Tapi bukankah kita juga belum tahu, bagaimana hidayah itu akan
dianugerahkan kepada seorang manusia. Barangkali saja, musik yang
kita mainkan di depan kerbau itu justru akan membuka pintu
hidayah bagi sang kerbau sehingga ia mampu mengubah diri menjadi
manusia yang cerdas.
Jadi … mari kita main musik di depan kupu-kupu, di depan burung
kenari, di depan kucing bobo, di depan kerbau, di depan banteng.
Apa lah.
Abis itu dia nulis tulisan panjang, berjudul Siegfried #2.
Alter ego yang ini lucu juga, si West Faust, yang sudah hilang tahun 1999 lalu :).
Email dari West Faust 23/06/99 di is-lam@ :
Dr Faust, yang terus menatapi jalan-jalan kesesatan demi ambisi untuk
menemukan jalan kebenaran yang sempurna, walau dengan bantuan syaythan, kali ini terdiam.
Bagaimana aku bisa menatap dan memilah kesesatan, kalau aku masih boleh meragukan kebenaran di dalam diri ini, katanya. Sedang, yakin sepenuhnya pada keyakinan di dalam diri, barangkali, justru merupakan pencelaan yang menggerogoti kemutlakan kebenaran itu sendiri.
Bagaimana pun, hanya kasih Allah yang akan menolong.
Seorang sahabat saya pernah menyinggung nama Jalaluddin Rumi. Saya membalas dengan mencuplik salah satu kisah yang dibawakan Rumi :
“Seorang petani hendak membawa sekarung gandum dengan keledainya. Tetapi karung itu selalu meleset jatuh. Si petani merasa mendapatkan akal bagus. Diambilnya karung lain, dan diisinya dengan pasir, lalu diikatnya pada karung gandum, baru ditumpangkan pada keledainya. Karena seimbang,karungnya tidak jatuh lagi. Berangkatlah si petani dengan penuh bangga membawa keledainya.
Di jalan ia bertemu seorang darwis yang compang camping. “Apa yang kau bawa?”, tanya si darwis. Dengan bangga sang petani menceritakan apa yang dibawanya. Tapi kata sang darwis, “Itu ide yang bagus. Tetapi akan lebih bagus kalau kau membagi dua gandum itu, dan mengisinya ke dua karung. Dengan demikian, keledai itu tidak kelebihan beban, sementara karungnya tetap seimbang.”
Ah betul juga. Maka petani itu pun membuang pasirnya dan memindahkan gandumnya. Sambil bekerja, ia bertanya, “Kau sendiri, apa yang kau lakukan ?” Kata darwis: “Aku sedang memikirkan alam semesta ini.”
Petani itu menjadi merah marah. “Kau, dengan kepandaianmu, hanya kau gunaan untuk merenung. Tapi aku dengan kebodohanku, masih bisa bekerja mencari kehidupan untukku dan keluargaku. Pergilah kau, agar tidak menulariku dengan kehampaan hidupmu.”
Sungguh kita sering salah memandang apa yang seharusnya baik atau buruk buat kita. Kita memandang harta sebagai kebahagiaan. Ilmu sebagai ketinggian. Iman sebagai kemuliaan. Padahal iman, ilmu, dan harta, adalah rahmat dari Allah. Rahmat dari Allah buat bekal kita sebagai khalifah di atas muka bumi. Iman, ilmu, dan harta, lebih tepat kita pandang sebagai tanggung jawab, sebagai beban, alih-alih sebagai simbol kecemerlangan diri kita.
Email berusia 30 tahun, katanya. Penemunya juga ragu. Pokoknya, dia bilang, email diuji coba pada musim gugur tahun 1971. Berbeda dengan telegram dan telepon pertama yang dicatat tanggal dan jam dan pesan pertamanya, email pertama ini sama sekali tidak tercatat. Uji coba aja buat beberapa alamat, terus kirim pesan-pesan singkat ke alamat-alamat itu, kata si penemu. Trus dia bilang, mungkin pesan pertama bunyinya QWERTYUIOP. Baru di tahun 1972, tanda @ dipakai di email-email.
Jadi siapa sang penemu itu ? Buat menghargai semangat hidup dia, nama dia nggak usah kita catat juga deh :) :).
<Kilas balik tentang komputer sebagai toolbox di telekomunikasi>
Waktu akhirnya perusahaan memberikan pengakuan prestasi, sebenernya itu bukan karena softwarenya, tapi proses kerja yang udah dibentuk, dengan a.l. software itu. Aku juga nggak terlalu menghargai penghargaan perusahaan. Apa yang aku peroleh dari temen-temen selama pengembangan proses kerja itu jauh lebih berharga. Produktivitas bikin sofware terus turun. Aku pikir udah nggak lucu sih. Aku kan bukan orang komputer juga, nggak bakal maju di IT juga. Jadi balik ke teknologi komunikasi lagi. Bikin society baru lagi. Bisa nggak ya?
<Kilas balik tentang komputer sebagai toolbox di telekomunikasi>
Software trafik, billing, dll itu nggak pernah ?dikomersialin?. Kalau ada yang minta, kasih aja, termasuk source-nya, kalau mau. Tapi nggak semua orang bisa baca source dalam C sambil senyum. Mereka lebih suka ngundang programmer aslinya untuk modifikasi software buat keperluan mereka. Akhirnya dimulailah perjalanan keliling Jawa-Sumatera (kawasan yang ada sentral Lucent-nya) beberapa tahun.
Lama-lama penasaran juga sama isi perutnya Lucent. Jadi akhirnya daftar ikutan training juga. Nah, temen-temen di training-center pada protes: ?expert kok ikutan training?. Duh, cepet amat jadi ?expert?. Orang-orang ngebayanginnya, orang network yang softwarenya dipakai di semua switch Lucent di Indonesia, dan sering ngasih pelatihan, pastilah expert. Hmmm, sebenernya bukan pelatihan sih, tapi cuman menjelaskan konsep traffic engineering sama implementasinya dalam software jadi orang bisa memakai dan memodifikasi software itu.
<Kilas balik tentang komputer sebagai toolbox di telekomunikasi>
Kayak sarjana Indonesia lainnya, aku masuk lapangan kerja sambil rada gagap. Beda sekali apa yang ada di medan kerja dengan di lab kampus. Dan rekan-rekan yang umumnya jauh lebih tua itu nggak terlalu bisa mengadaptasikan orang baru. Sibuk saling berkompetisi.
Ada dua tipe switching di Bandung waktu itu, Siemens dan Lucent. Siemens udah dikuasai sekali, dan udah jadi lahan kompetisi, tapi Lucent masih cukup baru. Sentral Lucent agak diabaikan, soalnya pelanggannya lebih sedikit. Di network juga Lucent belum disentuh. Jadi aku pindahin tempat kerja aku ke Lucent. Sekedar belajar, bantu-bantu, dan memulai membuat program-program pengolahan data Lucent biar setara dengan Siemens yang sudah 10 tahun lebih dulu. Nggak susah, soalnya modelnya bisa disamakan dengan Siemens. Tapi nggak mudah juga. Pertama, nggak ada algoritma buat kalkulasi formula (yang akhirnya terpecahkan a.l. dengan mimpi segala). Kedua, data yang tersedia nggak kompatibel.
Betah lama-lama. Apalagi kalau bos di network lagi galak, ngabur aja ke sentral Lucent, bikin program, sambil chatting sama orang-orang galak di Lucent (hehe, temen galak lebih menarik daripada bos galak). Hobby bikin program juga dimanfaatkan temen-temen di sentral buat bantu mereka bikin pengolahan otomatis data berjumlah besar, kayak verifikasi billing. Namanya hobby, jalan aja. Akhir cerita, pengendalian network bisa total, soalnya semua macam switch sudah bisa diolah, trus orang sentral Lucent juga nggak pusing sama urusan manual network, trus punya banyak temen yang ramah juga. Nice start.
Computer Society mengundang masuk lagi. Tergoda nggak ya? Tapi $35 cukup gede juga. Dan aku selama ini merasa jadi computer user aja, bukan profesional.
Memang sih, aku kerja selalu dengan komputer, sebagai toolbox. Different toolbox, menurut istilah Feynman, yang membuat kita bisa memecahkan masalah yang tidak bisa dipecahkan orang lain.