Category: Book (Page 2 of 10)

Qbaca: Buku Digital Indonesia

Catatan “Humor Klasik Buat Bisnis” tentu saja memang dibuat dalam masa pengembangan Qbaca. Di awal pengembangan, negosiasi yang menarik — yang menyangkut bentuk produk dan platform — telah dilakukan dengan beberapa kandidat developer, para publisher, hingga para senior di corporate. Sedikit mirip dengan si “calon besan Bill Gates” :). Bahkan di masa awal pembentukan prototype produk (dan platform), kami telah menerima berbagai masukan yang sesungguhnya semuanya bagus dan ideal, namun saling bertolak belakang. Mirip petani dan  anaknya yang membawa keledai. Tapi kami harus memastikan bahwa produk ini bisa menjejakkan kaki di kondisi Indonesia saat ini, sekaligus punya peluang untuk tumbuh ke depan dan menumbuhkan pengembangan konten dan aplikasi digital lain di Indonesia. Yang justru tidak mudah adalah memastikan misi dan strategi produk ini tersampaikan dengan baik, hingga ke ujung senior leader di atas, ke developer yang memiliki standard tersendiri, ke komunitas, ke publisher, dan ke dalam tim sendiri. Agar tak terulang kisah Goh Chok Tong, kita harus benar-benar memastikan misi dan strategi ini tersampaikan ke semua stakeholder. Tapi memang tidak mudah.

Qbaca sendiri dinyatakan resmi diluncurkan pada 9 November 2012, di Teluk Jakarta, bersamaan dengan penyerahan penghargaan Indigo Fellowship 2012. Acaranya sederhana, sesuai bentuk produk yang tidak gemebyar, tapi diharapkan tumbuh dari kecil untuk berkembang membesar melalui aktivitas komunitas.

Event perdana bagi Qbaca adalah di Indonesia Book Fair di Senayan Jakarta, 17-25 November 2012. Dua talk show digelar di panggung utama.

Talk show tanggal 19 November menampilkan Dewi “Dee” Lestari yang didampingi EGM DMM Achmad Sugiarto, mengulas e-Book dari berbagai sudut pandang. Dee sebagai pembaca mengharapkan e-Book bukan hanya sebagai buku yang didigitalkan, tetapi harus diperkaya dengan enhancement yang meningkatkan pengalaman membaca dan berinteraksi. Dee sebagai penulis mengharapkan platform e-Book yang dilengkapi dengan digital security untuk menjamin terjaganya hak penulis dan penerbit buku.

Talk show tanggal 21 November menampilkan CIO Telkom, Indra Utoyo, dalam bedah buku “Manajemen Alhamdulillah” karya beliau yang juga tersedia di Qbaca. Sebetulnya tak ada permintaan khusus untuk memasang buku pejabat Telkom di Qbaca. Kami hanya meminta penerbit (a.l. Mizan Group) untuk memasang beberapa buku best seller mereka ke dalam Qbaca. Ternyata salah satu yang dikirimkan adalah buku “IU” ini. Waktu kami sampaikan terima kasih bahwa buku “IU” ikut dimasukkan, pihak penerbit Mizan juga surprised, karena mereka tidak merasa sengaja memilih buku yang berkaitan dengan Telkom. Bedah buku ini menghadirkan perwakilan dari Mizan Group, IKAPI Pusat, dan MUI. Surprised. IU sendiri menyampaikan paparannya tidak dengan gaya Telkom (hahaha), tetapi sebagai penulis professional yang memiliki passion pada karyanya. “Telkom punya direksi sekelas ulama,” komentar ustadz Irfan Helmi dari MUI Pusat.

Selama pameran, beberapa masukan, dan komentar diterima oleh Tim Qbaca. Mungkin aku akan memberikan komentar satu-per-satu di sini, sekaligus buat bahan diskusi buat menerima lebih banyak masukan lagi buat perbaikan produk milik bersama ini.

EPUB3

Qbaca bukan saja akan memigrasikan buku ke bentuk digital, namun juga akan menjadi platform bagi konten dan aplikasi digital interaktif skala mini untuk dapat dikemas dalam bentuk e-Book, dan didistribusikan dalam Qbaca bookstore. Format yang mutakhir, terbuka, terstandardisasi, dan paling memungkinkan untuk ini adalah EPUB3. EPUB3 memungkinkan konten berupa teks, gambar, animasi, video, suara, dan aplikasi interaktif untuk dimasukkan ke dalam e-Book secara relatif mudah. Dalam konteks buku-buku sekolah, kita dapat menciptakan LKS digital, laporan, eksperimen, tes kemampuan, dll, dalam e-Book berformat EPUB3 ini.

EPUB3 juga, sebagai format standard, dipilih untuk memudahkan para publisher mempersiapkan e-Book sendiri sebelum disubmit ke dalam sistem Qbaca. Berbagai program (mis Pages di Mac) dapat melakukan ekspor ke EPUB. Program gratis seperti Calibre dapat melakukan konversi ke EPUB. Program Sigil dapat digunakan untuk membuat dan mengedit file EPUB.

Namun, file akan dikirimkan ke user dalam bentuk file EPUB3 terenkripsi. Jadi hak-hak penerbit tetap dijaga.

Digital Right

Qbaca harus memastikan bahwa para penerbit dan penulis di Indonesia bersedia bekerja sama, dan menyumbangkan buku untuk didistribusikan di Qbaca. Salah satu hal yang diminta semua penerbit besar saat ini adalah dijaganya digital right. Memang ini jadi melanggar prinsip pribadi yang menyukai konten terbuka. Secara pribadi, semua whitepaper, materi lecture & seminar, dan presentasi, selalu aku bagikan free via web atau jalur lain. Tetapi kita tidak hidup di lingkungan tempat para penulis berpikir seperti penulis O’Reilly (yang sering aku jadikan contoh dalam distribusi buku tanpa DRM), dan pembaca publik di Indonesia pun belum seluruhnya berperilaku seperti sebagian besar segmen pembaca buku-buku O’Reilly. Survei-survei menunjukkan bahwa publik di Indonesia lebih suka mencari konten gratis (termasuk Internet gratis dan listrik gratis, jika memungkinkan), plus suka berbagi konten gratis yang bukan milik mereka sendiri. Belum ada kesadaran menjaga copyright atau copyleft.

Jadi, sampai budaya kita bisa agak berubah, atau sampai para penerbit/penulis bersedia bekerja sama dengan model bisnis tanpa DRM, kita terpaksa masih akan memberlakukan DRM.

Platform

Qbaca akan tetap diarahkan sebagai platform. Bukan hanya berarti Qbaca dapat menampung berbagai konten dan aplikasi yang berbeda sebagai konten yang dijual dan didistribusikan di atasnya, tetapi juga Qbaca akan dikembangkan untuk memungkinkan transaksi dilakukan tidak hanya di sistem Qbaca. Setelah sistem teruji oleh pasar, kita akan mengajak para developer untuk menciptakan aplikasi reader yang terhubung dengan sistem Qbaca, membuat toko digital yang dapat digunakan untuk membeli konten di Qbaca, membuat lini produksi yang dapat langsung melakukan submit konten (e-Book dan konten lain) ke Qbaca, menghubungkan aplikasi dan web dengan Qbaca, dan masih banyak kemungkinan lain.

Kompatibilitas

Pada versi terkini (2.0.0), Qbaca tidak dapat dijalankan pada Jelly Bean (Android 4.1 dan 4.2). Ini memang mengecewakan, terutama bagi kami. Aku sendiri menggunakan Flexi di Samsung Galaxy S3 dengan Android 4.1.1, jadi masih ikut mengalami crash ini. Tim developer menjanjikan  bahwa versi yang berjalan baik di Jelly Bean akan diterbitkan sesegera mungkin.

Versi iOS tetap dijadwalkan terbit pada bulan Desember. Waktunya memang mendesak, sementara Apple approval memerlukan waktu tak sedikit. Mohon kesabaran sedikit dari para penganut “Think Different” :).

Versi Blackberry masih di luar rencana. Tapi kami berharap RIM benar-benar mewujudkan harapan kita semua untuk memungkinkan aplikasi Android dijalankan di atas OS Blackberry 10.

User Interface

User Interface Qbaca masih jauh dari memuaskan. Kami masih terus memperbaikinya. Kami telah meminta masukan dari para blogger dan anggota komunitas pembaca buku serta komunitas penggemar gadget. Ada banyak masukan, dan beberapa di antaranya bertolak belakang. Misalnya, ada yang memilih halaman depan hanya diisi cover tanpa deskripsi, namun banyak yang juga mengharapkan deskripsi tetap ditampilkan. Tim kami terus memilah, melakukan eksperimen, dan memperbaiki user interface ini.

Buku Yang Terbatas

Sebagian besar penerbit yang telah memiliki perjanjian kerja sama dengan Qbaca masih memerlukan waktu lebih panjang untuk mempersiapkan konten EPUB. Umumnya mereka melakukan layout dengan In-Design atau program lain yang belum dapat menyimpan hasil seperti yang diharapkan, dalam format EPUB3. Tapi konten-konten baru saat ini terus-menerus ditambahkan.

Penulis Indie

Sebagai corporate yang memang masih mengemban sisa-sisa masa lalu, Telkom belum cukup luwes untuk bekerja sama dengan individual. Revenue sharing baru dapat dilakukan dengan badan hukum :). Namun Qbaca akan membuka kerjasama dengan pihak ketiga untuk menerima naskah dari penulis indie; sehingga naskah dapat diformatkan menjadi EPUB3, dan disubmit ke sistem Qbaca, plus dilakukan revenue share dengan cara yang tetap memenuhi persyaratan bagi semua pihak.

Tambahan

Beberapa situs / news / blog yang mengulas Qbaca:

News / Journal: Daily Social | Tempo | TribunTelkom Speedy | Mizan
Blog: Nike Rasyid | Fera Marentika | Bambang TrimHindraswari EnggarDaily Andro
Qbaca: Site | Twitter | Facebook | Google Playstore | Mail

Penjelajah Antarktika

Dalam salah satu sesi pada Workshop Transformasi Organisasi minggu lalu di Gunung Malang, CIO Telkom Indra Utoyo [@iutoyo] sempat menganjurkan buat baca buku Great by Choice, tulisan Jim Collins. Pada sesi break berikutnya, aku langsung download bukunya di Amazon Kindle [fk.vc/gbc]. Workshopnya sendiri lumayan padat, jadi buku itu baru leluasa terbaca di penerbangan Tangerang-Incheon (atau kerennya Jakarta-Seoul). The Why dari buku ini dipaparkan pada Bab 2, yang mengisahkan Penjelajahan Perdana ke Antarktika di tahun 1911-1912.

Pada Oktober 1911, dua tim penjelajah menyiapkan perjalanan pertama umat manusia ke Kutub Selatan. Satu dipimpin Roald Amundsen dari Norwegia, dan satu tim Robert Falcon Scott dari UK. Keduanya berusia sekitar 40 tahun, dan pernah menjelajah Antarktika. Amundsen pernah tinggal selama musim dingin di Antarktika melalui Lintas Barat Laut (Northwest Passage); sementara Scott pernah memimpin penjelajahan ke arah Kutub Selatan di tahun 1902 — tapi berhenti di 82 derajat. Dalam ekspedisi ini, keduanya memilih tanggal berangkat yang berdekatan, pada jalur berbeda, tetapi jarak kurang lebih sama, yaitu sekitar 2300 km, pada suhu -30 derajat Celcius. Tentu di tahun 1911 belum ada HP, radio bergerak, satelit, GPS, atau pesawat penolong untuk keadaan darurat.

Saat berusia duapuluhan tahun, Amundsen menjelajah Eropa, dari Norwegia ke Spanyol pergi dari Norwegia ke Spanyol untuk memperoleh sertifikat pelayaran. Bukannya naik kereta atau kapal laut, ia memilih bersepeda. Ia mencoba makan daging lumba2 untuk memahami nilai gizinya. Ia selalu bersiap seolah2 suatu hari kapalnya akan karam, dan ia harus hidup dalam cuaca ekstrim kejam dikelilingi hanya satwa2 aneh yang mungkin bisa dimakan. Ia bahkan sempat ke wilayah orang Eskimo. Ia melihat bagaimana orang Eskimo bergerak lambat tapi stabil, agar tak berkeringat. Keringat bisa jadi lapis es pada suhu di bawah nol. Ia memakai baju longgar ala Eskimo (juga untuk mencegah keringat), dan belajar menggunakan anjing buat menarik kereta.

Persiapan Scott tidak seekstrim itu. Ia melakukan pengkajian juga, namun tidak dalam posisi seketat Amundsen. Ia berminat mencobai kereta bermotor, dan membawa Kuda Poni yang sudah berabad2 teruji tangguh di Eropa. Di penjelajahan, mulai tampak bahwa persiapan Scott kurang matang. Mesin motor pecah hanya dalam waktu beberapa hari. Kuda poni mudah berkeringat, berlapis es, tak tak bertahan. Selain itu, mereka hanya makan tanaman, yang tak tersedia di Antarktika. Amundsen, selain membawa stok makanan dan daging, juga berencana membunuh anjing2 yang paling lemah untuk menjadikannya makanan buat anjing yang lain. Tak lama, tim Scott harus menggunakan diri mereka sendiri buat menarik kereta.

Kedua tim meninggalkan persediaan makanan buat pulang. Amundsen bukan hanya memberi tanda depot makanan dengan bendera, tetapi juga meninggalkan bendera dan tanda2 lain pada jarak yang teratur agar mereka tak mudah tersesat saat kembali. Amundsen menyiapkan 3 ton makanan untuk 5 orang, sementara Scott membawa 1 ton untuk 17 orang. Pada titik kritis 82 derajat, persediaan Amundsen masih cukup banyak; sementara Scott persediaannya pas2an sesuai kalkukasi minimal. Kehilangan satu depot saja akan berakibat fatal bagi tim Scott. Scott suka hal yang pas2an tampaknya. Ia hanya bawa satu termometer. Saat termometer pecah, ia marah luar biasa. Amundsen bawa 4 termometer.

Ini penjelahanan perdana ke Kutub Selatan. Tak ada manusia tahu apa di depan sana. Tak ada pesawat atau satelit pernah mengintai dari atas sana. Namun Amundsen mengasumsikan yang di depan sana semuanya buruk, dan ia harus siap. Scott sendiri selalu tak siap menghadapi nasib buruk. Catatan hariannya penuh keluhan atas takdir buruk pada timnya.

Pada 15 Desember 1911, Amundsen tiba di Kutub Selatan. Musim panas memberi pemandangan cerah. Ia memasang bendera Norwegia, dan mendedikasikan dataran itu untuk Raja Norwegia. Mereka membuat tenda, dan menyiapkan perjalanan pulang. Berjaga2 kalau mereka akan mati dan gagal mencapai jalan pulang, Amundsen membuat surat buat Raja Norwegia, dan menyimpannya di kantong, untuk dititipkan ke Scott yang mungkin tiba beberapa saat kemudian. Persiapan luar biasa!

Amundsen di Kutub Selatan

Ternyata saat itu Scott masih sibuk menarik kereta, 500 km jauhnya dari Kutub. Baru pada 17 Januari 1912, Scott mencapat Kutub Selatan, dan menatap sedih pada Bendera Norwegia di sana. Eh, aku sedih beneran di adegan ini :(. “Hari yang menyedihkan,” tulisnya, “Sementara angin bertiup makin kencang dan suhu turun ke -30 lagi. Tuhan maha besar! Tempat yang kejam untuk dijelajahi tanpa memperoleh kemenangan.” Pada saat yang sama, Amundsen sudah bergerak cepat ke utara, melintasi batas 82 derajat, menghindari cuaca yang kembali memburuk.

Scott di Bendera Amundsen di Kutub Selatan

Amundsen tiba di pangkalan tepat pada 25 Januari 1912. Tepat sesuai perencanaan. Scott menghentikan perjalanan bulan Maret, tertekan dan sangat kelelahan. Delapan bulan kemudian, tim dari UK menemukan jenazah Scott dan rekan-rekannya, hanya 15 km dari depot makanan.

Scott dan Amundsen menghadapi situasi yang sama, dan cuaca yang sama. 34 hari pertama, keduanya menemui perbandingan cuaca baik yang sama, sebesar 56%. Namun, mereka melakukan perencanaan perjananan dengan gaya yang berbeda.

Buku ini lalu memberikan simpulan. Kepemimpinan yang mampu membawa perusahaannya selalu selamat dalam badai, dan tetap mampu tumbuh, ternyata: tidak lebih kreatif, tidak lebih visioner, tidak lebih karismatik, tidak lebih ambisius, tidak lebih beruntung, tidak lebih berani menghadapi resiko, tidak lebih heroik, dll dibanding pemimpin yang lain. Bukan berarti bereka tidak memiliki sifat itu. Justru, sifat itu sudah ada pada pemimpin perusahaan yang berhasil maupun yang gagal. Tapi pemimpin pada perusahaan yang terbukti berhasil itu memahami bahwa mereka menghadapi ketidakpastian yang terus-menerus, dan tak selalu dapat dikendalikan. Mereka paham, tapi mereka menolak untuk dikendalikan oleh hal-hal tidak bisa mereka kendalikan itu. Maka mereka mengambil tanggung jawab untuk melakukan pengendalian penuh, dengan segala resikonya, atas keberhasilan misi mereka.

Buku ini memberikan contoh lebih detail atas cara kerja kepemimpinan semacam ini. Aku rasa memang Pak Indra Utoyo berkeinginan agar para pimpinan Telkom masa kini dan masa depan bisa meneladani dan mempejalari bagaimana terus menjaga bisnis yang kita yakini menjadi pendukung kuat pertumbuhan dan ketahanan ekonomi nasional ini. OK bukunya terus aku baca. Tapi blognya berhenti di sini. Kan judulnya Penjelajahan Antarktika.

Workshop Buku Digital

Kota Bandung akan mencalonkan diri sebagai salah satu kandidat Ibukota Buku Dunia (World Book Capital) di tahun 2016. Ini salah satu point terpenting yang disampaikan Bapak Mahpudi, Wakil Ketua IKAPI Jawa Barat, pada kegiatan Workshop Pengembangan Buku Digital tanggal 27 September kemarin.  Workshop ini diselenggarakan di Mabes IKAPI Jabar di kawasan Ciateul, Bandung. Di workshop ini, aku mempresentasikan “Eksplorasi Buku Digital” buat para penerbit buku se-Jawa Barat. Tapi sebelumnya, GM Unit Business Service Telkom Regional III Gunawan Rismayadi berbincang dulu dengan peserta workshop tentang strategi Telkom menumbuhkan bisnis digital, termasuk dengan partnership dan inkubasi UKM (Usaha Kecil Miliaran).

Presentasiku sendiri berfokus ke salah satu project bottom-up di Telkom, yaitu pengembangan ekosistem buku digital (e-Book). Project ini belum diberi nama resmi :). Tapi kami sudah menyelesaikan business plan. Dari sisi teknis, bakuan sudah ditetapkan. Untuk pengembangan, kami telah memilih partner yang terpercaya. Para penerbit sudah dilibatkan sejak awal, bukan saja untuk memberikan content buku digital, tetapi juga untuk merumuskan bentuk produk e-Book itu. Dan, tentu saja, komunitas-komunitas pecinta buku, penulis, penggemar gadget, kami ajak berbincang asik untuk membahas pengelolaan produk.

e-Book sendiri bukan sekedar buku yang dipindahkan ke komputer dan gadget. Seperti surat berpindah ke email dan TV berpindah ke IPTV, e-Book akan mendapatkan banyak nilai tambah saat bermigrasi ke dunia digital. e-Book bukan saja berisi teks dan gambar, tetapi dapat memuat berbagai konten multimedia, seperti animasi, video, hingga interaktivitas. Untuk mendukung ini, kami memilih standard EPUB3, bukan PDF atau semacamnya. Developer kami terpaksa mengubah desain asli mereka untuk mengikuti standard yang kami tetapkan ini. Tentu konten ini harus dikunci dengan mekanisme DRM yang kuat, untuk memastikan buku hanya dibaca oleh user yang memiliki hak untuk membaca.

Sementara ini, aplikasi client disiapkan hanya untuk Android dan iOS. Versi Mac, PC, web, Blackberry, Windows Phone, dll, bisa menyusul, tapi belum ditetapkan prioritasnya. Tapi kami sadar bahwa pemakai smart phone dan tablet di Indonesia umumnya menggunakan Android; dan pemakai Android umumnya gemar barang gratisan. Jadi, konten-konten buku ini, selain juga dijual, juga dapat dimungkinkan untuk diberikan secara gratis, asalkan ada dukungan iklan. Iklan ini berasal dari advertiser, yang seolah-olah mentraktir pembaca buku, sehingga mereka bisa mengunduh buku secara gratis. Iklan dipasang sebagai in-content advice, bukan sebagai banner advertising atau semacamnya. In-content artinya iklan berada di dalam buku, mirip iklan di majalah saat ini; dan advice artinya iklan bersifat kontekstual, sesuai dengan tema buku dan kebutuhan pembaca. Infomedia, satu perusahaan dari Telkom Group, sudah memiliki barisan advertiser yang siap memasang iklan. Tentu, keputusan memasang iklan dan jenis iklan tetap menjadi keputusan penulis buku dan penerbit.

Feature-feature lain masih terus ditambahkan. Workshop IKAPI ini juga sekaligus jadi ajang menerima masukan dari para publisher untuk menyiapkan produk yang betul-betul memenuhi kebutuhan pembaca, penulis, penerbit, dan pemakai gadget. Salah satu yang sering diminta oleh para publisher adalah interaktivitas, khususnya buat buku sekolah. Ini juga tengah kami siapkan, namun mungkin belum dapat selesai di versi awal dari produk ini. Akan diperlukan integrasi terbatas dengan database sekolah dan siswa juga nantinya; tetapi ini akan dipermudah karena ada SIAP Online.

Project e-Book ini sendiri dimulai dari keinginan rekan-rekan buat menyediakan produk e-Book yang membuat buku digital bisa membudaya di Indonesia. Amazon Kindle, Apple iBook, B&N Nook, dll belum banyak berisi Buku Indonesia, dan masih mempersulit transaksi dari Indonesia (kecuali user menggunakan jalan samping, seperti jailbreak, memalsu alamat, dan semacamnya). e-Book yang ada di Indonesia umumnya masih menggunakan PDF atau semacamnya; jauh tertinggal dari aplikasi serupa yang justru tampil menarik menayangkan konten majalah, misalnya. Kami berkomitmen agar hobbi dan gaya hidup membaca buku plus gaya hidup digital, bisa dipenuhi secara legal dan nyaman. Publisher bisa memperoleh jalur distribusi buku yang baru, sekaligus mendapatkan alternative business model yang berbeda.

Yang juga sangat penting buat aku adalah bahwa kesukaan kami membaca tidak perlu mengorbankan pohon-pohon, hutan-hutan, dan lingkungan hidup. Wangi kertas yang dulu harum, kini sudah tercampur rasa bersalah bahwa kami terlau banyak mengorbankan lingkungan buat kecintaan kami membaca. Dengan buku digital, aku berharap bisa beli buku lebih banyak; bisa bawa ratusan buku ke mana-mana setiap saat; dan tidak lagi banyak mengorbankan hutan hijau. Sekarang sih Kindleku memang terisi ratusan buku, tapi hampir tidak ada Buku Indonesia di dalamnya.

Komitmen semacam ini memang memerlukan kerja keras. Jadwal hidup beberapa minggu ini jadi agak tergeser dan terganggu akibat banyaknya bagian-bagian dari produk yang harus direncakanan dengan baik dan dipastikan dapat diimplementasikan sesuai rencana. Kontrak-kontrak, cara-cara pembayaran, user experience, dan masih banyak lagi.

Syukurlah, seperti para penerbit yang tergabung di IKAPI Jawa Barat ini, banyak pihak-pihak lain yang sudah menyatakan dukungannya atas project ini. Misalnya beberapa penerbit besar di Jakarta dan Bandung. Juga komunitas pecinta buku, penggemar gadget, penyuka komik. Komunitas pengembang konten digital sudah mulai tertarik membayangkan media baru untuk aplikasi interaktif mereka, termasuk saluran buat pemasarannya. Komunitas penyayang lingkungan, ada yang mau bergabung?

Satu lagi. Satu lagi. Ada usulan buat nama produk ini? Bikin usulan yang kreatif ya :)

Andai Mereka Bisa Bicara

Seandainya Mereka Bisa Bicara … dan begitulah aku mengawali blog ini, tepat 12 tahun lalu, 20 Juli 2000 [tlk.lv/1st]. Berpindah dari web-journal dengan script PHP buatan sendiri, aku menggunakan layanan Blogger.com yang waktu itu belum diakuisisi Google. Pasti bukan sekedar kebetulan bahwa saat web itu diubah jadi blog, aku menemukan kembali buku James Herriot yang sudah mulai lusuh itu. Buku Herriot — dan semangat yang dibawanya — adalah salah satu motivasiku mulai menulis, baik di kertas maupun di terminal digital. Herriot adalah profesional yang menghadapi keseharian hidup: keberhasilan yang manis, kegagalan yang memalukan, dan sering hidup yang datar. Namun Herriot dapat membuat tulisan yang menarik dari optimisme dan impressi yang diperoleh dari sekedar menatap awan dan padang rumput, menolong petani sederhana, menyendiri berkeliling Yorkshire di tengah malam, dll. Herriot mendorongku untuk mulai menulis hal-hal kecil, sambil belajar untuk selalu positif sekaligus realistis menatap dunia.

Kejutan! Hari ini aku baru tahu Gramedia menerbitkan kembali buku ini. Dijuduli Andai Mereka Bisa Bicara, buku ini masih menggunakan terjemahan yang sama dengan versi tahun 1970an dulu. Syukur beberapa kelucuan penerjemahan di buku 1970an itu telah diperbaiki di versi baru ini. “Tapi namanya Tristan.” di Bab 6 telah diubah jadi “O ya, namanya Tristan.” yang sebetulnya belum terlalu tepat tapi sudah lebih enak didengar.

Blog ini pasti sudah puluhan kali membahas Herriot dan buku2nya. Tapi buat pembaca baru, inilah kisahnya. James Herriot adalah anak muda yang pemalu tapi kreatif dan bersemangat tinggi. Lulus sebagai dokter hewan di Skotlandia, ia memperoleh tempat kerja di sebuah kota kecil bernama Darrowby di daerah Yorkshire di Inggris. Atasannya seorang dokter hewan Siegfried Farnon, yang cerdas namun eksentrik dan pelupa, dan hidupnya sering diwarnai dengan paradoks. Tak lama, bergabung pula Tristan Farnon, adik Siegfried yang memiliki sifat jauh berbeda — ia periang, ceroboh, namun selalu beruntung. Mereka membentuk persahabatan yang unik dan hangat, sambil bekerja keras (kadang siang malam) menyembuhkan bermacam hewan besar dan kecil, milik para petani dan peternak di Yorkshire, yang umumnya pekerja yang jujur, keras, namun tulus.

Ada kisah keberhasilan saat Herriot dan tim secara cerdas atau secara kebetulan dapat mendiagnosis penyakit dan menyembuhkannya. Ada kisah mengharukan saat Herriot harus memberikan penenang permanen kepada hewan yang terkena kanker untuk melepas penderitaannya. Ada banyak sekali kelucuan saat Siegfried yang sok efisien harus terperangkap prinsip-prinsipnya, atau sekedar oleh kepikunannya yang luar biasa. Dan banyak hiburan akibat keusilan Tristan yang tak pernah habis. Tapi yang tak pernah membosankan adalah komitmen Herriot untuk setiap saat membantu makhluk hidup yang menderita, biarpun kadang ia harus melampiaskan kekesalan dan kemarahan; dan selalu diakhiri oleh kembalinya kesadaran bahwa hidup itu ajaib, lucu, agung, dan tak pernah membosankan.

Herriot adalah nama samaran dari Dr James Alfred Wight [tlk.lv/alf]. Dan Darrowby adalah nama samaran dari kota Thirsk di Yorkshire, tak jauh dari York. Buku Herriot yang penuh keajaiban ini akhirnya membawa aku di tahun 2010 ke kota Darrowby [tlk.lv/darrowby] untuk mengikuti kembali jejak perjalanan James Herriot di kota kesayangannya itu. Thirsk masih jadi kota kecil yang tenang, dengan marketplace dan jam kota yang sama dengan yang digambarkan di buku ini, dikelilingi koperasi yang sudah modern, bar,  bank, toko permen.

Andai berminat, buku ini bisa juga dibeli secara online langsung di Gramedia. Pasti menarik buat menemani berpuasa.

Hey! Happy Ramadhan! Moga di Ramadhan ini, kita bisa lebih jernih mengevaluasi diri, dan lebih penuh semangat menjalani berbagai komitmen kita dalam hidup yang singkat namun ajaib ini.

Teka Teki Google

Buku menarik ini aku lihat di toko buku Periplus di Djuanda Airport dalam perjalanan dari Bangkalan ke Jakarta. Judulnya: Are You Smart Enough to Work at Google? Tapi, sebelumnya, tebak dulu urutan angka ini: 10, 9, 60, 90, 70, 66, …

Jawabannya? Betul! Ini pertanyaan jebakan. Pertanyaan serupa yang sempat tampil di Facebook beberapa minggu lalu, berisi deretan angka2. Pengantarnya: Anak prasekolah bisa menyelesaikan dalam beberapa menit, sementara ahli matematika memerlukan waktu lebih lama. Clue itu membuat aku berpikir bahwa jawabannya tak berhubungan dengan angka, melainkan dengan hal yang dikenal anak prasekolah: bentuk. Nah, urutan di atas pun ternyata demikian.

Kalau sudah mencoba, dan merasa telah memiliki jawaban, mari kita bandingkan. Angka-angka itu harus dieja dalam Bahasa Inggris: ten, nine, sixty, ninety, seventy, sixty six, dan langsung tampak deret yang ternyata cuma menunjukkan panjang ejaan angka. Tapi, angka dengan tiga huruf misalnya, bukan hanya ten. Ada one, two, six, dan ten. Angka dengan empat huruf bisa zero, four, five, nine. Kita amati bahwa yang diambil adalah angka terbesar. Dari sini, banyak yang mengambil jawaban bahwa angka pada deret berikutnya adalah ninety six. Jawaban yang tak terlalu salah.

Tapi di Google, tentu mereka punya jawaban lain. Dan itu berkait dengan sejarah nama Google sendiri. Google-lah sejarah Google, dan kita akan teringat nama googol, yaitu sepuluh pangkat seratus. Jadi kemungkinan jawaban lain adalah one googol. Tapi, jangan lupa, kita harus cari angka terbesar. Segera kita akan menemukan: ten googol. Sepuluh pangkat seratus satu!

Siapa yang bisa menemukan jawaban macam itu? Bisa mereka yang beruntung, atau mereka yang suka menggoogle (ini yang dicari), atau mereka yang kebetulan pernah mendengar “tebakan” ini. Intinya, pertanyaan semacam ini tak menarik untuk memilik karyawan yang potensial :D

Pertanyaan yang lebih menarik: “Andaikan kamu menciut hingga sekecil koin, lalu ditaruh di dasar blender. Beratmu mengecil juga, jadi berat jenis tak berubah. Pisau blender akan berputar 60 detik lagi. Bagaimana cara menyelamatkan diri?

Jangan teruskan baca dulu. Luangkan beberapa menit untuk mencoba ikut menjawab.

Beberapa kandidat menjawab dengan hal2 menarik. “Saya keluarkan isi saku dan melemparkannya ke motor blender agar macet atau rusak.” Tapi asumsinya blender sudah dicegah agar tak akan rusak. “Saya sobek baju dan dipilin jadi tali, lalu diikat pada sepatu. Sepatu dilembar ke luar blender, lalu saya memanjat tali.” Tapi bagaimana berat manusia (kecil) bisa diimbangi cuma dengan sepatu (kecil). Beberapa lagi tak terlalu kreatif: “Saya berbaring di bawah pisau atau berdiri di tepi blender di luar jangkauan pisau.” Atau yang agak spekulatif: “Saya berdiri di atas sumbu pisau, lalu berpegangan erat2. Gaya sentrifugal akan mendekati nol, jadi dimungkinkan untuk bertahan.” Jawaban2 terakhir itu dipatahkan penanya dengan menyampaikan bahwa pisau akan berputar selamanya, sampai mereka lelah atau bosan, lalu jatuh atau tersambar dan mati. “Saya bisa memanjat. Pada ukuran sekecil itu, saya bisa jadi lalat.” Dan lain-lain. Jawaban lain malah tak kalah seru: “Saya melompat saja keluar blender,” Hahaha.

Tapi jawaban terakhir mungkin paling tepat. Kita mengecil. Memang otak ikut mengecil, tapi asumsikan bahwa kita tetap berpikir secerdas ini. Otot mengecil, tapi berat kita mengecil. Jangan lupa, soal di atas secara jelas menyebutkan berat dan berat jenis. Energi untuk melawan gravitasi pada ketinggian h adalah E = m*g*h. Atau h = E/m*g. Energi otot kita boleh turun, tapi massa kita sama turunnya. Maka kita bisa melompati ketinggian h sama mudahnya, berapapun ukuran kita. Kalau dalam ukuran ini kita merasa mudah melompat lebih dari tinggi blender, maka dalam ukuran yang lebih kecil kita akan juga mudah melompat lebih tinggi dari Blender.

Pada abad ke-17, Giovanni Alfonso Borelli menyimpulkan bahwa makhluk hidup yang dapat melompat, akan melompat kira-kira sama tingginya: kutu, katak, tupai, manusia. Kandidat karyawan tentu tak harus pernah mendengar atau menggoogle nama Borelli. Tapi setidaknya mereka diharapkan dapat berpikir seperti Borelli. Atau setidaknya mereka diharapkan pernah memikirkan: mengapa kutu bisa melompat tinggi, mengapa semut bisa mengangkat benda yang beratnya 50x berat tubuhnya, mengapa serangga kecil bisa terbang hanya dengan sayap kecil yang tipis, dll.

Lalu kita berkelit: Tapi kan kita, walau seukuran koin, tetap terdiri atas tulang keras. Jatuh dari ketinggian blender akan seperti manusia jatuh dari Lantai 15. Hancur. Padahal tidak. Berat badan turun secara kubik (berpangkat tiga), sementara luas permukaan badan turun secara kuadratik (berpangkat dua). Makin kecil kita, makin aman untuk jatuh dari ketinggian. Tikus dapat dijatuhkan ratusan meter. Ia akan kaget, lalu melarikan diri. Hewan yang lebih kecil akan baik2 saja. Dijatuhkan dari ketinggian yang sama, tikus besar akan mati, manusia akan patah, dan kuda akan hancur pecah berantakan.

Pertanyaan ini juga memicu persepsi kita akan ukuran. Begitu kita sadar bahwa hukum-hukum fisika yang sama memiliki efek yang berbeda pada ukuran yang berbeda, akan mulai terbuka wawasan kita  akan efek hukum-hukum fisika, biologi, psikologi, sosial, ekonomi, pada ukuran masyarakat yang berbeda, ukuran organisasi dan perusahaan yang berbeda, dan seterusnya. Kita akan lebih bijak mensikapi perubahan2, misalnya terus berekspansinya bisnis kita, atau spinoff bisnis ke anak perusahaan yang lebih kecil, dll.

OK, ini sebagian dari Bab I dari buku ini. Sisanya … tak kalah menarik!

The picture above is copied from a photo illustration by F. Martin Ramin for The Wall Street Journal

 

Praha dan Metamorfosis

Sebenarnya Mei adalah bulan yang tepat untuk mengunjungi Ceska. Peringatan «Musim Semi Praha» konon masih menjadi event yang menarik, baik bagi penduduk Ceska, dan khususnya Praha, serta bagi wisatawan. Namun mungkin bagi warga Ceska masa kini, romantisme perjuangan melawan komunisme tidak lagi perlu sering diungkit. Perjuangan negeri ini lebih panjang daripada pendudukan kejam Tentara Soviet dan Partai Komunis. Dinasti Habsburg semena2 membubarkan Kekaisaran Romawi Katolik dan menjadikan wilayah Bohemia, Moravia, Silesia, dan sekitarnya masuk ke Kekaisaran Austria yang baru. Runtuhnya Kekaisaran Austria dalam PD I membuat Ceska dan Slovenska memperoleh kemandirian sebagai negara Ceskoslovenska. Namun ambisi Jerman yang didukung pengkhianatan politisi Inggris dan Perancis membuat negeri ini diduduki Jerman, dan kemudian juga diserang Hongaria, dan Polandia; sebagai pretext PD II. Setelah PD II, negeri ini dipaksa jadi komunis selama puluhan tahun, bahkan kemudian dikuasai komunis garis keras yang didukung pendudukan militer Uni Soviet di tahun 1968; sebelum akhirnya kembali mandiri setelah runtuhnya komunisme di Eropa Timur. Sayangnya, ia membelah diri kembali jadi Ceska dan Slovenska.

Perjalanan ke Praha sudah aku tulis di blog Travgeek. Berikut cuplikannya yang berkait dengan Kafka.

Di Praha, aku tinggal di Mala Strana, bagian dari kota tua Praha dengan gaya yang masih klasik. Sore pertama di Praha, aku memutuskan menjelajah sepanjang Mala Strana, melintasi Taman Petrin dan Museum Musik (Dvorak), dan berhenti di Jembatan Charles (Karluv most). Jembatan ini menyeberangi Sungai Vltava; dibuat pada masa Raja Charles IV (abad ke-13), raja Bohemia yang diangkat sebagai Kaisar Romawi Katolik sebelum Dinasti Habsburg. Dari jembatan ini, tampak di samping Sungai Vltava, bagian belakang dari Museum Kafka.

Namun bari di hari berikutnya, setelah berkeliling Kota Tua Praha dengan tram, baru kami bisa meluangkan waktu menjenguk Museum Kafka.

Museum Kafka mengambil bangunan dari rumah tempat lahir Franz Kafka. Di dalamnya dipamerkan bagaimana Praha membentuk dan memetamorfosis Kafka dan bagaimana Kafka mengeksplorasi Praha, dunia, dan semestanya untuk membentuk karya2nya yang inspirasional hingga kini. Sayangnya, di dalam museum ini kita dilarang memotret apa pun.

Bagian awal menampilkan Praha yang hitam putih, kabur, menampilkan sudut kota tanpa berprasangka dan tanpa membandingkan dengan nilai-nilai besar. Foto-foto kota Praha masa Kafka ditampilkan hitam putih. Sebuah proyektor menampilkan kota Praha, tetap dalam nuansa hitam putih dan kabur, diiringi musik lembut Ma Vlast dari Bedrich Smetana, sekedar menggantikan nada sungai Vltava yang mengalir malas di luarnya. Serba senyap, rahasia, mempermainkan ruang, membalik kejelasan, mempesona, namun juga mengancam.

Di ruang-ruang berikutnya, catatan harian dan surat Kafka masa remaja tertata rapi, dengan terjemahan pada bagian2 penting, menampilkan konflik kognitif pada hidup anak muda ini. Kafka, dari keluarga keturunan Yahudi yang terpelajar di Praha, menulis  dalam Bahasa Jerman, bukan dalam Bahasa Cestina. Bahkan, dalam buku-bukunya, Kafka nyaris tak pernah secara jelas menyebut kota Praha. Ini berbeda dengan Kundera misalnya, yang cukup real memaparkan peristiwa2 dalam novelnya bukan saja dikaitkan dengan tempat real, namun juga dengan peristiwa historis yang real. Kafka mencerap Praha sebagai deretan peristiwa dan sejarah kemanusiaan yang tak harus memiliki label.

Orang hanya bisa menduga bahwa gereja anonim dalam buku Trial mungkin adalah Katedral St Vitus (Katedrala svatého Víta) di dalam Kastil Praha (Prazsky hrad); atau adegan lain yang menyebut jalan dekat Jembatan Charles, bantaran sungai Vltava, dll. Praha hadir tanpa nama dalam Kafka. Juga kadang tanpa rupa, dan hanya jadi metafora topologi.

Buku pertama dari Kafka yang aku baca adalah Metamorfosis (Die Verwandlung atau Transformasi) yang ditulis hampir seabad lalu. Kafka menulis buku ini secara maraton, konon sambil menikmati insomnia, pada bulan November 1912. Tokoh Gregor Samsa, tanpa sebab apa pun, berubah jadi kutu yang menjijikkan. Gregor (dan kita) bahkan tak harus paham mengapa ia menjadi kutu. Tapi itu membuat Gregor berubah, dari anak muda yang jadi tulang punggung pendapatan keluarga, jadi hama yang menjijikkan dan memalukan. Lingkungan tentu mencoba menerimanya, bahkan mencoba beradaptasi dengan perubahan itu. Namun tak lama, mereka merasa mereka tak mungkin bertahan dengan situasi itu. Maka Gregor dibiarkan mati. Dan kehidupan keluarga berlangsung kembali baik.

Konon nama Samsa, entah sadar atau tidak, memperoleh pengaruh nama Kafka sendiri. Mungkin Kafka memang tengah menceritakan kegalauannya sendiri, akan perannya sebagai anak muda di keluarga. Atau ia, seperti juga Wagner dan Nietzsche, memetaforakan perubahan besar di Eropa dan dunia, atas cara pandang mereka mengenai semesta dan kemanusiaan, serta nilai-nilai di dalamnya. Atau seperti warga Praha lain, ia melihat dunia yang akan secara tak terelakkan berubah cepat di sekitarnya, membawa konsekuensi deretan tragedi panjang yang juga takkan terelakkan. Berapa besar pemusnahan dan penghinaan manusia yang terjadi sejak Metamorfosis ditulis; di Praha, di Ceska, di Eropa, di dunia. Tumbukan peradaban dari manusia yang berubah dinamis, menyeret manusia-manusia yang bahkan belum tahu apa sebab terjadi metamorfosis pada diri dan masyarakatnya.

Satu abad setelah Metamorfosis … kita merasa lega karena tak ada lagi fasisme dan komunisme. Tapi kita selalu lupa bahwa bukan isme-isme itu yang menjadi sumber tragedi manusia. Ada bagian dinamis dari kemanusiaan di dalam semesta yang terus memaksanya berubah, tak sinkron, menggeser dan menumbuk kepentingan manusia sambil menjungkit nilai-nilai setiap saat. Dinamika yang kemajuan (atau ‘kemajuan’) kita tergantung atasnya, tapi juga tragedi kita jadi keniscayaan karenanya. Mampukah kita suatu hari jadi bijak, memahami diri kita sendiri, memandang semesta bukan lagi sebagai ancaman tetapi sebagai amanah? Mampukah mengambil langkah2 cerdas untuk mengembangkan peradaban dan kemanusiaan, tanpa berhasrat ingin menguasai dan memenangkan.

Praha, kota tempat Kafka pernah lahir dan tinggal, kini jadi kota yang damai dan menenangkan. Penduduknya ramah namun dinamis. Ekonomi Eropa sedang menggeliat resah tak pasti. Namun sejarah panjang negeri ini membuat warganya tetap yakin bahwa tidak ada hal yang sesungguhnya membuat manusia harus menyerah. Atau boleh menyerah.

Indonesia … jangan takut berubah. Dan jangan pernah menyerah.

Kindle, Lumiread, iBook

Di Jakarta, di Bandung, rumah hanya dipenuhi rak2 buku. Kesannya penghuninya fanatik sekali pada media ilmu itu. Buku, bukan saja mentransfer informasi antar ruang, antar budaya, tapi juga antar waktu. Tapi justru sebagai pecinta buku yang akut, aku mulai menyadari banyak yang harus diubah dari budaya buku.

Buku berkualitas terbaik pun akan mulai pudar dan rusak — khususnya jika sering dibaca dan disimak dengan serius, dibawa ke mana2, atau dicoret-coreti. Sementara itu, tumpukan buku menimbulkan perasaan lain: perasaan bersalah ke lingkungan bahwa banyak pohon yang harus ditebangi untuk memenuhi kehausan ilmu. Perasaan yang dulu terasa fantastik saat mencium harum kertas kini dibarengi perasaan bersalah bahwa pohon tempat kayu yang harum itu berasal, kini telah hancur ditebang. Keasikan membalik2 kertas digantikan oleh dorongan ala geek bahwa waktu yang singkat bisa digunakan untuk membaca lebih cepat, lebih banyak. Dan pameran buku, dimana lebih dari 70% buku2nya benar2 tak berkualitas, sungguh jadi tontonan yang menyakitkan buat pecinta lingkungan.

Mungkin para pecinta buku harus mulai mengubah gaya hidup. Membuang keengganan memegang e-book (gadget atau apps), dan mulai mengasikinya dengan niat untuk memelihara kehidupan di bumi, dan menggali ilmu lebih cepat dan luas.

Sebagai pecinta buku, aku sempat tak berminat menggantikan buku dengan gadget centil semacam iPad. Kalaupun buku harus dielektronikkan, ia harus digantikan oleh buku elektronik. Jadi, tahun lalu, aku mengadopsi sebuah Amazon Kindle. Kindle ini dibeli di Kaskus, tetapi covernya harus beli di UK. Dibawain Mas Yanuar Nugroho, wkwk. Tanpa cover, Kindle memang terasa mirip gadget. Tapi begitu dipasangi cover, dia berubah jadi buku. Aku bisa mengasyikinya seperti mengasyiki buku kertas, dengan klik di tempat di mana halaman buku seharusnya dibalik. Lengkap dengan makian kalau lampu mendadak mati :). Kindle ini menggunakan e-ink yang ramah lingkungan. Ia hampir tak menggunakan daya, selain untuk mengubah tampilan halaman, serta untuk transfer informasi via WiFi. Gak lama, aku mengisi buku ini dengan content yang aku beli (berbayar dan gratis) dari Amazon, dari O’Reilly, dan dari tempat2 lain. Format AZW dengan DRM dari Amazon, format MOBI tanpa DRM dari O’Reilly. Dari IEEE, masih format PDF yang belum nyaman dibaca dengan Kindle.

Apa yang menarik dari Kindle? Begitu memegangnya, kita lupa bahwa ia adalah tablet mini dengan platform komputasi Fiona dengan layar selebar 6 inci. Yang kita tahu, ini adalah buku. Bahkan, di pesawat terbang, saat pramugari sudah tegas menyuruh mematikan seluruh perangkat elektronik, aku sering lupa menutup Kindle. Rasanya dia benar2 buku. Pramugari pun tak pernah menegur. Tapi ia bukan cuma buku. Ia gudang buku. Memulai perjalanan dengan baca Herriot, kita bisa ingat gaya candaan Larry Wall, dan bisa pindah ke buku Perl, lalu meneruskan baca2 soal coding, mobile coding, lalu 4G mobile technology, lalu ke jurnal2 Comsoc yang mutakhir. Semua dilakukan saat itu, tanpa harus kesal meninggalkan buku yang mendadak kita mau baca di situ juga. Dan sambil senyum melihat hutan di bawah sana, yang mudah2an tak kencang lagi ditebang.

Kindle juga memungkinkan kita membeli buku langsung ke Amazon. Buku yang baru diterbitkan, selama ada versi Kindlenya, dapat langsung kita beli, kita unduh, dan kita baca. Tak lagi kita harus tunggu 2 minggu untuk menerima buku terbaru. Dan kenapa hanya buku? Majalah2 seperti Time, Fortune, Reader Digest, Science News, dapat kita langgani di Kindle, dan langsung dikirimkan otomatis ke dalam buku kesayangan itu bahkan sebelum versi kertasnya masuk ke rak-rak di toko-toko di US. Kindle punya aku memang tak memiliki koneksi mobile. Ia hanya punya WiFi yang sederhana. Syukur iPhone-ku punya kemampuan tethering: ia jadi WiFi access point, menjadi jembatan mini antara trafik WiFi ke Kinde dengan trafik 3G Mobile ke Telkomsel. Atau Singtel, Celcom, Softbank, dll di berbagai negara.

Tentu, saat ini memang belum semua buku diterbitkan dalam versi e-Book. Infiltrasi budaya digital pun memerlukan waktu. Juga, Kindle mirip buku: tak bisa dibaca di mobil tanpa cahaya matahari, atau di rumah saat PLN berkhianat. Dan Kindle 7″ juga agak bikin pusing dipakai membaca buku yang memiliki format cetak kaku, seperti jurnal IEEE versi PDF dengan format dua kolomnya. Kadang Kindle harus menyerah. Tak heran bahwa di tasku kadang masih ditemukan jurnal2 IEEE.

Lalu datanglah Cherico. Ini nama samaran untuk Acer Iconia Tab yang dititipkan Acer buatku. Tablet bersistem Android Honeycomb berlayar 10″ ini mula2 hanya aku pakai buat test Angry Birds. Ternyata OK juga. Jadi aku instal dengan aplikasi yang pasti diinstal oleh semua pecinta buku: Book Reader. Pertama, Kindle apps. Kebetulan Android Market masih melarang warga Indonesia yang cinta damai untuk mengunduh Kindle apps. Terpaksa aku download dari ruang lain. Amazon memperkenankan kita meregistrasikan beberapa perangkat ke dalam satu account kita. Jadi, aku cukup meregistrasikan kembali Kindle apps ini, dan segera ratusan buku yang sudah kubeli di Amazon diunduh kembali ke Cherico. Sekarang aku bisa baca dalam kegelapan, di trafik malam Jakarta. Thanks, Acer :). Aku langsung menambah berlangganan National Geographic di Amazon. Dengan ketajaman layar Iconia, majalah ini tampil prima. Tentu tampilan semacam ini tak dapat dilihat di Kindle kesayanganku.

Cuman, Cherico ini masih berasa tablet, berasa gadget, bukan berasa buku. Tak terlalu mengganggu sih, karena aku sudah beradaptasi jadi pembaca ebook. Tapi kadang, di tengah asyik membaca buku, ada notifikasi kecil di bawah layar: someone mentioned you on Twitter, someone sent you a mail, someone talked to you on Gtalk, dst. Ganggu orang baca aja :).

Kindle apps for Android hanya bisa digunakan membaca buku2 dan majalah dari Amazon. Tak bisa membaca MOBI atau PDF dari third parties. Jadi aku sibuk memilih aplikasi lain buat baca buku dari O’Reilly dan jurnal2 IEEE, serta buku2 non Amazon lainnya. Akhirnya aku pilih LumiRead. Ini apps yang tidak rumit, tapi nyaman digunakan, dan dapat menampilkan buku2 dalam format PDF secara jernih dan tajam. Sekarang aku tak lagi harus bawa jurnal2 IEEE dan jurnal2 lainnya. Aku bisa baca di Cherico. Buku2 o’Reilly aku unduh ulang dalam format PDF, dan dimasukkan ke LumiRead juga.

Selain di Cherico Android, Kindle apps juga aku pasang di Mac Blue. Tapi memang versi yang ini amat jarang diakses. Seharusnya ini aku pakai untuk baca2 di tengah rapat yang membosankan, sambil pura2 sibuk ini itu di komputer. Tapi dalam praktek, aku memang sering harus sibuk ini itu di komputer, selama rapat yang selalu membosankan itu. So, ia jadi aplikasi yang duduk tenang dan manis saja di Mac Blue.

Alternatif lain, saat kita sedang berpisah dengan seluruh komputer, tablet, dan gadget, adalah iBook di iPhone. Memang iPhone-ku belum jailbroken; dan Kindle apps for iPhone juga belum bisa dibeli. Jadi aku hanya pakai iBook, dan diisi buku2 O’Reilly  dalam format EPUB. Tapi bukan hanya itu. Beberapa buku PDF dan buku2 lain juga aku re-edit dengan Pages di Mac Blue, lalu aku ekspor ke EPUB, dan dimasukkan ke iBook. Memang tak terlalu nyaman membaca di layar smartphone. Kesannya kita kayak lagi sibuk baca SMS atau tweeting. Padahal memang tweeting, ssst. Tapi, dalam keadaan tertentu, ini jadi alternatif yang menarik juga.

Dan buku kertas … yang masih ada kadang2 dibawa2 juga sih. Tapi aku sudah amat jauh mengurangi buku2 kertas yang baru. Dan aku masih bisa mengaku jadi pecinta buku. Bukan karena punya banyak buku di rak, tapi karena bisa bawa dan baca buku2ku di mana saja.

Kayak apa sih dunia, kalau buku tak pernah diciptakan?

The Geek Atlas

Biasanya perjalanan wisata dipandu oleh buku dari Lonely Planet, atau dari ensiklopedi WikiTravel. Tapi ternyata O’Reilly pernah juga menerbitkan buku “The Geek Atlas” yang juga dapat digunakan buat menarik minat berwisata ke lokus para geek, atau untuk melihat sisi geek dari kota yang kebetulan sedang kita hinggapi. Sayangnya, buku ini US-centric, jadi sekitar 40% obyek yang ditampilkan berada di US :). Dan dari 60% sisanya, i.e. 20 negara, Indonesia belum termasuk.

Yang buat aku menarik adalah bahwa aku bisa membandingkan tempat2 yang kebetulan pernah tak sengaja terkunjungi, dengan ulasan di buku ini. Ini beberapa di antaranya (mengikuti urutan dalam buku ini):

Paris: Menara Eiffel. Dari sisi estetika, banyak yang tak menyukai menara ini. Ia bertahan karena memiliki fungsi ilmiah. Gustav Eiffel membangun menara ini setelah membangun banyak jembatan, dan Patung Liberty di New York. Menara disusun dari besi dengan kadar karbon yang lebih tinggi, yang dibentuk dari besi dan karat :). Besi dibentuk menjadi lempeng, yang kemudian disambung saat masih panas di tempat, dan dibiarkan mendingin sambil berkait. Tinggi menara 324m. Dari ketinggian itu, aku sempat melihat seluruh Paris, dan sempat membuat resolusi, wkwkwkwk :). Oh ya, menara itu memiliki lekuk unik dan keren karena alasan teknis: untuk menahan tekanan angin. Eiffel sendiri menyatakan bahwa anginlah yang menjadi alasan membentuk menara seperti itu. Menara ini digunakan untuk pengukuran cuaca, eksperimen ilmiah, dan kemudian juga pemancar radio. Di bawah menara, dipahatkan nama2 ilmuwan Perancis, dari Lagrange, Laplace, Lavoisier, Ampère, Becquerel, Cauchy, Coulomb, Fourier, dan lain2.

Tokyo: Akihabara. Kaget baca nama ini di buku ini. Aku pikir ini cuman pasar elektronika terlengkap. Tapi memang ini yang disebut juga di buku ini. Kalau sebuah perangkat elektronik tak ditemukan di sini, mungkin dia tak ada di seluruh Jepang, dan pasti sulit dicari di seluruh dunia: dari perangkat tak berguna hingga perangkat mutakhir. Aku sendiri cuma lewat tempat gini, ‘gak berminat belanja :)

Taipei: Taipei 101. Konon ini gedung berpenghuni yang tertinggi di dunia. Berlokasi di tepi Pasifik, gedung ini akan rentan gempa dan taufan. Maka di bagian atas dipasanglah pendulum berwarna emas seberat 660 ton untuk mencegah gedung ini berayun atau bergetar. Tentu ini jadi pendulum terheboh di dunia, karena dapat dilihat publik, yaitu pada lantar 87 – 91. Bola pendulum dapat berayun setiap saat hingga 35cm, dan meredam getaran hingga 40%. Saat terjadi taufan, pendulum dapat berayun hingga 1.5m, dengan arah berlawanan dengan arah ayunan gedung. Bumper hidrolik akan menyerap energi dan mencegah ayunan yang terlalu besar. Periode ayun gedung ini adalah 7 detik, dan pendulum telah disetel untuk match pada periode ayun ini :).

Greenwich: Royal Observatory. Ini adalah titik 0° bujur bumi (GMT 0), yang terposisikan di Royal Observatory at Greenwich. Tak kebetulan, observatorium ini berdekatan dengan pelabuhan AL Inggris. Ini memungkinkan bakuan GMT digunakan untuk mengukur semua pelabuhan dan semua tempat di muka bumi di masa sebelum teknologi satelit, selama mereka memiliki pengukur waktu yang akurat. Oh ya, di taman yang luas dan rindang sekitar obversatorium ini, tinggal banyak tupai yang imut dan jinak :).

York: National Railway Museum. Banyak bagian dari York yang menarik. Jadi museum ini cuma aku lewati pintunya :D. Tempat ini berfungsi mereview teknologi kereta api dan sejarah Revolusi Industri. Loko dari Rocket yang berkecepatan 20 km/h hingga Flying Scotsman yang berkecepatan 160 km/h tersimpan di sini. Yang terakhir ini dapat menempuh jarak London – Edinburgh tanpa berhenti mengisi batubara.

Cambridge: Trinity College. Aku menghabiskan seharian di sekitaran college sekitar sungai Cam ini, tapi baru sadar bahwa di sana masih tumbuh sebatang pohon apel yang konon merupakan keturunan dari pohon apel yang konon mengilhami Isaac Newton :). Di sini memang aku malah sibuk menebak ruang kerja Newton, Rutherford, Dirac, hingga Hawking, dan tak sempat memikirkan apel :). Yang waktu itu cukup banyak pengantrinya adalah Wren Library.

London: The Science Museum. Mungkin aku perlu satu entry blog sendiri tentang ini — hutang dari tahun lalu. Di museum ini ditampilkan loko Rocket dari Stephenson yang asli, jam atom pertama, modul komando Apollo 10, Mesin Diferensial dari Babbage, dan banyak sekali obyek amat menarik lainnya. Lantai bawah disediakan untuk pameran2: dunia modern (misalnya Model DNA), dunia energi, dan penjelajahan angkasa. Dan, waktu aku ke tempat ini tahun lalu, ada pameran khusus tentang pengaruh peradaban (termasuk sains dan teknologi) Islam ke dalam dunia masa kini. Yang lama aku amati memang mesin diferensial. Di abad ke-19, Babbage berencana membuat mesin mekanis untuk melakukan komputasi numerik. Mesin ini belum selesai, karena ide Babbage sendiri selalu berubah, dan pemerintah tak mudah mengucurkan dana. Umumnya pengamat sejarah menyatakan bahwa teknologi masa itu belum mampu menyiapkan ribuan perangkat mekanis renik dengan presisi setinggi yang dibutuhkan Babbage. Namun di tahun 1990an museum mencoba menyusun mesin Babbage, dan ternyata mesin dengan 4000 komponen dengan berat 2.5 ton ini benar2 bekerja. Cara kerjanya? Dengan mengelaborasi deret. Misalnya, menghitung eksponensial dengan deret Taylor; namun tidak dihitung semua dari nilai inisial, melainkan dengan menghitung selisih dari selisih secara terus menerus. Ini asal nama mesin itu.

London: Natural History Museum. Berada di sebelah Science Museum. Tapi waktu itu aku terlalu sore keluar dari Science Museum, jadi Natural History Museum sudah tutup :). Padahal ini konon museum terbaik yang memaparkan dunia hayati, termasuk evolusi dari teori evolusi, dari teori yang sekedar memaparkan hipotesis Darwin, hingga penguatannya oleh eksplorasi atas DNA dan seterusnya.

Canada: Kutub Utara Magnetik. Haha, aku belum pernah ke sini. Tapi berminat sih. Posisinya di N 82° 42′ 0″ W 114° 24′ 0″. Ada yang mau ajak aku ke sana?

Crowdsource Bookshop

Akhir minggu lalu, kami mencoba melakukan fund-raising, mengumpulkan dana untuk biaya pengobatan Hamdani, seorang rekan yang menderita kanker getah bening. Hamdani saat ini dirawat di Gedung Teratai, RS Dharmais. Biarpun ada keringanan biaya, namun biaya untuk penyembuhan liver dan ginjal yang mulai rusak (harus dipulihkan sebelum kemoteapi), biaya beberapa siklus kemoterapi, dan biaya pemulihan, akan cukup besar; tak mungkin tertangani Dani yang kini justru diberhentikan oleh lembaga pendidikan tempat ia bekerja.

Fund-raising kami tak bisa dibilang berhasil baik. Maka di hari Senin kemarin, yang dipaksakan cuti oleh menteri entah apa, kami memanfaatkan waktu yang sempit untuk merancang sebuah online bookshop, tempat kami dapat mulai menjual buku2 baru atau bekas sebagai sarana penggalangan dana lebih lanjut. Membuat site cukup mudah. Engine wordpress, domain murah, hosting numpang, plugin eshop, dan desain visual. Lalu integrasi dan test. Maka tengah malam tadi, meluncurlah Online Bookshop kami: Darrowby.co.

Darrowby, tentu diambil dari nama kota rekaan James Herriot, dalam buku Seandainya Mereka Bisa Bicara (If Only They Could Talk). Buat aku, Darrowby identik dengan buku, tapi juga dengan penyembuhan, dengan kesetiakawanan yang tulus, dengan simpati dibalik sikap pura2 acuh, dengan optimisme dan semangat tak kunjung padam, dengan ketidakmampuan untuk patah semangat menghadapi tantangan.

Buku2 diambil dari koleksiku dulu. Keren-keren, tentu saja :). Dan pertama2 akan diambil dari yang kira2 akan menghasilkan rupiah terbesar. Memang buku2 ini tak dijual murah, karena kita sedang mengumpulkan dana. 100% hasilnya akan diserahkan untuk pengobatan Hamdani. Tapi kualitas bukunya takkan mengecewakan pembeli juga. Setelah test hari ini (baru dengan beberapa buku), kami akan terus menambahkan buku-buku berbagai bahasa dan berbagai level harga ke Darrowby.

Mas Harry Sufehmi langsung menawarkan buku2 koleksinya juga. Bukan surprise, buat mereka yang mengenal sosok Mas Harry :). Sekaligus Mas Harry juga melontarkan istilah ini: crowdsource bookstore :). Community-based bookstore, haha. OK, ini memang menarik. Moga akan makin banyak yang mau membeli buku, menyumbang buku, dan lain-lain. Kalau belum ada buku yang cocok untuk dibeli, kami juga bisa mengirimkan  nomor rekening agar kita tetap dapat menyumbang tanpa membeli.

Allâh tak akan mengubah keadaanmu, kecuali kamu menggerakkan diri untuk melakukan perubahan.

Para Influencer

Yang menarik dari Kindle adalah bahwa setiap saat kita meminati buku baru (pun baru terbit), kita bisa langsung beli, dan langsung baca di piranti yang kini jauh terasa sebagai buku ini (alih2 perangkat elektronik). Memang membahayakan sih, dari sisi kemudahan belanja :). Mulai agak mengganggu, bahwa setiap saat ide dan kepenasaranan (curiosity) kita melompat, kita mengambil satu buku lagi :). Weekend ini aku sebenarnya hampir menamatkan “Quantum Man” dari Lawrence Krauss. Buku ini berdongeng tentang Richard Feynman. Alih2 menceritakan sisi manusiawi Feynman yang sudah sangat banyak ditulis sana sini, buku ini lebih berfokus ke sisi keilmuwanan Feynman, biarpun bentuknya tetap dongeng buat kaum awam. Di account Facebook-ku bisa diintip beberapa cuplikan buku itu.

Sayangnya, Amazon mendadak mengiming2i buku menarik lagi: Everything is Obvious, Once You Know The Answer. Penulisnya Duncan J Watts, seorang fisikawan yang melakukan riset di engineering, dan akhirnya berprofesi sebagai periset sosiologi. Dia mengawali bukunya dengan berkisah tentang beberapa kasus di mana orang2 penting, seperti penulis John Gribbin, serta senator AS, menganggap riset sosiologi bukan hal yang penting, misalnya sepenting riset fisika. Riset di bidang fisika tentu amat penting. Namun agak lucu kalau menganggap riset sosial itu tak penting dengan alasan — menurut mereka — bahwa hasilnya bisa ditebak dengan logika biasa, tanpa harus melakukan riset yang luas. Di dekade kedua abad ke-21 ini, dengan analisis yang cukup banyak mengenai jejaring sosial, kita mulai tahu bahwa banyak hal yang lebih menarik di riset ilmu sosial, selain sekedar memainkan urusan game theory yang banyak berfokus di urusan insentif, motivasi, dan nilai2. Tapi banyak yang tetap menganggap, penelitian fisika memberikan hasil yang luar biasa, dan menembus batas pikiran sederhana (common sense), sementara ilmu sosial tidak menghasilkan hal2 di luar itu. Masalahnya memang, kalau ilmu sosial itu sederhana, mengapa masalah sosial tak mudah dipecahkan? Soalnya bukan pada resource yang akan terlalu besar untuk memecahkan masalah itu, tetapi benar2 pada ketidaktrampilan kita memahami manusia, sebagai individu maupun masyarakat :D.

Penulis lalu memberikan contoh2 kecil. Paul Lazarsfeld pernah membuat riset pada para prajurit di Perang Dunia II. Ia memaparkan beberapa hasil. Misalnya, penemuan nomor 2: “Pemuda dari pedesaan umumnya memiliki semangat lebih baik dalam ketentaraan daripada pemuda perkotaan.” Reaksi kita? Tentu saja. Itu masuk akal. Pemuda desa lebih terbiasa dengan lingkungan yang keras, kerja keras, gotong royong, dll. Tapi lalu Lazarfeld mengatakan, “Ups. salah baca. Maksudnya, pemuda dari perkotaan umumnya memiliki semangat lebih baik.” Reaksi kita? Haha. OK. Tetap bisa dipahami. Pemuda kota lebih biasa hidup bersesakan, kerja dengan birokrasi panjang yang tidak pasti, penuh tata cara yang mudah berubah, dll. Semuanya masuk akal. Tapi, jika kedua hasil yang berlawanan itu masuk akal, maka ada yang salah dengan urusan “masuk akal” itu: itu masuk akal hanya setelah dijelaskan hasilnya. Yang kita sebut sebagai akal sehat, common sense, sebenarnya tak mampu menyusun prediksi; selain hanya menyusun alasan atas sesuatu yang diketahui hasilnya.

Atau, mengikuti Stephen Hawking di buku satunya, The Grand Design, akal sehat hanyalah kesimpulan dari kumpulan pengalaman pribadi yang terjadi pada masa hidup yang pendek, dan bukan kebijakan yang diperoleh sebagai hasil penelitian yang nyata atas perilaku semesta. Tapi, hanya berbekal akal sehat dari pengalaman singkat ini, banyak keputusan2 diambil. Para politisi yang mencoba mengatasi masalah kemiskinan merasa telah paham mengapa manusia bisa miskin. Penyusun marketing plan menyusun kampanye dengan anggapan bahwa mereka tahu apa yang diinginkan target pasar, dan bagaimana membuat target itu tertarik lagi. Penyusun kebijakan atas kualitas pendidikan,  kesehatan, dll, merasa paham atas efek skema insentif. Dan dalam skala lebih kecil, 90% orang Amerika merasa berkecakapan di atas rata2 dalam mengemudi, 25% merasa masuk 1% orang terbaik dalam kepemimpinan, dll, dll.

Watts pun mulai menceritakan sebuah riset. Risetnya mengharuskan mahasiswa meminta tempat duduk di kereta bawah tanah di New York :). Rinciannya agak panjang. Tapi dari sini, kita menangkap kompleksitas hubungan antar manusia, kekuatan (atau keterbatasan kekuatan) autoritas, kekuatan konsensus cair yang bahkan sulit ditembus oleh para peneliti, dan hal2 menarik lain. Lalu dibahaslah soal pengambilan keputusan pada manusia, yang selalu berujung pada soal nilai2 personal (dan sosial). Dan tentu soal konteks. Contoh kasus: dua orang yang tak saling kenal diberi $100. Salah satu (P1) harus membagi dua (tak harus sama besar), dan satunya (P2) memutuskan apakah ia akan menyetujui pembagian itu. Jika P2 tak setuju, uang $100 ditarik lagi, dan keduanya tak memperoleh apa2. Menarik. Sebagian besar P1 membagi sama rata: 50:50, namun tentu banyak juga yang mengambil kesempatan dengan mengambil lebih, misalnya 70:30. Asumsinya P2 akan lebih baik menerima 30 daripada tak menerima apa2. Tapi ada yang sedemikian bakhilnya untuk mengajukan 90:10. Umumnya pembagian yang amat tidak adil ditolak P2. Ahli ekonomi tradisional (yang berfokus pada insentif) akan terkejut mendapati bahwa P2 memilih tak memperoleh apa2 daripada “dimanfaatkan” :). Tetapi memang keadilan adalah nilai universal yang dipuja banyak orang, walau dengan pengorbanan uang. Level ketidakadilan di mana P2 masih mau menerima amat berbeda dari satu etnik ke etnik lainnya. Suku tertentu di Papua malah tak mau menerima pembagian 50:50 — P2 hanya mau nilai yang lebih daripada P1. Unik. Tak universal. Nilai2 antar etnik, antar kelompok, antar budaya, begitu beragamnya, dan cukup banyak yang saling bertentangan; dengan masing2 menganggap kumpulan nilai2 lainnya gila dan tak masuk akal. Tak heran jika dalam mensikapi yang terjadi di budaya lain, kita sering cuma bilang: bangsa sinting — semua logikanya terbalik. Pandangan yang tampak logis, biarpun cuma menunjukkan bahwa kita sama sekali tak memiliki kearifan.

Kesalahan pertama dalam meramalkan (dan mengubah) perilaku adalah bahwa kita mengira manusia digerakkan faktor2 seperti insentif, motivasi, dan nilai2. Sementara, banyak hal2 lain yang justru sengaja atau tidak turut mempengaruhi keputusan akhir: cara berkomunikasi (bentuk komunikasi, pilihan kata, latar musik, bentuk font, warna), atau hal2 lain yang cukup banyak. Kedua, pemodelan kita atas perilaku kolektif lebih buruk lagi. Ada berbagai warna interaksi internal di dalam kelompok yang masing2 pagarnya tak mesti tegas: alur kuasa dan pengetahuan sungguh cair, dan tak mudah diramalkan hanya dengan melihat elemen2nya. Kita cenderung menyederhanakan dengan menganggap kelompok sebagai individu, bernama crowd, market, karyawan, dll. Atau memilih representasi tak jelas seperti pemimpin, influencer, dll. Baru akhir2 ini dipahami bahwa penyederhanaan seperti itu bukan saja kurang tepat, tapi sungguh2 meleset.

Sungguh bacaan menarik di sebuah weekend. Untuk jadi lebih bijak di minggu-minggu ke depan.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑