Page 28 of 209

Bialetti Moka Express

Starbucks Ciwalk. Dua kantung kopi (biji terpanggang) aku bawa ke dalam. Satu dari Jawa, satu dari Sulawesi. “Tolong digiling ya,” pintaku, “Dan jangan terlalu halus.” Senyuman riang menyambut pinta. “Bulan depan yang Sumatra datang,” kata Aa’ Barrista. Ya, akhirnya, si Siborong-borong akan datang :).

moka.jpgApa yang dilakukan dengan kopi tak terlalu halus di rumah? Kan untuk membuat kopi rumahan ala Jawa, yang diperlukan adalah kopi halus? Memang. Kopi tubruk (caffè collizione *kidding*) perlu kopi halus. Tapi kopi rumahan GCC-51 menggunakan stove Bialetti Mokka. Cara membuatnya tetap sesederhana kopi tubruk, dan perlu kurang dari 5 menit (termasuk mencuci stove). Pemanasan tetap dari kompor yang itu juga. Stove ini sudah memiliki filter di dalamnya. Jadi diharapkan kopi yang masuk tidak terlalu halus. Jika terlalu halus, espresso yang dihasilkan kadang terlalu kental (sedap sih), tetapi kadang serbuk kopi masuk ke tempat yang tak diharapkan dan membuat efek audio yang tak menarik.

So, sore ini … Java espresso … sambil membayangkan Kopi Malang Sidomulyo, Pasar Klojen, Rampal, Bunul. Hey, sudah sempat lihat weblog-ku yang khusus membahas kopi? Alamatnya di nusantara.coffee. Kalau ada cerita dan apa pun tentang kopi, kirim cerita deh.

Simfoni Ketujuh

Chai. Minuman ajaib ini diperkenalkan Yani sebagai minuman favoritnya di masa lalu, waktu dia masih hobby bobo di Starbucks Changi. Sebagai mantan saudara kembar Yani, aku langsung terpengaruh; dan chai wajib selalu ada. Membantu lagi waktu asthma menyerang tanpa ampun seperti hari2 ini. Chai, sebenarnya merupakan bahasa Asia asli atas teh. Kita di Indonesia menyerap kata dan budaya teh dari Eropa, jadi tak merasakan nada yang sama. Chá, tsai, chai, jay, çay, dll. Chai sendiri merupakan bahasa India selatan. Nah, di sana orang konon suka membuat minuman teh dengan campuran berbagai rempah segar. Chai masálá, dll. Resepnya tak baku, dan berbeda dari setiap keluarga. Biasanya si teh hitam ditambahi jahe, kayu manis, lada hitam, cengkeh, cardamom, dan star anise (udah lihat bahasa Indonesianya di MTC, tapi lupa euy). Hasilnya, sebuah minuman yang memang layak difavoriti makhluk pintar semacam Yani. Nah, kalau orang asing (non India) menyebut nama chai, yang dimaksud adalah teh berempah macam ini, bukan chai lainnya. Aku sih memang menyukai nuansa keragaman budaya (dan sialnya juga keragaman diskursus). Jadi nggak keberatan kalau chai harus selalu ada di tengah koleksi kopi hitam non-instan.

Mmm, sedap. Sementara Simfoni Ketujuh Beethoven ada di latar belakang, berusaha menanamkan semangat musim semi ke hati yang sedang buram. Paduan yang inspiring.

Inspiring :). Benda bernama inspirasi memang sering datang saat kita megelak dari kotak-kotak standar kita. Saat pikiran kita mencoba keluar batas dari bingkai kita. Bingkai kita, seperti yang sering aku tulis di milis2 zaman sebelum blog :), tidak harus tunggal, dan kita harus punya fleksibilitas untuk beralih antar bingkai. Tetapi untuk membangkitkan inspirasi, kita kadang harus mengambil sebuah bingkai yang kita belum pernah miliki yang belum kita akui (bukan kita definisikan, karena definisi justru mengikuti si bingkai). Juga kadang kita memerlukan kelincahan yang berbeda untuk bergerak antara 2 bingkai, atau lebih. Ini tak sederhana, karena pikiran kita ada di dalam bingkai itu. Kalau kita merasa bisa melihat bingkai dari luar, maka kita salah mendefinisikan bingkai – dia harus membingkai pikiran kita, karena kalau tidak maka pikiran kita tak akan mau ikut pindah bersama pemindahan bingkai yang kita inginkan. Dan saat ingin betualang cepat antar bingkai, setiap bingkai yang kita singgahi harus sama cepatnya memindah kita ke bingkai berikutnya, sambil sempat beradaptasi dan melakukan transvaluasi citra yang sedang kita bawa.

Konon (ini artinya aku belum coba), beberapa ilmuwan dan seniman mencoba mengaburkan bingkai (dan dengan demikian memancing hal-hal yang inspiring), dengan mencoba mengail di antara kondisi alfa dan beta dari otak. Dali, Einstein, Wagner, Goethe, merupakan beberapa contoh. Dan karya2 mereka memang bersifat multiframe, Einstein yang secara formal meredefinisi frame fisika. Dali menolak batas realisme dan fantasi. Wagner menggunakan simbol klasik untuk menceritakan ide kebangkitan akal manusia. Goethe mencipta adibudayanya dengan mencerminkan berbagai budaya manusia. Konon, begini caranya bermain di level yang bernama hypnagogia itu.

  • Berbaring di atas punggung atau duduk di kursi yang nyaman. Dalam gelap pun tak apa.
  • Letakkan siku tangan pada kursi atau kasur, dan tegakkan lengan ke atas. Tapi buat sesantai mungkin.
  • Fokuskan pikiran pada masalah yang ingin dipecahkan, atau ide yang ingin dicapai.
  • Biarkan badan untuk mulai tertidur. Fokuskan saja pikiran.
  • Saat kita jatuh ke tidur yang lebih dalam, tangan akan jatuh, dan membangunkan kita. Catat apa pun yang terbayangkan saat itu.
  • Ulangi.

Kalau aku, belum perlu mencoba kali ya. Aku udah terlalu sering tidur dalam sadar dan sadar dalam tidur. Mencobai cara ini, jangan2 yang terjadi adalah tidur dalam tidur, trus pulas-s-s-z-z-z.

Donat Kuantum Epi

Bukan cuman orang awam kayak aku. Feynman pun kagum atas formula Euler e=-1, yang disebutnya the most remarkable formula in mathematics. Kalau ditulis sebagai e+1=0, formula ini lengkap berisi lima angka ajaib dalam matematika; dan tak lebih dari lima itu. Aku lebih sering menyebutnya sebagai formula Pak Epi (eπi), héhé. Bilangan e secara tak langsung telah dipaparkan dalam paper Napier di awal abad xvii. Bernoulli memaparkannya lagi di akhir abad xvii waktu sedang asyik menghitung bunga. Ya, e itu (1+1/n)n dengan n mendekati tak terhingga. Leibniz juga mendapatinya, waktu sedang menemukan kalkulus. Tapi Euler lah yang mengenalkan e sebagai sebuah bilangan, memberinya definisi, dan memaparkannya sampai 18 desimal. Sejauh yang aku hafal, hanya 2,718281828… selebihnya tak teratur. Di abad xix Hermite menyatakan bahwa bilangan e (dan kemudian juga π) bersifat transendental, yaitu tak dapat disederhanakan dalam bentuk bilangan bulat. Trus, apakah e+π juga transendental. Mestinya. Tapi bagaimana membuktikannya? Cantor terang2an menyebut bahwa sebagaian besar bilangan justru transendental. Sebagian kecil yang non-transendental lah yang lebih dulu kita kenali. Bilangan transendental jadi mirip dark matter, yang mengisi sebagian besar jagat bilangan, tapi belum tampak atau terpahami oleh kita.

Di tahun 1960, Stephen Schanuel merumuskan sebuah konjektur mengenai e dan transendensi. Kalau ini terbuktikan, banyak hal yang bisa dibuktikan, termasuk ketransendenan e+π, eπ, ee dan sekaligus memahami arti ketransendenan. Perlu banyak belajar matematika untuk paham konjektur Schanuel ini (aku juga nggak paham, héhé). Tapi Schanuel bilang bahwa kaitan antara e dan transendensi itu sederhana dan lempeng :). Contohnya, Gelfond di 1930 menemukan bahwa jika a tidak sama dengan 0 dan 1, serta b irrasional, maka ab transendental. Simpel, tapi tak terpecahkan hingga puluhan tahun.

Nah, di Oxford tahun 2005, seorang Boris Zilber membuat terobosan. Konon dia menemukan obyek angkawi yang memenuhi prediksi konjektur Schanuel. Bukan bilangan tapi, melainkan fungsi. Fungsi ini mirip eksponensiasi (pemangkatan) biasa, dan Zilber menamainya pseudo-exponentiation. Lebih dari itu, Zilber menunjukkan hal menarik: pseudo-exponentiation ini unik (hanya satu2nya). Para matematikawan masih menguji klaim Zilber, namun banyak yang sudah mulai mengakuinya.

Jika Zilber benar, dan pseudo-exponentiation memang bentuk dari e, maka semua yang terimplikasikan sebagai prediksi Schnauel juga benar. Lebih jauh, permainan ini memanjang ke beberapa hal menarik lain. Salah satunya adalah geometri kuantum: suatu kerangka teori yang mencoba memadukan mekanika kuantum dan relativitas umum (lagi, héhé).

Ceritanya, di sekitar 1980an dan 1990an, Alain Connes (pemenang Medali Field) memaklumkan onyek-obyek geometrik yang terancang untuk mengepaskan fisika kuantum dalam landasan matematika yang lebih tepat. Salah satu bentuk yang terpenting adalah torum kuantum. Torus biasa itu kan mirip donat. Nah, torus kuantum ini nggak mirip apa2, soalnya dia bermain di keribetan dimensi “ruang” matematis: kurvatur dll :). Ya, angggap saja mirip donat kuantum. Temuan Connes ini sangat penting, tapi terhambat oleh kesulitan pengaplikasiannya. Nah (lagi), temuan Zilbert diharapkan bisa memetakan level ekstrim abstraksi Connes menjadi bentuk yang lebih tercerna secara matematis. Jika konjektur Schnauel benar, maka torus kuatum terbuktikan sebagai struktur stabil, lalu geometri Connes bisa dialirkan ke bentuk yang lebih intuitif.

Jam segini, cari donat di mana ya?

Das Rheingold

Wagner membuka opera ini dengan sekian menit nada nyaris datar. Menutupi apa pun itu yan tengah bergolak di balik tirai.

Lalu tirai terangkat menampilkan sungai bening mengalir perlahan, lalu para peri bermain di atasnya, lalu Alberich si kurcaci pengacau datang dengan mata serakah, lalu ia rampas emas Rhein yang dijaga para peri itu.

Sementara di atas sana, Wotan dan Fricka menatap istana para dewa yang sementara itu hampir selesai dibangun para raksasa. Sementara mereka cemas karena taruhan atas selesainya istana itu adalah pertukaran dengan Freia, saudari Fricka, sementara itu para raksasa justru datang menuntut hadiah. Tapi lalu datanglah Loge, si dewa api, membawa kabar dicurinya emas Rhein. Tapi Loge membuka kisah bahwa harta itu membuat pemiliknya mampu menguasai alam sekitarnya. Tapi ia juga mengisahkan bahwa Alberich menjadikan emas itu cincin lalu menggunakan kuasanya untuk memperbudak sesamanya untuk menumpuk harta. Tapi para raksasa justru meminta harta yang banyak itu sebagai penukar Freia. Tapi para raksasa membawa Freia yang membawa keabadian para dewa sebagai sandera. Maka Wotan harus turun bersama Loge untuk mengambil harta kurcaci. Maka Wotan turun menemui Mime saudara Alberich. Maka Mime menceritakan bahwa para kurcaci tertindas oleh kekuasaan Alberich. Maka Loge menggunakan kecerdikannya untuk merampas cincin Alberich. Maka Alberich melepaskan kutukannya: maka siapa yang tak memiliki cincin itu akan menginginkannya, maka siapa yang memiliki cincin itu akan mati karenanya. Cincin jatuh ke tangan Wotan, tapi para raksasa memintanya, tapi Wotan menolaknya, tapi Loge mengingatkan akan kutukan Alberich, tapi Wotan akhirnya menyerahkannya, tapi para raksasa baku bunuh berebut cincin itu, tapi tersisa hanya raksasa Fafner. Kemudian ia pergi membawa semua harta dan cincin. Kemudian Wotan mengambil istana itu dan dinamainya Valhalla. Kemudian semua dewa beriring masuk ke istana itu. Kemudian Loge menolak karena kekelaman yang melingkupi terciptanya istana itu. Kemudian adalah keinginan dewa untuk mengambil kembali cincin itu karena ketidakpercayaan pada si raksasa. Kemudian cerita harus beralih.

Tapi sementara itu, sayup kita masih mendengarkan nada-nada megah, saat para dewa yang tak maha kuasa itu memasuki istananya, yang tampak megah di atas rapuh landasannya. Lalu, seperti mereka, kita juga sadar: terciptanya istana itu justru merupakan redupnya dunia para dewa.

Lalu, seperti kata Wagner, seperti yang dipaparkan dalam biografinya tentang saat2 musik ini memasuki sukmanya, seperti ini: “… the stream of life was not to flow to me from without, but from within.” Dan seperti Iqbal bilang: ayo bangkit dari dirimu, jangan merasa jadi Musa yang menunggui wahyu. Para dewa sedang sakit, sedang perih, sedang salah. Sedang kita? Sedang2 saja :). Yuk!

Rak Buku

Dulu rak buku baru bisa dipetakan di LibraryThing. Selama beberapa waktu, site ini memiliki interaktivitas yang tak terlalu kaya; sehingga agak jarang aku kunjungi, kecuali sesekali saat ada buku yang baru dibeli, dan ingat untuk update. Baru kemudian akhir2 ini ada feature2 baru.

librarything.jpg

Biasanya adanya feature baru menunjukkan mulai adanya kompetisi. Memang, layanan sejenis sudah mulai dirilis. Beberapa hari yang lalu, aku berkenalan dengan Shelfari. Shelfari cukup berbaik hati, memperbolehkan kita mengimpor CSV dari LibraryThing, sehingga kita tak harus menambahkan buku satu per satu dari awal.

shelfari.jpg

Eh, malam ini, blog Nita memperkenalkan satu lagi rak buku maya: GoodReads. Boleh impor CSV dari LibraryThing juga. Langsung eksekusi.

goodreads.jpg

Yuk, cari 10 perbedaan :). Hush. Yang perlu dilakukan adalah mencari feature yang menarik dari site2 ini, terutama yang berkait dengan review, dan ide2 baru tentang buku yang menarik untuk dibaca. So, aku menjelajah dulu ya :).

Menguji Superstring

“Bikin sakit kepala aja,” bahkan Brian Greene si evangelist string pun berkata demikian, “Kita perlu punya sebuah prediksi, dan kalau prediksi itu benar maka teori itu benar dan jika salah maka teorinya juga salah.” Tapi justru itu yang hingga kini belum dimiliki teori string atau superstring atau teori M atau entah kalau sudah ganti nama lagi; yang memungkinkan teori ini terus menerus diserang — dengan alasan yang valid. Dari cita2 menjadi “theory of everything,” menjelma ia menjadi “the theory everyone loves to hate.”

Namun Joe Polchinski mencari petunjuk di atas. Idenya: “String yang terbentuk pada momen yang tepat saat kelahiran semesta akan ikut berekspansi cepat, dan mungkin saja kini membenang antar galaksi atau bahkan menyeberangi seluruh batas semesta.”

Tapi sebelumnya, kita bahas dikit tentang teori big bang ala string (haha). Fluktuasi kuantum yang mengawali bwig bwang, myungkwin (lebih kabur daripada sekedar mungkin) bukan dari misalnya pasangan foton atau pasangan materi dan antimateri, tapi bisa dari pasangan brane dan antibrane (nah lo). Kalau bereaksi, mereka juga melakukan anihilasi dalam ujud ledakan. Brane, kita tahu, bukan saja membentuk materi-energi, tetapi juga dimensi. Jadi terjadilah robekan string yang membentuk ruang-waktu. String2 akan putus menjadi ukuran amat kecil, tetapi Polchinski mengharapkan ada yang turut mengembang mengikuti ekspansi semesta.

Tentu, seandainyapun biarpun panjang, string itu masih tak terlihat. Yang diharapkan diamati adalah efek gravitasinya, kerana string menyimpan rapatan massa besar di setiap satuan panjangnya. Lensa gravitasi misalnya, bisa jadi amatan yang baik, yang jika polanya tertentu bisa dipradugai sebagai akibat dari string teramat panjang itu.

Selainnya itu, string juga bergetar. Dengan massa yang besar, getaran string panjang bisa memancarkan gelombang gravitasi yang juga diharapkan bisa teramati. Saat ini, pengamatan gelombang gravitasi dilakukan di LIGO, sementara NASA berencana meluncurkan LISA di tahun 2015. Polchinski mengharapkan gelombang itu teramati saat melintas antara bumi dan sebuah pulsar (yang dalam keadaan stabil merupakan clock yang amat akurat). Dan ia yakin jenis gelombang yang dihasilkan string panjang memiliki pola yang akan berbeda dengan yang dihasilkan lubang hitam atau obyek lainnya.

Sayangnya, kayak yang Greene bilang di atas, kalau gelombang semacam ini tak teramati, tidak ada bukti bahwa teori string salah. Jadi, masih mencari petunjuk di atas, sekelompok ilmuwan lain, a.l. Andrei Linde dan Renata Kallosh, mencoba mencari bukti yang apabila benar justru menunjukkan bahwa teori string salah. Atau perlu dirombak untuk kesekian kali (keukeuh).

Menurut hitungan Linde dan Kallosh, jika teori string benar maka inflasi di awal semesta harus memiliki batas energi tertentu, karena jika batas itu dilanggar maka enam dimensi yang saat ini bergelung dalam ketidaktampakan itu akan turut membuka seperti tiga dimensi ruang yang saat ini terbuka, dan mengakibatkan semesta memiliki sembilan dimensi ruang. Lalu bagaimana mendeteksi apakah batas energi itu dilanggar pada masa inflasi? Dengan mengamati CMB, si 3 kelvin itu. Dan ini bukan langkah mudah lagi :). Pengamatan sedang dilakukan atas kerjasama universitas2 Oxford, Cambridge, dan Cardiff. Juga wahana angkasa Planck akan diluncurkan tahun depan untuk mengukur CMB secara lebih sensitif.

SciVee

SciVee, konon dicitacitakan untuk menjadi YouTube untuk kalangan saintis. Diluncurkan baru bulan lalu, ia masih dalam versi alfa. Penciptanya, Phil Bourne, adalah farmakologis dai University of California, San Diego. Alamatnya di scitube.tv.

scitube.jpg

Bandingkan juga dengan JoVE (Journal of Visualized Experiments), di jove.com, yang diluncurkan pada tahun lalu. Yang ini berisikan rekaman para saintis yang sedang melakukan eksperimen mereka.

jove.jpg

7 Years of Highly Defective Blogging

Lalu apa yang terjadi selama 7 tahun blogging? Kedangkalan, yang juga sekaligus mencerminkan hidup kita. Kita — penulis blog ini dan orang2 yang sempat membacanya. Dan pendangkalan itu bukan prestasi besar yang diraih dalam semalam saja.

Blog pernah menjadi sarana berkomunitas yang menarik. Dulu satu blog digunakan bersama untuk saling berkomentar, sebelum ada sistem commenting resmi, plus trackback, plus agregasi, plus blog network. Blog juga bisa jadi sarana membuka diri buat orang yang dalam kehidupan sesungguhnya tak pernah mampu mengungkapkan dirinya (bukan, ini bukan sebuah kekurangan, kalau kita ingat bahwa perspektif kita justru lebih tajam saat kita melatih menangkap yang non-verbal). Blog, tentu, bisa jadi penyimpan kenangan. Saat CFS meretakkan banyak sendi ingatan dan merencah konsentrasi (terutama 4 bulan terakhir ini), beberapa cuplikan kisah di blog serasa mengaitkan kembali pada hal2 berharga yang sering tanpa sengaja terpendam (I miss u, Dad). Hal2 yang begitu dangkal, begitu personal, begitu tertutup, begitu chaotic, begitu miskin. Tak salah kalau seorang pelawak menuding blog hanya sebagai trend sesaat: bukan sebagai bagian dari narasi2 besar (yang justru selalu kita tertawai di sini, di blog2 ini), bukan bagian dari revolusi informasi (yang lebih tampak sebagai narasi yang dibesar2kan), bukan bagian dari pembangun mentalitas bangsa (yang lebih sering digunakan untuk lawakan yang lain lagi).

Blog hanyalah kekitaan. Kekinian. Kefanaan. Gue banget. Dan 7 tahun berlalu. Sungguh buang2 waktu. Yuk, kita rayakan, seperti juga kita merayakan hari2 yang berlalu dalam hidup fana kita. Hidup tanpa narasi besar, tapi selalu kita resapi proses mengalirnya yang indah. Dan kita syukuri dengan senyum kepada-Nya.

Profesor September

September, karya Noorca Massardi (diterbitkan oleh Tiga Serangkai), dan Terbunuhnya Seorang Profesor Posmo, karya Arthur Asa Berger (terjemahan diterbitkan oleh Marjin Kiri). Dua buku ini dilahap di sebuah weekend pada suasana hati yang sedang asing. Asing bukan karena merasa berada dalam kedalaman yang terpisahkan dengan dunia sekeliling, tetapi justru karena merasa hati hanyut menganjak di dunia yang bergerak bebas lincah sambil menyembunyikan tujuan keterpelantingan kita.

berger.jpgSingkatnya, September mereka ulang peristiwa 1965. Penceritaannya jadi menarik, karena sejarah direka ulang oleh tokoh Darius yang bisa menyusupi jiwa2 pelaku, termasuk Presiden Soekresno Pemimpin Besar Reformasi masa itu. Sayangnya Darius tak hendak menyusupi daripada Mayjen Theo Rhosa si pengkhianat yang licik dan cerdik itu. Sedangkan Profesor bercerita tentang terbunuhnya profesor Gnocchi di meja makan saat sedang bersantap bersama istri dan para koleganya sesama postmodernist. Pelacakan melalui wawancara dengan para tersangka maupun dengan membacai surat2 Gnocchi kepada Lyotard, Baudrillard, Habermas, dan Jameson, serta dengan menonton rekanam kuliah terakhir Gnocchi, memaksa sang Inspektur untuk memahami postmodernism dari berbagai sudut pandang.

Tentu bukan karena tertular posmo maka kedua buku ini direview dalam satu artikel. Tapi — coba lihat kembali — memang gaya kedua buku ini kebetulan sama. Pemfiksian atau penovelan sesuatu, baik itu sebuah sejarah (September) atau sebuah perspektif/filsafat/genre (Profesor), dengan tidak meninggalkan deskripsi utama. Peristiwa 1965 digambarkan seperti aslinya, dengan nama pelaku dianagramkan (hey, I love that) dan tanggal2 digeser, serta teknologi Internet, seluler, jalan tol, dll sudah dimasukkan. Postmodernism diperikan melalui sudut pandang sesungguhnya dari mendiang Foucault, Lyotard, Baudrillard, Habermas, dll; dengan memfiksikan tokoh lain dan hubungan tokoh itu dengan Gnocchi (yang ini fiktif, sefiktif Darius).

Tapi tentu kesastrawanan Massardi belum mampu ditandingi oleh seorang Berger. Buku September mampu membuat aku mengagumi Noorca kembali, setelah sekian tahun nama itu aku lupakan. Sedangkan Berger? Ummm, kalau kita sempat baca Orient Express punya Agatha Christie, kita kelihatannya sudah bisa menebak pembunuhnya dari awal. Bedanya, yang betul2 membunuh memang berbeda. Karena ini bukan buku novel kriminal beneran. Pun penarasiannya rada kedodoran. Biar deh. Enak kok buat menikmati weekend :).

Satu Bulan AsiaBlogging

AsiaBlogging diluncurkan satu bulan lalu. Pada Hari-H, tidak ada acara resmi selain di blog. Ini acara blogging, anyway :). Hari itu aku memirsa AsiaBlogging sendirian di Dakken, via komunikator. Pertemuan non-virtual pertama baru terjadi minggu lalu, di Starbucks Ciwalk juga. Sebenarnya cuaca lagi nggak pas untuk kopi. Tapi Budi Putra pingin bernostalgia, dan Thomas belum pernah ikut mencobai Starbucks yang itu. So, jadilah kami sekali lagi bertemu di Ciwalk. Mudah2an berikutnya kita bisa lebih kreatif memilih tempat :).

Tepat pada Ulang Bulan ini, Blogfam Magazine memaparkan ulasan atas AsiaBlogging. Yang jadi victim untuk interview adalah Harry Sufehmi dan aku. Tapi kelihatannya kami berdua sama2 lagi overloaded, jadi Elsa sebagai penulis harus mempertaruhkan kesabarannya :). Maaf ya Elsa. Dan terima kasih.

bizet.jpg

Artikel 1: Blogging: Kita Semua Menjadi Aktivis
Artikel 2: Asia Blogging Network: Kerja sama dan Jaringan

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑