Author: Kuncoro Wastuwibowo (Page 56 of 88)

Perilaku Seksual

Berikut adalah hasil kajian yang dilakukan di Eropa Barat mengenai perilaku seksual. Wanita yang berpasangan, jika berselingkuh, memilih pasangan selingkuh yang lebih dominan, lebih tua, lebih menarik secara fisik, lebih simetris penampilannya, dan sudah berpasangan. Wanita lebih cenderung berselingkuh jika pasangan resminya lebih rendah posisinya, lebih muda, dan seterusnya. Bedah kosmetik pada pria mampu menggandakan kemampuannya menarik pasangan selingkuh. Namun semakin atraktif seekor pria, semakin kurang perhatiannya sebagai ayah. Kira-kira satu dari tiga bayi yang lahir di Eropa Barat merupakan hasil perselingkuhan.

Yang melegakan, kajian ini dilakukan bukan pada manusia, melainkan pada burung layang-layang (swallow). Manusia tentu berbeda dengan burung. Mudah2an.

Apakah kecenderungan alami untuk berselingkuh ini lalu membenarkan perilaku perselingkuhan dan poligami pada manusia? Dan lebih dari itu, apakah benar poligami (resmi atau tak resmi) itu menguntungkan manusia, khususnya pria? Hmmm.

Pada tahun 1790, pulau Pitcairn didatangi sembilan penjelajah dari HMS Bounty, disertai enam pria dan tiga belas wanita Polinesia. Ribuan mil dari pulau terdekat, dan puluhan ribu mil dari peradaban, mereka mulai menciptakan peradaban: 15 pria dan 13 wanita. Ketika penjelajah luar menemukan koloni itu 18 tahun kemudian, mereka menemukan tinggal 10 wanita dan 1 pria saja. Pria yang lain? Satu bunuh diri, satu meninggal alami, dan 12 lainnya terbunuh. Satu2nya pria yang hidup itulah hasil seleksi alami yang berdasar kompetisi seksual. Sejak itu, di Pitcairn, ditetapkan bahwa pernikahan harus bersifat monogami. Poligami, setidaknya di Pitcairn, berpotensi membahayakan para pria, dan menghambat peradaban. Dan di mana-mana, saat peradaban mulai dibudidayakan dengan akal, poligami selalu dihapuskan. Setidaknya selalu diawali dengan pembatasan.

Awan dan Langit Lagi

Nerusin cerita bulan Juli: koleksi gambar awan dan langit, khususnya di sekitar Griya Caraka.

Cercah cahaya berbentuk garis biru itu sebenernya gampang dijelaskan. Tapi memang yang kayak gitu nggak setiap hari bisa kelihatan. Gambar di atas udah disetel gamma-nya biar lebih kelihatan kontras. Versi lain yang gamma-nya tidak disentuh bisa dilihat di bawah ini:

In Memory: Munir

Baru di beberapa tahun terakhir hidupnya, Munir bisa punya mobil. Sebelumnya kita lihat foto2nya bersama sepeda motor yang nggak baru2 amat. Konon motor itu pernah hilang. Dicuri. Tapi abis malingnya tahu itu motor punya Munir, motor itu dibalikin lagi. Trus ilang lagi. Dicuri lagi. Kali ini nggak balik. Munir cuman berkomentar “Barangkali yang ini malingnya lebih miskin lagi.” Trus cari motor lagi.

Kenapa kalau tokoh macam Derrida meninggal, aku sempat nulis di sini, tapi nggak waktu Munir meninggal? Fiu, ini tahun 2004. Aku kehilangan kemampuan untuk nulis sesuatu yang terlalu personal lagi di sini. Emang pernah aku nulis sesuatu tentang rumah, kantor, my real life, apa pun? Nggak bisa aja. Juga nggak bisa waktu bom meledakkan gedung2 di kawasan Kuningan, Jakarta. Juga nggak bisa waktu aku dapat pindah departemen dua kali tahun ini (di divisi yang sama). Derrida … waktu aku pertama kali baca2 tulisan dia, aku bahkan membayangkan penulisnya udah meninggal :). Ternyata memang trus baca bahwa doi masih hidup. Malah hampir ketemu, kalau kebagian tiket di Loughborough itu (dan memang takdir memihak pilihanku yang pertama, jadi dia stayed invisible sampai meninggal beneran). Tapi Munir?

Munir adalah tokoh yang mengalir pada saat2 paling genting, khususnya di sekitar 1998, waktu kita nggak tau mau jadi apa negara dan orang-orang di dalamnya besok pagi. Munir bukan pakar HAM yang cuman ahli koar-koar. Dia betul-betul membuktikan diri sebagai pahlawan HAM. Konon bukan pahlawan yang langsung jadi pemberani, tapi pahlawan yang setiap detiknya selalu berusaha menaklukkan rasa takutnya. Berisik. Cekatan. Cerdik. Nekat. Membongkari bagian paling busuk republik ini. Memberikan nama harum bangsa ini di seluruh dunia, bahwa bangsa ini tidak semuanya jadi anggota konspirasi busuk.

Dan suatu hari, sebuah SMS membuatku merasa kehilangan. Kehilangan yang terlalu sulit didefinisikan. Trus … aku harus nulis apa?

Apakah Munir bisa digantikan?

What Philosophers Think

Buku ini, judulnya memang “What Philosophers Think”, bukan “What Philosophers Write”. Kalangan profesional, khususnya akademis, suka atau tak suka selalu melakukan kontrol atas apa yang mereka terbitkan sebagai tulisan. Dan sering, tulisan yang terbit sudah mencakup umpan balik dari rekan-rekan kerja. Buku ini merupakan kumpulan wawancara lisan dengan para filsuf, sehingga kurang terfilter, dan barangkali jadi lebih alami. Beberapa filsuf yang mengkritisi eksistensi Tuhan dalam logika pun sering jadi menampilkan sisi keimanan mereka dalam wawancara. Eh, Tuhan memang tidak harus masuk frame logika manusia yang terbatas ini, kan? ;). Kalau suatu hari bisa masuk ya … barangkali memang wawasan manusia sudah luas dan benar2 tercerahkan, atau barangkali framenya salah lagi :).

Istilah filsuf sendiri tidak harus dimonopoli filsuf profesional atau akademis. Beberapa bidang ilmu bisa melahirkan kaum pemikir yang bisa disebut sebagai filsuf. Termasuk di dalamnya adalah bidang2 sains, teologi, sosiologi, barangkali juga matematika dan logika. Jangan lupa bahwa Wittgenstein yang dianggap filsuf terbesar di dunia berbahasa Inggris itu pun beranjak dari matematika. Di luar itu pun masih ada yang disebut sebagai filsuf amatir. Tapi sebenernya, filsafat itu apa sih? Apa cuman transaksi ide? Trus apa bedanya dengan sains yang juga transaksi ide? Bedanya, kata buku ini, adalah pada cara transaksinya. Ide dalam filsafat dialirkan dengan argumentasi rasional. Tapi yang namanya argumen rasional itu sebuah soalan filsafat sendiri. Beberapa cirinya adalah kombinasi pembuktian logis, alur pikiran, dan sifat self-evident. Untuk hal2 ini, pembuktian secara sains juga amat sangat sering digunakan. Barangkali Feynman suka bilang bahwa filsafat itu useless, tapi jangan percaya Feynman 100%. Teori string juga memakai pendekatan falsafi atas sains :) :), dan itu sebabnya baru pada tahun terakhir hidupnya Feynman benar2 menaruh minat pada teori string.

OK, balik ke filsafat. Apa yang disampaikan para filsuf (secara profesional), bukanlah ide. Ide gampang dicari. Dan dari sekumpulan ide, kita tidak bisa memilih mana yang benar dan mana yang salah (ok, lain kali aja dibahas apa itu benar dan salah). Yang disampaikan adalah runutan argumentasi pembuktiannya. Ulangi: bukan apa yang dipikirkan, tapi apa yang bisa dipakai sebagai landasan untuk mempercayai sesuatu. Dan itulah sebabnya karya falsafi jadi berharga. Dan itulah sebabnya banyak filsuf amatir, dengan “ide” yang cemerlang, terheran2 bahwa tulisannya tidak mendapatkan tanggapan yang berarti. Dan itu barangkali juga jadi sebab, kenapa untuk memutuskan apakah Derrida pantas mendapat gelar doktor kehormatan di Cambridge, diperlukan voting dengan selisih yang tipis.

Ujung2nya diharapkan adalah pemahaman yang lebih baik atas diri kita sendiri, lingkungan kita, pengetahuan kita, kebebasan kita (free will), dan berbagai aspek hidup kita.

Buku ini dipilah jadi 6 bagian besar: Darwin’s Legacy, Science, Religion, Philosophy and Society, Metaphysics, dan Language. Epistemology memang nggak masuk, tapi selalu dibahas tanpa standard di banyak interview. Wawancaranya sendiri melibatkan 22 filsuf, masing2 dalam 1 bab, dilakukan antara tahun 1998-2002. Ini mereka: Simon Blackburn, Helena Cronin, Don Cupitt, Richard Dawkins, Michael Dummett, Stuart Hampshire, John Harris, Ted Honderich, Mary Midgley, Ray Monk, Hilary Putnam, Jonathan R?e, Janet Radcliffe Richards, Roger Scruton, John Searle, Peter Singer, Alan Sokal, Russell Stannard, Richard Swinburne, Peter Vardy, Edward O Wilson, dan Mary Warnock.

QB Bandung

Ketemu juga aku sama satu lagi titik lemahku. Udah tahu bulan kemaren ini beli buku kebanyakan, bulan ini masih nggak bisa menahan diri juga. Kalau judulnya bookaholic sih, kali2 nggak pa-pa, bisa ngaku2 intelek. Tapi kalau judulnya cuman book shopaholic? Malu2in aja :). Salah satu pelarian dari tekanan yang nggak/belum bisa dilepas kali yach.

Dan buat pertahanan diri, kayak yang aku tulis di halaman buku: buku masih punya masa depan! Memang tahun2 terakhir ini, keluar lagi pendapat para pakar (tadinya sih bukan pakar, tapi “pakar”, tapi terima kasih untuk media massa Indonesia, sekarang pakar artinya “pakar”, sedang yang tadinya kita namai pakar jadi malu disamakan dengan pakar) bahwa masa2 akhir buku telah dekat. E-Book sudah terstandardisasi, siap untuk komersialisasi. Huh, keahlian para pakar itu memang hanya mengulang kesalahan orang. Matinya buku udah aku baca waktu zaman Internet masih baru di Indonesia, tahun 1995, dan malah sampai tahun 1980-an, waktu buku2 dijual dalam bentuk disket. Dan aku yakin prediksi kayak gitu udah ada juga di tahun 1970-an dan 1960-an, dan sayangnya akan terus ada sampai beberapa dekade ke depan.

Buku, terlalu nyaman, praktis, dan elegan, untuk dimusnahkan. Lebih dari itu, buku bukanlah sekedar media informasi (atau kita lebih suka menyebutnya information beam). Buku sudah melewati fungsi standarnya, dan dengan demikian udah bisa jadi salah satu artefak perayaan kehidupan, ha-ha :).

Huh, kalau nggak, kenapa aku justru beli buku Kernighan dan Ritchie justru abis aku memutuskan nggak jadi programer C (klasik) lagi, bareng dengan beli buku Milan Kundera. Dan di pihak lain, aku juga menganggap Kernighan dan Kundera dalam domain yang sama: pencipta buku. Aku pernah dimarahin temen, gara2 aku ngaku bookaholic, padahal waktu itu buku yang aku baca adalah buku Alexandrescu (Modern C++ Design). Temen aku itu tipe yang suka bikin kategori, barangkali. Buat aku sih, Alexandrescu sebenernya sebanding dengan Wittgenstein (penulis Tractatus Logico-Philosophicus), waktu dia bisa memaksakan diri bermain di template programming, dan dengan demikian melompat dari object-oriented programming ke aspect-oriented programming. Juga aku suka berpikir bahwa Larry Wall (penulis buku Programming Perl) perlu dipertimbangkan untuk memperoleh Nobel Sastra. Tukang kategori pasti menolak tanpa pernah mencoba baca buku Larry Wall.

Dan dengan demikian aku memproklamirkan diri sebagai pakar buku, yang dalam definisi media massa Indonesia, berarti aku belum pernah menerbitkan satu buku pun.

Sharing Vision

Sementara rekan2 lain sedepartemen bikin Forum Marketing nun di Subang, aku cuman melaju setengah jalan sampai Ciater. Hari ini nge-group dengan kelompok Mr Dodi Gonzales dari PR. PR, konon, pada zaman Perumtel dinamai Humastel. Tebak sendiri kepanjangannya. Tapi suatu hari seorang asing menanyakan departemen tempat kerja seorang rekan di PR, trus beliau bilang “Humastel”, dan barangkali si orang asing bales jawab “Why, certainly you must tell.” Trus barangkali dijawab “I’ve told you.” “What is it?” “Humastel”. Dan sejak itu namanya diubah jadi PR. Masa? EGP.

Anyway, hari ini aku punya kerja untuk sharing dengan rekan-rekan wartawan berbagai media. Abis pembukaan oleh Deputi Kadivre, trus Anton Timur berbagi cerita tentang teknologi (dimoderatori aku), trus aku cerita tentang portofolio produk (dimoderatori Dodi), dan diakhiri dengan Danrivanto cerita tentang regulasi. Konon bicara pada wartawan mesti hati2, haha :). Tapi nggak kok. Aku sebenernya lebih banyak belajar dari media, baik media massa maupun media yang tidak massa. Cuman memang barangkali aku terlalu asyik bercerita, sampai membiarkan rekan2 wartawan kehilangan alur :). Nggak masalah kalau wartawan kehilangan alur. Abis acara masih bisa chatting informal buat tambal2 yang nggak match. Dan janjian ketemu lagi di lain kesempatan.

Trus apa yang diceritain? Sebagian besar sih tentang produk yang udah dikenal. Plus rencana pengembangan produk di 2005. Dan tentang hal-hal yang mendasari pemilihan produk. Juga tata istilah. Udah gitu aja. Tapi abis juga 2 jam penuh.

In Memory: Derrida

Setelah untuk pertama kali dibahas di site ini, Derrida diputuskan untuk berpulang.
Demikianlah hidup dirayakan, dengan mencamkan terputusnya rantai demi rantai darinya.

Feynman

Waktu Feynman bertanya ke Schwarz (Berapa dimensi kamu hari ini?), sebenernya dia nggak ngece-ngece amat. Emang bawaannya aja. Tapi setidaknya, dia termasuk minoritas fisikawan besar — bersama Murray Gell-Mann yang mau hadir di seminar Schwarz itu. Dan waktu itu pun sudah jarang Gell-Mann dan Feynman bisa hadir dalam sebuah acara bersama2, nerusin acara cela2an berdua yang beberapa tahun sebelumnya sudah jadi kelaziman (sambil masuk ke acara Schwarz itu, Gell-Mann menyebut nama kota Montreal dengan lafal yang tepat seperti penduduk Montreal, i.e. Mon-ray-al, tapi Feynman berkeras belum pernah mendengar nama kota kayak gitu). OK. aku emang lagi doyan berseliweran kalo nulis weblog. Sorry.

Jadi itu beberapa tahun sebelum Schwarz ngetop di luar kelompok fisikawan yang terbatas itu. Feynman sendiri termasuk yang paling doyan main2 dengan spekulasi fisika dan matematika. Waktu di SMA, dia belajar kalkulus. Menghitung turunan pertama sebuah fungsi, turunan kedua, turunan ke n, dan mengambil suatu pola. Terus dia mikir: gimana kalau ada turunan kesetengah? Atau semacam itu. Jadi sesuatu yang mentransformasi sebuah fungsi, dan kalau ditransformasikan lagi menjadi turunan pertama dari fungsi itu. Ide itu baru dikerjakan waktu Feynman benar-benar menguasai kalkulus di universitas. Dan benar-benar terpakai waktu proyek Los Alamos.

Soal dimensi sendiri sering jadi bahan permainan Feynman. Apa yang terjadi kalau dunia ini cuma dua dimensi? Dia turunkan formula2 fisika ke ruang dua dimensi, dan mendapati bahwa spektrum atom2 itu jadi menarik sekali. Terus gimana kalau … bukan cuman ruang yang dipakai bermain … tapi juga waktu. Gimana kalau waktu bukan cuma 1 dimensi, tapi juga dua dimensi. Waktu bukan cuma depan dan belakang (soal waktu maju mundur, sila baca catatan-catatan sepanjang awal 2001), tapi ada semacam kiri dan kanan juga :). Apa yang terjadi pada hukum fisika?

Lalu Feynman berkisah tentang si sohibnya yang dikagumi tapi suka diajak bertengkar itu, tanpa menyebut nama. “Ada seseorang yang pernah mencoba berpikir: apa jadinya kalau partikel di dunia ini cuman tiga. Eh, terjadi inkonsistensi, misalnya pada K-meson. Jadi dia berpikir: apa jadinya kalau ternyata angka muatan itu tidak harus bilangan bulat?” Dan tepat itu lah yang bikin Gell-Mann jadi ilmuwan kelas dunia: kuark.

Leonard Mlodinow, waktu masih ragu memulai kerja sama dengan Schwarz, menanyakan ke Feynman: “Gimana pendapat Anda kalau saya memulai proyek yang kata orang omong kosong?”

Feynman menjawab: “Satu syaratnya.”

Mlodinow penasaran: “Apa itu?”

Feynman: “Bahwa menurut kamu itu bukan omong kosong.”

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑