Page 101 of 210

86651370

Tokoh-tokoh Kundera, seperti kehidupan nyata, bukanlah tokoh yang suci,
atau yang memiliki sifat kepahlawanan. Kalaupun Tomas menulis artikel
yang menohok orang komunis dan para penjilatnya, itu karena dia terus
terobsesi oleh ide itu. Dan kalaupun Tomas tidak mau menulis permintaan
maaf serta bersumpah setia pada Soviet, itu karena dia merasa setiap
orang bakal memberinya senyum kepalsuan. Tomas menikahi Tereza karena
Tereza bersifat memaksa pada awalnya. Dan waktu Tereza kembali dari
tempat pelarian di Zurich ke Praha, Tomas menyusulnya karena hatinya tidak
merasa tenang, bukan karena romantisme.

Tereza memang selalu membayangkan Tomas sebagai intelektual yang acuh pada
keluarganya, sementara ia mati-matian memperhatikan Tomas. Baru di akhir
buku, Tereza menyadari bawa Tomas mengorbankan karirnya sebagai dokter
bedah terkemuka di Zurich, kembali ke Praha untuk terpaksa mundur dan menjadi
pembersih jendela (dia menikmatinya untuk alasan yang salah, btw), lalu akhirnya
mengikuti Tereza lagi mengasingkan diri ke desa kecil menjadi sopir traktor.
Baru dia sadar bahwa kasih sayang adalah hal yang lebih besar daripada sekedar
romantisme. Regarder ensemble dans la même direction? Nunggu
sampai hampir akhir hayat :)

86651365

Abis tertunda lagi, akhirnya berhasil ditamatin juga buku Milan Kundera
ini, The Unbearable Lighness of Being in Bahasa Indonesia.
Menarik. Kalau nggak, aku nggak bakal repot-repot baca sampai tamat.
Alur waktunya maju mundur seenak penulis. Dan untuk efek yang lebih dramatis,
aku bacanya juga maju mundur seenaknya.

Ceritanya apaan sih?

Ceritanya nggak penting, sebenernya. Soalnya kayaknya Kundera lebih suka
mentransferkan nuansa-nuansa ide, baik nuansa dengan huruf biasa, huruf
miring, maupun huruf tebal. Huruf tebal? Yup, maksudnya bukan sekedar
nuansa, tapi bener-bener paradoks ide-ide dari sebuah fakta yang sama.

Misalnya apa ya … Ugh … Misalnya waktu tokoh Sabina sedang bersama
para mahasiswa Perancis berpawai menentang invasi Russia ke Ceko. Tangan
dikepalkan, slogan dikumandangkan mengutuk imperialisme Soviet. Tapi
Sabina sungguh terkejut, mendapati bahwa ia justru sedang berada di dalam
apa yang selama ini dimusuhinya dari para imperialis, baik fasisme maupun
komunisme, yaitu kejahatan yang merembes yang tergambarkan dalam bentuk
pawai dan barisan dengan kepalan tangan dan slogan-slogan.

Mengingatkanku sama sebuah pertanyaan sekitar tahun lalu: Kok pasukan
GAM juga bikin upacara bendera?

86589865

Wow, Blogger menghilangkan archive. It’s OK, data masih kelihatan di tempatnya kok. Ntar juga dibenerin.

Seandainya pun Blogger menghilangkan semua data, kan masih tersimpan di site. Kecuali, kalau kita pakai Blogspot.

Hmmm … P nomor 1: Backup. P nomor 2: Diverse.

Lima Belas Derajat

Beberapa hari abis diskusi itu, aku dapat e-mail. Isinya kira-kira kayak gini:

«Mas Koen lebih pantas jadi Nietzsche daripada jadi Foucault, soalnya Mas Koen lebih pantas menghadapi kematian sambil menertawai orang, daripada menghadapi kematian sambil ditangisi orang.»

Dunia rasanya jadi rada bergeser … sekitar 15 derajat.

86510861

Ngobrol berlarut-larut — nggak keren amat. Ganti aja namanya jadi serial diskusi bipartit multitematik. Hmm, segala akhiran dipakai: -al, -it, -ik.
Pernah terjebak dalam tema kayak gini berhari-hari, dari soal filsafat berat kayak Calvin & Hobbes (which, as you have recognised presently, are not referred to John Calvin of Geneva and Thomas Hobbes), sampai yang lucu-lucu kayak Nietzsche dan Foucault. Trus «Kok nggak pada happy ending ya. Nietzsche mati sebagai orang gila, Foucault mati kena AIDS. Aku pantesnya jadi Nietzsche apa Foucault?»

Dengan keisengan kayak gitu, diskusi ditutup.

Keluar Agama Allah

Nashruddin dikenai tuduhan. Penguasa menghukumnya dengan lima puluh cambukan. Setelah hukuman itu selesai, sang penguasa berteriak pada Nashruddin: «Sekarang pergilah dari sini, hai kafir!»

Masih kesakitan, Nashruddin menukas: «Aku bukan orang kafir. Aku hafal Al-Quran.»

«Coba tunjukkan ayat yang kau ketahui.» si penguasa memerintahkan.

Nashruddin diam, lalu berucap: «Sesuai dengan namaku, aku akan membacakan An-Nashr: Dengan nama Allâh yang Pengasih dan Penyayang. Bila telah datang pertolongan Allâh dan kemenangan, dan kamu menyaksikan manusia berbondong-bondong keluar agama Allâh, bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, dan mohonlah ampunan pada-Nya. Sesungguhnya Ia Maha Penerima Taubat.»

Si penguasa semakin marah: «Kamu pengacau. Bukan keluar (yakhrujuna), tapi masuk (yadkhuluna).»

Nashruddin pun menjawab: «Teks yang asli memang demikian. Tapi sekarang mereka keluar lagi akibat kepemimpinan Anda.»

86387200

Kalau masalahnya pada soal ketidaktahuan, kenapa ketidaktahuan selalu
dipakai untuk pembelaan, bukan instrospeksi. Kenapa, misalnya orang seperti
Pramudya, yang dulu sibuk memberangus karya orang lain, lengkap dengan
pembunuhan karakter atas penulisnya, lalu mengaku tidak berdosa
karena hanya menjalankan kata hati yang mengalir bersama retorika massa,
akhirnya tetap dianggap pahlawan?

Orang bodoh, seandainya pun dianiaya secara kejam oleh orang bodoh
lainnya, tidak berarti secara otomatis kehilangan kebodohannya. Tidak mungkin.
Kehilangan kebodohan adalah soal lain, tidak pernah otomatis, dan selalu
memerlukan kegiatan untuk mengubah diri sendiri. Tapi apakah orang seperti
Pramudya pernah menunjukkan penyesalan sikap? Tidak pernah, selain selalu
dan selalu membanggakan dedikasinya sendiri. Dedikasi dalam
pengakuan kelompoknya sendiri.

Aku nggak lagi mikirin Pramudya sebenernya. Kebeneran aja nama itu
masuk mendadak. Aku lagi mikirin orang-orang yang menjalankan masyarakat
ini, masa lalu, masa kini. Orang-orang yang tidak pernah salah :).

Sekali lagi: kalau masalahnya soal ketidaktahuan, kenapa ketidaktahuan
selalu jadi pembelaan, bukan introspeksi. Kenapa bukan waktu berkuasa
kita berendah diri, mengakui bahwa kita mungkin salah, mencoba selalu
mendengarkan pendapat yang berbeda. Dan membuang semua kesombongan
dan tinggi hati?

Mungkinkah kita juga akan terjebak kesalahan yang sama?

Kriminal Bodoh

Kundera menulis: Jika orang berpikir bahwa rezim komunis di Eropa adalah hasil karya kriminal besar; maka ia sebenarnya mengabaikan fakta bahwa rezim kriminal yang manapun tidak diciptakan oleh para kriminal itu sendiri, melainkan oleh para pengagum dan pendukung yang merasa telah menemukan jalan kebenaran. Penuh semangat, disertai semangat merusak.

Waktu rezim jatuh, para pendukung dipersalahkan: Anda penyebab semua kerusakan pada negeri ini. Tapi para tertuduh itu punya jawaban: «Kami tidak tahu. Kami ditipu. Kami hanya orang yang punya dedikasi.»

Orang-orang PNI, PKI, Golkar, PDI, ABRI, PKB, apa saja: Benarkan mereka tidak tahu atau hanya dibuat percaya?

Menurut Tomas, tokoh dalam cerita Kundera The Unbearable Lightness of Being itu, persoalannya adalah: Apakah penguasa bodoh dan orang-orang bodoh dapat lepas dari tanggung jawab hanya karena mereka bodoh?

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑