Petani dan Darwis

Email dari Neko The Cruiser 16/05/99 di is-lam@

Seorang sahabat saya pernah menyinggung nama Jalaluddin Rumi. Saya membalas dengan mencuplik salah satu kisah yang dibawakan Rumi :

“Seorang petani hendak membawa sekarung gandum dengan keledainya. Tetapi karung itu selalu meleset jatuh. Si petani merasa mendapatkan akal bagus. Diambilnya karung lain, dan diisinya dengan pasir, lalu diikatnya pada karung gandum, baru ditumpangkan pada keledainya. Karena seimbang,karungnya tidak jatuh lagi. Berangkatlah si petani dengan penuh bangga membawa keledainya.

Di jalan ia bertemu seorang darwis yang compang camping. “Apa yang kau bawa?”, tanya si darwis. Dengan bangga sang petani menceritakan apa yang dibawanya. Tapi kata sang darwis, “Itu ide yang bagus. Tetapi akan lebih bagus kalau kau membagi dua gandum itu, dan mengisinya ke dua karung. Dengan demikian, keledai itu tidak kelebihan beban, sementara karungnya tetap seimbang.”

Ah betul juga. Maka petani itu pun membuang pasirnya dan memindahkan gandumnya. Sambil bekerja, ia bertanya, “Kau sendiri, apa yang kau lakukan ?” Kata darwis: “Aku sedang memikirkan alam semesta ini.”

Petani itu menjadi merah marah. “Kau, dengan kepandaianmu, hanya kau gunaan untuk merenung. Tapi aku dengan kebodohanku, masih bisa bekerja mencari kehidupan untukku dan keluargaku. Pergilah kau, agar tidak menulariku dengan kehampaan hidupmu.”

Sungguh kita sering salah memandang apa yang seharusnya baik atau buruk buat kita. Kita memandang harta sebagai kebahagiaan. Ilmu sebagai ketinggian. Iman sebagai kemuliaan. Padahal iman, ilmu, dan harta, adalah rahmat dari Allah. Rahmat dari Allah buat bekal kita sebagai khalifah di atas muka bumi. Iman, ilmu, dan harta, lebih tepat kita pandang sebagai tanggung jawab, sebagai beban, alih-alih sebagai simbol kecemerlangan diri kita.