Category: Life (Page 3 of 30)

Rimba Tak Digital

It’s 4 o’clock sharp. Setelah mendadak si alat bantu pelelap berhenti berfungsi, aku menemui pikiranku tersesat di simpangan rimbawi. Bukan labirin, yang digital dan/atau borgesian (huss), tetapi sesuatu yang rimbun, dengan hanya sedikit celah, acak menyesak, tapi … kesalnya … berpola. Berawal dari A5 (tokoh2 dalam entry ini akan dikodekan sebagai A1, A2, dst), tapi aku akan memulai tulisan ini dari A1.

Pernah si A1 yang rada sok teu abis itu memamerkan kelemahan manusiawinya. Sebel: cowok kok curhat, haha. Aku nggak bisa menghadapi dia yang berbeda; biarpun aku biasanya cukup mudah beradaptasi memahami perubahan manusia. aku cuman bilang ‘hey, trust to the global plan‘ :). Duh, gwbgt. Dengan pola pikir yang selalu mendukung multiframe dan keberagaman diskursus, dengan kesinisan hidup sisifiusian dan reinterpretasi terusmenerus (andai kata ini boleh tersambung seperti ini) derridean, atau kepragmatikan akut model para engineer yang mengabdi keanekaragaman requirement para manusia; aku masih selalu — diam2 tapi pasti — melihat hidup tetap sebagai sebuah kisah. Tunggal — tapi terlalu sakral untuk pernah diinterpretasikan secara tunggal, apalagi statik. Boleh dibilang tak berdasar; tapi aku rasa itu pikiran yang terlanjur ada dari hasil pendidikan sejak usia dini (I mean it); dan terlalu gwbgt untuk ditinggalkan — pun pada saat di mana aku diam2 menyengiri narasi2 besar.

Lalu A2. Makhluk sok teu juga. Uh, kami para cowok memang umumnya sok teu — itu penyakit turunan dan menular. Saat dia sedang down, aku malah menemani (via sebuah IM) dengan bercerita bagaimana kita menikmati … misalnya … sebuah pola warna. Pola yang sama bisa membuat berpikir tentang si pola sendiri (misalnya lukisan), tentang sebuah komposisi (Biru plus oranye ternyata ok juga. Eh, kalau ungu dan hijau muda gimana?), tentang frame kita sendiri (Hahh, ternyata cuman kegelisahan ala Mime yang dipadu semangat ), atau hal2 yang lebih luar biasa (Eh, pisang goreng jam segini kayaknya enak. Jarang loh akhir2 ini kita lihat pisang goreng di kantor). Semua dari satu pola saja. Contoh lain adalah pola si A3 masa itu: menikmati humor tidak dengan tertawa tetapi dengan membayangkan proses kognitif yang membentuknya.

Di salah satu simpang rimbawi tadi, aku mendadak ingat bahwa kapasitas informasi otak manusia terbatas. Tapi kenapa kita bisa ingat banyak fragmen hidup kita, dari yang dekat (ekspresi A4 waktu bilang mukaku lelah) dan jauh (senyum ceria A5 waktu aku iseng melungsuri mesin cuci — dan aku baru sadar itu senyum serendipity — seperti aku baru melihatnya sehingga berhak mempersepsikannya sekarang). Aku tapi terus menggugat: itu bener2 sebuah fragmen video, atau cuman beberapa frame foto statik beresolusi rendah, dengan voice yang merupakan gabungan optimal (agak, tapi tak terlalu optimal) antara vektor (kata2 dan susunan nada) dan bitmap (voice itu sendiri). Tersimpan terpisah dan holografis, mereka menggabung teranimasi ke dalam halaman depan pikiran, seolah2 frame nyata. Padahal bisa salah. Dengan nada yang sama, kita bisa merekonstruksikan hal2 masa lalu tapi dengan pilihan kata yang salah (karena terambil dari database kamus, ensiklopedia, atau tesaurus kontekstual otak kita), atau dengan konteks yang salah, haha :).

Dan aku pikir mungkin itu terpicu tokoh A6. Tokoh yang aku baru kenal tiga puluhan jam yang lalu ini — nyaris tanpa talk selain meminjam kindle dan mengucap salam perpisahan — segera terlink kembali oleh sebuah foto di facebook (Suatu hari, kata2 seperti google, kindle, facebook menjadi kata benda biasa, dan harus ditulis tanpa huruf besar). Kunjungan ke blog (alamatnya di facebook itu juga — dan loc masih Glasgow), membuatku menemui sederetan teks yang aku cerna di tengah pikiran pragmatik bisnistik metropolitantik di dalam taksi melintas Kuningan (antara Bakrie dan KPK — kapan mereka merger ya, misalnya yang pertama diakuisisi oleh yang kedua). Lucu, deretan kata bergaya kematian surealistik itu, membuatku terhenyak. Bukan semacam hal yang menyangkut kematian itu, atau hal2 yang bersifat kognitif. Tapi aku mendadak merasa deretan kata2 yang teresapi secepat menyesap macchiato-latte itu memojokkanku sekali. Dan artinya adalah melempar jauh, tapi hanya di ruang siku yang terbatas dinding. Nafasku berhenti bukan oleh hentakan pikiran simbolik, tapi oleh perasaan terlempar. Sesak. Tapi mungkin karena aku lupa sarapan juga *gubrak*. Dan saat impresiku kutulis seperti itu, reaksi sang penulis adalah mengirimiku sebuah teks dari novel yang belum selesai.

Eh, ini tanggal 10 apa 11 sih?
11.

Jorge Luis Borges

Aku ngantuk lagi. Sebentar lagi deh. Di abad ke 20 para penulis menggugat dan menertawai narasi2 besar. Tapi karya mereka toh masih mensiratkan frame latar yang lebih kurang berfungsi semacam itu. Dan aku yakin mereka tahu itu. Tapi belum selesai membaca teks belum selesai ini membuatku harus mengepas frame beberapa kali di setiap halamannya. Mungkin karena memang aku sengaja tak membacanya runut. Tapi aku membaca Camus, Foucault, Borges, dan Wall :) juga tak runut. Aku belum tahu apakah ini sebuah pujian untuk teks itu. Gimana kedengerannya misalnya: “Gilé, kopi lœ nyetrum amat. Pusingnya ampé pagi.” — pujian atau makian? Tergantung intensi saat kita membuat kopi juga sih: untuk dinimkati secara halus atau untuk … nyetrum. Semacam itu lah.

Aku akan meneruskan baca di jalan nanti. Sekarang aku harus meneruskan istirahat. Itu yang aku bilang pragmatik: pikiran dipaksa berhibernasi, karena besok pagi bisnis untuk membangun negeri ini masih menanti.
z z z z z

Uh, tapi trus jadi ingat si A3 lagi. Waktu lagi galau, dia malah tanya, “Dari mana sih asalnya gravitasi?” Hah, mestinya entry ini dijuduli “Curhat para cowok.” Tapi aku bobo dulu ah.

Hercules

Masih Mei, tapi minggu yang baru berlalu boleh dinamai minggu 24/7. Perjalanan, koordinasi, presentasi, dan persiapan presentasinya: Jakarta, Bandung, Jakarta, Yogya, Jakarta; 24 jam selama 7 hari. Tamu di kantor pun harus ditundai. Blog dilupakan dulu. Baru sekarang aku punya waktu untuk blogging.

Beterbangan (mmm) melintasi negeri dengan pesawat komersial; aku kadang masih ingat waktu2 aku sering menumpang pesawat TNI-AU. Hercules, Cassa, dll. Jalur umum: Malang ke Bandung, atau Malang ke Jakarta.

Hampir seluruh penerbangan mengambil waktu pagi, sekitar jam 6 atau 7. Selalu ditimbang dulu badan penumpang setiap akan naik pesawat. Aku selalu pakai ransel setiap ditimbang: biar berat badan mendekati 50kg. Malu kan kalau terlalu ringan :).

Mesin menderu kencang memekakkan setiap pesawat siap take off. Tetapi — pun saat take off — di dalam anak2 kecil masih berlarian. Dan air crew masih berdiri di dekat pintu belakang, dengan rokok terus menyala. ‘Kursi’-nya berupa kursi gantung; dan kami berpegangan saat kursi itu mengayun.

Jalur penerbangan pun bisa tentatif. Kadang aku cuman diinformasii bahwa paginya ada flight. Aku bisa lupa, ini flight ke Jakarta atau Bandung. Peduli ah, pokoknya berangkat dulu :). Tapi, jalurnya bisa lebih bervariasi. Pernah, penerbangan dari Malang ke Bandung mengambil jalur: Malang – Surabaya – Madiun – Makassar – Jakarta, dan terlalu malam untuk meneruskan ke Bandung.

Tapi pendaratan di Bandung memang paling menarik. Landasannya pendek, sampai sekarang. Pesawat menderu keras saat dia harus mengurangi kecepatan di jalur pendek itu. Dan kadang pesawat bisa memantul: turun, menyentuh landasan, memantul, naik lagi, turun, menyentuh landasan lagi. Asik sih.

Pernah membayangkan flight mirip angkot? Hmmm :). Ceritanya, pesawat dari Malang itu seharusnya bertujuan ke Bandung. Tetapi ada instruksi untuk mendarat di Jakarta. Masalahnya, ada beberapa personal yang benar2 harus ke Bandung segera. Jadi tampaknya mereka memutuskan untuk …. mmm. Begitulah. Di atas Bandung, kami dimaklumati: “Yang turun Bandung, ke depan!” Wow, aku di belakang, dan jalur jalan penuh barang. Jadi harus berjalan semi-melompat, saat pesawat turun dan landing. Tiga orang sudah turun. Aku teriak: “Bandung Pak!” dan crew di pintu teriak ke ruang pilot: “Tunggu, satu lagi!” Aku bergegas ke pintu. Pesawat sudah mulai bergerak lagi waktu aku melompat ke luar. Mau lari ke tepi landasan, dari samping terdengar teriakan: “Tiarap dulu! Awas baling-baling!” Aku tiarap, sampai pesawat melewati, dan pergi ke jalur pacu lagi. Berdiri, aku jalan ke samping, dan tak melihat satu petugas pun — mereka sudah kembali ke ruang. Sampai jalan ke luar, tak ada petugas tampak di mata, termasuk tiga penumpang yang tadi turun sebelum aku. Sampai aku keluar bandara, dan jalan ke tempat angkot di Andir.

Dan kenangan2 semacam itu bikin aku terhenyak mendengar jatuhnya Hercules tanggal 20 Mei kemarin, menewaskan sekitar 100 manusia. Dukaku untuk Keluarga TNI-AU.

Notung! Notung! Niedliches Schwert!

“Ein Schwert verhieß mir mein Vater,” teriak Siegmund di wisma Hunding pada Act 1 dari Die Walküre. Mein Vater juga punya pedang yang keren, terpajang indah di ruang tamu rumah Mama di Arcamanik. Dan tak sengaja, aku juga jadi kolektor minatur pedang berbagai bangsa. Terima kasih buat para manusia keren dan baik hati yang sudah ikut menyumbang buat koleksiku.

Tapi waktu mendengar pekik semangat Siegfried, “Notung! Notung! Niedliches Schwert!” — yang terbayang justru pedang yang lebih tajam: pena. Ia menghujam bukan saja rerangkai fisik yang lemah, namun juga rerangkai ide dan memetika. Pedang ini bukan lebih tajam memutus dan menghentikan, tapi juga mengulir, menjalin, menunjuk, menyebar.

Pena masa kini bisa berupa keyboard, mouse, stylus, touch screen. Lesatannya di atas jaringan mobile dan Internet melampaui yang bisa dibayangkan para penemu kertas dan mesin cetak. Perang kata, memetika, diskursus di atas media maya lebih menarik daripada perang yang menumpahkan darah.

Tapi, buat aku sendiri, pena masih memiliki nilai emosional yang berbeda. Ujungnya yang benar-benar masih tajam mengingatkan power yang dimiliki ketajaman mata pedangnya. Sentuhan dan gerakan kita atasnya memindahkan bukan saja simbol dari ide kita, tetapi juga semangat dan aliran hayati yang betul-betul tergerakkan oleh semangat itu. Jadi memang agak lucu, melihat teman2 berkomunikasi dengan iPhone atau semacamnya, sementara aku masih membawa buku kecil dan pena. Haha, lebay :). Aku juga bawa mobile browser ke mana-mana kok; sejax PDA pertama memiliki akses GPRS :).

Mulai berhenti mengkoleksi miniatur pedang, aku malah nggak sengaja mulai mengkoleksi pena. Ya, ini simbolik. Hidup juga cuman :).

Engineer Paling Berpengaruh

Edisi Januari jurnal E&T (dari IET) menampilkan 25 engineer yang dianggap paling berpengaruh. Judulnya Top Movers and Shakers. Lalu para pembaca (para anggota IET) diminta melakukan online-voting untuk memilih engineer yang paling berpengaruh. Survei masih berlangsung hingga akhir bulan ini. Sementara ini, urutan hasilnya adalah sbb:

Tim Berners-Lee 18%
Vinton Cerf 9%
Andrew Viterbi 9%
James Dyson 6%
Gordon Moore 6%
Jonathan Ive 5%
Alec Broers 5%
Julia King 4%
Rattan Tata 4%
Richard Stallman 3%
Adrian Newey 3%
David Eyton 3%
Victor Scheinman 3%
Tsugio Makimoto 3%
Gordon Conway 2%
Peter Coveney 2%
Nick Winser 2%
Tom Knight 2%
Andy Hopper 2%
Alex Dorrian 2%
Woo Paik 2%
Bob Ballard 2%
Kumar Bhattacharyya 2%
Ray Ozzie 1%
John Housego 1%

Kebetulan tiga nama teratas adalah nama yang jadi kandidat untuk aku pilih juga. Haha, aku nggak golput dalam hal ini. Dari tiga itu, akhirnya aku memilih Viterbi, dan tak terkejut melihat result sementara ini. Web (Berners-Lee), Internet (Cerf), digital mobile (Viterbi) menyusup cepat dan sudah jadi bagian significant dari hidup kita sekarang. Gerakan free software (Stallman) belum dianggap sepenting itu.

Viterbi — semua anak elektro pasti kenal nama ini — memformulasikan sebuah algorithm yang dapat mendekodekan data yang terkodekan secara terkonvolusi. Umumnya mahasiswa yang mendalami telekomunikasi pernah mencobai algoritma Viterbi ini secara grafis, sebelum mencobainya dalam bentuk algoritma komputasi. Algoritma ini memungkinkan proses dekode untuk dapat secara matematis mengkoreksi kesalahan yang dapat terjadi di saluran transmisi; tanpa harus meminta pengiriman ulang. Ini diaplikasikan pada komunikasi mobile (selular dan lain-lain), serta aplikasi lain seperti analisis DNA. Asiknya, Viterbi tidak mempatenkan algoritmanya, sehingga dapat digunakan oleh siapa saja. Peran lain Viterbi adalah membantu penyusunan standar komunikasi seluler dengan CDMA. Namun nampaknya nama Viterbi tak terlalu banyak disebut di luar disiplin elektroteknika (berbeda misalnya dengan Berners-Lee dan Cerf).

Selain survei untuk mencari engineer yang berpengaruh saat ini, E&T juga menampilkan engineer berpengaruh sepanjang masa. Nama yang disebut a.l. Da Vinci, Faraday, Marconi, Tsiolkovsky, Tesla, dan Wright bersaudara. Juga ditampilkan para engineer yang mengembangkan karir tidak di engineering. Da Vinci masuk daftar lagi, disertai Alfred Hitchcock, Rowan Atkinson, Fyodor Dostoyevsky, Jimmy Carter, Boris Yeltsin, Brian May, dll. Daftar lain menyingkap para engineer yang jadi politikus dan pemimpin, termasuk Carter lagi, Hu Jintao, dan Ahmadinejad. Habibie kok nggak disebut ya? Haha.

Dan bukan orang Inggris kalau nggak cecentilan (setidaknya kalau melihat gaya Direktur British Council di Jakarta yang sekarang, haha). Maka E&T juga menampilkan sepuluh engineer fiktif yang paling berpengaruh. Di antaranya ada nama Tony Stark (Iron Man), Ellie Arroway (bekerja di proyek SETI pada buku Contact dari Carl Sagan), dan Montgomery Scott (kepala insinyur di USS Enterprise).

Lalu, siapa engineer Indonesia yang kita anggap paling berpengaruh pada hidup kita?

Fresh 6

Fresh 6 ini penting buat aku :). Soalnya aku pernah bilang ke Kukuh: membuat Fresh itu rada gampang. Tapi mempertahankan untuk rutin akan makin berat. Milestone pertama adalah setelah Fresh 5 — yang berikutnya akan masih diisi dengan penuh semangat atau mulai dengan keengganan. Tapi asiknya, ternyata Fresh 6 ini justru pengunjungnya membanjir. Sip deh. Good job, pals.

BTW, aku telat di Fresh 5 bulan sebelumnya. Dan tak kusesali. Telatnya gara2 dijadwalkan berbincang dengan seorang Helmy Yahya. Ini makhluk memang inspiring; pun di luar layar kaca. Salah satu yang doi sampaikan adalah bahwa orang Indonesia memiiki prestasi yang sebenarnya OK: bulutangkis, panahan, catur, matematika, fisika, coding, dll, dll. Deret yang panjang. Syalahnya, kalau kerja tim, kita langsung runtuh. Maka itu belum terdengar kita berprestasi misalnya di sepakbola. Atau membuat industri kreatif yang besar dan complicated. Hal ini aku sampaikan di Fresh 6 ini sebagai bagian dari sharing tentang SDP. SDP sendiri beberapa kali sudah dibahas di blog ini; sampai SDP 2.0 segala. Ini platform yang nantinya akan membantu para technopreneur dan komunitas-komunitas kecil untuk mengembangkan bisnis content & aplikasi-nya sendiri; dengan support yang cukup lengkap di sisi network.

Fresh 6 ini memang bertema Technopreneur. Disponsori Indopacific Edelman, acara ini dilangsungkan di sebuah resto di kawasan Adityawarman, Jakarta; Kamis malam lalu (29 Januari). Pitra sudah menuliskan laporan yang lengkap di site Fresh yang baru: freshyourmind.com. Keren, domain, site, sama laporannya.

Temen ngobrol di Fresh ini adalah Ahmad Sofyan, sambil sesekali jalan2 networking dikit2. Juga Mas Novyanto. Dan dinner bareng pasangan Akhmad Fathonih dan Sofia Kartika. Dan jumpa darat pertama dengan Ronny Haryanto. Ronny tinggi besar ternyata, haha. Lain dari itu, ia adalah hacker yang udah lama kita kenal online. Dan domain ronny.haryan.to adalah inspirasi untuk mulai iseng cari domain kun.co.ro, sekian tahun lalu; selain juga pengelola agregator Planet Terasi. Tapi semua udah tahu dink.

OK, foto :

Akuntabilitas Babi

Kami sedang berbincang tentang tempat2 menarik di Indonesia, saat seorang intern dengan ringan bertanya, “Tapi sebenernya, kenapa sih babi itu haram?” Aku lupa apakah anak ini masih mahasiswa atau baru lulus. Tapi ini pertanyaan yang sebenernya standard, yang banyak ditanyakan siapa pun dari dalam dan luar budaya Islam, dari berbagai tingkat pemahaman agama. Asal usul pelarangan benda2 ajaib ini: babi, alkohol, riba; masih terus menarik diperbincangkan. Kalau rokok diharamkan, itu lebih mudah dipahami: ia merusak kesehatan orang2 di sekitar si perokok, dan membutakan hati serta otak si perokok sehingga tak akan bisa paham hal sepele semacam ini.

Tapi kembali ke babi. Aku akhirnya cuman memberi ringkasan jawaban dengan style ahli hikmah. Peraturan2 itu dibuat cuman sebagai constraint dalam kehidupan manusia. Kenapa harus babi yang diharamkan? Bisa sih apa pun. Tapi harus ada yang jadi tag untuk masuk ke exception list. Sekarang setiap kali umat manusia mau makan, ia harus bertanya2: “Ini makanan mengandung babi tidak?” Tapi kita tidak makan hasil peternakan kita atau tetangga kita sendiri. Dan asyiknya, sejauh mana pun makanan di piring kita berasal, kita tetap harus bertanya: “Ini makanan mengandung babi tidak?” Masyarakat harus punya kemampuan melacak asal usul makanan kita: dari manapun, disimpan berapa lama pun, diolah dengan cara apa pun, oleh siapa pun, bangsa apa pun. Artinya: semua harus terdokumentasi. Artinya: harus ada accountability.

Makanan tidak boleh berbabi. Minuman tidak boleh beralkohol. Uang tak boleh bercampur hasil riba. Dengan aturan2 macam ini, segala supply bahan pendukung kehidupan manusia, dan segala proses-proses ekonomi pendukungnya jadi harus terlacak, terdokumentasi, dan transparan. Kalau ini terlaksana, maka — sungguh — Islam adalah pelopor akuntabilitas publik yang paling mapan.

Tapi … hmmm … fakta bahwa tingkat kesehatan masyarakat dengan mayoritas muslim justru di bawah rata2, dan proses kerjanya paling buruk dan tak transparan, dan wacana masyarakatnya mudah tertembus pseudoscience, dan semacamnya; terpaksa membuat kita harus mengakui: kita abai dalam menjalankan hukum-hukum yang sudah kita akui bersama. “Halal nih, katanya Pak Haji yang jual. Juga bebas kuman dan bebas virus dan bebas bahan berbahaya dan beracun.” Tidak ada sertifikasi, tidak ada transparansi dalam proses kerja dan pengkomposisian bahan2 kerja. Padahal Rasulullah memarahi orang2 yang bertansaksi keuangan tanpa melakukan pencatatan, serta orang yang bekerja tanpa melakukan perjanjian kerja terlebih dahulu.

“Halah, soal haram kan berlaku untuk anggota MUI sendiri.”
Aku nggak tahu kapan aku boleh menertawai kejujuran orang yang memamerkan kebodohannya. Sambil … tentu saja … apakah MUI juga sudah mengamalkan transparansi? Haha. Hush.

Nokia 5800

Beberapa bulan lalu, Mobile Monday mendiskusikan touch user interface dari Nokia. Sayangnya, jadwal hidup di Jakarta terlalu ketat, sehingga hal2 baik pun terlewat. Tapi tak apa. Bulan ini Nokia meminta bantuan untuk menguji — sebagai user — perangkat Nokia 5800. Nampaknya Nokia cukup mengunggulkan produk ini, seperti yang tampak dari berbagai display, iklan di majalah dan koran, brosur dan flyer, sampai dummy skala raksasa di gerai2 Nokia. Terminalnya ditajuki XpressMusic. Hmm, aku yakin pernah melihatnya sebagai XpressMedia. Mungkin perlu kita klarifikasi ke pihak Nokia.

Spec teknis Nokia 5800 bisa dengan mudah dicari di web. Tapi benar sekali kalau benda ini dinamai XpressMedia atau XpressMusic. Musiknya melampaui nyaris semua terminal Nokia yang aku pernah dengar. Dengan headset, suaranya hanya kalah sedikit dibandingkan iPod. Tanpa headset, suara stereonya sudah cukup menyemangati untuk ruang sebesar kamar mandi. Err, ya sih, aku mandi bawa terminal ini, sambil menyemangati diri dengan musik2 perang (antara lain). File MP3 tentu jalan. Tapi aku menyalin musik sebagai file MP4 dari iTunes melalui Bluetooth.

Sebagai XpressMedia, benda ini Mobile Web 2.0 sekali. Ambil gambar dengan kamera 3.2MP-nya (dengan auto focus yang bisa macro, dan lensa Carl Zeiss). Share langsung ke Flickr dengan menu yang tersedia. Atau share video yang kita rekam ke account Ovi. Bermain web juga menyenangkan. Sebagian karena interface yang memudahkan (mode virtual keyboard qwerty, miniqwerty, DTMF-style, atau … errr  … stylo of tulis tangan). Sebagian juga karena aplikasi2 web masa kini memang sudah dibuat ramah untuk kebutuhan mobile :). Space 8GB dalam bentuk MicroSD membuat tidak khawatir sering2 mengambil foto maupun video, biarpun sekian seri opera Wagner sudah dibenamkan juga ke dalamnya. Kalau kurang, bisa upgrade sendiri ke 16GB. Space sekian cukup buat backup file2 dari komputer — pura2 flash drive :). Via Bluetooth tentu.

Satu yang mulai bikin aku adiktif adalah GPS yang dilengkapi peta. Kebiasaan lama bahwa di negeri mana pun aku cenderung jadi penunjuk jalan (termasuk di Spanyol yang aku nggak tahu sepatah pun bahasanya). Nah GPS ini membantu sekali. Bisa buat nunjukin jalan ke taxi driver Jakarta yang kadang nggak tau jalan (Ke Wetiga misalnya), bisa buat perkiraan jarak (dan waktu tempuh). Satu anomali tampil, bahwa saat peta terpampang aktif, virtual keyboard kita hilang, kalau diset di miniqwerty. Setting lain, baik2 saja. Routing, OK juga. Cuman yang ini aku jarang pakai :).

Akses internet bisa memanfaatkan WiFi, dan suite GSM (GPRS, UMTS, HSPA). Tapi kecepatan tinggi membuat kita harus berhati2 memilih paket data selular. Aku pakai Xplore tanpa paket; dan tak lama sudah overkuota pulsa, padahal aksesnya tersendat. Sekarang diisi kartu Halo. Syukurnya sudah cukup banyak akses WiFi gratis di Jakarta. Jadi bisa berfoya2 membuat gambar atau video dan langsung upload ke Flickr atau Ovi. Syukur rumah juga sudah dilengkapi WiFi tersambung Speedy keren unlimited. Ini terminal jadi hampir nggak pernah mati. Browser Nokia kali ini sudah cukup menarik, tanpa perlu Opera Mini lagi. Resolusi 640×360 membuat view yang lega. Web feed juga bisa diset otomatis, dengan option yang menarik (misalnya set baca feed setiap sekian waktu hanya kalau ada akses WiFi).

Hmm, cerita apa lagi ya. Aku udah terbiasa dengan smartphone sejak Flexi belum diluncurkan, sejak XDA dan Xphone versi awal. Dan biasanya aku akan mulai benar2 menikmati sebuah platform waktu aku udah punya kebebasan untuk mengkoleksi aplikasi yang gue banget, serta membangun aplikasi sendiri di atasnya. Tanpa itu, terminal dilabelin harga belasan juta pun jadi nggak menarik. So, ini langkah berikutnya :). Bersambung lagi ah :).

Presentasi

Je me presente, je m’appelle …,” gitu diajarkan Mbak Rossi di hari pertama aku belajar Bahasa Perancis. Huh, mempresentasikan diri :). Sesuatu yang berat buat aku; yang bahkan memperkenalkan diri pun terlalu terhambat. Sekedar menjawab, “Kamu dari mana?” pun tidak pernah merasa mudah dan nyaman. Harus cari pegangan kursi atau setidaknya ballpen, untuk mulai menyusun kata-kata.

Aku “beruntung” tumbuh di sistem pendidikan Indonesia masa lalu, yang memaksa kita berpikir cerdas dan kritis, tetapi tidak memaksa kita berkomunikasi lisan dengan baik. Tidak ada ruang diskusi yang memadai. Sebagian besar diskusi hanya ada dalam pikiran, dan hasilnya harus ditulis. “Beruntung” — karena aku merasa nyaman dengan itu :).

Tapi waktu kuliah, semua harus diubah. Ortu aku berbaik hati membayari SPP. Tapi uang saku, aku harus mulai cari sendiri. Bea siswa engineering crash program, jadi asisten di lab (duh seram), dan juga mulai mengajar. Ngajar komputer sih, di LPK. Seharusnya tak menyeramkan. Tapi ini cerita hari pertamaku. Aku berdiri di depan kelas; menarik nafas; menenangkan diri; menarik nafas lagi; terus keluar; menghadap Kabid Akademik; dan meminta beliau menggantikanku mendadak mengajar di hari pertama. Payah ya? That’s me :). Hari berikutnya, aku mulai harus berani. Dan menjadikan kegugupanku jadi bahan candaan bersama. Hey, itu menarik. “OK, rekan-rekan. Saya mulai gugup lagi. Jadi giliran rekan-rekan bersuara, bertanya, silakan.”

Presentasi di depan dosen killer lebih serem lagi. Bahkan waktu memberi tugas seminar, mata beliau sudah macam dementor gitu. Hiii. Bikin bahan seminar sih, OK aja. Tapi begitu hari H, aku menghabiskan waktu lebih lama setelah Shalat Dhuhur untuk berzikir. Eh, zikir itu lebih kuat dari apa pun. I mean it. Presentasi pun mengalir lancar. Dan berlanjut ke presentasi karya ilmiah yang lama2 jadi hobby-ku, sampai presentasi tugas akhir.

Aman? Nggak. Di luar kampus, aku masih lebih memilih tak bersuara. Survive kok :). Internet membantu kita kan? Diskusi di mail group, di forum. Kalau sempat presentasi pun, paling soal2 teknis. Sambil bawa alat bantu. Helpful banget.

Selingan sedikit waktu aku harus kabur ke Coventry. Sistem perkuliahan di sana mengharuskan kita sering presentasi. Kuliah, termasuk seminar, lalu membuat tugas individual, submit, lalu mempresentasikannya. Dosen2nya bukan hanya orang kampus, tetapi orang2 yang profesional di bidangnya. Kuliah regulasi misalnya, mengharuskan kita berpresentasi di depan petinggi OFCOM (badan regulasi komunikasi UK, sebelumnya bernama OFTEL). Ketatnya waktu membuat ketidakmampuan berkomunikasi harus dibuang sementara. “Ayolah, nggak ada waktu ngurusin soal nervous. Waktunya singkat!” Wow, membantu sekali. Alah bisa kerna terpaksa.

Pulang, aku harus bergeser profesi beberapa kali. Dari network ke IT, lalu ke product management. Di sini, situasi mulai berubah. Aku harus mulai mempresentasikan rencana produk ke rekan-rekan non teknologi. Aku pernah tulis juga di blog ini, tentang bagaimana aku harus menceritakan berbagai jenis teknologi paket data ke CSR. Aku memakai analogi untuk membantu mereka memahami. Tapi yang mungkin para CSR yang keren-keren itu belum tahu, aku juga melangkah melewati jembatan besar untuk bisa berpresentasi di depan publik melalui peran mereka sebagai pendengar yang aktif dan baik.

So, aku mulai bisa bercerita tentang network (Layer 0 sampai Layer 7), sejauh yang memang aku kuasai: NG(M)N, NGMS, IP/MPLS, lalu lompati beberapa layer di atas IP, langsung ke aplikasi. Haha, secara akademis dan historis, memang petanya kayak gitu sih. Cerita blog? Haha, itu sih buat iseng :).

Tapi sejujurnya, sampai sekarang, keharusan berpresentasi tetap bikin aku nervous :). I mean it. Itu udah bagian dari aku :).

Mengatasinya? Nggak bisa. Dilakukan aja. Bikin presentasi yang aku suka: suka merancangnya, suka menceritakannya. Lakukan presentasi tidak secara ekstrim. Sebagian rekan mempresentasikan diri, dan menjadikan Powerpoint sebagai background (I like it). Sebagian yang lain menjadikan Powerpoint sebagai presentasi, dan memposisikan diri sebagai petugas pemandu (boring!). Aku memilih jalan tengah. Kadang alur cerita dalam bentuk ide ada di cerita lisan, dan Powerpoint hanya sebagai background. Tapi kemudian kendali beralih ke rincian di Powerpoint, tempat hal2 detil harus dilihat pembaca (dan kenervousanku memperoleh waktu rehat). Rekan yang mencoba meminta salinan Powerpointku (biasanya aku berikan gratis ke siapa pun yang membutuhkan) biasanya protes: ada missing link. Ya sih. Sebagian presentasi memang bukan di file PPT, tapi di aku :).

Penutup, sedikit tentang PB2008. Pak Widi Nugroho, Boss aku, bikin aku panik dengan kirim SMS bahwa aku harus menggantikan CIO Pak Indra Utoyo di sesi Diskusi Panel di PB2008. Tapi tak lama, beliau mengirim teks, bahwa Pak Indra akan datang. Aku bebas. Tak lama juga, beliau kirim teks lagi, bahwa biarpun Pak Indra datang, tetap harus aku yang ke sesi Diskusi Panel. Duh, ternyata aku masih tidak merasa nyaman dengan ini. Beliau sih ketawa2 aja. “Di MetroTV aja berani kan, Koen?” Duh, beda atuh. Di depan cameraman rasanya lain dengan di depan 1000 blogger yang ganas-ganas. Hihi, alasan. Bukan itu sih. Alasan internal. Syukurnya, pada detik2 terakhir, peta berubah. Telkom tetap diwakili CIO kami, Pak Indra Utoyo. Thank you, Boss :).


Gb 1. Mainan laser pointer — obat gugup waktu presentasi :)

Wagner dan Blogger

Tentu Wagner bukan cuma Siegfried dan Tristan. Ada rentetan panjang simfoni, mars, dan opera sepanjang hidup Richard Wagner. Tapi aku yang nggak pernah paham bahasa Jerman, dan baru akhir2 ini menyelidik rincian kisah2 opera dan simfoni Wagner, memang hanya bisa menikmati sebagian diantaranya: sebagian yang sungguh2 pas. Bagian yang lain, entah kenapa tak terasa akrab. Bahkan di catatan tentang Wagner yang dibuat tahun 2000 itu, opera yang cerlang ceria seperti Das Liebesverbot dan Rienzi nyaris tak disebut. Dan baru beberapa hari lalu aku baca pengakuan Wagner. Pernah ada masa saat ia menulis opera dengan berfokus pada reaksi publik: apa yang kira2 akan menarik publik, apa yang akan memukau penonton, apa yang bakal menimbulkan reaksi masyarakat. Dan contoh yang ia sebut adalah Die Feen dan dua opera di atas. Reaksi publik? Memang luar biasa. Dan nama Wagner mulai terangkat di Paris. Wagner menyebut opera2nya masa itu dengan opera berbasis pikiran. Aku sendiri akan menyebutnya opera marketing. Marketing yang sukses, btw.

Sejak Faust, lalu Fliegende Hollander, Wagner melakukan apa yang disebutnya opera berbasis intuisi. Pun sebelum ia mengakrabi filsafat Schopenhauer. Ia hanya mengikuti kata hatinya, yang tentu sudah dimatangkan oleh profesionalisme dan sekaligus nurani. Lalu Tannhauser. Ya, mulai masuk komposisi2 favoritku (vaforitku). Termasuk masterpiecenya: Der Ring Des Nibelungen. Dan tak harus Wagner. Beethoven misalnya. Simfoni kelima yang tertata rapi dengan motif, empat nada empat nada, kenapa justru bikin air mata menitik. Simfoni ketiga dan ketujuh, kenapa bikin kita kadang harus menarik nafas kagum.

Tentu, sebagai INTP, aku menjunjung rasionalitas. Tapi, seperti yang pasti rekan2 di milis2 zaman dulu pada bozan, aku akan selalu menyebutkan bahwa rasionalitas itu multilayer. Taktik singkat, taktik rada panjang (bukan strategi sebenernya, tapi kadang dikira demikian), hingga rasionalitas yang terasah dan tak harus verbal tetapi bisa menjadi guide secara intuitif. Dan dalam tahap ini, rasionalitas tak harus lagi berwujud kausalitas dangkal (idiom ini, entah kenapa, mengingatkan sama gaya tulisanku di SMA dulu); tapi bisa berupa intuisi — dan terkomunikasikan bukan secara verbal, tetapi menyeberang antar hati.

Musik Indonesia belum kacau balau. Kalau kita sempat menjelajah ranah indie, kita sering menemui pernik-pernih cerlang. Tapi tentu musik yang didentamkan dan dilengkingkan di media lebih sering musik berbau marketing juga. Dan tak terbatas di dunia seni, ini terbawa ke dunia kita juga: blogging. Haha, dunia blogging.

Ribuan blog Indonesia, dengan tumpukan intan, mutiara, permata, tapi di sisi lain juga tumpukan sampah marketing. Dan kitsch juga. Blog dengan title atau summary menggelitik yang membuat orang terpaksa berkunjung. Isi blog yang dipaksakan provokatif atau mengharukan, yang memaksa orang melink atau mengcomment. Dan tentu SEO! Yang ini bahkan ditulis bukan untuk menghamba kulit manusia, tetapi menghamba mesin (untuk tidak menyebut — karena tidak selalu — menghamba uang). Aku cukup sering jadi juri yang harus membacai banyak blog, dan harus amat sangat kesal membacai sampah yang dipurapurakan sebagai blog itu. Tapi kekesalan itu kecil, dibanding keceriaanku menemukan blog-blog beneran, yang inspiring, membuka mata, provokatif alami, mengharukan beneran. Dan bukan kata2 itu yang membedakan mana yang tulus mana yang kitsch. Ia terkomunikasikan tidak secara verbal.

Tapi apakah rasionalitas dangkal mesti dikutuk? Dibubarkan? Tentu tidak. Wagner pun pernah terjerumus ke kesalahan yang sama. Mudah2an suatu hari kita para blogger juga kembali menulis sesuai bisik nurani  — kejernihan dan kejailannya sekaligus. Dan kalau tidak, haha, dunia tetap indah dengan titik cahaya sekedarnya. Kilaunya mencerlangkan dunia.

Kita tutup malam dengan Gotterdämmerung. Der Ring itu ajaib. Secara ringkas ia menjelaskan kehancuran para penyusun semesta akibat kejahatan2 mereka sendiri. Diperlukan alih generasi yang menggantikan keserakahan dengan kasih sayang, dalam dua generasi. Tapi akhirnya kasih sayang pun harus hancur di Gotterdämmerung. Hihi. Indah ya (^_^)V

Mobile Monday

Mobile Monday adalah forum para profesional bisnis mobile. Konon dulu mereka coba berkopdar bersama, dan menemukan bahwa waktu lowong bersama satu2nya adalah Senin malam. Maka jadilah kopdar berkala bernama Mobile Monday itu. Setiap kopdar mendiskusikan sebuah tema. Forumnya jadi menarik, dan menyebar. Forum ini masuk ke Jakarta tahun lalu. Dan tadi malam aku untuk pertama kali menghadirinya.

Tempatnya di kisaran Pasar Festival, dimulai lepas Maghrib. Tema semalam adalah iPhoneOS Applications Develeopment. Wah, rada pas dengan entry blog sebelumnya :). Apple membuat perancangan aplikasi ini mudah, dan gratis. Semua SDK dapat diunduh. Tapi aplikasinya sendiri hanya akan jalan di iPhone dan iPod Touch, dengan penetrasi pasar internasional mencapai 12 juta. Hey, ini 12 juta orang yang suka buang2 duit (memilih MacBook daripada notebook murah, memilih iPod bahkan iPod touch daripada MP3 player).

SDKnya sendiri baru dirilis pada 6 Maret 2008, namun telah terunduh seperempat juta kali, dan menghasilkan ribuan aplikasi komersial yang didistribusikan melalui iTunes AppStore. AppStore sendiri telah mengunduhkan lebih dari 60juta aplikasi sejak 10 Juli 2008. SDK ini dipresentasikan oleh Mark Hanusz dari Equinox Apps, serta Ari Budiharto Soetjitro, satu2nya Apple-Certified Trainer di Indonesia.

Tapi presentasi dan diskusi itu cuman setengah acara. Sisanya adalah networking. Jadi aku habiskan waktu dengan mencari teman2 diskusi. Baru sempat chat dengan Andry Huzain of Detik, Herdiansyah (freelance designer), Vishnu K Mahmud (sering baca namanya, di mana aja ya), Anugrah of Telkomsel, dan Budi Putra (hehe, ketemu aja); malam sudah melarut. Heh, perbincangan yang asik memang merangsek konsep waktu :). OK, perbincangan harus dilanjutkan lain hari.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑