Author: Koen (Page 49 of 87)

Barenboim

Daniel Barenboim, musikus kelahiran Argentina yang memiliki dua paspor: Argentina dan Israel. Ia General Music Director dari Deutsche Staatsoper Berlin, dan juga menjadi conductor dari Bayreuth Festpielle sejak 1981. Walau secara umum ia merasa tak terusik hidup di negara yang diemohi kaum Yahudi, tapi kadang ada usikan juga. Tokoh politik Jerman seperti Klaus Landowsky dari CDU masih mencapnya sebagai Jew Barenboim: “On one hand, you have young Karajan, Christian Thielemann. On the other, you have the Jew Barenboim.” Barenboim secara enteng cuman menganggap politikus itu nggak ngerti soal keyahudian. Namanya juga politikus.

Sebagai conductor di Bayreuth, tentu Daniel kita lekat dengan Wagner. Kita boleh curiga bahwa cerita tentang Daniel ini kita tulis di sini karena berkaitan dengan Wagner, haha :). OK, jadi pada pertengahan 2001, Barenboim melakukan konser keliling yang antara lain dilakukan di Yerusalem. Barenboim berencana memainkan komposisi Die Walküre yang sungguh membangkitkan inspirasi itu. Tapi pimpinan Israel Festival memintanya mengurungkan rencananya. Jadi Barenboim mengganti bagian itu dengan komposisi dari Schumann dan kemudian Stravinsky. Namun setelah Stravinsky, Barenboim menyempatkan diri berbincang dengan pengunjung, menanyakan apakah tidak berkeberatan jika ia memainkan cuplikan dari Tristan & Isolde. Sebagian pengunjung setuju, tapi banyak juga yang menolak. Maka Barenboim menyatakan bahwa ia akan memainkannya, dan memberi waktu kepada yang tidak suka untuk meninggalkan hall. Sebagian penonton benar-benar keluar, dan barulah kemudian dari ruang itu mengalun melodi indah dari Tristan & Isolde. Tanpa keributan, malam itu.

Peristiwa itu kemudian menjadi isu besar, sampai didiskusikan serius di Knesset, parlemen Israel, seperti yang pernah aku tulis di site ini tahun 2001 dulu. Komite budaya Knesset meminta agar Barenboim diboikot.

Tahun 2002, filsuf Edward Said bercerita bahwa delapan tahun sebelumnya (so: 1994?) Barenboim pernah memainkan Tristan & Isolde dengan anggunnya, sehingga musiknya masih terus terdengar dan terngiang. “I can’t stop hearing that searingly romantic and audacious sound constantly; it’s almost driving me crazy,” ucapnya kepada Barenboim. Lalu mereka berdiskusi panjang soal Tristan. Dan mereka menerbitkan buku bersama, “Parallels and Paradoxes.”

Tristan, dan sebenarnya jua Die Walküre memang punya kemampuan mengesankan untuk bertahan di memori untuk kemudian bangkit dalam suara yang sungguh nyata dan presisi dari memori kita. Di suatu malam di Ibis Montmartre (1995), aku bisa mendengarkan Tristan dari sound system imajiner; dan sempat membuat hati tergetar. Sampai sekarang, bagian Liebestod dari Tristan suka terdengar di saat hati terasa sepi. Kayak sekarang juga, sebenernya.

Toledo

Sebuah tulisan di Kompas mengingatkanku pada kota Toledo. Toledo, nyaris sepuluh tahun yang lalu. Hey, sebelum kaum proletar sekali lagi memprotes acara jalan2ku, aku mau cerita dulu bahwa aku ke sana bukan dengan sterling dari dompetku. Impossible lah yaw. Waktu itu aku sedang belajar FITL with SDH, yang waktu itu masih merupakan ilmu rada baru. Training di Madrid, dan ada kunjungan ke pusat industri Alcatel di Toledo.

Tentu saja industrinya menarik. Tapi aku lagi jarang cerita tentang pekerjaan di sini :). So, abis itu, kita bikin acara kunjungan ko kota budaya Toledo. Salah satu kota tertua di Eropa.

Sebelum masuk kota, kita sempatkan diri mengamati kota dari kejauhan. Dari jauh, yang tampak adalah museum sebesar kota kecil, di bawah terik matahari. Trus bus kami masuk Toledo. Sepasang mata indah mengamati kami turun dari bus. Hmm, bahkan sepuluh tahun kemudian, aku masih bisa melihatnya. Mata yang tidak khas Eropa.

Guide kami (orang Alcatel Toledo) bercerita bahwa kota ini dilindungi oleh Unesco. Salah satu kota tertua di Eropa. Dulunya ibukota salah satu kesultanan muslim di Eropa. Tapi sudah tidak ada lagi muslim di sini. Lalu dia menunjuk ke bekas masjid yang telah dialihfungsikan. Kami diajak ke katedral. Terdengar Konserto Brandenburg ke 4. Hey, waktu itu aku masih suka Bach. Si guide bercerita bahwa kalau orang Islam seperti kami berdoa langsung kepada Tuhan, maka mereka berdoa melalui para saint. Maaf kalau ada yang berbeda pendapat — tapi itu kata guide kami. Banyak ceruk-ceruk yang mewakili tempat para saint, dan orang-orang berdoa di setiap ceruk.

Kembali ke udara segar, aku memutuskan berjalan tanpa guide. Berkeliling lorong yang berlandaskan batu-batu kecil. Menonton para pengrajin emas. Menikmati hiburan lokal. Ke pasar tradisional. Mendengarkan orang yang mengumpulkan sumbangan untuk membantu orang-orang Bosnia. Berbaur bersama deretan turis dari berbagai negara. Dan nggak sengaja ketemu guide kami lagi, tepat waktu makan siang. Hey :).

Kunjungan berikutnya adalah ke Benteng Alcazar. Sekarang jadi museum kemiliteran. Aku udah lupa apa isinya. Barangkali hal-hal yang menyangkut perang dan semacamnya nggak bertahan lama singgah di kepalaku. Tapi aku menghabiskan waktu agak lama juga di dalam sana. Trus keliling lagi menikmati arsitektur kota. Aku bukan tipe turis tukang belanja sih :). Jadi menikmati kota itu udah kenikmatan tersendiri.

Dan sore datang terlalu cepat. Sopir sudah tak sabar mau membawa kami kembali ke Madrid. Enggan meninggalkan kota menarik ini. Tapi bis bergerak, lambat tapi tanpa ampun. Dan sepasang mata indah itu kembali menatapku dari luar jendela.

Dan membuatku sadar bahwa yang indah bukan harus melekat.

Pagi Yang Cerah

Seorang makhluk mungil berulang tahun. Sebenernya nggak mungil bener. Tapi aku selalu mengingat dia sebagai makhluk mungil yang selalu cerdas dan ceria. Dia menemani aku zaman bikin skripsi dulu, sambil bercerita tentang bebek dan makhluk-makhluk ajaib lainnya. Dan aku harus terpaksa banyak bercerita dan menjelaskan apa pun yang dia mau tahu. Tentang langit biru misalnya. Tentang pelangi. Tentang Pol Pot.

Dan waktu aku dalam tekanan besar, yang tidak mungkin diceritakan ke makhluk lucu semungil itu; dia meninggalkan majalah Aku Anak Saleh di depanku. Dan di bagian dalam cover itu tercetak QS Ad-Dhuha. Ini yang terbaca hatiku waktu itu:


Demi pagi yang cerah. Dan demi malam yang kelam.
Tuhanmu tidak pernah meninggalkanmu, dan tidak pula membencimu.
Akhir akan lebih baik daripada awal.
Dan Tuhanmu mengaruniaimu sehingga kamu ridha.
Bukankah Aku mendapatimu sebagai yang tak memiliki pegangan, kemudian menuntunmu?
Bukankah Aku menemukanmu kebingungan, kemudian menunjukimu?
Bukankah Aku menemuimu kekurangan, kemudian mencukupimu?
Maka kepada yang tidak memiliki pegangan, janganlah sewenang-wenang.
Kepada yang meminta, janganlah mengusir.
Dan karunia Tuhanmu, sebarkanlah.
(QS Ad-Dhuha 1-11)

Tentu saja ayat-ayat Ad-Dhuha sering dibaca dalam shalat-shalat kita. Namun dia terbaca berbeda saat kita sedang kehilangan jiwa kita. Teringatkan pada saat-saat lalu di mana tekanan-tekanan memberati hidup, dan Kasih Yang Agung itu memegang tangan kita, menuntun dengan kehangatan, membimbing dengan ramah, dan memberikan cinta tanpa syarat.

Bukan berarti sukma ini langsung jernih. Antidepressant itu belum boleh dibuang juga. Tapi terasa ada yang hangat di hati. Bahwa di balik cobaan dari-Nya yang sekeras ini, ia masih dan terus menjanjikan: pada akhirnya segalanya akan lebih baik daripada awalnya.

Berserah Diri?

Dan tiba-tiba dengan acuhnya dia berguman, “Kamu, Koen, kamu lebih dari mampu untuk mengatasi yang cuman kayak gitu aja.”

“Nggak segampang itu.”

Dia tertawa mengejek: “Kamu cuma lupa sesuatu.”

Aku mencoba menjelaskan, “Aku bukannya tidak berserah diri kepada Allah. Tapi cobaan ini datang dari-Nya. Ia memberi manusia kecerdasan dan kemudian menguji kemampuan manusia memecahkan masalah. Ia mengujiku. Aku nggak bisa menyerah dan menunggu keputusan akhir-Nya. Ngerti nggak sih? Cobaan ini, masalah-masalah ini, tekanan ini, semua dari-Nya. Nggak lucu kan kalau aku menyelesaikannya hanya sekedar dengan mengingat-Nya, berharap pada-Nya. Ngerti nggak sih?”

Dia malah ketawa. “Baru sadar sekarang? Makanya aku bilang apa tadi?”

Sebenernya aku belum ngerti sih …

Seterika Wireless

Hey, anak zaman sekarang :), percaya nggak: sebelum ada listrik, udah ada seterikaan. Wireless pula. OK, tentu saja aku bukan psychic. Tapi abis beberapa hari
yang lalu aku ngebahas tentang seterikaan arang (dalam konteks mengatasi ketiadaan listrik), tahu-tahu tiba-tiba mendadak sekonyong-konyong, sebuah seterikaan arang menampakkan diri di tempat yang paling tidak masuk akal: Toko QB di Plasa Semanggi. Bukan miniatur atau semacamnya.

Konteks perbincangannya, kalau nggak salah, tentang upaya memasang infrastruktur informatika di tempat terpencil. Bukan urusan transmisinya aja tentu, tapi juga
power. Waktu KKN di Nganjuk sih, sempat pasang pembangkit listrik mikrohidro. Tapi mungkin yang semacam itu juga tak terlalu applicable di semua tempat. Nah, di IEEE Spectrum beberapa tahun lalu, dipaparkan bahwa di Vietnam, upaya menyebarkan teknologi informasi ke pedalaman dilakukan dengan bantuan pembangkit listrik tenaga manusia. Generator listriknya berupa genset tanpa BBM yang dikayuh dengan pedal sepeda. Serius. Pakai komputer hemat listrik, tentu. Layarnya jangan CRT. Dan tentu perlu stabilizer merangkap UPS. Accu misalnya. Nggak pingin kan, gara2 yang mengayuh pegal trus koneksi mati.

Trus perbincangan ngelantur jadi soal nonton berita, atau bahkan sinetron, sambil mengayuh generator. Bisa 4 jam, kalau yang ditonton Bollywood. Trus kalau kulkas? Mau 24 jam? Kalau seterikaan? Eh, kan ada seterikaan arang. Gitu deh.

Trus ke mana seterikaannya sekarang ? Hmmm, udah pindah ke rumah :). Kali-kali kalau PLN masih ngeyel menggilir listrik, suatu hari seterika wireless ini kepakai juga. Mudah2an nggak bikin baju bolong2 kena loncatan bunga api arang.

Belajar Hidup

“Apa sih hidup itu menurut Anda?”

Pertanyaan lucu. Seolah kita bukan orang yang menjalani hidup :). Tapi serius, pertanyaan semacam itu sering masuk ke site ini. Sebenernya nggak salah juga sih, berhubung emang site ini ditajuki “reinventer la vie.” Cuman kebayangnya yang bertanya pasti bukan orang yang jatuh bangun dan mengalami kesakitan dalam menjalani hidup ini.

Waktu ditanya tentang apa yang paling sulit dalam hidup, Nazaruddin menjawab: “Memberi ide kepada orang seperti Anda tentang realita.” Nazaruddin disimbolkan memang sebagai tokoh yang hidup. Arif, tapi tidak muluk2 seperti para sufi karbitan. Menjalani hidup apa adanya, dan demikian merasakan hikmah tanpa harus repot merumuskannya.

 

“Saya mau belajar hikmah,” kata salah satu calon muridnya.
“Perlu 10 tahun,” kata Nazaruddin.
“Saya akan belajar keras, siang malam, membaca semua buku, dan banyak merenung.” tambah si calon murid.
“Kalau demikian, jadi perlu 20 tahun,” balas Nazaruddin.

Hidup dipelajari dengan menjalani kehidupan, bukan dengan mengulasnya. Hidup bisa seperti Tannhauser, di mana sang pahlawan ditolak oleh otoritas kepemimpinan, tapi tetap melanjutkan hidup. Hidup bisa seperti Tristan und Isolde, di mana manusia secara sukarela berhenti memperjuangkan apa yang paling penting dalam hidup pribadinya, demi berjalannya tata masyarakat. Hidup bisa seperti Siegfried, di mana sang pahlawan tak lebih merupakan manusia terpojok yang tak mengerti perannya dalam tata dunia. Dan kenapa aku ngasih contoh dari Wagner, bukan dari Q&H, soalnya orang suka berdebat soal agama, serem. Mendingan ngasih contoh dari Wagner, nggak ada yang mau bikin ribut, selain Parlemen Israel.

Apakah hidup berarti pengorbanan diri? Boleh, asal Anda melakukannya dengan hati yang jernih dan integritas yang matang, bukan oleh keterpaksaan.
Apakah hidup berarti terus belajar? Tentu, asal belajarnya sambil menjalani hidup.
Apakah hidup berarti perjuangan? Pasti, kecuali perjuangan yang tanpa visi.
Tapi kan hidup itu karunia tuhan? Memang, asal tidak sedang menghadap tuhan yang salah.
Kok bingung sih mendefinisikan hidup? Aku kira karena hidup itu bukan untuk dimainkan
dengan kata-kata.

Absurd dan Sinting

Baca catatan tadi malam, suka merasa ajaib juga: kenapa sih aku selalu memaksa menyatakan bahwa hidup itu absurd?

Semesta itu fana, dibentuk dari proses fisika biasa, menghasilkan dunia fana yang berjalan dengan proses fisika biasa. Allah maha pencipta, tetapi mengajarkan manusia untuk hidup dengan mengenali dan mengikuti proses. Malam dan siang diciptakan bukan dengan membuat gelap dan terang, tetapi dengan merakit bumi yang bulat dan berputar dekat matahari pada jarak yang tepat. Makhluk hidup yang beraneka diciptakan dengan mekanisme evolusi genetika yang sepenuhnya matematis semata. Kepribadian dan kemasyarakatan disusun dengan meme yang juga hanya replikator yang menggandakan diri secara matematis, tak beda dengan gen. Aku lebih mempercayai para ilmuwan sinting daripada manusia yang mengandalkan kepercayaan buta semata.

Tapi hidup jadi nggak absurd karena hidup adalah ciptaan. Ada Kasih Sayang Agung yang tersenyum di belakang semua proses ajaib itu. Dan betapa keras pun para ilmuwan sinting itu meyakinkan bahwa Kasih Sayang Agung itu tidak ada; aku tidak akan mengkhianati mata dan hatiku yang selalu melihat-Nya setiap saat. (Dan itu menjelaskan kenapa mereka aku namai ilmuwan sinting). Ah, visi juga bagian dari meme, mereka bilang. Tapi apa yang salah? Visi bukan jatuh dari langit, tetapi dibentuk juga dengan proses. Dengan meme, apa salahnya. Hatiku tetap melihat Senyum Yang Agung itu.

Dan keabsurdan jadi keindahan.

Bukan berarti kita bisa selalu ceria. Tetep aja kepala suka pusing. Hati suka resah, menggapai jiwa yang terus mengembara. Memang absurd.

Hidup Itu

Salah satu yang paling menarik kalau lagi membahas hidup, tentulah, Mite Sisifus (The Myth of Sisyphus), yang pernah dikaji oleh Camus. Barangkali pernah aku tulis juga. Males recheck ah.

Sisifus, seperti juga kita, dikutuk para dewa. Dia hidup dengan terus menerus mendorong batu besar ke puncak sebuah gunung, lalu membiarkan batu besar itu menggelinding ke lembah yang dalam, untuk kemudian harus didorongnya lagi ke puncak gunung, terus menerus, tanpa mengenal lelah, dan barangkali juga tanpa bisa mati. Hidup yang absurd, seperti juga kita, di mana kita tak bisa berlepas dari takdir yang mengikat dan memasung keceriaan kemanusiaan kita.

Tapi dalam keabsurdan, kita masih manusia, yang punya kemampuan kemanusiaan untuk mengatasi. Dalam keabsurdan, kepribadian kita tidak harus jatuh. Dalam keabsurdan, kecerdasan kita mengenali nilai-nilai, membentuk hikmah, dan akhirnya mengakui betapa berartinya, betapa indahnya, dan betapa berharganya hidup.

Aku ogah cerita terlalu banyak tentang Sisifus. Edisi Bahasa Indonesianya udah terbit sekitar lima tahun yang lalu, atau mungkin lebih. Tapi Camus menyatakan bahwa kita harus menyimpulkan bahwa Sisifus bisa berbahagia.

Dan kenapa harus menggantungkan diri pada kausalitas absurd dalam semesta fana ini untuk memutuskan untuk menjadi manusia yang bernilai dan berbahagia?

Hotel Tugu

Restoran di tengah hotel itu bersuasana tenang. Hawa sejuk Malang memberikan ketenangan dan kesegaran. Tapi … tchuttttt … sesosok makhluk kecil tampak melesat. Hey … tupai lagi! Tupai! Belasan tahun tinggal di Malang dulu, aku belum pernah lihat tupai di alam bebas di Malang. Si tupai melesat ke puncak pohon kelapa di tepi kolam renang. Menambah satu lagi keajaiban di tempat ini.

“Harta karun tersembunyi di Indonesia,” begitu review dunia internasional atas tempat penginapan unik ini: Hotel Tugu Malang. Nggak care sama urusan bintang, tapi membentuk diri sebagai boutique hotel. Nggak care sama kemegahan di luar, tapi menggeber segala bentuk artistika di setiap sudut di ruangan. Setiap ruang pun jadi memiliki keunikan. Kita bisa berwisata bahkan tanpa keluar dari hotel. Konon memang pemilik merangkap pendirinya merupakan kolektor seni yang nggak main-main.

Tapi hotel ajaib ini bukan cuma mengandalkan koleksi artefak budaya. Kalau kita sering keliling hotel di Indonesia, terasa ada yang unik dalam layanan yang kita rasakan.

Pertama, kita dikenal sebagai nama. Dari hari pertama pun, para crew memanggilku bukan cuman “Pak” tapi “Pak Kuncoro” — seolah aku udah beberapa hari atau beberapa minggu di sana.

Kedua, mereka nggak memaksa menunjukkan KTP. Cukup kartu nama. Yang dibutuhkan kan cuman cara pengejaan nama yang benar. Plus alamat, nomor telepon, semacam itu. Aku suka risi kalau orang lihat-lihat KTP-ku. Kenapa orang harus tahu data macam tanggal lahir, agama, dll? Ini bukan rumah sakit atau asuransi :). So, cuman kartu nama. Nggak lebih. Nggak juga kewajiban mengisi form, kayak di film Mr Bean :).

Ketiga, semua peralatan berfungsi. Hey, ini Indonesia. Bahwa semua peralatan berfungsi itu udah jadi keistimewaan yang langka. Nggak ada yang nggak jalan di kamar mandi. AC diset dengan baik dan nggak berisik. TV, fridge, sampai telepon. Mini bar tidak dikenai harga yang gila-gilaan. Harganya normal sekali. Ini juga keajaiban.

Dan coba titipkan kamar untuk keluar sebentar. Waktu kita kembali, kamar dan tempat tidur kita sudah akan tertata rapi. Baju yang nggak sengaja kita geletakkan di kursi pun jadi terlipat rapi. Khusus buat malam hari, selain kamar dan tempat tidur jadi rapi, juga ada pesan selamat tidur di atas selimut.

Dan semuanya dalam kewajaran yang sederhana. Tidak ada yang nampak berlebihan atau dibuat-buat. Kita bisa jadi diri kita sehari-hari. Nyaman, senyaman jadi diri sendiri :).

Trus aku jadi nanya sama salah seorang crew: “Itu tupainya memang dipelihara ya Mas?”
“Tupai yang mana?”
“Itu, yang kadang kelihatan dari restoran. Suka lompat ke pohon-pohon.”
“Oh. Di depan kan banyak pohon besar. Kayaknya tupainya dari sana.”
Bahkan tupainya pun nggak dibuat-buat.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑