Baduy #2

Cerita di Baduy ternyata lebih enak dibagi :). Capek juga sih. Suhu di Cibeo cukup sejuk, tapi tak cukup untuk membuat kedinginan. Di kegelapan malam, ayam-ayam berkokok. Barangkali baru jam 2 atau jam 3 pagi. Orang-orang bangun dan mempersiapkan segala sesuatu. Para tamu kayak kami lebih suka tidur lagi. Subuh masih terasa berat, dan terpaksa meminjam air wudlu dari tabung bambu daripada harus jalan dalam gelap ke kali. Baru jiwa bangun. Aku jalan ke pancuran, dan sempat memonopoli cukup lama. Ke mana yang lainnya? Sempat mandi membersihkan badan dan pikiran. Dan sementara itu langit mulai biru. Desa Cibeo berselimut halimun tipis. Masih sejuk tapi tidak dingin. Suasana hutan tertutup gini selalu bikin aku ingat Wagner lagi. Siegfried hidup di suasana kayak gini. Siegmund menemui Sieglinde di dusun di tengah hutan seperti ini. Tapi kemurnian alam seperti ini tentulah lebih pas dengan Das Rheingold. Ugh, Wagner pun jadi dekaden dibandingkan musik yang bangkit dari hatiku di tempat seperti ini.

Aku balik ke rumah, menikmati segelas kopi. Gelas, di sini terbuat dari ruas bambu. Yummie. Sebagai penghargaan, sebungkus kopi toraja aku sampaikan ke tuan rumah. Jalan-jalan pagi sendirian, aku menikmati pemandangan sekitar lapangan dan ke arah rumah Puun. Masih ada halimun tipis di atasnya. Dan mulai bercampur dengan asap putih dari rumah-rumah. Sinar matahari bergaris-garis mengisi dusun. Bulan masih tersenyum menampakkan diri di atas. Andai boleh bikin foto di sini :).

Berikutnya, menikmati permainan kecapi tradisional. Kecapi dibuat dari kayu basah, tanpa hiasan. Dawai dari kawat-kawat tipis, ditegangkan dengan kayu di bawah. Pentatonik nadanya. Ini bukan kawasan seni, jadi jangan harapkan kacapi ini bisa disinkronkan :).

Sarapan bersuasana mirip makan malam. Tapi tak banyak lagi cerita. Hari makin siang. Orang harus kerja. Maka mulailah kami menyeberangi jembatan dan keluar dari Cibeo. Tak melalui Cikertawana lagi, soalnya kita menempuh jalur yang berbeda. Jalan setapak cukup menarik. Bisa berjalan riang. Tapi tiba-tiba tanjakan sempit yang panjang dan tajam. Panjang. Di tepi bukit. Dan di kiri pemandangan dari ketinggian yang indah luar biasa. Lelah bisa dilupakan hanya dengan melihat pemandangan. Sayangnya, ini masih kawasan Baduy Dalam. Belum boleh mengoperasikan kamera. Tapi di ujung, turunan yang lebih tajam menanti. Tajam dan panjang sekali. Yang ini betul-betul menguras perhatian dan energi. Tidak ada tempat beristirahat. Tajam, licin, basah. Dan di ujungnya, jempatan tipis dan panjang lagi, batas ke Baduy Luar.

Kembali beberapa kampung, lumbung padi (leuit), sungai dilewati. Sempat ada kampung di mana dinding dihias dengan corak (jarang loh). Dan sempat sebentar menikmati latihan gamelan sederhana. Dan waktu kelelahan mulai datang, kami sampai di kampung Balimbing. Di sini, boleh mandi dengan sabun (horee), dan istirahat beberapa jam, sambil makan siang.

Tapi keluar dari Balimbing, kejutan, jalan langsung menanjak. Jalan menanjak tanpa pemanasan; dan jantungku berdetak memprotes. Terpaksa jalan pelan-pelan. Tapi tak lama, masuklah ke Ciboleger. Ujung dari kawasan Baduy Luar. Dan di luar sana, di wilayah republik, mobil menanti.

Beda sekali kawasan Baduy dengan kawasan republik, di mana semak-semak meninggi tidak dipotong. Rumah dibangun asal-asalan tanpa estetika. Kegiatan manusia diarahkan untuk alasan-alasan semu lagi: uang.

Sigh, dan aku harus segera balik kantor lagi. Mengejar EBITDA. Mengejar hidup yang tragis lagi. Entah untuk apa. I’m still no more than nothing.