Islam Liberal


Bambang Harimurty memforward tulisan Farid Gaban ke ISNET, dan minta tanggapan. Tumben aku terus nulis tanggapan lagi. Bagian awalnya nggak beda sama yang sering aku tulis di web ini :). Bagian akhirnya kira-kira kayak gini:

Sebelum masa Utan Kayu, beberapa orang, termasuk Nurcholis Madjid, mencoba mengingatkan umat Islam untuk lepas dari kejumudan. Mereka memang tidak selalu benar. Tapi dalam sistem itu, orang selalu bisa menunjukkan di mana salahnya, lalu masyarakat bisa menilai mana
yang lebih baik. Dengan demikian masyarakat bisa diharapkan terus menerus memperbaiki pemahamannya.

Lalu JIL diproklamasikan, dengan nama-nama dan wacana-wacana yang sudah dijuduli. Yang terjadi bukan proses penilaian nilai-nilai, tapi pembentukan pagar. Ada Islam Liberal, dan jadi ada Islam Konservatif (tidak liberal, begitulah). Kalau Ulil Abshar menulis, orang tidak lagi mau merenunginya, tapi cukup menuding: Itu Islam Liberal, berbahaya. Sebaliknya, wacana Islam Konservatif pun ditolak orang-orang Liberal, dengan anggapan itu pandangan orang kaku dan buta, tidak obyektif. Jadi yang konservatif dibiarkan tetap konservatif, dan yang liberal dibiarkan tanpa koreksi. Yang ada diantara keduanya bukan lagi saling berbagi kearifan, tapi saling serang yang jorok dan tidak bermutu.

Kenapa saya memilih persatuan, bukan toleransi? Saya banyangkan toleransi adalah hidup berdampingan tanpa saling mengusik. Sekedar itu. Tapi persatuan berarti orang Liberal dan Konservatif itu harus melupakan perbedaan mereka, dan hidup sebagai satu umat, biarpun pikiran mereka tetap liberal atau konservatif (tanpa huruf besar). Tidak perlu pengelompokan
lagi, dan pelabelan diri lagi. Selanjutnya … berbagi wacana dengan sikap arif untuk saling memperbaiki diri, dan dengan demikian memperbaiki masyarakat.

Persatuan memang bukan soal ringan. Persatuan hanya bisa dibentuk kalau ego dilemahkan. Dan yang termasuk di dalam ego adalah segala nilai yang kita anggap benar tapi dianggap orang lain salah. Harus ada komitmen untuk mempertimbangkan bahwa orang lain bisa lebih benar dari kita, biarpun kita yakin sekali bahwa kita benar.

Bagaimana membentuk persatuan? Tidak mungkin. Keanekaragaman itu properti alamiah. Yang bisa dilakukan hanyalah perasaan bersatu.

«Umat Islam akan terpecah jadi 73 golongan,» sering kita dengar hadist itu disitir, «dan hanya ada satu golongan yang benar.» Kalau kita mau belajar rendah hati, akan lebih baik jika kita menganggap diri kita masuk ke salah satu dari 72 golongan yang salah itu. Dengan demikian kita terpaksa selalu berusaha memperbaiki diri sendiri, saling belajar dari kelompok-kelompok lain; alih-alih saling membiarkan atas nama melestarikan keberagaman.