Author: Kuncoro Wastuwibowo (Page 53 of 88)

Ketidakpastian Heisenberg

18 Desember 1944. Dua puluhan orang mendengarkan presentasi fisikawan Jerman, Werner Heisenberg di Universitas Zurich. Pemenang Nobel Fisika itu memberikan paparan yang mengalir lancar, cepat, sambil mencoret-coret formula nyaris tanpa henti. Hanya dalam beberapa menit, papan tulis sudah penuh dengan formula. Salah satu pendengar, Morris Berg, menjadi gelisah. Dia sudah belajar bermalam-malam untuk mengikuti presentasi ini. Tetapi tetap ada sesuatu yang belum jelas baginya. Ketidakjelasan yang tidak mungkin ditanyakan. Hatinya diliputi ketidakpastian. Tangannya yang berkeringat meraba saku jaketnya, dan merasakan senjata otomatisnya di sana.

Berg adalah anggota OSS (dinas rahasia AS, pendahulu CIA). Tugasnya hari itu adalah menemukan apakah pihak Jerman sudah memiliki teknologi bom atom. Jika itu positif, maka satu-satunya cara menghentikannya adalah dengan menembak Heisenberg di situ juga, tepat di antara kedua mata cemerlangnya.

Misi jorok AS itu bukan semata keputusan para politisi. Ilmuwan sekelas Hans Bethe (yang begitu dikagumi Feynman) turut terlibat dalam upaya ini, dan bahkan mengajukan diri untuk melakukannya.

Lima tahun sebelumnya, tahun 1939, setelah banyak ilmuwan Eropa, termasuk Einstein, Fermi, Szilard, dll, bereksodus ke Inggris, dan kemudian ke AS; Heisenberg melakukan kuliah keliling di AS. Banyak rekan2nya yang mengajaknya pindah ke AS, tetapi Heisenberg menolak. Ia selalu merasa bahwa sebagai ilmuwan terkenal, ia bisa ikut andil meredam keganasan Nazi. Fermi sudah mengingatkan bahwa di Italia ia juga ilmuwan paling terkenal, tetapi fasisme tidak mungkin dilawan akal sehat. Heisenberg tetap kembali.

Kemudian Hahn dan Meitner tak sengaja menemukan teknologi membelah nuklir. Sementara pemerintah AS cuek dengan soal ini, pemerintah Jerman cepat tanggap. Ekspor Uranium dihentikan, impor Radium dilakukan besar2an, dan penyulingan air berat di Norwegia diintensifkan. Baru beberapa tahun kemudian pemerintah AS membentuk proyek Manhattan untuk membangun bom atom.

Heisenberg sempat mamaksa diri ke Kopenhagen untuk bertemu Bohr. Ini langkah yang sangat dicurigai pemerintahnya. Tapi juga dicurigai Bohr yang begitu dikagumi Heisenberg. Yang dilakukan Heisenberg adalah meminta Bohr menjadi mediator, untuk meyakinkan bahwa para ilmuwan sepakat tidak membantu pemerintah masing2 membangun bom atom. Bohr menolak, karena sangat tidak yakin akan niat Heisenberg. Apa jadinya kalau AS berhenti membuat bom atom, misalnya, tapi Jerman terus membuat? Misi pribadi Heisenberg justru dianggap sebagai misi mata-mata untuk menguji apakah pemerintah sekutu benar2 sedang membuat bom atom.

Dan pemerintah sekutu pun memiliki misi tersendiri yang akan dilakukan di Zurich sini. Di sini Berg ragu. Apakah ia sedang menghadapi duta perdamaian, atau antek fasis? Tapi akhirnya ia mengambil sikap di atas ketidakpastian. Ia tidak percaya Heisenberg siap membuat bom atom.

Kebetulan ia benar. Tapi, apakah Berg benar atau salah … hidup memang tidak harus ramah. Dan tentu, hidup memang identik dengan ketidakpastian. Terutama kalau Heisenberg dilibatkan.

La Vie

Dan hidup tak lain dari tantangan-demi-tantangan;
yang tak lain dari hardikan keras atas sikap hidup yang aku ambil;
atas nilai-nilai yang aku definisikan;
Ke mana kaki ini aku bawa berlari;
kalau mataku sendiri yang menatap tajam pada hatiku
kalau jari-jariku sendiri yang merobek topengku;
kalau kata-kataku sendiri yang tajam menghujam nuraniku.
Reinventer?
Atas apa?

My Favorite Things

Raindrops on roses and whiskers on kittens;
Bright copper kettles and warm woolen mittens;
Brown paper packages tied up with strings;
These are a few of my favorite things.
Cream-colored ponies and crisp apple strudels;
Doorbells and sleigh bells and schnitzel with noodles;
Wild geese that fly with the moon on their wings;
These are a few of my favorite things.
Girls in white dresses with blue satin sashes;
Snowflakes that stay on my nose and eyelashes;
Silver-white winters that melt into springs;
These are a few of my favorite things.
When the dog bites,
When the bee stings,
When I’m feeling sad,
I simply remember my favorite things,
And then I don’t feel so bad.

The Tristan Chord

When Wagner started to be a composer, there were three different models of contemporary opera. Wagner had tried to adopt those types with Die Feen (German, rich-orchestrated style), Das Liebesverbot (Italian, lyrical style), and Rienzi (French style, with its luxuries). He then decided that Italian and French models had been decadent: they had passed their peaks in developments; therefore Wagner went back to explore more in German style, manifested in Die Fliegende Holländer, Tannhäuser, and Lohengrin.

Being ideologically attached with Bakunin the anarchist, Wagner got involved with Dresden putsch. Bakunin got caught and jailed, and Wagner fled to Switzerland. He faced the prospect of seemingly endless exile, with debt, hopeless marriage, and bad health. On this condition, he started composing Der Ring. Also he started reading Schopenhauer.

His reading gave him the idea for a wholly new way of opera composing. In a letter to Liszt, he referred the philosopher as a man who has come like a gift from heaven. He then composed Tristan und Isolde, called it the simplest but most full-blooded music conception. He stopped Siegfried on Act 3, and devoted himself to Tristan. But after several months, it was only music as yet.

Schopenhauer maintained that we are, in the most literal sense, embodiment of the metaphysical will, so that willing, wanting, longing, craving, yearning, are not just things we do: they are what we are. Music is also a manifestation of the metaphysical will. It directly corresponds to what we are in our innermost thing.

For years, Tristan remained ‘only music.’ But even now, its chord remains the most famous single chord in the history of music. It contains not one but two dissonances, thus creating a double desire, agonizing in its intensity, for resolution. The chord then moves, resolving one but not the other, thus providing resolution-yet-not resolution. In every chord-shift, something is resolved but not everything. When a satisfaction is created, so is a new frustration. Until the end. The silence. In Wagner’s words: “Here I sank myself into the depths of the soul’s inner workings. Here life and deaths and the very existence and significance of the external world appear only as manifestations of the inner workings of the soul.”

On another fine day, Wagner performed a nice symphony for his wife’s birthday. Siegfried Idyll. It was performed at home, with a very small number of guests attending. One of them was young Nietzsche, starting his long and historical friendship with Wagner. Indeed, Wagner was the greatest influence on the young man, who would in turn became one of the greatest figures in the entire history of western philosophy. But it is another story.

Ruzky 2

“Aku tak percaya kamu menyampaikan ketakutanmu pada atasanmu.”
“Saya anggap pasukan ini keluarga. Dan Anda ayahnya.”
“Ayah. Ayahku lebih ditakuti daripada disayangi.”
“Saya pernah dengar tentang ayah Anda, Pak. Tapi dalam dua versi. Pertama, dia pahlawan revolusi. Tapi juga saya dengar dia mati di kamp kerja paksa.”
“Dua duanya benar.”

Ruzky 1

“Mereka mengatakan bahwa kita pernah punya kosmonot sebelum Gagarin. Sayangnya dia kurang kuat menahan nafas waktu sistem pendukung kehidupan mendadak berhenti berfungsi. Jadi dia tidak pernah ada. Gagarin beruntung. Semoga kita juga.”

Маленький Принц 

Le Petit Prince, dans quelques langues, préparent pour acheter:

Adapoen, oentoek bahasa jang lainnja, dipersilahkan berbondong-bondong mengoendjoengi sitoes Multilingual Books. Atau tentu saja ke web Pangeran Kecil.

Formula Formula

Kayak apa sih formula relativitas Einstein yang konon sudah menggantikan teori gravitasi Newton itu? Kalau ditulis sih sederhana sebenernya:

Ruas kiri persamaan menyatakan kelengkungan (kurvatur) ruang waktu, yang menunjukkan medan gravitasi. Ruas kanan persamaan menyatakan kerapatan energi dan lain-lain dari materi selain medan gravitasi. Formula yang bagus, selama kita tidak harus jadi fisikawan yang membedah arti dari huruf T dan G dengan indeks mu dan nu itu. Sorry, aku kuliah di elektro, dan nggak kebagian main-main dengan tensor. Skalar, vektor, matriks, stop.

Bukan berarti anak elektro nggak main matematika. Hehe. Abis kalkulus, ada teori medan yang sebenernya lebih mirip cabang kalkulus daripada cabang fisika :). Aku dapat A loh. Tapi waktu kuliah antenna yang sebenernya meneruskan aplikasi teori medan, nilainya jadi C. Doh.

Yang konon paling lucu dari matematika versi teknik elektro adalah kesetiaannya pada bilangan kompleks. Nggak tau dimulai dari mana, tapi di elektro, bilangan imaginer dinotasikan sebagai j, bukan i kayak di matematika. Konon karena i sudah dipakai untuk kuat arus. Tapi lucunya, kenapa bukan notasi kuat arus aja yang diubah.

Balik ke teori medan. Mau nostalgia bentar nih. Di catatan awal tahun 2001, aku nulis cerita tentang Faraday, Maxwell, etc. Maxwell memformulasikan teori yang sudah disusun oleh Coulomb, Ampere, Faraday. Bentuknya, kayak yang ada di buku teori medan untuk mahasiswa elektro, adalah sbb:

Persamaan 1 memaparkan teori Coulomb tentang bagaimana medan litrik dihasilkan dari muatan listrik. Persamaan 2 memaparkan teori Ampere bahwa tidak ada yang disebut muatan magnet, karena magnetisme dibangkitkan oleh arus listrik. Persamaan 3 memaparkan teori Faraday yang menggambarkan perubahan medan listrik akibat perubahan medan magnet. Persamaan 4, kembali ke Ampere, menjelaskan bagaimana arus listrik menghasilkan medan magnet. Setelah disusun seperti itu, Maxwell dapat menyusun prediksi-prediksinya, termasuk tentang gelombang elektromagnetik, tentang spektrumnya yang tersebar, meliputi cahaya; dan membuat Maxwell menjadi salah satu ilmuwan terbesar abad ke-19.

Waktu Maxwell pertama kali menulis persamaan itu, bentuknya tidak sesederhana itu. Rada panjang, nggak pakai tanda del, curl, etc. Kayaknya di buku Hayt ada juga versi panjang ini. Demi kesederhanaan, formulasinya ditulis seperti di atas. Tapi, lebih lanjut, formulasi kayak gitu masih disingkat lagi. Kali ini dengan notasi relativistik mirip persamaan Einstein di atas. Jadinya tinggal dua persamaan:

Persamaan pertama menggabungkan persamaan Maxwell 1 dan 4, sementara persamaan kedua menggabungkan persamaan Maxwell 2 dan 3. Cuman, kayak penyederhaan sebelumnya, semakin sederhana formula ini, semakin dalam orang harus belajar untuk membaca dan menggunakannya. Mau coba? Coba mulai dengan ke http://en.wikipedia.org/wiki/Maxwell’s_equations.

Lagi: Lohengrin Act 1

Robert Horwitz, maintainer site http://www.open-spectrum- international.org, berkirim mail. Mail pertama membahas liberalisasi frekuensi 2.4GHz di Indonesia. Mail kedua menyebut hal yang lebih menarik: Lohengrin. Pembukaan Lohengrin, kata dia, adalah 8 menit terindah dalam musik yang pernah diciptakan. Yang barangkali dia nggak tahu adalah: aku baca mail itu (di Xphone) masih sambil ngedengerin Pembukaan Lohengrin (Act 1). Dan itu bukan kebetulan. Beberapa hari itu, aku memang selalu masang Lohengrin, kadang berderet dengan Tannhauser. Kadang dengan salah satu opera dari Der Ring. Tapi selalu ada Lohengrin tiap hari.

Lohengrin ada di kaset Wagner-ku yang pertama. Sisi B kaset itu berisi Lohengrin, Parsifal, dan Siegfried Idyll. Tapi nggak tau kenapa aku sempat lupa sama nama Lohengrin. Kaset itu aku bawa ke Coventry, tanpa cover. Dan di bulan Februari 2001 aku nulis salah satu kejeniusan Wagner yang bisa memahami sekaligus mewarnai semesta. Aku salah waktu itu, nulis judulnya Parsifal. Padahal justru Pembukaan Act 1 Lohengrin yang waktu itu terasa seperti magic, musik ajaib yang entah diturunkan dari mana ke semesta ini. Aku baru sadar beberapa bulan kemudian, waktu beli CD Lohengrin. Dan waktu sempat nonton Birmingham City Orchestra memainkan Act 1 Lohengrin (Pembukaan dan Elsa’s Dream) di Warwick. Betul-betul musik yang ajaib, biarpun waktu itu yang aku nunggu adalah Tristan und Isolde.

Aku bukan Robert Horvitz yang sudah mendengarkan semua musik yang ads di muka bumi dan bisa menentukan mana yang paling indah. Tapi aku bisa memahami orang yang bisa memiliki pendapat kayak Horvitz. Ini barangkali memang 8 menit terindah dalam sejarah musik.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑