Category: Wagner (Page 2 of 4)

Alfred Wight

James Alfred Wight sering disebut orang sebagai dokter hewan asal Skotlandia yang berpraktek di Inggris. Sebenarnya, Alf adalah orang Inggris, lahir di Inggris, dan memiliki orang tua Inggris. Ia lahir di Sunderland, Inggris Utara, lalu tumbuh di Glasgow, Skotlandia, hingga lulus kuliah. Tidak terlalu brilian, kata dosennya, tetapi memiliki daya juang luar biasa.

alfwight.jpgAlf lulus menjelang PD II, saat ekonomi tak terlalu baik, dan dunia peternakan sedang kolaps. Banyak dokter hewan menganggur dan terpaksa menawarkan diri bekerja sekedar bertahan hidup. Tapi ia beruntung. Donald Sinclair, seorang dokter hewan yang eksentrik dari Thirsk, York, secara tergesa menerimanya sebagai asisten, karena beberapa hari kemudian ia ke RAF untuk menjadi penerbang sukarelawan. Donald tak lama di RAF, dipulangkan karena terlalu tua :). Berpraktek berdua, ia merasa memerlukan mobil tambahan, dan membeli mobil bekas di Glasgow. Alf diminta mengambil mobil itu, sekaligus menjemput adik Donald: Brian Sinclair. Brian juga eksentrik, tapi di sisi yang berlawanan dengan Donald. Ia nyaris tak pernah menseriusi apa pun dalam hidupnya. Bertiga, mereka mengarungi ketradisionalan dunia peternakan di Yorkshire, dalam hidup yang sangat berat namun sekaligus sangat indah.

Alf, barangkali adalah contoh Wagnerian yang membumi. Masa mudanya dihabiskan untuk hidup di lapangan, di lumpur, di salju, di ujung tanduk sapi, kaki kuda, lubang kotoran babi. Sekaligus ia mencoba menikmati hidup dengan musik yang indah, dengan perjalanan ke kota kecil bertoko buku serta ke lereng2 bukit, dan dengan bacaan yang menantang intelektualism. Sekian puluh tahun bekerja, ia baru sadar bahwa yang ia kumpulkan tak lebih dari £20. Pun di masa itu, nilai ini sungguh mengenaskan untuk orang yang bekerja keras hingga malam dan kadang menembus batas akhir pekan, selama puluhan tahun.

Maka ia memutuskan untuk menulis sebuah buku. Itu Inggris akhir tahun 1960an, bukan masa kini dimana setiap detik terbit sebuah teenlit. Perlu beberapa tahun dan beberapa revisi mayor untuk membuat buku semi biografi itu dapat diterbitkan. Juga, mengikuti kode etik RCVS dan BVA yang melarang setiap dokter hewan melakukan reklame, maka ia mengubah nama2 tokoh dan tempat di bukunya. Kota Thirsk menjadi Darrowby. 23 Kirkgate menjadi Skeldale House. Ia sendiri mengambil nama James Herriot. Dan dua orang unik yang menjadi sentral cerita, Donald dan Brian, diberinya nama dari dua tokoh opera Wagner yang tentu saja powerful tetapi memiliki karakteristik yang berbeda: Siegfried dan Tristan.

If Only They Could Talk. Buku itu segera menjadi bestseller, dan tak lama menembus pasar Amerika. Bestseller selama berbulan-bulan, buku ini menjadi fenomena tersendiri. Daerah Yorkshire — yang tadinya terasing dari orang asing — menjadi salah satu tujuan favorit wisata orang Amerika. Bidang kedokteran hewan kebanjiran peminat dari kalangan mahasiswa baru. Sekuel kisah James Herriot ditulis hingga tahun 1980an, hingga Alf mendapatkan penghargaan OBE dari Ratu Inggris (penghargaan yang juga diperoleh Stephen Hawking, Wagnerian yang lain). Alf juga menjadi anggota kehormatan RCVS dan BVA, atas jasanya meningkatkan apresiasi masyarakat atas dunia kedokteran hewan.

Gramedia sempat menerbitkan terjemahan buku ALf pada tahun 1976. Seandainya Mereka Bisa Bicara. Sayangnya, penerbit ini tidak berminat menerbitkan sekuelnya. Entah kenapa. Kalau kekurangan tenaga penerjemah, aku lebih dari bersedia kok.

OK, udahan deh sekuel tentang para Wagnerian. Masih banyak sih Wagnerian lain. Nietzsche misalnya. Tapi udah dulu deh. Kalau doyan Wagner, bergabung aja ke friendster.com/wagnerian.

Bernard Shaw

The Perfect Wagnerite: A Commentary on the Niblung’s Ring — adalah interpretasi oleh Bernard Shaw atas karya terbesar Wagner, Der Ring des Nibelungen. Shaw menyusun tulisan ini bagi para penggemar Wagner yang tidak dapat mengikuti ide2nya, dan bahkan tak dapat memahami dilema Wotan.

“The reason is that its dramatic moments lie quite outside the consciousness of people whose joys and sorrows are all domestic and personal, and whose religions and political ideas are purely conventional and superstitious. Only those of wider consciousness can follow it breathlessly, seeing in it the whole tragedy of human history and the whole horror of the dilemmas from which the world is shrinking today.”

Tulisan ini disusun waktu Shaw berada di Fabian Society, sebuah organisasi yang didirikannya bersama beberapa rekannya, dengan tujuan mengubah Inggris menjadi negara sosialis melalui legislasi sistematis dan pendidikan masyarakat. Fabian Society ini konon memiliki pengaruh dalam pembentukan baik London School of Economics (LSE) dan Partai Buruh.

Shaw sendiri, biarpun dikagumi karena kecerdasan sekaligus kesinisannya, sering dimaki sebagai tidak jelas. Beberapa opininya membuat orang berprasangka bahwa ia memiliki simpati pada Stalin dan sekaligus Hitler dan sekaligus IRA. Kalau ini kurang ribet, ia juga pengagum Muhammad (saw). Katanya tentang Muhammad (saw): “He must be called the Savior of Humanity. I believe that if a man like him were to assume the dictatorship of the modern world, he would succeed in solving its problems in a way that would bring it much needed peace and happiness.”

Bernard Shaw sendiri lahir di Dublin (Irlandia, wilayah katolik) dari keluarga Protestan Skotlandia. Kemudian ia pindah ke London, meniti karir jurnalistik sambil menulis novel dan kemudian drama. PD I disebut Shaw sebagai bangkrutnya kapitalisme, yang dianggap merupakan erang nafas terakhir dari imperialisme abad ke-19. Saat ini lah ia mulai disebut2 sebagai “pengkhianat” :).

Namun justru kemudian ia memperoleh Nobel Sastra 1925, untuk dramanya “Saint Joan.” Mungkin kita ingat bahwa tokoh cerita ini, yaitu Joan of Arc, adalah pahlawan Perancis yang akhirnya dihukum bakar oleh orang2 Inggris. Aku beberapa kali pingi nulis soal Joan, tapi belum mulai2 juga :). Shaw juga memperoleh Academy Award di tahun 1938 untuk Best Screenplay untuk “Pygmalion.” Hingga kini, ia satu2nya orang yang memperoleh kedua penghargaan itu sekaligus.

Shaw meninggal tahun 1950, karena jatuh dari tangga. Bukan, ini bukan kiasan.

Stephen Hawking

Stephen Hawking punya web: hawking.org.uk. Di situ Rosie Waterhouse menanyai sang profesor: “What sort of music do you like and why?” Hawking menjawab, “I mainly listen to classical music: Wagner, Brahms, Mahler etc., but I like pop as well. What I want is music with character.” Di salah satu bukunya, Hawking juga bercerita tentang Wagner. Khususnya Die Walkure. Ini, dia bilang, adalah musik yang paling gelap sekaligus paling megah.

Saat wawancara oleh Larry King, Hawking mengatakan: “It was in 1963 that I first developed an interest in Wagner. I had just been diagnosed as having ALS, and given a distinct impression I didn’t have long to live. I regarded Wagner as music that was dark enough for my mood. My mother bought me tickets to go to the Wagner festival at Bayreuth. It was magic. His personal use and conduct were pretty objectionable. But his music, though sometimes pompous and long-winded, reaches a level no one else does.”

Hawking adalah Lucasian Professor of Mathematicks di Cambridge. Ini barangkali jabatan paling bergengsi di dunia akademis :), yang pernah diduduki a.l. Paul Dirac, Charles Babbage, dan Isaac Newton. Pada salah satu episode Star Trek, Lt Commander Data menjadi android pertama yang menduduki posisi ini. Hawking mendalami fisika teoretis, khususnya kosmologi dan gravitasi kuantum. Dan tentang ini kita tidak bisa menulis di satu artikel singkat, tapi harus satu website tersendiri :). Ia jadi selebriti setelah bukunya, A Brief History of Time, yang ditujukan bagi pembaca awam itu, terus menerus menjadi best seller di seluruh dunia. Kemudian ia menulis lagi The Universe in a Nutshell.

“If we do discover a complete theory of the universe, it should in time be understandable in broad principle by everyone, not just a few scientists. Then we shall all — philosophers, scientists and just ordinary people — be able to take part in the discussion of why it is that we and the universe exist. If we find the answer to that, it would be the ultimate triumph of human reason. For then, we would know the mind of God.”

Hawking masih tinggal di Cambridge. Dan entah sengaja atau tidak, suka menunjukkan bahwa dirinya tidak powerless. Bercerai dengan istrinya, dan langsung menikah lagi (pada saat ia tak dapat lagi bergerak — bicara pun harus dengan pensintesa suara). Bertaruh dengan Kipp Thorne tentang singularitas, dengan taruhan majalah sekelas Penthouse. Menyatakan diri tidak memerlukan Tuhan — mungkin sekaligus menyindir bahwa orang suka dekat2 Tuhan kalau sedang dalam kekurangan dan kelemahan.

King: What is that inner thing that keeps you going?
Hawking: Curiosity

Edward Said

Putus asa aku mengamati jadwalku, malam itu, sekitar 5 tahun lalu. Nggak ada harapan untuk melihat presentasi Edward Said di Warwick University — hanya 15 menit jalan kaki dari kamarku. Sedih, hmm. Tapi aku kasih tahu ke beberapa teman, barangkali mereka berminat datang. Reaksi Adnan khas sekali: siapa itu Edward Said? Dan Khaldoun harus menjelaskan ke dia, sambil aku fade off.

Edward Said, selalu membuat aku berpikir tentang keterasingan. Seperti aku yang nggak pernah diterima dalam komunitas sukuistis di mana pun, terutama Jawa dan Sunda. Said tidak pernah merasa at home di negeri mana pun. Keluarga Palestina, tumbuh di Mesir, dan akhirnya tinggal dan menjadi profesor di Columbia, AS. Punya nama depan yang diambil dari nama pangeran Inggris, serta nama keluarga yang Arab nian, makin mengokohkan keterasingannya.

Di AS, Said tak pernah melupakan Palestina. Sebagai cendekiawan kelas dunia, ia terus menyuarakan keprihatinan atas Palestina. Bahkan ia sempat duduk di Dewan Nasional Palestina. Cita2nya bukanlah menghabisi orang Yahudi, tetapi melumpuhkan kekuatan militer Israel dan mendirikan negara demokratis non apartheid non rasialis di bumi Palestina, berisikan orang2 Yahudi, Kristen, Islam, dan agama mana pun. Sikap itu makin mengokohkan keasingan Said. Orang2 zionist menudingnya sebagai musuh berbahaya yang berhasil menyusup di tengah kaum cendekia Amerika, dan cenderung menggagalkan upaya misinformasi internasional mereka. Sementara orang2 Arab memakinya karena ia tak hendak mengusir orang Yahudi.

Said dipecat Arafat dari Dewan Nasional Palestina, karena sikapnya menolak perjanjian damai Oslo. Kenapa orang seperti Said menolak inisiatif damai? Said yakin, ini penipuan. Arafat tidak membaca seluruh naskah, selain beberapa pasal yang mengamankan posisi dirinya sendiri; dan ia dikelilingi veteran perang yang tak paham hukum serta tak mahir berbahasa Inggris. Setelah perjanjian, Arafat baru sadar bahwa tak satu pasal pun yang menyatakan adanya negara Palestina yang diakui.

Setelah kemenangan Hizbullah memaksa mundur pasukan Israel di Libanon Selatan, Israel membuat buffer berupa lahan kosong belasan kilo sebagai zona pengaman antara Israel dengan Libanon. Orang Arab suka melempar batu ke arah Israel. Tentu itu simbolis. Tak ada orang atau bangunan apa pun yang bisa kena. Tapi waktu Said berkunjung ke sana, ia becanda dengan beberapa pemuda, dan berlomba melempar batu sejauh mungkin. Foto Said sedang melempar itu dipasang sebagai headline di media-media AS, dengan seruan untuk memecat Said dari Columbia serta mengusirnya. Pimpinan Columbia University acuh.

Selama insiden itu, Said sedang mempersiapkan paparan di Lembaga Freud di Wina. Akibat ancaman orang2 zionist, pimpinan lembaga membatalkan paparan itu. Namun akhirnya Said diundang untuk memaparkan tulisannya itu di London, 2003. Temanya, sekali lagi, tentang keterasingan: Freud dan orang-orang bukan Eropa. Hal2 yang Said paparkan mungkin memang bikin marah orang Israel, yang akhir2 ini tengah mencari bukti2 arkeologis untuk memvalidasi keberadaan entitas itu di bumi Palestina. Said justu memaparkan bahwa konsep monotheisme orang Yahudi diambil Musa dari orang2 Mesir, bukan dari tradisi Ibrahim hingga Yusuf yang sementara itu sudah hilang. Nama tuhan sendiri, Yahweh, diambil para pengikut Musa itu dari suku Arab Midian di sekitar Sinai.

Said sendiri mempunyai beberapa sahabat Yahudi. Daniel Barenboim, salah satunya. Barenboim tak kalah asingnya :). Dia adalah minoritas conductor Yahudi yang gemar memainkan simfoni dan bahkan opera-opera Wagner, saat di Israel segala musik Wagner diharamkan oleh parlemen. Barenboim dan Said sempat membuat perbincangan panjang tentang Wagner, dan sempat membukukannya: Parallels and Paradoxes.

Said meninggal tahun 2003. Leukemia. Bukunya yang terakhir adalah On Late Style. Biografinya berjudul Out of Place. Asing.

Agustus

Di Bayreuth, Jerman, festival tahunan Wagner sudah dimulai. Tentunya Wagnerian berbahasa Indonesia itu makhluk langka; jadi aku nggak akan mulai membahas di weblog berbahasa Indonesia ini bagaimana cara memperoleh tiket, yang bisa memakan waktu tujuh tahun itu :). Alih2, aku mau iseng menulis tentang para pecinta musik Wagner.

Alf Wight tentu, a.k.a. James Herriot, yang memperkenalkan Wagner ke aku. Dan George Bernard Shaw, yang memperkenalkan Wagner ke Wight. Dan Stephen Hawking. Dan Nietzsche, tapi yang ini terlalu kuno. Dan tentu Edward Said. Pecinta musik Wagner, btw, tak selalu mencintai pribadi Wagner. Khususnya kelakuan Wagner yang anti yahudi, dan terang2an. Tapi itu cuman salah pengertian. Semasa hidupnya, Wagner cuma mengira bahwa Yahudi itu kaum rentenir dan bergaya exclusive. Dia waktu itu belum tahu bahwa orang-orang Yahudi itu, begitu berkuasa atas sebuah entitas polisi dunia, tega melakukan genocide juga.

Temen2 yang masih muda itu ribut soal serbuan atas Libanon. Tapi aku belajar nonton TV waktu PM Israel masih Menachem Begin dan Ariel Sharon masih Menhan dan nama-nama Shabra, Shatilla, Burj-al-Barajneh terdengar setiap hari. Dan kekejaman rezim Israel itu udah sama niscayanya dengan terbitnya matahari pagi. Tapi orang Islam, seperti biasa, cuman bisa menikmati jadi umat terjepit. Pimpinan Arab memarahi milisi Hizbullah yang lebih dulu memprovokasi Israel. Pusing mereka. Mau netral, tapi Israel jelas kejam. Mau bantuin secara militer, tapi mereka udah kehilangan kepercayaan pada kekuatan kaum Syiah (suka jadi musuh dalam selimut).

Dan ketidakjelasan kemauan orang-orang Islam itu masih sama niscayanya dengan terjadinya gempa di Indonesia. I mean, orang Indonesia tidak punya hak berdoa agar tidak terjadi gempa. Indonesia sendiri dibentuk oleh tekukan di batas lempeng. Kalau mereka tidak saling bersitekuk, kepulauan bernama Indonesia ini tidak pernah terbentuk. Dan begitu kepulauannya jadi, mendukung kehidupan, nenek moyang kita masuk, trus minta: ya udah, berhenti donk. Bumi bergerak mengikuti sebuah hukum yang ditetapkan Allah juga, bukan mengikuti kemauan kita. Dan ancaman buat kita bukan saja di lempeng benua yang masih asyik bergerak, tetapi juga di dalamnya lagi, di mana logam2 panas dan cair itu masih lincah bergerak.

Logam cair itu yang membuat bumi punya kemagnetan, yang turut mendukung kehidupan di atasnya. Tapi cairnya logam itu membuat kemagnetan juga bergeser — bisa lambat tapi juga bisa cepat. Dan kalau dia bergeser rada cepat, kehidupan kita semua juga terancam.

OK, kalau ada waktu luang, aku akan mulai menulis. Dan di Bayrouth, Libanon, rudal2 Israel masih membunuhi anak2 manis itu tanpa ampun.

Demikian, bulan Agustus.

Parsifal

Betul, Parsifal. Akhirnya punya juga excerpt opera Wagner yang ini, sekian belas tahun abis CD Wagnerku yang pertama :). So, ini adalah opera Wagner yang terakhir. Kecuali kalau Wagner punya semacam unfinished opera ;).
Kalau kita membayangkan Wagner identik dengan Der Ring, atau Tristan, kita akan mendapatkan kejutan yang lain. Kesederhanaan. Keseluruhan opera ini terdiri dari beberapa variasi ide saja. Kalau misalnya dalam Der Ring, citra musikal Wotan begitu kontras misalnya dengan Fricka. Dalam Parsifal, citra-citra ini hambur. Kabur. Tak jelas misalnya mana tema Kundry dan mana tema Klingsor. Tokoh2 ini jadi berpadu secara musik, bukan dikontraskan.
Buat yang baru kenal Wagner, fyi: Wagner gemar mengambil sekumpulan nada tertentu dikaitkan dengan tokoh atau ide tertentu, dan dinamakan motif. Nah, dalam Parsifal, motif dimainkan dalam bentuk musik, dan baru kemudian nantinya dalam bentuk vokal. Ide2 yang baru berkembang pun ditampilkan dulu dalam interlude yang di opera ini dinamai transformation music. Bentuk lengkap, atau bentuk panjang, dari sebuah motif diberikan setelah kita disuruh mendengar fragmen-fragmennya dulu sebelumnya.

Versi yang baru dibeli ini dimainkan oleh The Metropolitan Opera Orchestra and Chorus, dipimpin James Levine. Dulu aku nggak mau ambil, soalnya Amrik. Dan Amrik biasanya encer, nggak Wagner banget. Cerita Parsifal, secara umum, adalah potongan dari kisah panjang tentang Holy Grail. Ah, itu lagi :).

Visualisasi Wagnerian

Kayaknya perlu dijadwalkan untuk mencuri buku ini entah dari mana: karya2 visual para seniman yang diilhami Wagner.

Mungkin seharusnya bukan ilham, tapi semacam resonansi. Implikasinya lebih luas, kan? Cita rasa Wagner bisa berarti Schopenhauer, tapi bakal bisa jadi Nietzsche juga, kalau fokusnya pada filsafat. Dan biarpun musiknya digolongkan ke madzhab romantisisme, bukan berarti resonansinya juga ke senu rupa gaya romantik. Bisa juga ke impressionisme (Renoir), simbolisme (Redon), ekspresionisme, hingga surrealisme Dali.

Hmm, masih menarik membahas soal2 gini. Tapi, kayak biasa, time out lagi. Waktu luang bener langka :). Kesimpulannya, buku ini bener2 layak dicuri, kecuali ada kesempatan buat beli :).

Barenboim

Daniel Barenboim, musikus kelahiran Argentina yang memiliki dua paspor: Argentina dan Israel. Ia General Music Director dari Deutsche Staatsoper Berlin, dan juga menjadi conductor dari Bayreuth Festpielle sejak 1981. Walau secara umum ia merasa tak terusik hidup di negara yang diemohi kaum Yahudi, tapi kadang ada usikan juga. Tokoh politik Jerman seperti Klaus Landowsky dari CDU masih mencapnya sebagai Jew Barenboim: “On one hand, you have young Karajan, Christian Thielemann. On the other, you have the Jew Barenboim.” Barenboim secara enteng cuman menganggap politikus itu nggak ngerti soal keyahudian. Namanya juga politikus.

Sebagai conductor di Bayreuth, tentu Daniel kita lekat dengan Wagner. Kita boleh curiga bahwa cerita tentang Daniel ini kita tulis di sini karena berkaitan dengan Wagner, haha :). OK, jadi pada pertengahan 2001, Barenboim melakukan konser keliling yang antara lain dilakukan di Yerusalem. Barenboim berencana memainkan komposisi Die Walküre yang sungguh membangkitkan inspirasi itu. Tapi pimpinan Israel Festival memintanya mengurungkan rencananya. Jadi Barenboim mengganti bagian itu dengan komposisi dari Schumann dan kemudian Stravinsky. Namun setelah Stravinsky, Barenboim menyempatkan diri berbincang dengan pengunjung, menanyakan apakah tidak berkeberatan jika ia memainkan cuplikan dari Tristan & Isolde. Sebagian pengunjung setuju, tapi banyak juga yang menolak. Maka Barenboim menyatakan bahwa ia akan memainkannya, dan memberi waktu kepada yang tidak suka untuk meninggalkan hall. Sebagian penonton benar-benar keluar, dan barulah kemudian dari ruang itu mengalun melodi indah dari Tristan & Isolde. Tanpa keributan, malam itu.

Peristiwa itu kemudian menjadi isu besar, sampai didiskusikan serius di Knesset, parlemen Israel, seperti yang pernah aku tulis di site ini tahun 2001 dulu. Komite budaya Knesset meminta agar Barenboim diboikot.

Tahun 2002, filsuf Edward Said bercerita bahwa delapan tahun sebelumnya (so: 1994?) Barenboim pernah memainkan Tristan & Isolde dengan anggunnya, sehingga musiknya masih terus terdengar dan terngiang. “I can’t stop hearing that searingly romantic and audacious sound constantly; it’s almost driving me crazy,” ucapnya kepada Barenboim. Lalu mereka berdiskusi panjang soal Tristan. Dan mereka menerbitkan buku bersama, “Parallels and Paradoxes.”

Tristan, dan sebenarnya jua Die Walküre memang punya kemampuan mengesankan untuk bertahan di memori untuk kemudian bangkit dalam suara yang sungguh nyata dan presisi dari memori kita. Di suatu malam di Ibis Montmartre (1995), aku bisa mendengarkan Tristan dari sound system imajiner; dan sempat membuat hati tergetar. Sampai sekarang, bagian Liebestod dari Tristan suka terdengar di saat hati terasa sepi. Kayak sekarang juga, sebenernya.

Tinggal di Kota Wagner

Dengan sebuah kata “pliizzzz,” aku minta Dian untuk menulis kisah satu hari hidup di Bayreuth, kota Wagner. Waktu nulis email itu, aku belum melakukan pre-research terhadap Dian. Tapi coba ke Google misalnya, kita bisa lihat visi menarik yang melingkupi kehidupan Dian. Dan seurieus pula :). Hasil pre-research ini aku pikir nggak salah-salah amat. Dian bukannya mengirimkan tiga empat paragraf, melainkan tak kurang dari enam halaman A4. “Untukku satu hari bisa berupa kumpulan ingatan tentang tahun-tahun sebelumnya, tentang hari ini dan juga khayalanku tentang nanti,”, gitu tulisnya. Dan sangat berharga buat dibaca, terutama buat yang lagi emotionally-collapse kayak aku ;).

Jadi, tulisan Dian aku pasang di halaman Wagner di site ini, dengan ucapan terima kasih setulusnya, dan harapan agar tidak berhenti di sini berbagi hal-hal yang menarik dalam hidup kita ini.

Again, Dian, je vous remercie.


Tinggal di Kota Wagner — Dian Ekawati

Keracunan Obat

It was midnight. You tried to sleep. Badan mulai menggigil, tapi di sekitar tulang belakang terasa hangat. Ada yang terasa terus menerus ditarik dan dikontaksikan secara mikro. Dan kewaspadaan meningkat. Pikiran berputar ke segala penjuru dengan kelincahan luar biasa. If you think it is better to get up and do some creative things, think it again. Badan nggak bisa diangkat. Tekanan darah langsung drop. Dan nyaris nggak ada energi untuk benar-benar menegakkan badan. Ini semua efek sekumpulan obat yang dimaksudkan untuk melawan radang ringan. Mirip bom napalm yang dijatuhkan pemerintah AS untuk melawan para petani Vietnam.

Trus matahari terbit. Aku bangun masih tanpa energi. Dan betul-betul baru bisa berdiri lebih dari 5 menit jam 15.00. Dan aku kehilangan emosiku. Datar. Tanpa kekhawatiran, keceriaan, keinginan. Aku jadi Cyborg. Hidup hanya dengan pikiran.

Tapi apa sih jadinya kalau manusia hidup hanya dengan pikiran? Apa terus jadi mesin ekonomi? Nggak juga sebenernya. Yang sering bisa dipikirkan adalah life improvement dengan breakthrough yang realistik, dengan motivasi pribadi yang lebih bisa ditekan. Dan yang paling menarik adalah, kita menikmati jadi jujur tanpa khawatir. Jeleknya, kita kadang tampak temperamental tanpa bener-bener temperamental.

OK, dan suatu hari si emosi terbit lagi. Dengan otak yang masih mendendam sama mesin ekonomi raksasa, berupa realitas sosial yang dipaksakan, yang kadang bernama negara, hukum, atau agama.

Kenapa, misalnya, kita harus mengalirkan uang. Apa yang terjadi kalau Wagner harus bekerja dari jam 7 pagi sampai jam 7 malam mencacahi pemasaran minyak bakar? Maksudku apa yang terjadi dengan dunia? Bukankah kita semua akan kehilangan salah satu mahakarya musikal terindah, dan terpaksa hidup dengan musik kampungan kayak Peter Pan? Dan apa Wagner harus disalahkan bahwa untuk menyusun mahakarya semacam itu dia harus terus menumpuk hutang untuk membiayai hidup?

Jadi biarlah semua uang di dunia diambil para pengagum uang (sekutu Anne Ahira masih terus membanjiri web ini dengan spam — persetan dengan mereka). Dan biarlah kita sisanya menertawai ketamakan mereka, lalu mengambil hal2 indah yang tersebar di dunia dan di antara hati-hati kita. Anda, para sahabatku, adalah sahabat, bukan prospek, bukan konsumen. Good businessman menjadikan konsumen menjadi sahabat. Evil businessman menjadikan sahabat jadi prospek dan konsumen. Hell to them. Hell juga untuk para rentenir yang mengejari Wagner dan Cosima, dan membuat kemanusiaan agung mereka jadi tercemari sifat antisemit. (Aku nggak punya keantian pada bangsa Yahudi, tapi entah kalau aku jadi Wagner yang tiap hari keluarganya dimaki-maki, dikejar-kejar, dan diteror rentenir yang di masa itu 90%-nya adalah orang Yahudi).

Hey, lucu kan apa yang dipikirkan dari sebuah melankoli yang masih merupakan efek obat yang masih tersisa. Nggak, obatnya nggak aku minum lagi. Mudah2an tulisan macam gini nggak akan kelihatan lagi di web ini.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑