Baduy #1

Udara menyegarkan, membuat lupa pada badan yang basah kena hujan rintik, dan celana yang kotor bekas terpeleset. Suara gemericik air sungai menenangkan hati, membuat lupa pada penat perjalanan panjang, membuat lupa pada riuh republik nun di luar sana. Jembatan bambu tipis melengkung panjang di atas sungai. Di ujung sana, kamera harus dimatikan. Juga berbagai gadget dari dunia kami yang penuh kepalsuan. Jembatan berderit waktu kaki melangkah mantap di atasnya. Dan di ujungnya: inilah dia kawasan Baduy Dalam.

Jembatan ke Baduy Dalam

Beberapa jam sebelumnya, kami mencapai Bojong Manik dari arah Rangkasbitung. Mesin mobil dimatikan di tepi kawasan Baduy Luar, dan perjalanan dengan kaki dimulai. Jalan masih cukup beradab. Hanya ada satu tanjakan yang bener-bener bikin hampir menyerah. Tanjakan dan turunan lain (banyak!) masih bisa diatasi. Canda dan pikiran-pikiran iseng cukup untuk melawan kelelahan. Dusun-dusun Baduy susul menyusul. Semakin ke dalam semakin rapi. Dan 2 jam kemudian, masuklah kami ke jembatan yang menjadi batas ke Baduy Dalam. Tiga titik sungai diseberangi (tanpa jembatan, duh segarnya), dan masuklah ke Dusun Cikertawana. Sesiang ini, dusun ini sepi. Penduduk ke kebun dan ladang yang jaraknya konon relatif jauh dari dusun. Sebentar rehat, kami melanjutkan jalan kaki. Sekitar 4 menit saja, menyeberangi sungai, masuk ke Dusun Cibeo. Ini hentian kami.

Kawasan Baduy Luar

Cibeo, luar biasa. Rumah-rumah panggung tertata rapi, dengan ukuran yang sama, berjajar-jajar. Tiap rumah memiliki interior yang kurang lebih sama. Eit. Persegi panjang dengan perbandingan 1:1½ atau 1:/2 atau barangkali 1:?. Di dalamnya, ada sebuah ruang persegi panjang, menyisakan ruang berbentuk L untuk sisa ruangan. Ada tungku di kedua ruang, membuat atap daun itu menghitam di dalam. Dinding anyaman. Beranda batang-batang bambu, dengan undakan pendek ke tanah.

Di tengah terdapat lapangan berundakan rendah. Di satu ujungnya ada balai tempat acara-acara dusun. Dan di ujung satunya adalah tempat tinggal Puun, tetua desa. Bebersih badan dilakukan di pancuran di luar dusun (atau alternatifnya adalah di kali yang jadi batas dusun). Penggunaan bahan kimia seperti sabun, pasta gigi, shampoo, dilarang. Mandi menyegarkan sekali, membuang segala keringat yang terakumulasi di perjalanan panjang.

Dusun ini dikelilingi gunung, jadi gelap cepat datang. Dan yang bisa dilakukan hanyalah berbincang di dalam rumah.

Orang-orang Baduy Dalam bersifat menerima pendatang. Memang banyak pantangan. Tapi di luar itu, mereka menerima kami dengan ramah sekali. Sopan. Hilang kesan bahwa itu adalah daerah tertutup. Sambil berbincang, pemilik rumah menawarkan souvenir-souvenir yang merupakan kerajinan lokal. Aku ambil satu set pemantik api yang digunakan di sana untuk membuat api. Juga sisir kasar bercelah halus yang pasti nggak bisa dipakai menata rambutku yang tebal-tebal ini. Juga kemudian beberapa kerajinan lain. Ada juga orang Baduy Luar yang masuk menawarkan barang2 souvenir dari dunia luar, kayak kaos dan gantungan kunci dengan tulisan Baduy. Hrms, orang Baduy kan menghindari urusan baca tulis. Belajar dari pengalaman diperbolehkan, tapi sekolah atau semacamnya dilarang. Untuk penerangan, mereka pakai lilin yang jelas diimpor dari luar, bukan semacam obor misalnya. Kami boleh pakai senter. Yang dilarang bukan benda berlistrik, tapi alat elektronik. Jadi kayaknya mereka mengenal teknologi semikonduktor dan melakukan pembatasan dari level itu. So: no HP, no camera, no radio :).

Waktu gelap turun, kami berkumpul. Menikmati makan malam sambil mendengarkan cerita tentang cara hidup sehari-hari di sana. Ke air sebentar dalam kegelapan. Dan menikmati kegelapan dalam mimpi-mimpi panjang. Pertarungan panjang antara kepalsuan dengan ketulusan yang semuanya tersaput kegelapan.

Leuit di Baduy Luar