Date: Sat, 23 Jul 2005 15:35:43 +0700
De: Teddy A Purwadhi
Objet: [members-isoc-id] Iuran Keanggotaan ISOC
Rekan,
Sekarang minta komentar dari yang sudah terdaftar di milis ini.
Katagori keanggotaan:
Description# Amount#Effective#Web Enabled:
1: Registered Members # US$75/person/Y#M/D/Y#Y/N
2: Verified Members # US$?/person/Y#M/D/Y/#Y/N
3: Student Members # US$?/person/Y#M/D/Y/#/Y/N
4: Professional Members # US$?/person/Y#M/D/Y#/Y/N
5: Senior Members # US$?/person/Y#M/D/Y#Y/N
Sementara itu dulu, dikasih waktu sampai 31 Juli 2005, ChapAdmin berhak menolak anggota yang tidak memenuhi syarat.
Subject: [ISOC-ID] Laporan Meeting di Gedung Cyber
From: Irwan Effendi Sat, Jul 23, 2005 at 12:10 AM
Hari ini, Jumat jam 10:30 pagi, saya menghadiri rapat informal di Gedung Cyber lt. 7, tepatnya lokasi kantor IDC dan ccTLD.
Pembicaraan berkisar tentang bagaimana eks chairman kita, Teddy A P telah memanipulasi publik mengenai sejarah berdirinya ccTLD, yakni dengan mengatakan bahwa rekan Budi Rahardjo diberikan mandat oleh IANA atas rekomendasi APJII, padahal yang dimintai rekomendasi oleh IANA pada saat itu adalah bapak Joseph Luhukay dan bapak Sanjaya dalam kapasitas mereka sebagai pribadi yang pionir kegiatan internet di Indonesia, bukan dalam kapasitas sebagai anggota APJII.
Bagi rekan-rekan yang tidak mengetahui sejarah internet Indonesia, bapak Joseph Luhukay yang sekarang adalah eksekutif Lippo, adalah orang Indonesia pertama yang mengikuti konferensi di internet (silahkan di google untuk detailnya), sedangkan Sanjaya adalah orang yang dikenal aktif di APNIC di awal masuknya internet di Indonesia. ccTLD sendiri dulu awalnya akan dikelola oleh bapak M. Samik Ibrahim yang nota bene adalah mentor bapak Budi Rahardjo, namun mengundurkan diri karena alasan pribadi.
Mengenai tindak tanduk TAP, dulu sewaktu dia non aktif di APJII, ditawari oleh bapak Marcelus untuk mengembangkan Chapter Indonesia di ISOC, yang mana kegiatan awal dan segala informasi teknis diurus oleh Marcelus, sedangkan TAP bertugas mengumpulkan fotocopy KTP untuk charter member. Sebagai catatan, dari 25 orang yang didaftarkan sebagai Charter Member pada saat itu, salah satunya tadi mengatakan sendiri bahwa dia baru sadar bahwa namanya dipakai untuk mendirikan Indonesian chapter sekitar 2 bulan yang lalu.
Selanjutnya, selama dua tahun, TAP sibuk menggunakan nama ISOC untuk mematikan kegiatan-kegiatan APJII dan mempublikasikan bahwa APJII seharusnya tidak mengelola IP, dan bahwa ia ingin mengambil alih pengelolaan IP atas nama ISOC. Saking sibuknya, sehingga tidak mengembangkan organisasi, bahkan tidak membuat mailing list untuk anggota. Mailing list member@isoc-id.org baru dibuat sekitar 4 bulan setelah milis yang ini aktif.
Sekarang, setelah dia kembali di APJII sebagai sekretaris, dia memutarbalikkan semua perkataan dia selagi “ngambek” terhadap APJII dan malah menggunakan nama APJII untuk mengambil alih ccTLD, yang akan disusul dengan mengambil pengelolaan server ENUM (dikatakan sendiri waktu pertemuan terakhir di Tulodong).
Lepas jembatan Losari, D3ZK masuk ke wilayah yang nggak pernah aku lewati dalam 5 tahun ini: daerah utara Jawa Tengah. Brebes dengan deretan penjual telor asin, Tegal dengan cat biru di kota yang terbangun apik, Pemalang yang menjebak dengan jalan tembusnya, Pekalongan yang memamerkan batik di mana-mana, Batang yang sederhana, Alas Roban dengan jalan lebar-lebar yang nggak serem lagi, Kendal, dan ujung perjalanan: Semarang.
Jangan cari Starbucks di Semarang :). Tapi cukup keliling Simpang Lima, cukup banyak yang bisa meningkatkan kadar kafein dalam darah. Simpang Lima itu bukan alun-alun Semarang. Alun2 ada di tempat lain, dan tidak cukup lapang. Sebenernya yang menarik di alun2 ini, waktu malam, adalah sea food (huh, dasar orang gunung). Tapi malam ini aku udah kekenyangan waktu bisa berkeliling. So, cukup Teh Poci aja, di bawah Poster Dewa yang jualan jamu masuk angin, sambil mengobservasi riuh manusia yang memutari alun2.
Seorang senior saya bernama A Hok orangnya sangat ramah, senang membantu, jago komputer dan jago membuat maket. Seperti biasa acara wisudaan selalu diisi dengan pembacaan cerita lucu setiap wisudawan. Diceritakan ia ke kampus naik angkot dan berhenti di depan kampus.
Supir: “Dari mana?” sambil menerima uang ribuan dan siap mengambil recehan kembalian.
A Hok: “Dari rumah temen,” dengan ramah dan kalem.
Supir: “?”
OK, buat yang lagi pingin ketawa, sila kunjungi weblog si Jay edisi hari ini :).
Sementara itu, ini beberapa joke Angkot versi Bandung.
Di Jalan Suci, ada dua cewek di pinggir jalan. Angkot Cicaheum-Ledeng langsung berhenti.
Sopir: Ledeng, Neng?
Satu cewek menggeleng.
Sopir: Dago?
Cewek: Nggak.
Sopir: Sion? (FYI: Angkot ini memang nggak lewat stasion, tapi bisa transit di Dago)
Cewek: Nggak.
Sopir: Ke mana?
Cewek: Mau nyeberang.
Angkot melaju lagi.
Di Alun-Alun, ada jalan searah, dimana angkot jurusan Sukajadi-Kelapa dan Kelapa-Sukajadi berjalan searah. Kernet sibuk menawarkan trayek (oops)
Kernet: Sukajadi – jadi – jadi – jadi – jadi !
Satu calon penumpang masuk dengan muka ragu.
Calon penumpang: Jadi?
Penumpang 1 : Jadi donk.
Penumpang 2 : Suka jadi suka enggak.
Dan pasti aku pernah cerita kan, kalo di Bandung ada angkot GAM (Aceh Merdeka! Aceh Merdeka!) dan angkot Zionist (Zion zion zion zion zion!) ??
Postscript dari catatan perjalanan ke kawasan Baduy. Yang ini bersumber dari tulisan R. Cecep Eka Permana. Maaf buat penulis, diculik tanpa sempat minta izin.
Kawasan Baduy tepatnya berada di desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak. Diperkirakan pada akhir abad ke-18 wilayah Baduy ini terbentang mulai dari kecamatan Leuwidamar sekarang sampai ke Pantai Selatan. Sekarang luas wilayah Baduy ini sekitar 5102 hektar. Batas wilayah sekarang ini dibuat pada permulaan abad ke-20 bersamaan dengan pembukaan perkebunan karet di desa Leuwidamar dan sekitarnya.
Masyarakat Baduy secara umum terbagi atas tiga golongan, yaitu tangtu, panamping, dan dangka. Tangtu dan panamping berada pada wilayah desa Kanekes, sedangkan dangka terdapat di luar desa Kanekes. Tangtu menurut pengertian masyarakat Baduy dapat diartikan sebagai masyarakat pendahulu atau cikal bakal, terdiri atas tiga kampung: (1) Cikeusik atau disebut juga tangtu Para Ageung, (2) Cibeo atau disebut juga tangtu Parahiyang, dan (3) Cikartawana atau disebut juga tangtu Kujang. Ketiga tangtu tersebut dikenal pula dengan nama Baduy Dalam. Panamping berarti daerah pinggiran. Masyarakat yang tinggal di daerah panamping masih terikat kepada tangtu-nya masing-masing. Mereka berkewajiban untuk nyanghareup atau menghadap atau melakukan/mengikuti aktivitas sosial budaya dan religi kepada tangtu-nya. Wilayah dangka ini adalah daerah yang berada di luar wilayah Kanekes namun masih merupakan wilayah budaya dan keturunan Baduy.
Pada masyarakat Baduy ini dikenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional dan sistem tradisional (adat). Dalam sistem nasional, seperti halnya dengan daerah lain di Indonesia, setiap desa terdiri atas sejumlah kampung. Desa Kanekes ini dipimpin oleh kepala desa yang disebut Jaro Pamerentah. Seperti kepala desa atau lurah di desa lainnya, ia berada di bawah camat, kecuali untuk urusan adat yang tunduk kepada kepala pemerintahan tradisional (adat) yang disebut puun. Uniknya bahwa bila kepala desa lainnya dipilih oleh warga, tetapi untuk Kanekes ditunjuk oleh puun, baru kemudian diajukan kepada bupati (melalui camat) untuk dikukuhkan.
Dari segi pemerintahan tradisional, masyarakat Baduy bercorak kesukuan yang disebut kapuunan, karena puun menjadi pimpinan tertinggi. Puun di wilayah Baduy ini terdapat tiga Cikartawana. Puun-puun ini merupakan ?tritunggal?, karena selain berkuasa di wilayahnya masing-masing, juga secara bersama-sama memegang kekuasaan pemerintah tradisional masyarakat Baduy. Walaupun merupakan satu kesatuan kekuatan, ketiga puun tersebut juga mempunyai wewenang tugas yang berlainan. Wewenang kapuunan Cikeusik menyangkut urusan keagamaan dan ketua pengadilan adat, yang menentukan pelaksanaan upacara-upacara (seren tahun, kawalu, dan seba), dan memutuskan hukuman bagi pelanggar adat. Wewenang kapuunan Cibeo menyangkut pelayanan kepada warga dan tamu ke kawasan Baduy, termasuk pada urusan administratur tertib wilayah, pelintas batas dan berhubungan dengan daerah luar. Sedangkan wewenang kapuunan Cikartawana menyangkut urusan pembinaan warga, kesejahteraan, keamanan, atau sebagai badan pelaksana langsung di lapangan yang memonitor permasalahan yang berhubungan dengan kawasan Baduy.
Sementara itu, kepercayaan orang Baduy pada dasarnya adalah penghormatan pada roh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa yang dinamakan Nu Kawasa. Keyakinan mereka sering disebut dengan Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh (aturan adat) agar supaya orang hidup menurut alur itu dan menyejahterakan kehidupan Baduy dan dunia ramai. Orang Baduy bertugas menyejahterakan dunia melalui tapa (perbuatan, bekerja) dan pikukuh. Tapa bagi orang Baduy bukan melakukan samadi atau tirakat berdiam diri di tempat sunyi, melainkan justru ?sedikit bicara banyak kerja?. Bekerja itulah tapanya orang Baduy, khususnya bekerja di ladang.
Objek terpenting dalam kaitannya dengan sistem religi Orang Baduy adalah Sasaka Domas. Objek itu sangatlah bersifat rahasia dan sakral, karena merupakan objek pemujaan paling suci bagi Orang Baduy. Bahkan Orang Baduy sendiri hanya setahun sekali yaitu pada bulan Kalima (upacara muja) dan orang terpilih oleh puun saja yang boleh ke sana. Tempat pemujaan itu merupakan sebuah bukit yang membentuk punden berundak sebanyak tujuh tingkatan, makin ke selatan undak-undakan tersebut makin tinggi dan suci. Dinding tiap-tiap undakan terdapat hambaro (benteng) yang terdiri atas susunan batu tegak (menhir) dari batu kali. Pada bagian puncak punden terdapat menhir dan arca batu. Arca batu inilah yang dikenal dengan sebutan Sasaka Domas (kata ?domas? berarti keramat/suci). Sasaka Domas digambarkan menyerupai bentuk manusia yang sedang bertapa. Arca ini terbuat dari batu andesit dengan pengerjaan dan bentuk yang sangat sederhana (seperti arca tipe polinesia atau arca megalitik). Sasaka Domas ini terletak di tengah hutan yang sangat lebat tidak jauh dari mata air hulu sungai Ciujung. Kompleks Sasaka Domas ini meliputi areal sekitar 0,5 hektar dengan suhu yang sangat lembab, sehingga batu-batu yang ada di sana semuanya berwarna hijau ditumbuhi lumut.
Cerita di Baduy ternyata lebih enak dibagi :). Capek juga sih. Suhu di Cibeo cukup sejuk, tapi tak cukup untuk membuat kedinginan. Di kegelapan malam, ayam-ayam berkokok. Barangkali baru jam 2 atau jam 3 pagi. Orang-orang bangun dan mempersiapkan segala sesuatu. Para tamu kayak kami lebih suka tidur lagi. Subuh masih terasa berat, dan terpaksa meminjam air wudlu dari tabung bambu daripada harus jalan dalam gelap ke kali. Baru jiwa bangun. Aku jalan ke pancuran, dan sempat memonopoli cukup lama. Ke mana yang lainnya? Sempat mandi membersihkan badan dan pikiran. Dan sementara itu langit mulai biru. Desa Cibeo berselimut halimun tipis. Masih sejuk tapi tidak dingin. Suasana hutan tertutup gini selalu bikin aku ingat Wagner lagi. Siegfried hidup di suasana kayak gini. Siegmund menemui Sieglinde di dusun di tengah hutan seperti ini. Tapi kemurnian alam seperti ini tentulah lebih pas dengan Das Rheingold. Ugh, Wagner pun jadi dekaden dibandingkan musik yang bangkit dari hatiku di tempat seperti ini.
Aku balik ke rumah, menikmati segelas kopi. Gelas, di sini terbuat dari ruas bambu. Yummie. Sebagai penghargaan, sebungkus kopi toraja aku sampaikan ke tuan rumah. Jalan-jalan pagi sendirian, aku menikmati pemandangan sekitar lapangan dan ke arah rumah Puun. Masih ada halimun tipis di atasnya. Dan mulai bercampur dengan asap putih dari rumah-rumah. Sinar matahari bergaris-garis mengisi dusun. Bulan masih tersenyum menampakkan diri di atas. Andai boleh bikin foto di sini :).
Berikutnya, menikmati permainan kecapi tradisional. Kecapi dibuat dari kayu basah, tanpa hiasan. Dawai dari kawat-kawat tipis, ditegangkan dengan kayu di bawah. Pentatonik nadanya. Ini bukan kawasan seni, jadi jangan harapkan kacapi ini bisa disinkronkan :).
Sarapan bersuasana mirip makan malam. Tapi tak banyak lagi cerita. Hari makin siang. Orang harus kerja. Maka mulailah kami menyeberangi jembatan dan keluar dari Cibeo. Tak melalui Cikertawana lagi, soalnya kita menempuh jalur yang berbeda. Jalan setapak cukup menarik. Bisa berjalan riang. Tapi tiba-tiba tanjakan sempit yang panjang dan tajam. Panjang. Di tepi bukit. Dan di kiri pemandangan dari ketinggian yang indah luar biasa. Lelah bisa dilupakan hanya dengan melihat pemandangan. Sayangnya, ini masih kawasan Baduy Dalam. Belum boleh mengoperasikan kamera. Tapi di ujung, turunan yang lebih tajam menanti. Tajam dan panjang sekali. Yang ini betul-betul menguras perhatian dan energi. Tidak ada tempat beristirahat. Tajam, licin, basah. Dan di ujungnya, jempatan tipis dan panjang lagi, batas ke Baduy Luar.
Kembali beberapa kampung, lumbung padi (leuit), sungai dilewati. Sempat ada kampung di mana dinding dihias dengan corak (jarang loh). Dan sempat sebentar menikmati latihan gamelan sederhana. Dan waktu kelelahan mulai datang, kami sampai di kampung Balimbing. Di sini, boleh mandi dengan sabun (horee), dan istirahat beberapa jam, sambil makan siang.
Tapi keluar dari Balimbing, kejutan, jalan langsung menanjak. Jalan menanjak tanpa pemanasan; dan jantungku berdetak memprotes. Terpaksa jalan pelan-pelan. Tapi tak lama, masuklah ke Ciboleger. Ujung dari kawasan Baduy Luar. Dan di luar sana, di wilayah republik, mobil menanti.
Beda sekali kawasan Baduy dengan kawasan republik, di mana semak-semak meninggi tidak dipotong. Rumah dibangun asal-asalan tanpa estetika. Kegiatan manusia diarahkan untuk alasan-alasan semu lagi: uang.
Sigh, dan aku harus segera balik kantor lagi. Mengejar EBITDA. Mengejar hidup yang tragis lagi. Entah untuk apa. I’m still no more than nothing.
Udara menyegarkan, membuat lupa pada badan yang basah kena hujan rintik, dan celana yang kotor bekas terpeleset. Suara gemericik air sungai menenangkan hati, membuat lupa pada penat perjalanan panjang, membuat lupa pada riuh republik nun di luar sana. Jembatan bambu tipis melengkung panjang di atas sungai. Di ujung sana, kamera harus dimatikan. Juga berbagai gadget dari dunia kami yang penuh kepalsuan. Jembatan berderit waktu kaki melangkah mantap di atasnya. Dan di ujungnya: inilah dia kawasan Baduy Dalam.
Jembatan ke Baduy Dalam
Beberapa jam sebelumnya, kami mencapai Bojong Manik dari arah Rangkasbitung. Mesin mobil dimatikan di tepi kawasan Baduy Luar, dan perjalanan dengan kaki dimulai. Jalan masih cukup beradab. Hanya ada satu tanjakan yang bener-bener bikin hampir menyerah. Tanjakan dan turunan lain (banyak!) masih bisa diatasi. Canda dan pikiran-pikiran iseng cukup untuk melawan kelelahan. Dusun-dusun Baduy susul menyusul. Semakin ke dalam semakin rapi. Dan 2 jam kemudian, masuklah kami ke jembatan yang menjadi batas ke Baduy Dalam. Tiga titik sungai diseberangi (tanpa jembatan, duh segarnya), dan masuklah ke Dusun Cikertawana. Sesiang ini, dusun ini sepi. Penduduk ke kebun dan ladang yang jaraknya konon relatif jauh dari dusun. Sebentar rehat, kami melanjutkan jalan kaki. Sekitar 4 menit saja, menyeberangi sungai, masuk ke Dusun Cibeo. Ini hentian kami.
Kawasan Baduy Luar
Cibeo, luar biasa. Rumah-rumah panggung tertata rapi, dengan ukuran yang sama, berjajar-jajar. Tiap rumah memiliki interior yang kurang lebih sama. Eit. Persegi panjang dengan perbandingan 1:1½ atau 1:/2 atau barangkali 1:?. Di dalamnya, ada sebuah ruang persegi panjang, menyisakan ruang berbentuk L untuk sisa ruangan. Ada tungku di kedua ruang, membuat atap daun itu menghitam di dalam. Dinding anyaman. Beranda batang-batang bambu, dengan undakan pendek ke tanah.
Di tengah terdapat lapangan berundakan rendah. Di satu ujungnya ada balai tempat acara-acara dusun. Dan di ujung satunya adalah tempat tinggal Puun, tetua desa. Bebersih badan dilakukan di pancuran di luar dusun (atau alternatifnya adalah di kali yang jadi batas dusun). Penggunaan bahan kimia seperti sabun, pasta gigi, shampoo, dilarang. Mandi menyegarkan sekali, membuang segala keringat yang terakumulasi di perjalanan panjang.
Dusun ini dikelilingi gunung, jadi gelap cepat datang. Dan yang bisa dilakukan hanyalah berbincang di dalam rumah.
Orang-orang Baduy Dalam bersifat menerima pendatang. Memang banyak pantangan. Tapi di luar itu, mereka menerima kami dengan ramah sekali. Sopan. Hilang kesan bahwa itu adalah daerah tertutup. Sambil berbincang, pemilik rumah menawarkan souvenir-souvenir yang merupakan kerajinan lokal. Aku ambil satu set pemantik api yang digunakan di sana untuk membuat api. Juga sisir kasar bercelah halus yang pasti nggak bisa dipakai menata rambutku yang tebal-tebal ini. Juga kemudian beberapa kerajinan lain. Ada juga orang Baduy Luar yang masuk menawarkan barang2 souvenir dari dunia luar, kayak kaos dan gantungan kunci dengan tulisan Baduy. Hrms, orang Baduy kan menghindari urusan baca tulis. Belajar dari pengalaman diperbolehkan, tapi sekolah atau semacamnya dilarang. Untuk penerangan, mereka pakai lilin yang jelas diimpor dari luar, bukan semacam obor misalnya. Kami boleh pakai senter. Yang dilarang bukan benda berlistrik, tapi alat elektronik. Jadi kayaknya mereka mengenal teknologi semikonduktor dan melakukan pembatasan dari level itu. So: no HP, no camera, no radio :).
Waktu gelap turun, kami berkumpul. Menikmati makan malam sambil mendengarkan cerita tentang cara hidup sehari-hari di sana. Ke air sebentar dalam kegelapan. Dan menikmati kegelapan dalam mimpi-mimpi panjang. Pertarungan panjang antara kepalsuan dengan ketulusan yang semuanya tersaput kegelapan.
Perderti cosi
Come un attimo
Mentre tutto va
Oltre i limiti
Della mia fantasia
Tu che eri mia!
Voli e brividi
Grandi sogni che
Forse realizzai
A che servono
Se tu non sei qui
Qui con me
Anche se ho sbagliato io?
Resta qui con me
io sar? per te
un angelo vero che songa e che sa
prederti la mano
e darti l?anima
resta qui
resta qui
tu che sei mia
un attimo e noi
voleremo l?
dove tutto ? paradiso se
noi noi saremo l?
soli ma insieme.
Lo ritorner? credimi
L?uomo che hai amato in me
Resta qui con me
io sar? per te
un angelo vero che songa e che sa
rallentare il tempo
che non passer?
resta qui, resta qui,
tu che sei mia
Un attimo e noi
voleremo l?
ogni giorno che
noi saremo insieme
Dengan sebuah kata “pliizzzz,” aku minta Dian untuk menulis kisah satu hari hidup di Bayreuth, kota Wagner. Waktu nulis email itu, aku belum melakukan pre-research terhadap Dian. Tapi coba ke Google misalnya, kita bisa lihat visi menarik yang melingkupi kehidupan Dian. Dan seurieus pula :). Hasil pre-research ini aku pikir nggak salah-salah amat. Dian bukannya mengirimkan tiga empat paragraf, melainkan tak kurang dari enam halaman A4. “Untukku satu hari bisa berupa kumpulan ingatan tentang tahun-tahun sebelumnya, tentang hari ini dan juga khayalanku tentang nanti,”, gitu tulisnya. Dan sangat berharga buat dibaca, terutama buat yang lagi emotionally-collapse kayak aku ;).
Jadi, tulisan Dian aku pasang di halaman Wagner di site ini, dengan ucapan terima kasih setulusnya, dan harapan agar tidak berhenti di sini berbagi hal-hal yang menarik dalam hidup kita ini.
Mengapa kita kadang mudah percaya? Percaya atau tidak, sebal atau tidak, a.l. ini pengaruh hormon. Namanya oxytocin. Pada mamalia non-manusia, hormon ini dikaitkan dengan kelekatan sosial, termasuk fungsi fisiologis yang berkait dengan reproduksi. Lebih jelas, hormon ini membantu hewan mengatasi kecenderungan untuk berjauhan, dan memungkinkan hewan lain melakukan pendekatan.
Michael Kosfeld dkk dari Universitas Zurich melakukan kajian double-blind untuk membandingkan tingkat kepercayaan manusia yang terpapar oxytocing melalui semprotan hidung, dan yang terpapar placebo. Setelah disemprot, para korban testing ini melakukan permainan kepercayaan dalam bentuk investasi uang. Uangnya dalam bentuk unit tertentu (mirip B$ kali ya), yang nantinya boleh dijadikan uang beneran kalau permainan selesai.
Menurut peneliti ini, teramati bahwa oxytocin meningkatkan tingkat trust para investor ini. 45% korban oxytocin berani bermain pada tingkat kepercayaan paling kritis, sementara hanya 21% korban placebo yang berani. Apa artinya oxytocin juga meningkatkan keberanian mengambil resiko? Tidak juga. Soalnya waktu menghadapi statement yang disampaikan melalui komputer, kelompok oxytocin sama tidak percayanya dnegan kelompok placebo.
Kosfeld dkk memang takut bahwa temuan ini dapat disalahgunakan. Hmmh, trus gimana? Lebih enak mempercayai orang yang kita akrabi via Internet dan telepon daripada yang kita akrabi secara fisik, supaya persepsi dan kepercayaan tak tercemari ulah hormon?
Hmmm, no comment deh.