Page 6 of 209

Workshop Buku Digital

Kota Bandung akan mencalonkan diri sebagai salah satu kandidat Ibukota Buku Dunia (World Book Capital) di tahun 2016. Ini salah satu point terpenting yang disampaikan Bapak Mahpudi, Wakil Ketua IKAPI Jawa Barat, pada kegiatan Workshop Pengembangan Buku Digital tanggal 27 September kemarin.  Workshop ini diselenggarakan di Mabes IKAPI Jabar di kawasan Ciateul, Bandung. Di workshop ini, aku mempresentasikan “Eksplorasi Buku Digital” buat para penerbit buku se-Jawa Barat. Tapi sebelumnya, GM Unit Business Service Telkom Regional III Gunawan Rismayadi berbincang dulu dengan peserta workshop tentang strategi Telkom menumbuhkan bisnis digital, termasuk dengan partnership dan inkubasi UKM (Usaha Kecil Miliaran).

Presentasiku sendiri berfokus ke salah satu project bottom-up di Telkom, yaitu pengembangan ekosistem buku digital (e-Book). Project ini belum diberi nama resmi :). Tapi kami sudah menyelesaikan business plan. Dari sisi teknis, bakuan sudah ditetapkan. Untuk pengembangan, kami telah memilih partner yang terpercaya. Para penerbit sudah dilibatkan sejak awal, bukan saja untuk memberikan content buku digital, tetapi juga untuk merumuskan bentuk produk e-Book itu. Dan, tentu saja, komunitas-komunitas pecinta buku, penulis, penggemar gadget, kami ajak berbincang asik untuk membahas pengelolaan produk.

e-Book sendiri bukan sekedar buku yang dipindahkan ke komputer dan gadget. Seperti surat berpindah ke email dan TV berpindah ke IPTV, e-Book akan mendapatkan banyak nilai tambah saat bermigrasi ke dunia digital. e-Book bukan saja berisi teks dan gambar, tetapi dapat memuat berbagai konten multimedia, seperti animasi, video, hingga interaktivitas. Untuk mendukung ini, kami memilih standard EPUB3, bukan PDF atau semacamnya. Developer kami terpaksa mengubah desain asli mereka untuk mengikuti standard yang kami tetapkan ini. Tentu konten ini harus dikunci dengan mekanisme DRM yang kuat, untuk memastikan buku hanya dibaca oleh user yang memiliki hak untuk membaca.

Sementara ini, aplikasi client disiapkan hanya untuk Android dan iOS. Versi Mac, PC, web, Blackberry, Windows Phone, dll, bisa menyusul, tapi belum ditetapkan prioritasnya. Tapi kami sadar bahwa pemakai smart phone dan tablet di Indonesia umumnya menggunakan Android; dan pemakai Android umumnya gemar barang gratisan. Jadi, konten-konten buku ini, selain juga dijual, juga dapat dimungkinkan untuk diberikan secara gratis, asalkan ada dukungan iklan. Iklan ini berasal dari advertiser, yang seolah-olah mentraktir pembaca buku, sehingga mereka bisa mengunduh buku secara gratis. Iklan dipasang sebagai in-content advice, bukan sebagai banner advertising atau semacamnya. In-content artinya iklan berada di dalam buku, mirip iklan di majalah saat ini; dan advice artinya iklan bersifat kontekstual, sesuai dengan tema buku dan kebutuhan pembaca. Infomedia, satu perusahaan dari Telkom Group, sudah memiliki barisan advertiser yang siap memasang iklan. Tentu, keputusan memasang iklan dan jenis iklan tetap menjadi keputusan penulis buku dan penerbit.

Feature-feature lain masih terus ditambahkan. Workshop IKAPI ini juga sekaligus jadi ajang menerima masukan dari para publisher untuk menyiapkan produk yang betul-betul memenuhi kebutuhan pembaca, penulis, penerbit, dan pemakai gadget. Salah satu yang sering diminta oleh para publisher adalah interaktivitas, khususnya buat buku sekolah. Ini juga tengah kami siapkan, namun mungkin belum dapat selesai di versi awal dari produk ini. Akan diperlukan integrasi terbatas dengan database sekolah dan siswa juga nantinya; tetapi ini akan dipermudah karena ada SIAP Online.

Project e-Book ini sendiri dimulai dari keinginan rekan-rekan buat menyediakan produk e-Book yang membuat buku digital bisa membudaya di Indonesia. Amazon Kindle, Apple iBook, B&N Nook, dll belum banyak berisi Buku Indonesia, dan masih mempersulit transaksi dari Indonesia (kecuali user menggunakan jalan samping, seperti jailbreak, memalsu alamat, dan semacamnya). e-Book yang ada di Indonesia umumnya masih menggunakan PDF atau semacamnya; jauh tertinggal dari aplikasi serupa yang justru tampil menarik menayangkan konten majalah, misalnya. Kami berkomitmen agar hobbi dan gaya hidup membaca buku plus gaya hidup digital, bisa dipenuhi secara legal dan nyaman. Publisher bisa memperoleh jalur distribusi buku yang baru, sekaligus mendapatkan alternative business model yang berbeda.

Yang juga sangat penting buat aku adalah bahwa kesukaan kami membaca tidak perlu mengorbankan pohon-pohon, hutan-hutan, dan lingkungan hidup. Wangi kertas yang dulu harum, kini sudah tercampur rasa bersalah bahwa kami terlau banyak mengorbankan lingkungan buat kecintaan kami membaca. Dengan buku digital, aku berharap bisa beli buku lebih banyak; bisa bawa ratusan buku ke mana-mana setiap saat; dan tidak lagi banyak mengorbankan hutan hijau. Sekarang sih Kindleku memang terisi ratusan buku, tapi hampir tidak ada Buku Indonesia di dalamnya.

Komitmen semacam ini memang memerlukan kerja keras. Jadwal hidup beberapa minggu ini jadi agak tergeser dan terganggu akibat banyaknya bagian-bagian dari produk yang harus direncakanan dengan baik dan dipastikan dapat diimplementasikan sesuai rencana. Kontrak-kontrak, cara-cara pembayaran, user experience, dan masih banyak lagi.

Syukurlah, seperti para penerbit yang tergabung di IKAPI Jawa Barat ini, banyak pihak-pihak lain yang sudah menyatakan dukungannya atas project ini. Misalnya beberapa penerbit besar di Jakarta dan Bandung. Juga komunitas pecinta buku, penggemar gadget, penyuka komik. Komunitas pengembang konten digital sudah mulai tertarik membayangkan media baru untuk aplikasi interaktif mereka, termasuk saluran buat pemasarannya. Komunitas penyayang lingkungan, ada yang mau bergabung?

Satu lagi. Satu lagi. Ada usulan buat nama produk ini? Bikin usulan yang kreatif ya :)

It Only Hurts When I Smile

Sekali-sekali cerita yang nggak ada ujung pangkalnya yuk.

Alkisah, di tahun 1997, Larry Page, Sergey Brin, dan beberapa rekan lain mencari nama keren buat teknologi mesin pencari yang tengah mereka kembangkan. Waktu itu Sean Anderson dan Larry Page sibuk mereka-reka nama, dengan papan tulis dan terminal terakses Internet. Salah satu kata yang buat mereka menarik adalah Googolplex, yang langsung ditanggapi Larry dengan memilih bentuk yang lebih singkat: Googol. Keduanya menunjukkan bilangan yang amat besar. Sean menghadap terminalnya, dan mencari apakah nama itu sudah ada pemiliknya. Namun Sean bukan pengeja yang baik. Jadi dia mengetikkan nama Google.com, yang ternyata available. Larry ternyata suka nama itu; dan seketika mereka meregistrasikan nama itu. Domain Google.com tercatat diregistrasikan tanggal 15 September 1997.

Aku sendiri kenal Google dalam kunjungan mendadak ke ruang lab Mas Budi Rahardjo di tahun 1997 itu. Atau mungkin awal 1998. “Ada yang baru nih,” kata Mas Budi dengan gaya curiousnya, trus menunjukkan Google.com. Nama unik. Sebelumnya, tahun 1996, aku pernah kontak ke Sisfo Telkom (yang menggunakan domain Sisfotel di bawah TLD yang aku sudah lupa sekarang, mengusulkan mengambil domain Telkom.com yang waktu itu masih available. Waktu itu aku belum tahu caranya beli domain. Yang aku tahu, harga US$ 70 per tahun untuk domain dotcom buat aku mahal sekali. Lama setelah itu, dengan Telkom tak juga beli domain Telkom.com, akhirnya domain itu dibeli pihak random untuk keperluan random, hingga sekarang. Tapi mungkin bagus. Telkom pernah punya semangat “Angkat domain Indonesia” dengan lebih memilih domain Telkom.co.id dan Telkom.net.id. Keren.

Mungkin gara2 sebal atas dibelinya domain Telkom.com oleh pihak gak jelas, di pertengahan tahun 2000an, waktu harga domain sudah mulai turun, aku sempat agak excessive beli domain-domain Telkom yang masih dibiarkan lepas dan mungkin bisa dipakai: Telkom.tv, Telkom.info, Telkom.tel, dll. Bea per tahunnya lama2 lumayan besar. Jadi beberapa mulai aku biarkan lepas. Dilepasnya juga terutama zaman minat atas domain mulai turun, digantikan akurasi mesin pencari, media sosial, dan aplikasi2 mobile. Apa sih domain Kaskus yang benar? Kita nggak harus tahu. Ketik kata Kaskus di Google, dan kita lihat hasilnya. Atau klik icon Kaskus di smartphone kita. Survei di Korea pun menunjukkan bahwa sebagian besar user (!) di Korea tidak hafal domain layanan2 penting di Korea. Mereka mengetikkan nama layanan saja di form alamat, lalu membiarkan Google atau pencari lain memilihkan alamat yang benar, lalu mereka klik. Boros sumberdaya. Tapi kan Internet di sana memang kencang. Enak buat kebiasaan boros.

Jadi mendadak agak lucu bahwa di tahun 2012 ini, sebuah perusahaan IT meminta tolong aku buat jadi broker buat beli domain dotcom. Pimpinan di perusahaan itu ternyata sudah memilihkan nama yang bagus. Tapi pimpinan perusahaan besar tentu berbeda dengan Larry Page muda di tahun 1997, yang masih doyan berdiskusi di depan terminal online. Perusahaan membesar, dan pimpinan (termasuk Larry Page pun) mulai berjarak wibawa dengan karyawan. Cita rasa jadi titah, bukan inspirasi. Maka nama pilihan pimpinan harus dicarikan domainnya. Dan harus dotcom. Dan harus dotcom! Err, ini tahun 2012 padahal, bukan 1997 lagi :). Harus dotcom, andikan pun mungkin domain itu sudah ada pemiliknya. Tentu, kita bisa menggunakan Paypal, eBay, Sedo untuk melakukan transaksi atau brokerage atas domain milik perseorangan. Tapi di perusahaan IT ini, ternyata sangat sedikit orang yang punya kartu kredit, lebih sedikit lagi yang pernah mengetikkan nomor kartu kredit di browser, dan jauh lebih sedikit lagi yang punya account di Paypal. Yaudah, kita bantu.

Aku memang punya akun Paypal, dilink ke kartu kredit Citibank, dengan limit terkecil yang aku punya. Ini memang buat transaksi pembelian atau pembayaran skala kecil. Gak mungkin buat skala agak besar sesuai permintaan pemilik domain. Whoaa. Si perusahaan IT sih janji akan mengirimkan dana ke tabunganku. Tapi tampaknya tetap harus dilampiri bukti pembayaran dulu. Artinya, aku harus bayar dulu dengan CC-ku. Jadi aku call Citibank, minta kenaikan batas kredit. Citibank menyanggupi, dan akan menghubungi 2 hari lagi. Whoaa. Lama. Kita perlu orde menit dan jam nih. Masuk ke Paypal, aku coba buat kaitan ke akun kartu kredit baru: BCA.

Oh ya, aku punya kartu BCA. Memang sejak zaman Orba aku enggan punya akun di bank yang buat aku selalu jadi simbol kroni Soeharto dan Orde Baru itu. Tapi akhirnya aku punya akun BCA juga tahun ini, setelah berhasil lupa sama Orba. Lucunya, beberapa hari setelah itu, Mr Liem sang kroni Soeharto, sang bekas pemilik BCA itu, mati.

Balik ke Paypal, seharusnya memang harus menunggu cetakan tagihan keluar, membaca 4 digit kode transaksi dalam tagihan, baru bisa memvalidasi penggunaan kartu dengan 4 digit kode itu. Tapi aku beruntung. Belum satu menit, crew BCA menelefon, memastikan apakah aku baru saja melakukan transaksi US$ 1.95 di Paypal. Aku pura2 tanya kode verifikasinya dulu. Ia memberikan 4 angka, dan aku catat, lalu aku iyakan. Crew terdengar lega dan puas. 4 angka itu aku masukkan ke form di Paypal, dan kartu BCA-ku sudah bisa digunakan bertransaksi di Paypal.

Tapi limit sisa di Citibank dan BCA mungkin masih kurang. Jadi aku suntikkan dana dari tabungan pribadi ke rekening Citibank. Selesai, aku langsung mentransfer dana melalui Paypal, melalui akun dua CC, ke John, si pemilik domain. John ini musisi. Gitaris, penyanyi, organizer, dan kadang publisher juga. Tapi dia bukan tech-savvy. Jadi, setelah menerima pembayaran, dia masih harus kebingungan dengan cara mentransfer domain. Perlu waktu 1 minggu, janjinya. Whoaa. Lama. Jadi aku ngasih kursus ke John. Dia musisi, bukan tech-savvy, dan tinggal di LA. Tiap tengah malam sampai dekat subuh aku ngasih semacam kursus langkah2. Tapi dia terus gagal dengan langkah2ku. Bukan sepenuhnya salah dia. Dia beli domain di Yahoo, yang sebetulnya tidak memberikan layanan domain dan hosting seperti jasa webhosting lain. Yahoo menawarkan domain sebagai bagian dari solusi enterprise dan UKM-nya. Harga domain US$ 9 di tahun pertama, dan terus kena autocharge US$ 35 setiap tahun, sampai akun kita matikan. Mahal! Yahoo sendiri merupakan reseller dari Melbourne IT.

Gagal melakukan transfer domain normal antar registrar, aku minta coba transfer antar akun di satu registrar. Gagal juga. Yahoo mungkin memang tak memberikan fasilitas itu, katanya. Jadi aku coba dari Melbourne IT. Minta registry key ke John. John sempat menertawai, membayangkan aku minta kunci beneran, sementara dia merasa beli domain secara online. Jadi gak ada kuncinya. Tapi dua hari kemudian — Whoaa! Lama! — John bisa memberikan registry key ke aku. Aku pindahkan domain ke account baru yang aku buat di Melbourne IT. Horee! Gak dink. Melbourne IT aneh. DNS records management disediakan gratis. Tapi DNS domain ini terkunci ke Yahoo (YNSx.YAHOO.COM) . Loh. Bahkan dia tidak bisa diredelegate ke DNS dari Melbourne IT sendiri (NSx.SECURE.NET). Konon perlu 24 jam. Hampir 48 jam kemudian, aku baru sadar ada yang salah dengan urusan Melbourne IT dan terutama Yahoo. John sendiri sudah mematikan kontrak domain (menghindari pembayaran US$ 35 per tahun). Jadi domain tak menunjuk ke mana2. Aku pun semena2 bikin akun baru di Yahoo, dan melakukan setting NS buat domain ini. Lucunya, ini bisa dilakukan, biarpun akunku di Yahoo tidak pernah tercatat sebagai pemilik domain ini. Maka domain ini akhirnya berfungsi.

Selesai domain ini berfungsi, aku sedikit bernafas; dan meluangkan waktu mengunjungi situs punya John. Menikmati lagu yang diciptakan (?) dan dinyanyikan dia: “It Only Hurts When I Smile.” Asik juga lagunya. Menemani jam2 kerja yang kurang tidur gara2 beberapa hari mengguide John di timezone Los Angeles.

Tapi, tentu, ini solusi jorok. Aku tetap melakukan transfer normal antar registrar. 4 hari kemudian, transfer baru selesai. Dan aku bisa memindahkan setting DNS secara lebih permanen. Dua hari setelah pembayaran, si perusahaan IT mentransfer biayanya ke rekening Bank Mandiri. Aku bayar via ATM ke Citibank. Tapi, berbeda dengan pembayaran Citibank via SMS BNI yang langsung dikonfirmasi dalam beberapa detik; pembayaran Citibank via ATM Mandiri memerlukan 2 hari baru dinyatakan terbayar. Whoaa! Lamaa! Benarkan seluruh institusi di negeri ini berkonspirasi menghambat mereka yang berminat mengakuisisi domain agak mahal dalam waktu cepat? Wkwk.

Setelah pembayaran masuk ke Citibank, bukan berarti urusan beres. Aku masih harus beli satu domain pendukung lagi. Memang seharusnya sekaligus. Tapi tertunda gara2 transfer antar bank yang lambat, plus waktuku habis. Domain yang satu ini dibeli dari Michael, yang kebetulan lebih paham IT. Sekarang tinggal tunggu transfernya. 4-5 hari. Whoaa! Lama!

Sementara itu, aku beberes uang2 transferan untuk mengembalikan posisi tabungan dan kartu kreditku ke posisi semula. Eh, ternyata malah jadi defisit, wkwk. Pertama, kurs di Paypal mahal sekali. US$100 dicharge ke kartu lebih dari 1 juta rupiah. Kedua, transfer domain dll memerlukan biaya. Dan ketiga, kadang harus eksperimen untuk melihat setting di penyedia service semacam Yahoo dan Melbourne IT, yang juga perlu biaya. Tapi, demi bantu project yang keren dan menarik, nggak apa2 deh. Biasanya juga gitu :)

Pagi tadi aku gak sengaja lewat ke si perusahaan IT. Ke bagian yang mengelola teknis produk, tapi bukan bagian yang minta tolong aku beli domain itu. Salah satu manager berceletuk, “Nah ini si juragan domain. Tempat bisnis dan jual beli domain.” Hahah. Bau lokomotif. Pendengar di ruang itu pasti membayangkan aku dapat profit dari bisnis domain, atau semacamnya. Tentu aku gak perlu jelaskan ke dia. Atau ke siapa pun. Never argue with moron :).

Then I smile. It doesn’t hurt at all :)

SM IEEE

Baru semalam aku menghadiri pertemuan pengurus IEEE Indonesia Section, di Binus University, Syahdan. Dipimpin Pak Lukas Tanutama, pertemuan itu membahas program Membership Development 2012-2013; termasuk upaya meningkatkan status para insinyur anggota IEEE di Indonesia, yang terlalu sibuk riset atau bekerja, dan pasti lupa urusan kecil macam peningkatan status keanggotaan :). Sambil buka puasa (“Menu tesis,” kata Pak Ford Lumban Gaol) kami juga membahas rencana konferensi kembar Cyberneticscom dan Comnetsat 2013, serta rencana Indonesia menuanrumahi APCC 2013.

Pagi ini IEEE menyapa lagi. Satu paket sampai di rumah. Isinya plakat, yang mensertifikasi peningkatan engineering level-ku ke level IEEE Senior Member, ditandatangani Presiden IEEE, Gordon Day, dan sekretaris, Celia Desmond. Gordon Day ini yang tahun lalu hadir di IEEE Region 10 Annual Meeting di Yogyakarta, waktu itu masih sebagai President-Elect. Beliau ini juga yang sempat gak sengaja ketemu di Tokyo bulan Juni 2011.

Pemberitahuan via mail memang sudah masuk 15 Juni lalu. Keputusan pengangkatan (tercetak di plakat) ternyata malah tanggal 2 Juni. Hmm, aku lagi di Bayreuth atau Berlin waktu itu.

Menurut situsnya, IEEE Senior Member adalah tingkat tertinggi yang dapat diajukan oleh anggota IEEE. Level yang lebih tinggi, IEEE Fellow, hanya dapat diajukan melalui nominator. Untuk mencapai level ini, kandidat haruslah:

  • Menjadi insinyur, ilmuwan, pendidik, eksekutif teknis, atau pelopor dalam bidang yang didalami IEEE
  • Memiliki pengalaman yang menunjukkan kematangan profesional
  • Menjalani pekerjaan profesional selama setidaknya 10 tahun
  • Menunjukkan kinerja luar biasa setidaknya 5 tahun

Bidang yang didalami IEEE:

  • Engineering
  • Computer science & IT
  • Physical sciences
  • Biological and medical sciences
  • Mathematics
  • Technical communications, education, management, law & policy

Tidak dipungut biaya untuk proses ini. Namun kandidat — tentu saja — harus jadi anggota IEEE dulu. Dan, kita tahu, keanggotaan IEEE memang tidak gratis. Selain itu, akan diperlukan testimoni dari para Senior Member sebelumnya.

Aku cukup beruntung, memiliki para senior yang bersedia memberikan testimoni, entah macam apa, tapi yang jelas membuat komite cukup cepat memberikan keputusan pengangkatan. Terima kasih buat:

  • Prof. Dr. Dadang Gunawan, Universitas Indonesia
  • Arnold Ph Djiwatampu, TT Tel
  • Lukas Tanutama, Universitas Bina Nusantara
  • Dr. Wahidin Wahab, Universitas Indonesia

Oh, ya. Dari kecil memang cita2ku jadi Insinyur :). Dan aku masih cukup konsisten untuk terus mengasyiki dunia engineering. Jadi karyawan di perusahaan yang dinamis memang memungkinkan kita mendapati proyek engineering yang menarik. Tapi keacakan keputusan HRM kadang memaksa kita bekerja di bidang non-engineering. IEEE justru membantu aku di masa2 itu untuk tetap bisa bekerja sebagai Insinyur, dengan menyediakan ruang diskusi dan kerja di bidang engineering, dan dengan memungkinkan aku memberikan pelatihan, seminar, dan networking di bidang engineering.

Hal2 itu justru akhirnya membuat aku jadi volunteer dan officer di IEEE Indonesia Section, termasuk di IEEE Communications Society Indonesia Chapter. Namun pekerjaan dan minatku tetap di engineering. Industry. Bukan di akademis.

Dunia riset dan akademis memang bagian sangat critical di engineering. Kita beroleh pengembangan paling maju terutama dari hasil riset. Namun game dalam dunia kampus, terkait terkait urusan point, kum, gelar, nilai, dan seperangkat aturan periferalnya, bikin aku kadang merasa agak tak nyaman dengan kampus. Jiwaku anarkis kayaknya. Tapi pekerjaan engineering tetap memerlukan insight yang membuat kita akrab dengan paper, serta dokumen dan komunikasi teknis lain. Jangan khawatir, aku gak akan alergi paper :). Addicted malah.

Aku masih terus cari peluang untuk lebih banyak menciptakan kegiatan koordinasi engineering dalam kerangka IEEE yang tak terlalu banyak bersifat akademis. Sekali lagi, bukan karena soal akademis kurang penting; tapi justru karena selama ini kegiatan IEEE dan organisasi serupa justru lebih banyak berfokus ke soal akademis.

Memang, ini akan perlu terobosan dan ide baru. Juga akan perlu lagi meluangkan waktu dan dana yang sebenarnya juga tidak berlebihan tersisa. Tapi, buat komitmen “advancing technology for humanity” … apa sih yang nggak? :)

Oxford

Spring Travelling 2012 lebih banyak diarahkan ke ibukota negeri Eropa Barat dan Tengah. Tapi, agak bosan liaht kota besar seperti London, kami menyempatkan diri kabur ke kota kecil yang tempatnya tak terlalu jauh. Pilihan akhirnya jatuh ke Oxford, karena kota2 lain telah terkunjungi di tahun2 sebelumnya, dan karena posisi Oxford yang cukup dekat London. Perjalanan ke Oxford pun tak terlalu serius: cukup dengan bis tingkat Oxford Tube berwarna merah mirip bis kota, dari Victoria atau Hyde Park, langsung ke Oxford. Harga return ticket £16 per orang. Perjalanan memakan waktu 1 jam. Dan segera kami tiba di kota mungil ini.

Dasar usil; yang pertama kami kunjungi malah pasar tradisional dan flea market. Puas berbincang dengan penjual2 di sana, yang umumnya sudah berumur, plus melakukan keisengan2 lain; kami beranjak dan mengunjungi kawasan yang lebih bersifat klasik akademis dan eaaaa.

Pertama, Museum of the History of Science. Museum ini berada di pusat kota, tak jauh dari Waterstones dan Blackwells Bookshop. Seperti banyak museum di Inggris, museum ini dapat dimasuki gratis. Tapi pengunjung disarankan melempar uang £2 ke kotak donasi. Yang pertama tampak di museum ini adalah papan tulis yang sempat ditulisi Einstein saat memberikan kuliah di Oxford tahun 1930an, yaitu saat Einstein telah meninggalkan Jerman, tetapi belum memperoleh tempat di US. Di papan bersejarah ini, Einstein mengkalkukasi perkiraan umur semesta.

Di bawahnya, dalam urutan yang kurang jelas kategori atau linimasanya, ditampilkan berbagai artifaks keilmuan, peninggalan para ilmuwan terdahulu, di bidang matematika, astronomi, fisika, dan lain-lain. Yang buat aku menarik tentu deretan piranti yang menunjukkan sejarah wireless communications: formula Maxwell, spark gap Righi, receiver Marconi, dan lain-lain. Hal-hal yang membentuk hidup dan karirku. Asli mengharukan, wkwkwk. Ada cognitive radio juga. Eh, nggak dink.

Juga ada koleksi alat2 hitung posisi pengamat pada koordinat bumi, posisi astronomis benda langit, waktu2; yang dirunut balik dari zaman kejayaan budaya Islam. Memang waktu itu umat muslim yang masih gemar menjelajah gemar sekali membuat perangkat rumit untuk menyederhanakan kalkulasi waktu shalat, posisi kiblat, dan waktu ibadah lain. Jauh berbeda dengan film Achmad Dahlan versi seleb sinetron yang menampilkan KH Achmad Dahlan seolah2 masih pakai lukisan peta dua dimensi, wkwkwk. Ah, para pembikin sinetron — sekolah pun mungkin mereka jadi tukang contek.

Keluar museum, kami mulai menjelajahi Universitas Oxford. Sambil jalan kaki keliling kota, kami dipandu seorang guide yang ceria bernama Linda. Universitas Oxford sebenarnya merupakan federasi dari 38 college, katanya. Universitas ini merupakan yang tertua kedua atau ketiga di dunia, setelah Univ Bologna di Italia dan mungkin bersamaan dengan Univ Paris di Sorbonne. Didirikan di abad ke-12, Ia jadi populer setelah Raja Henri II sempat melarang orang2 Inggris berkuliah di Paris. Tadinya setiap wilayah/county memiliki college sendiri di Oxford (yang menjelaskan mengapa ada beberapa nama college yang mirip nama county). Tapi batas ini kemudian baur, dan berdiri college yang tak tergantung wilayah. Akibat clash dengan penduduk, sempat terjadi eksodus kalangan akademis ke Cambride yang kemudian mendirikan Univ Cambridge di abad ke-13.

Setiap college memiliki kemandirian secara akademis. Namun ujian dan hal-hal administratif dikoordinasikan oleh universitas, dan dipimpin seorang Vice Chancellor. Memasuki beberapa college, aku melihat struktur yang kurang lebih sama. Kantor, taman besar di tengah, ruang kuliah dan diskusi, asrama, ruang makan bersama yang mirip ruang makan Harry Potter (minus lilin melayang tanpa benang), dll, dan ornamen2 yang menunjukkan kekhasan setiap college. Konon college2 di Oxford strukturnya meniru Merton College, dan Cambridge meniru Oxford, dan banyak kampus meniru keduanya.

Agak menarik melihat seorang mahasiswi berpakaian sangat rapi, lengkap dengan bunga di dada, melintas kencang bersepeda. Linda menjelaskan bahwa hari itu adalah hari ujian. Para mahasiswa harus mengenakan jubah kampus nan klasik itu untuk mengikuti ujian, dan membawa topinya. Mereka juga harus menyematkan bunga di dada: bunga putih untuk mahasiswa tahun pertama, merah tua untuk tahun terakhir, dan merah muda untuk sisanya. Tak lama, tampak sekelompok mahasiswa dan mahasiswi berjubah mirip wisuda, langkap dengan bunga pink di dada.

Kami juga mengunjungi Bodleian Library dan Radcliffe Camera (foto paling atas). Bodleian adalah perpustakaan induk, yang bukan hanya tempat riset utama di Oxford, tetapi juga merupakan erpustakaan acuan, tempat semua buku yang diterbitkan di Inggris dan Irlandia harus diserahkan untuk disimpan.

Kunjungan ke college2 cukup memakan waktu. Tapi ada waktu tersisa untuk mengamati pasar tradisional, pedestrian di tengah kota tempat warga kota menikmati sore, Oxford University Press (yang buku2 terbitannya cukup menghabiskan ruang di rak buku rumah hijau di Bandung), dan bekas tempat penginapan Rhodes (pengusaha berlian yang namanya sempat diabadikan sebagai nama negara Rhodesia, dan kini lebih dikenal peninggalannya berupa bea siswa Rhodes).

Oxford dan Cambridge adalah dua kota yang tidak turut dihancurkan bom Jerman pada Perang Dunia II. Jerman berharap dapat suatu hari menguasai kedua kota intelek ini dalam keadaan utuh. Namun tentu Jerman tak pernah berhasil menguasai Inggris Raya. Saat situasi berbalik, dan negeri Jerman dijatuhi bom oleh Angkatan Udara Sekutu, kota-kota intelek semacam Heidelberg pun tidak mengalami pengeboman. Ada sedikit nuansa manusia beradab juga dalam Perang Dunia. Sayangnya, dalam plan kali ini, kami tak sempat mengunjungi Heidelberg dan Gottingen.

Andai Mereka Bisa Bicara

Seandainya Mereka Bisa Bicara … dan begitulah aku mengawali blog ini, tepat 12 tahun lalu, 20 Juli 2000 [tlk.lv/1st]. Berpindah dari web-journal dengan script PHP buatan sendiri, aku menggunakan layanan Blogger.com yang waktu itu belum diakuisisi Google. Pasti bukan sekedar kebetulan bahwa saat web itu diubah jadi blog, aku menemukan kembali buku James Herriot yang sudah mulai lusuh itu. Buku Herriot — dan semangat yang dibawanya — adalah salah satu motivasiku mulai menulis, baik di kertas maupun di terminal digital. Herriot adalah profesional yang menghadapi keseharian hidup: keberhasilan yang manis, kegagalan yang memalukan, dan sering hidup yang datar. Namun Herriot dapat membuat tulisan yang menarik dari optimisme dan impressi yang diperoleh dari sekedar menatap awan dan padang rumput, menolong petani sederhana, menyendiri berkeliling Yorkshire di tengah malam, dll. Herriot mendorongku untuk mulai menulis hal-hal kecil, sambil belajar untuk selalu positif sekaligus realistis menatap dunia.

Kejutan! Hari ini aku baru tahu Gramedia menerbitkan kembali buku ini. Dijuduli Andai Mereka Bisa Bicara, buku ini masih menggunakan terjemahan yang sama dengan versi tahun 1970an dulu. Syukur beberapa kelucuan penerjemahan di buku 1970an itu telah diperbaiki di versi baru ini. “Tapi namanya Tristan.” di Bab 6 telah diubah jadi “O ya, namanya Tristan.” yang sebetulnya belum terlalu tepat tapi sudah lebih enak didengar.

Blog ini pasti sudah puluhan kali membahas Herriot dan buku2nya. Tapi buat pembaca baru, inilah kisahnya. James Herriot adalah anak muda yang pemalu tapi kreatif dan bersemangat tinggi. Lulus sebagai dokter hewan di Skotlandia, ia memperoleh tempat kerja di sebuah kota kecil bernama Darrowby di daerah Yorkshire di Inggris. Atasannya seorang dokter hewan Siegfried Farnon, yang cerdas namun eksentrik dan pelupa, dan hidupnya sering diwarnai dengan paradoks. Tak lama, bergabung pula Tristan Farnon, adik Siegfried yang memiliki sifat jauh berbeda — ia periang, ceroboh, namun selalu beruntung. Mereka membentuk persahabatan yang unik dan hangat, sambil bekerja keras (kadang siang malam) menyembuhkan bermacam hewan besar dan kecil, milik para petani dan peternak di Yorkshire, yang umumnya pekerja yang jujur, keras, namun tulus.

Ada kisah keberhasilan saat Herriot dan tim secara cerdas atau secara kebetulan dapat mendiagnosis penyakit dan menyembuhkannya. Ada kisah mengharukan saat Herriot harus memberikan penenang permanen kepada hewan yang terkena kanker untuk melepas penderitaannya. Ada banyak sekali kelucuan saat Siegfried yang sok efisien harus terperangkap prinsip-prinsipnya, atau sekedar oleh kepikunannya yang luar biasa. Dan banyak hiburan akibat keusilan Tristan yang tak pernah habis. Tapi yang tak pernah membosankan adalah komitmen Herriot untuk setiap saat membantu makhluk hidup yang menderita, biarpun kadang ia harus melampiaskan kekesalan dan kemarahan; dan selalu diakhiri oleh kembalinya kesadaran bahwa hidup itu ajaib, lucu, agung, dan tak pernah membosankan.

Herriot adalah nama samaran dari Dr James Alfred Wight [tlk.lv/alf]. Dan Darrowby adalah nama samaran dari kota Thirsk di Yorkshire, tak jauh dari York. Buku Herriot yang penuh keajaiban ini akhirnya membawa aku di tahun 2010 ke kota Darrowby [tlk.lv/darrowby] untuk mengikuti kembali jejak perjalanan James Herriot di kota kesayangannya itu. Thirsk masih jadi kota kecil yang tenang, dengan marketplace dan jam kota yang sama dengan yang digambarkan di buku ini, dikelilingi koperasi yang sudah modern, bar,  bank, toko permen.

Andai berminat, buku ini bisa juga dibeli secara online langsung di Gramedia. Pasti menarik buat menemani berpuasa.

Hey! Happy Ramadhan! Moga di Ramadhan ini, kita bisa lebih jernih mengevaluasi diri, dan lebih penuh semangat menjalani berbagai komitmen kita dalam hidup yang singkat namun ajaib ini.

Teka Teki Google

Buku menarik ini aku lihat di toko buku Periplus di Djuanda Airport dalam perjalanan dari Bangkalan ke Jakarta. Judulnya: Are You Smart Enough to Work at Google? Tapi, sebelumnya, tebak dulu urutan angka ini: 10, 9, 60, 90, 70, 66, …

Jawabannya? Betul! Ini pertanyaan jebakan. Pertanyaan serupa yang sempat tampil di Facebook beberapa minggu lalu, berisi deretan angka2. Pengantarnya: Anak prasekolah bisa menyelesaikan dalam beberapa menit, sementara ahli matematika memerlukan waktu lebih lama. Clue itu membuat aku berpikir bahwa jawabannya tak berhubungan dengan angka, melainkan dengan hal yang dikenal anak prasekolah: bentuk. Nah, urutan di atas pun ternyata demikian.

Kalau sudah mencoba, dan merasa telah memiliki jawaban, mari kita bandingkan. Angka-angka itu harus dieja dalam Bahasa Inggris: ten, nine, sixty, ninety, seventy, sixty six, dan langsung tampak deret yang ternyata cuma menunjukkan panjang ejaan angka. Tapi, angka dengan tiga huruf misalnya, bukan hanya ten. Ada one, two, six, dan ten. Angka dengan empat huruf bisa zero, four, five, nine. Kita amati bahwa yang diambil adalah angka terbesar. Dari sini, banyak yang mengambil jawaban bahwa angka pada deret berikutnya adalah ninety six. Jawaban yang tak terlalu salah.

Tapi di Google, tentu mereka punya jawaban lain. Dan itu berkait dengan sejarah nama Google sendiri. Google-lah sejarah Google, dan kita akan teringat nama googol, yaitu sepuluh pangkat seratus. Jadi kemungkinan jawaban lain adalah one googol. Tapi, jangan lupa, kita harus cari angka terbesar. Segera kita akan menemukan: ten googol. Sepuluh pangkat seratus satu!

Siapa yang bisa menemukan jawaban macam itu? Bisa mereka yang beruntung, atau mereka yang suka menggoogle (ini yang dicari), atau mereka yang kebetulan pernah mendengar “tebakan” ini. Intinya, pertanyaan semacam ini tak menarik untuk memilik karyawan yang potensial :D

Pertanyaan yang lebih menarik: “Andaikan kamu menciut hingga sekecil koin, lalu ditaruh di dasar blender. Beratmu mengecil juga, jadi berat jenis tak berubah. Pisau blender akan berputar 60 detik lagi. Bagaimana cara menyelamatkan diri?

Jangan teruskan baca dulu. Luangkan beberapa menit untuk mencoba ikut menjawab.

Beberapa kandidat menjawab dengan hal2 menarik. “Saya keluarkan isi saku dan melemparkannya ke motor blender agar macet atau rusak.” Tapi asumsinya blender sudah dicegah agar tak akan rusak. “Saya sobek baju dan dipilin jadi tali, lalu diikat pada sepatu. Sepatu dilembar ke luar blender, lalu saya memanjat tali.” Tapi bagaimana berat manusia (kecil) bisa diimbangi cuma dengan sepatu (kecil). Beberapa lagi tak terlalu kreatif: “Saya berbaring di bawah pisau atau berdiri di tepi blender di luar jangkauan pisau.” Atau yang agak spekulatif: “Saya berdiri di atas sumbu pisau, lalu berpegangan erat2. Gaya sentrifugal akan mendekati nol, jadi dimungkinkan untuk bertahan.” Jawaban2 terakhir itu dipatahkan penanya dengan menyampaikan bahwa pisau akan berputar selamanya, sampai mereka lelah atau bosan, lalu jatuh atau tersambar dan mati. “Saya bisa memanjat. Pada ukuran sekecil itu, saya bisa jadi lalat.” Dan lain-lain. Jawaban lain malah tak kalah seru: “Saya melompat saja keluar blender,” Hahaha.

Tapi jawaban terakhir mungkin paling tepat. Kita mengecil. Memang otak ikut mengecil, tapi asumsikan bahwa kita tetap berpikir secerdas ini. Otot mengecil, tapi berat kita mengecil. Jangan lupa, soal di atas secara jelas menyebutkan berat dan berat jenis. Energi untuk melawan gravitasi pada ketinggian h adalah E = m*g*h. Atau h = E/m*g. Energi otot kita boleh turun, tapi massa kita sama turunnya. Maka kita bisa melompati ketinggian h sama mudahnya, berapapun ukuran kita. Kalau dalam ukuran ini kita merasa mudah melompat lebih dari tinggi blender, maka dalam ukuran yang lebih kecil kita akan juga mudah melompat lebih tinggi dari Blender.

Pada abad ke-17, Giovanni Alfonso Borelli menyimpulkan bahwa makhluk hidup yang dapat melompat, akan melompat kira-kira sama tingginya: kutu, katak, tupai, manusia. Kandidat karyawan tentu tak harus pernah mendengar atau menggoogle nama Borelli. Tapi setidaknya mereka diharapkan dapat berpikir seperti Borelli. Atau setidaknya mereka diharapkan pernah memikirkan: mengapa kutu bisa melompat tinggi, mengapa semut bisa mengangkat benda yang beratnya 50x berat tubuhnya, mengapa serangga kecil bisa terbang hanya dengan sayap kecil yang tipis, dll.

Lalu kita berkelit: Tapi kan kita, walau seukuran koin, tetap terdiri atas tulang keras. Jatuh dari ketinggian blender akan seperti manusia jatuh dari Lantai 15. Hancur. Padahal tidak. Berat badan turun secara kubik (berpangkat tiga), sementara luas permukaan badan turun secara kuadratik (berpangkat dua). Makin kecil kita, makin aman untuk jatuh dari ketinggian. Tikus dapat dijatuhkan ratusan meter. Ia akan kaget, lalu melarikan diri. Hewan yang lebih kecil akan baik2 saja. Dijatuhkan dari ketinggian yang sama, tikus besar akan mati, manusia akan patah, dan kuda akan hancur pecah berantakan.

Pertanyaan ini juga memicu persepsi kita akan ukuran. Begitu kita sadar bahwa hukum-hukum fisika yang sama memiliki efek yang berbeda pada ukuran yang berbeda, akan mulai terbuka wawasan kita  akan efek hukum-hukum fisika, biologi, psikologi, sosial, ekonomi, pada ukuran masyarakat yang berbeda, ukuran organisasi dan perusahaan yang berbeda, dan seterusnya. Kita akan lebih bijak mensikapi perubahan2, misalnya terus berekspansinya bisnis kita, atau spinoff bisnis ke anak perusahaan yang lebih kecil, dll.

OK, ini sebagian dari Bab I dari buku ini. Sisanya … tak kalah menarik!

The picture above is copied from a photo illustration by F. Martin Ramin for The Wall Street Journal

 

Candaan Higgs

Piala Eropa UEFA baru usai dini awal Juli ini. Namun, seolah enggan membiarkan mata dunia lepas dari Eropa, CERN mengelar pra-konferensi pada 4 Juli 2012 untuk menyampaikan kesimpulan awal atas ditemukannya partikel baru pada wilayah energi yang bertepatan dengan dugaan nilai energi Boson Higgs. Aku sendiri mengikuti pra-konferensi itu melalui life web-conference yang memang terbuka untuk publik, sambil mengikuti Rakor Divisi Multimedia di Menara Multimedia Lt 3. Telinga kiri mendengarkan CERN, telinga kanan mendengarkan Rakor, dan mata bergantian menatap ke berbagai layar.

Tentang pencarian Boson Higgs, pernah aku tulis di blog ini [klik di sini]. Yang disampaikan pada 4 Juli adalah bahwa lab ATLAS secara meyakinkan menemukan partikel baru pada energi 126 GeV, sementara secara terpisah lab CMS secara meyakinkan menemukan partikel itu pada energi 125.3 GeV. Mereka memang tak semerta mengakui menemukan Boson Higgs; namun opini dunia langsung terbawa ke kesimpulan bahwa Boson Higgs telah ditemukan. Stephen Hawking, yang sempat melukai hati Peter Higgs karena mempublikasikan keyakinannya (yang tak didukung eksperimen) bahwa Boson Higgs tidak ada — dan dengan demikian Mekanisme Higgs tidak benar, pun akhirnya mengakui kesalahannya. Dalam waktu singkat, ini jadi arus utama berita dunia — termasuk bagi 99.99% warga dunia yang belum juga paham apa itu Mekanisme Higgs. Twitter justru dipenuhi kicauan bahwa penemuan terbesar dalam 50 tahun terakhir ini dipublikasikan ke dunia menggunakan font MS Comic Sans nan tak ada elok2nya itu. Padahal, wkwk, font itu sebenarnya dipilih untuk menunjukkan gaya berdiskusi para fisikawan yang masih suka mencoret2 dengan tulisan tangan yang kasar dan bergaya buruk, tapi diusahakan tetap bisa dibaca.

Sambil menunggu beberapa minggu/bulan/tahun hingga CERN dan pihak-pihak lain dapat memastikan bahwa memang partikel yang ditemukan pada 125-126 GeV itu adalah Boson Higgs; dan aku sudah pernah menulis tentang Higgs dengan gaya agak serius; mungkin aku sedikit bahas candaan masyarakat tentang Boson Higgs sajah.

Salah satu candaan paling awal menceritakan Boson Higgs datang ke Gereja Katolik. Sang pendeta bertanya, “What are you doing here?” dan dijawab Boson Higgs, “You can’t have mass without me.” Mungkin itu salah satu sebab partikel ini disebut2 kaum awam sebagai partikel tuhan.

Tapi versi lain menyebutkan bahwa Boson Higgs disebut sebagai partikel tuhan karena ia diyakini ada tapi tak dapat dilihat atau dibuktikan secara fisika. Namun artinya seharusnya julukan ini tak dapat digunakan lagi saat Boson Higgs dibuktikan ada secara fisika.

Versi lain menyiratkan, saat pembuktian Boson Higgs masih tak dimungkinkan, bahwa partikel ini memang salah satu yang ditabiri tuhan agar manusia tak mungkin melihat momen2 penciptaan. Tabir2 lain adalah Ketidakpastian Heisenberg yang tak memungkinkan manusia mengamati secara presisi interaksi pada skala sangat kecil yang justru amat esensial untuk memahami interaksi materi dan energi; Horison Peristiwa yang tak memungkinkan manusia mengamati apa yang terjadi di dalam Lubang Hitam; dan Waktu Planck yang tak memungkinkan manusia mengamati hukum fisika yang terjadi pada saat semesta baru terbentuk. Tapi, sekali lagi, pengangkatan tabir dari Boson Higgs seharusnya menghapuskan statusnya sebagai partikel tuhan juga.

Versi entah dari mana adalah bahwa seperti tuhan yang selalu menyayangi kaum lemah, maka Boson Higgs hanya berinteraksi dengan mereka yang memiliki kelemahan, i.e. interaksi nuklir lemah. Kita tahu, Mekanisme Higgs bekerja pada Boson W dan Z (Boson Lemah) serta akibatnya pada fermion, yaitu kuark dan lepton. Akibatnya kuark dan lepton memiliki massa, sementara boson seperti foton (cahaya) tidak memiliki massa.

Tapi memang, mudah2an penyebutan Boson Higgs sebagai partikel tuhan atau nama2 sejenis bisa mulai dihentikan. Memang ini partikel misterus, yang penemuannya diharapkan bisa melengkapi dan menjelaskan asal-usul semesta. Tapi ini adalah partikel, titik.

Lalu Boson Higgs mendatangi teman-temannya dengan muram. “Kenapa sih mukamu kusut? Kayak lagi dibebani berat seluruh semesta,” kata rekan-rekannya. “Memang,” kata Boson Higgs.

“Boson Higgs sedang jadi primadona dunia, yang disebut di mana-mana. Padahal dalam metafora, justru ia digambarkan sebagai khalayak yang mengerumuni selebrity (misalnya lepton) dan membuat mereka sulit bergerak, lembam. Itu adalah metafora terbentuknya massa. Ketertarikan khalayak dipengaruhi keterkenalan si selebrity, dan menentukan kelembaman/massa setiap partikel.”

Seorang astrofisikawan menulis ide yang lebih menarik. “Kita sekarang harus mencari partikel Anti-Higgs,” tulisnya, “Buat menurunkan berat badan.”

Comnetsat dan Cyberneticscom

Ternyata cukup memicu adrenalin, seluruh persiapan konferensi kembar IEEE COMNETSAT dan IEEE CYBERNETICSCOM. Sejak informasi atas konferensi ini disebarluaskan pada Januari, paper-paper baru diterima pada injury time menjelang april. Syukur kami mendapatkan dukungan kuat dari organisasi dan dari para sejawat. IEEE memberikan Letter of Acquisition-nya secara cepat – mungkin terkesan atas kekerenan IEEE Indonesia Section menyelenggarakan IEEE TENCON 2011 tahun lalu. Sebagai speaker, para eks presiden dari IEEE dan IEEE Comsoc memberikan kesediaannya. Track chairs kami undang dari berbagai universitas dan lembaga di seluruh Indonesia. Para track chairs, sebagai penjaga kualitas konferensi, memilih reviewer paper. Akhir Mei, paper telah selesai direview. Hanya sekitar 50% paper yang lolos pada periode ini. Lalu peserta hanya punya waktu singkat untuk memperbaiki paper sesuai masukan reviewer. Kemudian kami mulai menyiapkan event konferensinya sendiri. Waktu yang singkat membuat tak banyak volunteer IEEE yang memberanikan diri ikut terlibat. Dengan adrenalin yang terpicu mengejar kualitas dan waktu, akhirnya kami berangkat ke Denpasar. The show must go on.

COMNETSAT dan CYBERNETICSCOM dibuka secara resmi hari Kamis, 12 Juli 2012. Lokasi di Inna Grand Hotel Bali, di Pantai Sanur. COMNETSAT adalah Konferensi IEEE atas Komunikasi, Network, dan Satelit; sementara CYBERNETICSCOM adalah Konferensi IEEE atas Intelijensi Komputasional dan Sibernetika. Sebagai anggota committee yang paling tidak sibuk (gubrak), aku difungsikan jadi MC Clumsy. General Chair, Dr Ford Lumban Gaol membuka secara formal dan banyak berterima kasih. M Ary Murti, IEEE Indonesia Section Chairman, menyelamatdatangi dan berkisah singkat tentang IEEE dan Indonesia Section. Dan yang kemudian banyak ditunggu adalah keynote speech. Pun sebagai konferensi kembar, setiap konferensi memiliki keynote speech tersendiri.

Keynote speech untuk CYBERNETICSCOM disampaikan oleh Prof Michael Lightner, Presiden IEEE tahun 2006. Berjudul Machine Learning for Assistive Technology, Lightner mengawali dengan keprihatinan bahwa sangat besar jumlah manusia yang sebenarnya mengalami kecacatan pada berbagai level. Riset di bidang assistive technology mengarah ke peningkatan harkat hidup manusia dengan berbagai keterbatasan. Mulanya memang dengan alat2 bantu; namun kemudian juga dengan agen2 yang ditanamkan ke dalam badan manusia. Salah satu materi yang dipaparkan namun belum dapat dibagikan adakah riset yang tengah dilakukan tim beliau untuk melakukan bypass di dalam otak untuk mengatasi masalah akibat gangguan memori jangka pendek.

Keynote speech untuk COMNETSAT disampaikan oleh Prof Byeong Gi Lee, Presiden IEEE Communications Society (Comsoc) tahun 2011. Bertemakan Convergence of Communications towards Smart Era, BG Lee memaparkan bagaimana revolusi pada komunikasi dan informasi digital akan saling berpengaruh pada budaya dan kehidupan sosial manusia. Bagaimana pengolahan konteks menjadi kian penting untuk pengembangan sistem yang akan lebih cerdas memahami dan meningkatkan harkat hidup manusia.

Selesai sidang pembukaan, konferensi dibagi atas sesi-sesi pemaparan paper di beberapa ruang. Pembagian ruang antara CYBERNETICSCOM dan COMNETSAT tak terlalu kaku. Sebuah ruang dapat digunakan bergantian. Namun tentu tidak ada satu sesi yang mencampurkan kedua konferensi yang terpisah itu.

Sebagai anggota merangkap koordinator Technical Program Committee COMNETSAT, aku tentu lebih banyak beraktivitas di COMNETSAT. Jadi session chair, atau setidaknya menunjuk session chair dari para peserta konferensi di setiap sesi, atau sekedar pengamat yang ikut belajar di sesi-sesi.  Dan di antara sesi-sesi, kami melakukan networking, menambah teman seinpirasi dan sehobby, mempergunjingkan masa depan cognitive radio dan berbagai varian 4G, serta berbagi aneka update. Dalam sesi-sesi ini, bukan saja kami yang asyik dan sok sibuk. Prof Lightner dan Prof BG Lee pun aktif masuk dan meramaikan sesi-sesi. Dalam beberapa hal, konferensi ini lebih menakjubkan daripada TENCON :).

Konferensi masih berlangsung hingga besok, Sabtu 14 Juli. Sabtu akan diawali dengan Plenary Speech dari Prof Pramod K Varshney, memaparkan  Cognitive Radio Networks. Topik yang menarik. Kebetulan ini salah satu topik favoritku, dan pernah aku kuliahkan di salah satu sesi Kuliah Umum IEEE di ITTelkom. Kemudian akan menyusul beberapa sesi pemaparan paper lagi.

Sanur masih sekeren yang aku lihat saat TENCON tahun lalu. Pasir putih yang lembut siap mengenyahkan kelelahan dan ketegangan persiapan konferensi. Tupai-tupai di pohon kelapa dan pohon kamboja jadi teman-teman becanda. Tapi pasti masih banyak tempat2 keren di seluruh Indonesia buat CYBERNETICSCOM dan COMNETSAT tahun2 berikutnya.

Le Quartier Latin

Le Quartier Latin adalah kawasan di La Rive Gauche (bantaran kiri dari Sungai Seine) di kota Paris. Julukan kawasan ini diberikan masyarakat karena di abad2 pertengahan, penghuni wilayah ini banyak menggunakan Bahasa Latin. Tentu bukan karena mereka memerankan pasukan Romawi di film Astérix; tetapi karena di masa itu Bahasa Latin adalah bahasa komunikasi para ilmuwan antar bangsa. Hingga kini, tempat ini masih jadi kawasan para ilmuwan, ditandai dengan banyaknya universitas, lembaga penelitian, dan hal-hal berkaitan, seperti toko-toko buku, perpustakaan, kafe; dan kelompok2 mahasiswa.

Di akhir Mei, dalam cuaca Paris yang cukup terik, kami menyeberangi Sungai Seine, dan berjalan kaki memasuki Quartier Latin ini melalui Saint-Germain-des-Prés. Saint-Germain sendiri cukup menarik; berisi jalan2 dan gang2 kecil seukuran satu mobil saja, dan berisi toko2 kecil berisi karya2 seni yang tertata anggun dan eksklusif. Di sini, kami berhenti sejenak, beli buah2an untuk menambah energi dan kesegaran, dan meneruskan perjalanan. (Sebelumnya kami jalan cukup jauh, dari Montmartre, melintasi Louvre, baru menyeberangi Seine).

Di kunjungan sekian tahun sebelumnya ke Paris, aku ditanyai: Siapa tokoh yang paling dikenal di Paris? Barangkali aku waktu itu masih bau kampus; jadi jawabanku malah Sartre, Foucault, dan Derrida. Tapi, waktu itu juga, kemudian aku baca Le Point (gratisan). Memang ada masalah di Perancis secara umum. Misalnya, saat itu, Perancis tak terlalu banyak lagi dianggap sebagai pusat kegiatan sains; tak lagi banyak menghasilkan Pemenang Nobel, dll. LHC belum ada sih :). Bahkan sebuah kartun dalam artikel itu menggambarkan pria dan wanita Paris yang ramping & keren, bawa red wine, cuma berkomentar, “On ne peut pas bon en tout.” Filsafat Derrida pun di banyak negeri cuma dianggap kekenesan Perancis dengan anggur merah :). Menggali ingatan lagi, baru ingat banyak nama lain yang mengukir nama besar Paris: Pierre dan Marie Curie serta Becquerel; Poincaré dan De Broglie; Pasteur; Debussy dan Ravel; dan ke abad sebelumnya: Ampere, Lagrange, Descartes, dst. Politisi dan penguasa, memang buat aku tak menarik, selain barangkali jadi polusi sejarah.

Tapi masuk ke Quartier Latin, yang pertama dijumpai malah Montesquieu, yang sedang menghangatkan diri di taman kecil di Saint-Germain; ditemani JJ Rousseau yang berlindung di bawah pohon. Sebuah poster dekat situ mengkampanyekan memilih Darth Vader, wkwk. Dari zaman kesetaraan, ke penghargaan terhadap ‘yang lain’, sampai kecintaan ke nilai-nilai penghancur dari semesta lain, wkwk. René Descartes kami jumpai tak jauh dari sana sebagai sebuah universitas yang tengah direnovasi, satu dari 13 pecahan Université de Paris. Dan beberapa langkah dari sana, sebuah toko buku memamerkan versi berbagai bahasa dari buku Saint-Exupéry: Le Petit Prince! Kami langsung menyerbu masuk, menjelajah dari Basement hingga Lt 5, dan — setelah menahan diri — membawa 3 terjemahan lagi dari Le Petit Prince. Sudah lupa berapa yang tersimpan di Jakarta :).

Menyeberangi jalan di sekitar Saint-Michel, kami sampai ke gedung sejarah Université de Paris atau sering disebut La Sorbonne. Nama terakhir ini diambil dari Robert de Sorbon, pendiri college yang kemudian berkembang menjadi Université de Paris ini. Sorbonne adalah salah satu universitas tertua di Eropa, berkembang dari college2 di sekitar Quartier Latin. Pernah dibubarkan setelah Revolusi Perancis (1793), dia dibentuk lagi seabad kemudian. Gerakan mahasiswa di Paris 1968, yang memprotes struktur pendidikan dan struktur sosial secara umum, membuat Université de Paris benar2 dibubarkan dan dipecah jadi 13 universitas yang mandiri. Walaupun benar2 independent, beberapa universitas eks Université de Paris membentuk kepemimpinan bersama di bawah satu Chancellor yang juga sebagai Rektor dari Académie de Paris. Di luar hal ini, setiap universitas benar2 mandiri dan tak saling berkaitan.

Tak jauh dari Sorbonne: Panthéon! Bangunan ini adalah semacam monumen peringatan, berbentuk agak mirip rumah ibadah dengan kubah besarnya, namun ia tidak bersifat religius dan lebih bersifat ideal dan nasional.

Di dalamnya terpasang kenangan2 akan nilai-nilai yang membentuk Perancis modern: mozaik, lukisan, patung, dan inskripsi yang menggambarkan perjuangan kemanusiaan warga Perancis. Dan di tengah, digantungkan dari atas kubah, adalah Pendulum Foucault.

Masuk ke hall utama Panthéon, aku coba cari jalan ke arah pendulum ini. Tapi ternyata pendulumnya sudah ada di depanku. Pendulum logam keemasan itu menggantung dengan kawat tipis yang tak mudah tampak. Panjang kawat mencapai 67m. Kelembaman membuat bola ini bergerak secara tetap, tak terpengaruh putaran bumi. Namun karena bumi berputar, bola seolah bergerak berlawanan dengan arah putaran bumi. Maka pendulum Foucault menjadi bukti sederhana bahwa bumi memang berputar. Tapi tentu, di tahun 1851, saat Léon Foucault memasang pendulum itu, warga bumi sudah sadar bahwa bumi itu bulat dan berputar :).

Kita yang berpikir sebagai orang Indonesia, atau yang tinggal wilayah katulistiwa lain, tak akan mudah membayangkan cara kerja pendulum ini. Andai Panthéon dipindah ke Indonesia, pendulumnya tak akan berputar, atau setidaknya perputarannya tak akan tampak. Tapi bayangkan kondisi ekstrim andai Panthéon diletakkan tepat di kutub utara. Pedulum bergerak tetap, sementara Panthéon (atau kerangka sang pendulum) berputar mengikuti putaran bumi. Pendulum yang tak menempel bumi tidak harus ikut berputar mengikuti putaran bumi. Maka, dari sisi pengamat (yang tentu saja ikut berputar mengikuti putaran Panthéon), justru sang bola pendulum yang tampak bergerak berputar pelahan: 360 derajat per hari. Di tempat-tempat selain khatulistiwa dan kutub, pendulum akan tetap tampak berputar. Tapi putarannya akan lebih lambat. Dalam sehari ia akan tampak berputar sebesar sin(x) dengan x menunjukkan lintang tempat pendulum diayunkan. Untuk kota Paris, pada lintang 48 derajat (pura2nya 45 lebih dikit deh), maka sin(x) sekitar satu per akar dua lebih dikit (pura2nya 3/4 aja deh), dan pendulum akan seolah berputar 270 derajat per hari. Karena putaran ini stabil, kita dapat menyusun semacam skala waktu di bawah pendulum untuk membaca jam :).

Kubah Panthéon, selain digunakan untuk eksperimen Leon Foucault, juga merupakan tempat eksperimen radio pertama di Paris, menghubungkan pemancar dan penerima di Panthéon dan Eiffel. Memang Panthéon masih tampak jelas dari Eiffel. Berikut foto Panthéon yang diambil dengan iPhone (plus lensa télé) dari puncak Eiffel semalam sebelumnya:

Bagian bawah di Panthéon berfungsi sebagai makam bagi para tokoh-tokoh Perancis, dari filsuf seperti Voltaire dan JJ Rousseau, sastrawan seperti Émile Zola dan Alexandre Dumas, matematikawan seperti Lagrange, fisikawan seperti Carnot, dan tentu pasangan ilmuwan Pierre dan Marie Curie. Juga Braille. Temboknya digunakan untuk mengenang berbagai tokoh, termasuk penulis dan pahlawan perang Saint-Exupéry.

Keluar dari Panthéon, kami mengarah ke selatan. Di sini terdapat Institut Curie, di Rue Pierre & Marie Curie. Lembaga penelitian ini merupakan pengembangan dari tempat penelitian Pierre dan Marie Curie, yang masih digunakan dan dikembangkan hingga kini. Sebenarnya terdapat sebuah museum di dalamnya; tapi sayangnya saat ini tengah direnovasi. Di halaman, masih tampak Pierre dan Marie Curie duduk berdekatan di bawah pohon2 tipis di taman yang sejuk.

Mengikuti jadwal, kami kembali ke Saint-Michel, dan naik bis ke Musee d’Orsay, masih di bantaran kiri. Tapi, hari berikutnya, kami kembali lagi ke Saint-Michel. Kali ini untuk berburu buku.  Aku memang terbiasa menjenguk toko buku di mana pun. Dan biasanya sekalian yang besar, kalau kunjungan ke kota tak terlalu lama. Tapi di Paris, toko buku besar tak mudah terlihat. Mungkin terpisah dari kawasan wisatawan, aku pikir. Jadi aku sengaja naik taksi, dan minta diantar ke grandes librairies. Chauffeur menganggap itu bukan request yang mudah. Ia mengusulkan ke Saint-Michael saja. Di sana banyak toko2 buku yang agak besar, katanya. Ternyata, memang di Perancis ada hukum yang mengatur penjualan buku. Buku diatur agar harganya sama, baik dibeli di toko besar, toko kecil, ataupun online. Maka toko2 buku kecil dan sedang bisa bersaing dan berumur panjang; berbeda dengan di banyak negara, di mana toko2 buku kecil mulai hilang dikalahkan toko besar dan toko online. Kebijakan yang menarik, dan berhasil membawa kami ke Le Quartier Latin lagi :).

Sambil, kali ini, menikmati secangkir kopi.

Praha dan Metamorfosis

Sebenarnya Mei adalah bulan yang tepat untuk mengunjungi Ceska. Peringatan «Musim Semi Praha» konon masih menjadi event yang menarik, baik bagi penduduk Ceska, dan khususnya Praha, serta bagi wisatawan. Namun mungkin bagi warga Ceska masa kini, romantisme perjuangan melawan komunisme tidak lagi perlu sering diungkit. Perjuangan negeri ini lebih panjang daripada pendudukan kejam Tentara Soviet dan Partai Komunis. Dinasti Habsburg semena2 membubarkan Kekaisaran Romawi Katolik dan menjadikan wilayah Bohemia, Moravia, Silesia, dan sekitarnya masuk ke Kekaisaran Austria yang baru. Runtuhnya Kekaisaran Austria dalam PD I membuat Ceska dan Slovenska memperoleh kemandirian sebagai negara Ceskoslovenska. Namun ambisi Jerman yang didukung pengkhianatan politisi Inggris dan Perancis membuat negeri ini diduduki Jerman, dan kemudian juga diserang Hongaria, dan Polandia; sebagai pretext PD II. Setelah PD II, negeri ini dipaksa jadi komunis selama puluhan tahun, bahkan kemudian dikuasai komunis garis keras yang didukung pendudukan militer Uni Soviet di tahun 1968; sebelum akhirnya kembali mandiri setelah runtuhnya komunisme di Eropa Timur. Sayangnya, ia membelah diri kembali jadi Ceska dan Slovenska.

Perjalanan ke Praha sudah aku tulis di blog Travgeek: fk.vc/cz. Berikut cuplikannya yang berkait dengan Kafka.

Di Praha, aku tinggal di Mala Strana, bagian dari kota tua Praha dengan gaya yang masih klasik. Sore pertama di Praha, aku memutuskan menjelajah sepanjang Mala Strana, melintasi Taman Petrin dan Museum Musik (Dvorak), dan berhenti di Jembatan Charles (Karluv most). Jembatan ini menyeberangi Sungai Vltava; dibuat pada masa Raja Charles IV (abad ke-13), raja Bohemia yang diangkat sebagai Kaisar Romawi Katolik sebelum Dinasti Habsburg. Dari jembatan ini, tampak di samping Sungai Vltava, bagian belakang dari Museum Kafka.

Namun bari di hari berikutnya, setelah berkeliling Kota Tua Praha dengan tram, baru kami bisa meluangkan waktu menjenguk Museum Kafka.

Museum Kafka mengambil bangunan dari rumah tempat lahir Franz Kafka. Di dalamnya dipamerkan bagaimana Praha membentuk dan memetamorfosis Kafka dan bagaimana Kafka mengeksplorasi Praha, dunia, dan semestanya untuk membentuk karya2nya yang inspirasional hingga kini. Sayangnya, di dalam museum ini kita dilarang memotret apa pun.

Bagian awal menampilkan Praha yang hitam putih, kabur, menampilkan sudut kota tanpa berprasangka dan tanpa membandingkan dengan nilai-nilai besar. Foto-foto kota Praha masa Kafka ditampilkan hitam putih. Sebuah proyektor menampilkan kota Praha, tetap dalam nuansa hitam putih dan kabur, diiringi musik lembut Ma Vlast dari Bedrich Smetana, sekedar menggantikan nada sungai Vltava yang mengalir malas di luarnya. Serba senyap, rahasia, mempermainkan ruang, membalik kejelasan, mempesona, namun juga mengancam.

Di ruang-ruang berikutnya, catatan harian dan surat Kafka masa remaja tertata rapi, dengan terjemahan pada bagian2 penting, menampilkan konflik kognitif pada hidup anak muda ini. Kafka, dari keluarga keturunan Yahudi yang terpelajar di Praha, menulis  dalam Bahasa Jerman, bukan dalam Bahasa Cestina. Bahkan, dalam buku-bukunya, Kafka nyaris tak pernah secara jelas menyebut kota Praha. Ini berbeda dengan Kundera misalnya, yang cukup real memaparkan peristiwa2 dalam novelnya bukan saja dikaitkan dengan tempat real, namun juga dengan peristiwa historis yang real. Kafka mencerap Praha sebagai deretan peristiwa dan sejarah kemanusiaan yang tak harus memiliki label.

Orang hanya bisa menduga bahwa gereja anonim dalam buku Trial mungkin adalah Katedral St Vitus (Katedrala svatého Víta) di dalam Kastil Praha (Prazsky hrad); atau adegan lain yang menyebut jalan dekat Jembatan Charles, bantaran sungai Vltava, dll. Praha hadir tanpa nama dalam Kafka. Juga kadang tanpa rupa, dan hanya jadi metafora topologi.

Buku pertama dari Kafka yang aku baca adalah Metamorfosis (Die Verwandlung atau Transformasi) yang ditulis hampir seabad lalu. Kafka menulis buku ini secara maraton, konon sambil menikmati insomnia, pada bulan November 1912. Tokoh Gregor Samsa, tanpa sebab apa pun, berubah jadi kutu yang menjijikkan. Gregor (dan kita) bahkan tak harus paham mengapa ia menjadi kutu. Tapi itu membuat Gregor berubah, dari anak muda yang jadi tulang punggung pendapatan keluarga, jadi hama yang menjijikkan dan memalukan. Lingkungan tentu mencoba menerimanya, bahkan mencoba beradaptasi dengan perubahan itu. Namun tak lama, mereka merasa mereka tak mungkin bertahan dengan situasi itu. Maka Gregor dibiarkan mati. Dan kehidupan keluarga berlangsung kembali baik.

Konon nama Samsa, entah sadar atau tidak, memperoleh pengaruh nama Kafka sendiri. Mungkin Kafka memang tengah menceritakan kegalauannya sendiri, akan perannya sebagai anak muda di keluarga. Atau ia, seperti juga Wagner dan Nietzsche, memetaforakan perubahan besar di Eropa dan dunia, atas cara pandang mereka mengenai semesta dan kemanusiaan, serta nilai-nilai di dalamnya. Atau seperti warga Praha lain, ia melihat dunia yang akan secara tak terelakkan berubah cepat di sekitarnya, membawa konsekuensi deretan tragedi panjang yang juga takkan terelakkan. Berapa besar pemusnahan dan penghinaan manusia yang terjadi sejak Metamorfosis ditulis; di Praha, di Ceska, di Eropa, di dunia. Tumbukan peradaban dari manusia yang berubah dinamis, menyeret manusia-manusia yang bahkan belum tahu apa sebab terjadi metamorfosis pada diri dan masyarakatnya.

Satu abad setelah Metamorfosis … kita merasa lega karena tak ada lagi fasisme dan komunisme. Tapi kita selalu lupa bahwa bukan isme-isme itu yang menjadi sumber tragedi manusia. Ada bagian dinamis dari kemanusiaan di dalam semesta yang terus memaksanya berubah, tak sinkron, menggeser dan menumbuk kepentingan manusia sambil menjungkit nilai-nilai setiap saat. Dinamika yang kemajuan (atau ‘kemajuan’) kita tergantung atasnya, tapi juga tragedi kita jadi keniscayaan karenanya. Mampukah kita suatu hari jadi bijak, memahami diri kita sendiri, memandang semesta bukan lagi sebagai ancaman tetapi sebagai amanah? Mampukah mengambil langkah2 cerdas untuk mengembangkan peradaban dan kemanusiaan, tanpa berhasrat ingin menguasai dan memenangkan.

Praha, kota tempat Kafka pernah lahir dan tinggal, kini jadi kota yang damai dan menenangkan. Penduduknya ramah namun dinamis. Ekonomi Eropa sedang menggeliat resah tak pasti. Namun sejarah panjang negeri ini membuat warganya tetap yakin bahwa tidak ada hal yang sesungguhnya membuat manusia harus menyerah. Atau boleh menyerah.

Indonesia … jangan takut berubah. Dan jangan pernah menyerah.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑