Author: Koen (Page 56 of 87)

Sharing Vision

Sementara rekan2 lain sedepartemen bikin Forum Marketing nun di Subang, aku cuman melaju setengah jalan sampai Ciater. Hari ini nge-group dengan kelompok Mr Dodi Gonzales dari PR. PR, konon, pada zaman Perumtel dinamai Humastel. Tebak sendiri kepanjangannya. Tapi suatu hari seorang asing menanyakan departemen tempat kerja seorang rekan di PR, trus beliau bilang “Humastel”, dan barangkali si orang asing bales jawab “Why, certainly you must tell.” Trus barangkali dijawab “I’ve told you.” “What is it?” “Humastel”. Dan sejak itu namanya diubah jadi PR. Masa? EGP.

Anyway, hari ini aku punya kerja untuk sharing dengan rekan-rekan wartawan berbagai media. Abis pembukaan oleh Deputi Kadivre, trus Anton Timur berbagi cerita tentang teknologi (dimoderatori aku), trus aku cerita tentang portofolio produk (dimoderatori Dodi), dan diakhiri dengan Danrivanto cerita tentang regulasi. Konon bicara pada wartawan mesti hati2, haha :). Tapi nggak kok. Aku sebenernya lebih banyak belajar dari media, baik media massa maupun media yang tidak massa. Cuman memang barangkali aku terlalu asyik bercerita, sampai membiarkan rekan2 wartawan kehilangan alur :). Nggak masalah kalau wartawan kehilangan alur. Abis acara masih bisa chatting informal buat tambal2 yang nggak match. Dan janjian ketemu lagi di lain kesempatan.

Trus apa yang diceritain? Sebagian besar sih tentang produk yang udah dikenal. Plus rencana pengembangan produk di 2005. Dan tentang hal-hal yang mendasari pemilihan produk. Juga tata istilah. Udah gitu aja. Tapi abis juga 2 jam penuh.

Feynman

Waktu Feynman bertanya ke Schwarz (Berapa dimensi kamu hari ini?), sebenernya dia nggak ngece-ngece amat. Emang bawaannya aja. Tapi setidaknya, dia termasuk minoritas fisikawan besar — bersama Murray Gell-Mann yang mau hadir di seminar Schwarz itu. Dan waktu itu pun sudah jarang Gell-Mann dan Feynman bisa hadir dalam sebuah acara bersama2, nerusin acara cela2an berdua yang beberapa tahun sebelumnya sudah jadi kelaziman (sambil masuk ke acara Schwarz itu, Gell-Mann menyebut nama kota Montreal dengan lafal yang tepat seperti penduduk Montreal, i.e. Mon-ray-al, tapi Feynman berkeras belum pernah mendengar nama kota kayak gitu). OK. aku emang lagi doyan berseliweran kalo nulis weblog. Sorry.

Jadi itu beberapa tahun sebelum Schwarz ngetop di luar kelompok fisikawan yang terbatas itu. Feynman sendiri termasuk yang paling doyan main2 dengan spekulasi fisika dan matematika. Waktu di SMA, dia belajar kalkulus. Menghitung turunan pertama sebuah fungsi, turunan kedua, turunan ke n, dan mengambil suatu pola. Terus dia mikir: gimana kalau ada turunan kesetengah? Atau semacam itu. Jadi sesuatu yang mentransformasi sebuah fungsi, dan kalau ditransformasikan lagi menjadi turunan pertama dari fungsi itu. Ide itu baru dikerjakan waktu Feynman benar-benar menguasai kalkulus di universitas. Dan benar-benar terpakai waktu proyek Los Alamos.

Soal dimensi sendiri sering jadi bahan permainan Feynman. Apa yang terjadi kalau dunia ini cuma dua dimensi? Dia turunkan formula2 fisika ke ruang dua dimensi, dan mendapati bahwa spektrum atom2 itu jadi menarik sekali. Terus gimana kalau … bukan cuman ruang yang dipakai bermain … tapi juga waktu. Gimana kalau waktu bukan cuma 1 dimensi, tapi juga dua dimensi. Waktu bukan cuma depan dan belakang (soal waktu maju mundur, sila baca catatan-catatan sepanjang awal 2001), tapi ada semacam kiri dan kanan juga :). Apa yang terjadi pada hukum fisika?

Lalu Feynman berkisah tentang si sohibnya yang dikagumi tapi suka diajak bertengkar itu, tanpa menyebut nama. “Ada seseorang yang pernah mencoba berpikir: apa jadinya kalau partikel di dunia ini cuman tiga. Eh, terjadi inkonsistensi, misalnya pada K-meson. Jadi dia berpikir: apa jadinya kalau ternyata angka muatan itu tidak harus bilangan bulat?” Dan tepat itu lah yang bikin Gell-Mann jadi ilmuwan kelas dunia: kuark.

Leonard Mlodinow, waktu masih ragu memulai kerja sama dengan Schwarz, menanyakan ke Feynman: “Gimana pendapat Anda kalau saya memulai proyek yang kata orang omong kosong?”

Feynman menjawab: “Satu syaratnya.”

Mlodinow penasaran: “Apa itu?”

Feynman: “Bahwa menurut kamu itu bukan omong kosong.”

A-to-Z

Sekian tahun kemudian, gini deh jadinya Herr Abdul Hakim von Acm dan Herr Ziggyt Shalako, waktu dipergoki reporter dalam sebuah pertemuan gelap di sebuah kafe di kawasan Cilandak, beberapa hari sebelum KPU mengeluarkan keputusan resmi tentang Presidential Election.

Pameran Buku JCC

Kalau di pameran sebelumnya aku bisa keluar tanpa buku secuil pun, di session ini aku keluar dengan 10 buku. Dan itu pun udah dengan menahan diri setengah mati, sambil membuat pikiran sadar bahwa bulan ini udah berisi kunjungan ke Gramedia, GA, Elvira, Intervarsity, QB, sampai Amazon — dan semuanya sambil merampok buku. Memang mood-nya lagi mau mengejar ketertinggalan kali, abis membekukan otak selama beberapa bulan kemarin.

Milan Kundera

OK, apa yang udah kita rampok dari bulan kemarin? Ada buku Cacuk Sudariyanto dan Fritjof Capra dari Gramedia, ada buku tentang Wittgenstein dan kemudian tentang Derrida dari QB. Ada buku2 network dari Elvira. Ada Da Vinci code dari Gunung Agung Bandung. Ada Menagerie dan kartun Seno Gumira dari Gunung Agung Jakarta. Ada Kundera dan Mitnick dari Amazon (di Elvira udah abis). Yang di Intervarsity buat lab. Dan dari pameran ini, ada beberapa MAW Brouwer, beberapa Jalaluddin Rahmat, Danarto, Tintin, serta buku2 lain.

Meanwhile, rumahku masih jadi rumah mungil. Rak buku masih cuman yang itu. Ke mana lagi buku harus disimpan biar tetap terawat rapi?

Ada ide? Selain puasa ke toko buku maksudnya …

Pak Yoyo

RUPSLB Indosat gagal mengangkat dirut baru. Direksi masih panjang berjajar, tapi tak satu pun yang dianggap pantas jadi dirut. Sampai RUPS mendatang, fungsi dirut akan dipegang oleh Wakil Dirut: Ng Eng Ho. Pemerintah, yang memiliki saham 15% sebelumnya memilih Yoyo Basuki, dirut Lintas Arta, untuk menduduki jabatan dirut Indosat. Namun STT, perusahaan Singapura yang menguasai saham mayoritas, tidak berkenan mengangkat Yoyo Basuki.

Tapi masalahnya, kenapa berita Indosat masuk weblog ini? Emang aku punya saham?

Nggak. Aku cuman merasa pernah kenal nama Pak Yoyo aja. Dan bukan di Lintas Arta. Soalnya baru tadi siang aku tanya ke Ziggyt: “Dirut Lintas Arta sekarang siapa sih?” dan Ziggyt juga nggak tahu. Oh, ya, jadi ceritanya aku ketemuan lagi sama Ziggyt, tapi ntar aja diceritainnya. Sekarang Pak Yoyo dulu.

Ceritanya, abis pelatihan transmisi optik di Lannion dan Madrid tahun 1995, aku memutuskan mengambil libur ke London. Keputusan yang salah, kalau dilihat sekarang, tapi waktu itu London kelihatannya menarik. Air France mendarat di Heathrow waktu matahari tenggelam, dan taxi yang disopiri orang Pakistan itu meluncurkanku ke Wisma Siswa Merdeka di Dartmouth itu. Rehat bentar. Dinner. Dan nggak lama, masuklah dua keluarga dari Indosat itu. Pak Yoyo, satu rekan lagi (ntar aku baca kartu namanya kalau udah di Bandung), yang masing-masing bawa istri. Ketemu mereka, hilang rasa beku yang terasa di kegelapan London utara. Abis dari Nice untuk semacam konferensi, mereka juga merasa perlu rehat, dan memilih tersesat di London satu hari. Cuman waktu acara jalan2, aku memutuskan memisahkan diri. Aku ngebayangin mau jadi cultural tourist, sementara aku bayangin mereka pasti banyakan shopping-nya — tebakan yang nggak salah2 amat. Malamnya kita ketemu lagi, dan aku ketawa aja ngeliat banyaknya bawaan mereka seharian. Trus ternyata kita bakal balik ke Jakarta pada hari yang sama dengan pesawat yang sama. Ya udah deh, sekalian bareng aja. Berhubung bawaanku amat2 sangat sedikit, Pak Yoyo mengajak menggabungkan bagasi, jadi kita kayak keluarga besar. Biar bawaan per kapita nggak overweight. Nice. Aku ngebayangin punya temen ngobrol yang ramah sampai Jakarta :). Sambil diajarin macam2 soal hal2 yang sekarag di Telkom dinamai customer-centric organisation.

Di Jakarta, aku lenggang2 kangkung aja, soalnya segalanya jadi diurusin Pak Yoyo yang pasti udah hafal seluk beluk jalan keliling dunia. Plus memilih jalan keluar yang bebas antri — lewat jalan punya crew. Just lucky to meet them.

Orang STT kayaknya harus dibuka matanya. Orang yang sebegitu mendalamnya soal bisnis telekomunikasi yang bersifat customer-centric, pasti sangat pantas jadi dirut Indosat.

Lab Broadband

Cerita minggu ini: bantuin Bid SDM bikin Lab Broadband Access, which is the Broadband Competence Center di Divre III. Benchmark ke Jakarta, bikin draft desain, pilih vendor, koordinasi, ganti vendor, koordinasi lagi, trus danti owner proyek ke Kandatel Bandung. Kita terusin sebagai konsultan lepas. Tapi mereka kerja lebih efektif. Dan hari Selasa ini diresmikan hasilnya. Congrats, chums!

Teror

Lawan!

Kayaknya sangat ironik. Di satu sisi, kita terhujam luka oleh ledakan di kawasan Kuningan, dan jadi geram teramat sangat, dan bertekad melakukan apa pun untuk mengakhiri riwayat terorisme di Indonesia. Di pihak lain, pihak yang memimpin upaya pelacakan teroris-teroris itu ternyata juga tidak terlalu mudah untuk dipercayai.

Bisakah misalnya orang yang takluk di depan preman yang menyerbu kantor Tempo itu dipercayai untuk tampil gagah melawan teroris yang bersembunyi di balik tabir besar nan gelap itu? Tidakkah kita khawatir bahwa kali ini pun mereka berlaku tak lebih sebagai corong pihak di belakang layar?

Tidakkah kita khawatir bahwa pengadilan yang membebaskan para preman dan menghukum pembawa berita kita itu juga membuat kesalahan yang sama waktu membuat penilaian atas para tersangka teroris? Benarkah mereka benar2 telah memenjarakan teroris yang sesungguhnya?

Tidakkah kita khawatir bahwa barangkali mereka secara tidak sengaja akhirnya juga bekerja untuk para teroris?
Lawan teroris! Lawan!

Vonis atas Tempo

Quoting aja:

Vonis satu tahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terhadap Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Bambang Harymutri dalam kasus pencemaran nama baik Tomy Winata, Kamis (16/9), menuai kecaman dari banyak kalangan.

Ketua Umum AJI Indonesia, Eddy Suprapto menilai, pemenjaraan wartawan dalam masa reformasi ini benar-benar memasung kreatifitas pekerja pers, dan merupakan ancaman terhadap kebebasan berekspresi sebagaimana dijamin dalam konstitusi dan Undang Undang nomor 40/1999 tentang Pers. “Digunakannya pasal-pasal KUHP terhadap para jurnalis menunjukkan, aparat hukum menganggap UU Pers tidak ada,” katanya.

Jangan sampai terjadi kriminalisasi pers juga dilontarkan Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Hidayat Nur Wahid. “Agar tidak terjadi kriminalisasi pers, Undang-undang Pers harus diberlakukan,” katanya. Calon Presiden dari Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono bahkan menyatakan, kebesasan pers dan hal-hal yang berkaitan dengan semangat reformasi tidak boleh dihalang-halangi dengan pelbagai kasus yang bisa mengganggu reformasi itu.

Jelas, menurut pengamat dan praktisi hukum, Todung Mulya Lubis, keputusan menghukum Bambang Harymurti satu tahun penjara, adalah tindakan membunuh kebebasan pers di Indonesia. “Putusan sama sekali tidak mempertimbangkan Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik,” katanya.

Kecaman juga datang dari Sabam Leo Batubara, Ketua Harian Serikat Penerbit Surat Kabar Pusat yang mengatakan, keputusan hakim itu sudah membingungkan rakyat. Karena baru sekitar dua minggu lalu pengadilan tinggi memenangkan Tempo dalam kasus sama. Tapi, seperti dikatakan Anggota Dewan Pers ini, “Kok sekarang pengadilan di bawahnya justru mengatakan ada penghinaan dan berita bohong. Ini aneh”.

Sementara itu, Atase Pers Kedutaan Besar Amerika Serikat, M Max Kwak mengaku khawatir, keputusan memenjarakan wartawan akan merusak tatanan demokrasi yang sudah dicapai. “Padahal, pers adalah elemen yang sangat penting dalam demokratisasi di Indonesia,” katanya. Apalagi, masalah Tempo ini sangat menjadi perhatian publik di Amerika Serikat karena reputasi internasional Tempo dalam keunggulan jurnalistiknya.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorĂ©nUp ↑