilangan di atas 100 ribu rupiah. Menyebalkan, kehilangan sesuatu tanpa terjadi apa-apa.
Maka Aku telefon Citibank, minta agar mereka melakukan penjumlahan dalam bentuk dolar saja, dan baru hasil akhirnya dikonversi ke rupiah. Customer service-nya tidak setuju. Aku jelaskan bahwa ini wajar sekali bahwa Citibank mengambil keuntungan satu kali dari sebuah transaksi, bukan sekian kali. Tapi dia berkeras, dan mulai defensif. Trus aku bilang, barangkali dia bisa kontak IEEE untuk reimburse kerugian ini. Citibank menolak lagi. Akhirnya aku bilang, aku aja yang kontak IEEE. Mr Citibank mempersilakan, sambil bilang bahwa upaya itu nggak akan berhasil.
Aku kontak IEEE. IEEE minta tanda bukti tagihan Citibank. Aku kirim via fax. Aku dapat penggantian lebih dari yang aku hitung. Barangkali dia menghitung juga ongkos fax ke US :), atau dia pakai tabel kurs yang beda lagi. Gede lah.
Memang ada organisasi yang bereputasi baik, dan ada yang cuma mengira punya reputasi baik. Citibank cuman masuk ke golongan kedua.
Pada masa awal didirikannya Amerika Serikat, Thomas Jefferson and James Madison sempat mengajukan usulan Amandemen Konstitusi ke 11, berisi larangan untuk melakukan monopoli perdagangan. Usulannya sebenarnya menarik. Perusahaan tidak boleh memiliki perusahaan lain, perusahaan tidak boleh memberikan uang untuk kepentingan politik, dan perusahaan dibatasi untuk bekerja hanya pada satu macam bisnis saja. Umur perusahaan juga dibatasi hingga kira-kira sama dengan umur produktif manusia. Jadi, perusahaan didirikan sebagai alat bantu manusia yang benar-benar manusia, bukan manusia sebagai konsep atau entitas hukum. Juga diusulkan bahwa tujuan utama setiap perusahaan adalah untuk melayani kepentingan manusia dan masyarakat.
Namun memang kemudian usulan itu tidak disetujui. Amerika Serikat lahir bersamaan dengan era tumbuhnya perusahaan besar yang memiliki hasrat hidup, hasrat berkuasa, dan hasrat berumur panjang. Perusahaan menjadi entitas yang seolah lebih hidup, lebih memiliki hak, dan lebih memiliki kekuasaan, dibandingkan manusia pembentuknya sekalipun. Yang kemudian terjadi adalah bahwa perusahaan dapat mengembangkan diri sebesar-besarnya, melahirkan perusahaan, memakan perusahaan; serta mengorbankan manusia dalam proses mempertahankan diri dan mengembangkan diri, tak ubahnya seperti spesies raksasa.
Isaac Asimov pernah menulis hukum yang berlaku untuk robot, sebagai entitas independen yang dibuat manusia untuk kebutuhan manusia. Isinya antara lain bahwa robot adalah pelayan manusia, serta bahwa robot harus dapat mempertahankan diri tetapi dalam upaya itu tidak boleh membahayakan keselamatan manusia. Perusahaan dapat dipandang sebagai robot, yang dibuat manusia sebagai entitas hukum untuk bekerja melayani manusia. Dan seperti juga robot, perusahaan tidak boleh dipandang sederajat dengan manusia. Perusahaan harus mengalah terhadap kepentingan manusia.
Kenapa sih, care amat sama perusahaan Amerika?
Sejak cukup lama, bisnis-bisnis besar Amerika Serikat memaksakan — baik ke dalam negeri maupun kemudian ke berbagai negara — cara bisnis yang terus-menerus hanya menguntungkan mereka. Liberalisasi, kata salah satu dosen di Coventry, adalah ideologi bisnis yang didorong Amerika untuk memaksakan masuknya bisnis mereka. Perusahaan Amerika juga suka memaksakan hukum yang berlaku di negaranya waktu beroperasi di Indonesia. Itulah sebabnya. Sudah sempat disebut sebelumnya.
Namun, perusahaan di Indonesia: apa mereka punya etika yang lebih baik? Ho-ho :).
Nike, si pabrik sepatu, menghabiskan biaya yang sangat besar untuk kampanye melalui PR bahwa perusahaan itu telah menghentikan kontrak kerja dengan subkontraktor yang memerah kerja buruh nyaris tanpa perikemanusiaan — suatu praktek yang dikenal sebagai sweatshop. Namun seorang pembela hak konsumen bernama Marc Kasky menemukan bukti yang bertolak belakang. Mendeteksi adanya penipuan publik, Marc mengajukan tuntutan melalui pengadilan California.
Nike, alih-alih mengajukan bukti bahwa mereka tidak menipu, justru mengajukan argumentasi bahwa perusahaan sepertinya memiliki kebebasan yang sama dengan manusia untuk mengeluarkan pendapat dan pernyataan. Setiap orang, katanya, memiliki hak untuk bicara apa pun.
Untuk kasus ini, Nike kalah di pengadilan California. Awal Januari ini kasus diteruskan di Mahkamah Agung US.
Tapi Nike tidak sendirian. Dukungan untuk Nike mengalir dari Kadin US, Exxon, Monsanto, Pfizer, Bank of America, dan — tentu saja — Microsoft. Dukungan juga diberikan oleh media-media US yang sudah menjadi perusahaan besar: mereka menutupi fakta bahwa terdapat kejanggalan dalam penyamaan badan hukum, apalagi perusahaan komersial, dengan manusia.
Manusia memang punya hak asasi, namun apakah perusahaan komersial punya hak asasi yang sama? Bagaimana menurutmu?
Kalau sosiolog bisa dikerjain fisikawan, maka fisikawan pun bisa dikerjain. Dan lebih gawat.
Dua bersaudara, Igor Bogdanoff dan Grichka Bogdanoff menulis sepasang disertasi, dan memperoleh gelar PhD dari Bourgogne University. Nah, menurut rumor yang kemudian beredar, disertasi ini hanya hoax: kata-kata dan jargon-jargon fisika teoretis yang dipasang, tanpa kaitan dengan realita.
John Baez memaparkan soal ini di newsgroup sci.physics.research. Tentu saja ini mengundang perhatian.
Dalam sebuah tulisan di newsgroup itu, Bogdanoff bersaudara juga mengirimkan sangkalan mereka. Tapi Baez berkeras, dan menyajikan bukti-bukti ke-nonsense-an tulisan-tulisan mereka.
Dalam kasus Social Text, pelaku mengakui perbuatannya, dan demikian kita tahu ceritanya. Tapi dalam peristiwa Bogdanoff ini, belum terhimpun kata sepakat tentang apa yang terjadi.
Honestly, aku juga nggak tahu cerita aslinya: mana yang benar dan mana yang bohong. Tapi masa sih fisika teoretis sudah sedemikian rumitnya, sampai orang tidak mudah menentukan mana yang riset asli dan mana yang hoax?
Pernah kebingungan baca tulisan-tulisan filsafat sosiologi kontemporer? Tahu kaitan antara jouissance dan différance? Alan Sokal, Professor Fisika dari New York University punya pertanyaan lebih radikal dari itu: kira-kira para filsuf itu saling ngerti nggak sih? Terus dia bikin eksperimen: bikin artikel parodi, berisi bla-bla-bla tentang filsafat sains; dan dia kirim ke jurnal sosial dan kebudayaan terkemuka Social Text. Judulnya Transgressing the Boundaries: Towards a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity.
Sayangnya, artikel itu beneran dimuat. Ada di Social Text #46/47, tahun 1996, halaman 217-252).
Tiga minggu kemudian, baru Sokal mengirimkan tulisan ke jurnal Lingua Franca (yang sudah tidak terbit lagi), menginformasikan bahwa artikel itu hanya candaan. Tentu terjadi kegemparan besar, khususnya bagi para filsuf dan sosiolog New York.
Maka Sokal pun mengirim artikel ke Social Text, menyampaikan lebih rinci kenapa ia menulis artikel candaan itu, tapi Social Text tidak berkenan memuatnya kembali.
Demam. Dan di luar mendung tebal sekali. Kelihatan hujan sangat deras di sekitar Dago dan Gegerkalong, dengan batas hujan sejelas batas hitam putih (hitam dengan abu-abu muda). Di atas, ke arah utara, langit gelap tertutup awan kelabu tua yang padat. Tapi di bawahnya awan putih kecil-kecil masih berani melayang. Mirip lukisan siapa ya?
Atau kali-kali aku aja yang belajar melukis.
Tapi pemandangan kayak gini memang langka. Awan-awan kecil kayak sengaja mau bikin cerah kota Bandung, nggak peduli sama kepekatan mendung di atasnya, yang nyaris tanpa jeda.
Eh, lucu, tahu-tahu ada sinar matahari dari barat daya.