At last, the “Ketoprak Ande-Ande Lumut” opera was performed, di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Kosambi, Bandung. Kegiatan disebut dimulai sekitar jam 18:00, haha. Tapi pukul 18:00, penonton baru satu per satu berdatangan, dan panggung disiapkan. Baru sekitar pukul 21:00, opera dimulai, tetap secara informal.
Berbeda dengan latihan-latihan sebelumnya, aku malah gagak ikut menonton apa pun itu yang ada di atas panggung. Instrument bonang penerus yang aku pegang punya posisi yang unik, menghadap penonton, jadi aku nggak bisa lihat ke panggung, kecuali waktu bonang dalam posisi mute.
Tentu, beda dengan opera versi Eropa, opera versi Jawa ini lebih bersifat informal. Timing bisa diatur. Dialog bisa terus diimprovisasi. Musik latar bisa dimodifikasi kapan saja, bahkan waktu pertunjukan sedang berlangsung. “Sekarang srepegan sanga terus. Nggak jadi pakai pelog,” para pengiring
berbagi info di tengah adegan peperangan di panggung.
Dan begitu selesai, tanpa aba-aba penutup, semuanya dibubarkan. Tirai ditutup, penonton pulang, pemain gamelan lepas baju luar di situ juga, salam-salaman, pulang. Di luar udara dingin membekukan.