Numéro Huit

Bandung cuacanya nyaris nggak kenal ampun. Padang rumput jadi lapangan tanah. Malam juga panas, dan kunang-kunang menghilang. Rasanya mau lepas semua baju, plus potong rambut :).

Tahu-tahu inget waktu aku dkk kepanasan malam-malam di Yogya, abis migrasi dari Bandung. Di Malioboro ada tukang cukur bergaya klasik. Kita masuk dan potong rambut bareng-bareng. Lega. Naik taksi, si sopir taksinya nyeletuk, “Abis ikut pendidikan ya Mas.” Kita iya-in aja.

Nggak lama, aku iseng daftar kelas di LIP (CCF versi Yogya). Masuk kelas 1, sama mahasiswa2 yang umumnya dari UGM. Biasa, belum masuk kelas pada ngobrol. Tapi ada satu yang somse amat. Trus masuk, mulai dengan je m’apelle, je suis, j’habite. Trus break maghrib. Trus masuk, dan disuruh mempraktekkan satu-satu. Trus kelas bubar. Si somse ngedeketin, “Mas, maaf … tadi saya kira mahasiswa baru. Rambutnya kayak mahasiswa lagi di-ospek sih.” Bah, panitia OS rupanya dia — satu macam makhluk yang tak aku mengerti arti keberadaannya di atas muka bumi ini. Apa bedanya aku bilang je suis étudiant sama je suis ingénieur?

Tapi nggak lama aku sekelas sama si mantan somse. Aku dipaksa pindah kelas sama gurunya, gara-gara waktu bilang j’habite rue lempuyangan numéro 8, aku melafalkan angka 8 dengan style yang bikin gurunya yakin bahwa aku bukan beginner. Minggu depannya aku masuk ke kelas 2. Tapi ini cerita laen.