Category: Music (Page 1 of 5)

Berliner Philharmoniker

Weekend lalu, sebuah bis bertingkat dua membawa kami dari Bayreuth ke Berlin. Matahari akhir musim semi masih bersinar pukul 19:00, waktu aku masuk ke Hotel Altberlin dengan suasana klasik (bergaya masa antara dua perang dunia) di Potsdamer Platz. Di peta, hotel yang aku pilih itu berada tak jauh dari Berlin Philharmonie. Jadi kuputuskan untuk menikmati waktu sebelum matahari terbenam untuk ke Philharmonie. Tapi ternyata cukup jalan 10 menit saja untuk sampai. Di sana, aku memilah2 program yang bisa ditampilkan, dan memilih orkestra hari berikutnya. Maka acara menunggu matahari terbenam sore itu dilanjutkan di sekitar Potsdamer Platz hingga Branderburg Tor yang sering dianggap landmark Berlin itu.

Hari berikutnya, kami datang lagi. Kali ini naik bis menembus hujan rintik. Malam ini, Berliner Philharmoniker akan dipimpin oleh Herbert Blomstedt memainkan Missa Solemnis dari Beethoven. Sebagai choir adalah Bayerischer Rundfunk.

Mungkin bayangan kita atas Beethoven adalah image dari lukisan potret Beethoven oleh Joseph Karl Stieler. Dalam lukisan itu, Beethoven mengenakan baju putih, syal merah, dan jaket atau jubah hitam; serta sedang menulis komposisi Missa Solemnis. Komposisi ini adalah satu dari beberapa karya yang dianggap karya puncak dari Beethoven. Ia ditulis pada masa yang sama dengan Simfoni Kesembilan. Namun, tak seperti sembilan simfoni Beethoven, karya ini tak terlalu populer di kalangan publik.

Saat menulis karya ini, Beethoven sedang dalam masa krisis. Ketuliannya mengganggu aktivitasnya menyusun komposisi musik, sekaligus membuatnya makin terisolasi dari masyarakat. Pada masa ini, ia menyusun String Quarter terakhir, Simfoni Kesembilan, dan Missa Solemnis.

Missa Solemnis juga terinspirasi karya-karya para pendahulu, seperti fugue dan beberapa gaya Palestrina. Namun tentu warna yang dominan adalah warna klasik khas Beethoven yang mulai mengarah ke gaya romantik. Vokalnya konon masih jadi tantangan bahkan bagi solois dan choir masa kini. Dari segi ide, mungkin memang ada kaitan antara melankoli Beethoven masa itu dengan keinginannya untuk lebih dekat pada Tuhan. Namun yang terdengar justru adalah kedalaman dan variasi yang luar biasa dari pikiran dan perasaan Beethoven sendiri. Strukturnya, tentu berbeda dengan simfoni-simfoni Beethoven. Keterasingan struktur ini (buat aku), justru menambah misteri karya yang menurut penilaian Beethoven sendiri adalah komposisinya yang paling agung. Kata-katanya, hmmm, aku bahkan belum tahu ini bahasa Jerman atau Latin. Belum bisa dua-duanya sih.

Lebih dari 10 tahun sebelumnya memang aku pernah juga menyaksikan performansi Berliner Philharmoniker di Warwick. Namun baru kali ini aku bisa menyaksikan Berliner Philharmoniker di sarangnya, yang dioptimasikannya sendiri buat performa yang maksimal. Cukup memukau, dan membuat tidak bisa bergerak dalam 2 jam performansi tanpa jeda itu. BTW, aku sangat awam dalam musik. Seperti juga sebagian besar masyarakat awam, aku lebih sering memilih sembilan simfoni Beethoven dan beberapa karya yang lebih ringan (piano, konser violin, Wellington, dll). Tapi sua pertama dengan Missa Solemnis dari Berlin Philharmonie ini membuat aku melihat bahwa masih banyak permata indah dari Beethoven yang belum banyak aku jelajahi.

Tapi, sebelum jauh menjelajah, pertama2 … pasang dulu oleh-oleh dari Bayreuth: Lohengrin. Wagner :)

Cantabile 2

Splash! Sentakan perkusi, diikuti lincah flute, lalu riuh singkat seluruh orkestra, yang disusul piano bertempo lambat sedang. Inilah Konserto Piano pada G mayor, dari Maurice Ravel. Aku terlompat dari Kemayoran ke bagian redup di pusat kota Madrid belasan tahun lalu. Cuaca sejuk menembus bajuku yang tak berjaket, dan aku masuk ke sebuah Music Shop bertingkat 7, mengambil Strauss, Stravinsky, dan Ravel. Seperti Stravinsky, dan kemudian Nielsen, Ravel memiliki posisi unik di kepalaku: ia mewarnai bagian yang menyusun intuisi, para-rational, dan selalu bisa mengembalikanku ke my real soul saat tantangan di dunia memaksa pikiran buat kalut. Aku terselamatkan lagi oleh Ravel. Huh, aku sudah kembali ke Jakarta, tahun 2011, dan Ravel benar-benar dimainkan di depanku malam ini, di Aula Simfonia Jakarta, Kemayoran. Twilite Orchestra, dengan tingkat akurasi dan expertise tinggi memainkan komposisi itu tanpa ampun, tak memahami bahwa permainan mereka sempat melemparku ke dunia yang lain. Baru di bagian adagio, dengan piano yang lambat berirama tiga, aku turun ke bumi lagi :).

Jakarta sedang bercuaca tak menentu: amat deras di timur, dan cukup kering di utara. Khawatir terhambat kronis macet Jakarta, kami ke Kemayoran lebih dini. Tapi trafik Jakarta amat ramah, dan kami sudah sampai pukul 18:30 :). Konser baru dimulai pukul 20:00 tepat. Conductor Addie MS naik ke pentas, dan Twilite Orchesta langsung membuka dengan permainan yang membangkitkan semangat: Pembukaan opera Russlan & Lyudmilla, dari Mikhail Glinka. Mengasyikkan, dan membuatku merasa bersalah atas CD Glinka yang tampaknya telantar di Bandung :). Musik ini sendiri disusun Glinka berdasar kisah yang diciptakan Alexander Pushkin.

Selesai komposisi Glinka, Addie MS mengambil waktu menyampaikan pengantar. Ini adalah Konser Cantabile yang kedua, setelah Konser Cantabile sebelumnya di Balai Sarbini. Yang menarik adalah kisah Addie tentang Twitter: bagaimana beberapa program di konser ini diusulkan dan dipilih di Twitter, bagaimana beberapa pemain mengajukan audisi untuk konser ini melalui Twitter, dan bagaimana hal ini membuat konser ini jadi didominasi anak muda, baik pemain maupun penontonnya. Benar-benar sebuah Konserto 2.0 dari Twilite Orchestra :).

Lalu Addie kembali menatap pemain, dan mengalunkan bagian dari Nutcracker, dari Tchaikovsky. Entah kenapa, bagian dari musik balet yang ini memang selalu mengingatkan ke Twilite Orchestra. Kalau gak salah, ada iklan televisi Twilite Orchestra berapa tahun lalu yang juga menggunakan bagian ini. Manis sekali :D.

Selesai bagian ini, para pemain keluar. Piano dinaikkan ke panggung, lalu masuklah pianis Felisitas Nesca Alma dan violinist Michelle Siswanti. Dengan duet yang asik, mereka memainkan Spring Sonata dari Beethoven. Ini permainan yang lebih dari sekedar luar biasa. Ada efek visual yang melebur ke dalam musiknya. Bukan saja piano bergayut elegan dengan violin, tetapi kedua pemain memainkannya dengan dialog, gesture, permainan mata, yang seluruhnya membentuk dialog yang manis. Luar biasa.

Piano tak diturunkan saat pemain Twilite Orchestra kembali ke panggung, tetapi langsung diokupasi oleh Kazuha Nakahara (yang di Cantabile 1 memainkan piano untuk Rhapsody in Blue). Dan kejutan pun terjadi buat aku: Ravel Piano Concerto in G major, seperti yang aku tulis di atas tadi :). Bagian adagio berakhir, ditutup dengan bagian presto yang cepat, penuh sentakan, dan amat disonan. Emosiku terlompat lagi. Aku dalam posisi antara tertawa, menangis, berteriak. Kacau. Syukur masih sadar bahwa aku ada di tempat umum :).

Setelah break, orkestra memainkan Simfoni Ke-9 dari Antonin Dvorak. Ini bagian yang menenangkan. Tak seperti Haydn yang ketenangannya berpotensi membawa kantuk, Dvorak menyelipkan dinamika yang menarik dalam simfoninya yang tenang dan anggun, membuat kita tetap terjaga, dan menyerap inspirasi akan kehidupan yang mengalir tanpa perlu dikejar, tapi kadang justru mengejar kita :D. Sesuai judulnya, “From The New World” :).

Ah, malam yang luar biasa :). Thank you, Twilite Orchestra. Thank you para pemain yang luar biasa. Thank you, Addie MS.

Oh ya. Special malam ini, kami juga menculik Annet, makhluk mungil yang sedang mulai belajar violin. Siapa tahu beberapa tahun lagi kita lihat Annet ikut bermain di suatu orchestra, memainkan karya luar biasa yang lainnya :).

Nodame Cantabile

Saat kata tak lagi menebarkan hikmah, melainkan hanya dusta dan prasangka. Saat konteks tak lagi memudahkan dan menyederhanakan perbincangan, tetapi melulu mengalihkan dan menyesatkan. Saat pesan singkat dan panjang hanya mengarah ke satu sampah ke sampah lainnya. … Saat itu musik terasa jadi penyelamat. Di tengah minggu yang sungguh menjengahkan itu, tampillah Twilite Orchestra.

Twilite Orchestra adalah sedikit dari nama orkestra yang sangat populer di Indonesia. Menyaksikan orkestra lain sangat mudah: kita datang, membeli tiket, memilih kursi, dan masuk :). Sebaik apa pun permainannya, tidak pernah ruang itu terisi penuh. Tapi Twilite Orchestra berbeda. Sejak dua minggu sebelumnya, hanya beberapa menit setelah Addie MS — sang director dan conductor — menyampaikan bahwa tiket mulai dijual, telah dimulai penyerbuan atas tempat2 pembelian tiket. Hari berikutnya, tiket sudah dinyatakan habis. Pendekatan Addie MS memang unik. Dari account Twitternya, @addiems, ia mulai menghimpun ide tentang performansi ini, dan apa yang ingin didengar oleh publik. Dan dalam persiapannya pun, ia menyampaikan ke publik, tetap melalui Twitter. Dari Twitter, aku memilih tempat beli tiket, dan sempat memesan 4 tiket.

Konser diperformansikan pada Kamis malam, 27 Januari 2011, di Balai Sarbini, tepat di persilangan tersibuk Kota Jakarta. Bahkan @addiems sendiri pun terus mengingatkan bahwa potensi macet besar, dan penonton diminta hadir lebih cepat. Hadir lebih cepat tentu menyenangkan, bisa menikmati satu mug kopi dulu di Plasa Semanggi :). Masuk tepat waktu, tak perlu menunggu terlalu lama sebelum Twilite Orchestra menampilkan sesi perdana: Montagues & Capulets. Aku tak terlalu akrab dengan para komposer Russia, dan hanya mengkoleksi karya mereka secara sporadik. Tapi malam ini Twilite hanya menampilkan karya2 terbaik dan terpopuler, jadi tentu karya Prokofiev yang ini sering terdengar juga. Pembukaan yang manis dan menarik.

Tapi kemudian Twilite menampilkan karya Beethoven terbaik: Simfoni Ketujuh. Yea! Dari sekian pilihan yang bisa dipilih dari Beethoven, Twilite memilih yang buat aku paling menyentuh. Twilite hanya menyajikan Act 1 dari Simfoni Ketujuh ini. Tak menggaung seram seperti saat Berliner Philharmonik memainkan dengan jumlah pemain yang sekian kali lipat Twilite Orchestra, tetapi tetap dengan kesyahduan yang menyemangati dan memberikan optimisme yang entah tadinya tertinggal di mana :).

Tapi lalu Addie MS membalik badan, dan memberi salam kepada pengunjung. Ia mengambil beberapa menit untuk menceritakan latar belakang Konser Nodame Cantabile ini. Ia mendapatkan gagasan performansi ini justru dari anaknya, dan dari kalangan muda, yang menggemari Nodame Cantabile. Cantabile itu manga jepang ciptaan Tomoko Ninomiya, yang menceritakan romansa dua pemusik muda. Manga ini menjadi populer dan berpindah ke aksi drama dan serial TV. Namun ekspresi musikal mereka bukan diambil dari musik masa kini. Alih-alih, mereka memilih musik klasik yang menurut Addie MS telah berusia ratusan tahun. Musik-musik dari drama itulah yang dipilih Addie MS untuk dikemas dan ditampilkan dalam konser yang mengambil nama Cantabile ini. Sambil Addie bercerita, aku punya waktu untuk memperhatikan para penonton. Luar biasa: malam ini penonton musik klasik lebih banyak didominasi anak muda yang datang bersama teman2nya, bukan bersama ortu seperti biasanya. Mereka tampil rapi (sesuai pesan @addiems di Twitter), bukan pakai T-Shirt dan sandal, tetapi tetap dengan gaya lincah ABG.

Kembali melihat ke panggung: Gita Bayuratri yang masih ABG memainkan Etude 10 No 4 dari Chopin. Serasa mendengar hujan mengiringi di atas :). Chopin memang fantastis. Tapi lalu Gita digantikan Audrey Sarasvathi. ABG juga. Dan yang ini tanpa basa-basi langsung menghajar sang piano dengan Danse Russe, bagian dari Petrushka, dari Stravinsky. Hantaman jari-jari yang luar biasa, sempurna sekali. Sempurna sekali. Seperti mimpi waktu Audrey meninggalkan pianonya. Dan Addie kembali memimpin orkestra, memainkan Rhapsody in Blue dari Gershwin. Ini permainan panjang paduan antara piano dengan orkestra yang lembut dan jazzy. Bagian piano dimainkan Kazuha Nakahara. Menarik, karena penataaan tempo di piano dipilih berbeda dengan beberapa versi Rhapsody in Blue yang pernah aku dengar. Gershwin, Chopin, Stravinsky, Beethoven — memang serasa masih di alam mimpi :). Lalu jeda 25 menit.

Setelah jeda, Twilite memainkan Mendelssohn. Seperti pada Prokofiev, aku tak terlalu akrab dengan Mendelssohn. CD-nya pun cuma punya satu. Tapi, karena konser malam ini memainkan karya paling populer, yang dimainkan Twilite adalah Simfoni Keempat dari Mendelssohn — komposisi pertama di satu2nya CD Mendelssohn yang aku punya itu. Dan, seperti Simfoni Ketujuh, Twilite hanya memainkan bagian pertama saja. Lalu Levi Gunardi naik memegang piano, dan Twilite memainkan Piano Concerto No 2 dari Rachmaninoff. OK, ini komposisi pertama malam ini yang aku belum punya CD-nya. Syukurlah :D. Dan Twilite berbaik hari untuk memainkan komposisi ini secara lengkap: 3 bagian. Aroma musik Russia tercium lembut  :). Felix memainkan bagian pianonya dengan elegant dan sempurna sekali.

Lalu perjalanan pulang, perjalanan ke Bandung. Wordcamp. Urusan kantor yang masih selalu tampak sporadik juga. Web. Rapat-rapat. Partnership. Inkubasi. Dan IEEE chairman rollout meeting. Kata, karya, ide, kata, karya, ide, inspirasi, cercaan, ledakan, motivasi, cercah cerlang, tekanan, optimisme, dan seterusnya. Lebih dari seminggu berlalu, dan baru sekarang aku sempat menulis. Musik, tak selalu mudah ditranslasikan menjadi kata-kata berpolusi ini lagi. Tapi yang jelas, musik dari Cantabile tak hilang setelah konser selesai. Mereka terus menemaniku dalam minggu2 yang keras ini, membuat semua gerak cepat itu serasa memiliki warna cemerlang dan harmoni musik yang terus mendorong, menyentuh, menemani, dan memuncakkan. Sungguh konser yang inspirasional.

Thank you, Mas Addie MS. Wagner kapan nih? Udah telanjur punya “adik” dinamai Tristan. Sekalian donk satu sesi Wagner yang heboh :)

An die Freude

Ada kegamangan tak terjelaskan weekend ini — bagian dari intuisiku terus menerus mengingatkanku ke sesuatu yang tak juga teringatkan. Mungkin sudah waktunya dia dibungkam :D. OK, life goes on. Hari Kamis aku mulai berpindah ke ruang kerja baru di Lt 6. Ini ruang yang gue banget: bagian luas di tengah ruangan tak banyak bersekat; dan aku bisa memilih untuk bekerja di saung, kursi tegak, kursi gantung, dll. Foto2 ruangan sudah aku masukkan di Instagram :). Jumat, aku sudah menghabiskan nyaris seluruh hari di sana, selain beberapa menit mengunjungi Lt 17 dan Lt 14. Trus masuk weekend. Dan bersiap dengan sebuah malam bersama Ludwig van Beethoven di Aula Simfonia Jakarta.

Pun selama weekdays, Wagner sudah banyak tergantikan oleh Beethoven; terutama Simfoni #5, #6, #7, dan #9; plus konserto violin. Masih ada Wagner sedikit, yaitu satu versi Simfoni Beethoven #9 yang telah diaransir ulang jadi versi piano oleh Wagner, dimainkan Noriko Ogawa di Bach Collegium Japan. Simfoni 5 dan 6 di koleksiku dimainkan Kammerorchester Basel dengan konduktor Giovanni Antonini; Simfoni 9 oleh Royal Concertgebouw Orchestra dipimpin Bernard Haitink; dan Simfoni 7 (sebetulnya dengan 4 juga) oleh Berlin Philharmonic Orchestra dipimpin Herbert von Karajan.

Aku datang di Aula Simfonia Jakarta sekitar pukul 19:00, setelah sebentar mengunjungi Pesta Blogger 2010 di kawasan Kuningan. Tak seperti kunjungan pertama, bangsal tunggu kali ini tampak penuh. Tapi waktu akhirnya gong digaungkan, dan para tamu memasuki aula, barulah tampak bahwa aula tak juga penuh. Publik Jakarta tampaknya belum terlalu berminat menyaksikan live orchestra. Jadi geli membayangkan bahwa aku sempat khawatir gak kebagian tiket :).

Performer malam ini adalah Dubrovnik Symphony Orchestra. Mereka datang dari kota pantai di Kroasia itu sebagai bagian dari program The 7000 Miles, yaitu pengiriman perwakilan DSO ke beberapa negara (sejauh 7000 mil). Para pemainnya, menurut tutur pembawa acara, sebagian besar lulusan dari Zagreb Symphony Academy. Zagreb, kota yang entah kenapa pernah masuk ke mimpiku, haha.

Orkestra dikonduktori oleh Noorman Widjaja. Ya, sebuah nama Indonesia. Ia lahir dari sebuah keluarga musisi di Jakarta. Pada usia 11 tahun, ia memimpin sebuah orkestra di hadapan Presiden Soekarno, menggantikan ayahnya yang mendadak sakit. Tahun 1969 ia meneruskan pendidikan musik di Berlin, dan tahun 1982 dipercaya memimpin orkestra di Nuremberg. Sejak itu memimpin banyak orkestra di Cina, Jepang, Italia, dan Jerman.

Gelaran malam ini dimulai dengan Konserto Piano #2 dari Chopin. Piano dimainkan oleh pianis dari Georgia, Ani Takidze. Frederic Chopin dikenal sebagai musisi dari madzhab romantik, yang tampil setelah madzhab klasik. Jadi ia semadzhab, namun dalam aliran yang sungguh berbeda, dari Wagner (uh, ini lagi). Aku lebih mengarabi Chopin dengan alunan piano tunggal, dan amat jarang dalam bentuk konserto. Tapi konserto selama 30 menit ini membuka pintu pikiranku, menunjukkan ke hal2 yang sungguh menarik dari konserto piano dengan gaya Chopin. Konserto terdiri atas tiga bagian, dengan violin lembut mendominasi bagian-bagian yang tak diisi hentakan piano. Ya, ini Chopin versi menghentak :). Aku hanya bisa diam, dan kegamangan asing itu kembali, membuatku hampir lupa bernafas (selain memang asthma ringan itu kambuh lagi). Tapi ada hal menarik dengan bagian violin di Bagian #3. Kayaknya aku harus dengarkan konserto ini lagi biar lebih yakin :).

Setelah Chopin, ada waktu rehat 20 menit. Udara Jakarta malam tadi agak ramah. Angin agak sejuk dan tak terlalu kencang. Gong bergaung lagi. Kami kembali ke aula.

Dawai violin mulai sayup mengisi ruang laksana angin tipis, dibalas deretan woodwind bersahutan (khas), satu satu satu, lalu membentuk kombinasi, dan ditegaskan oleh hentak ringan timpani. DSO telah memainkan Simfoni Beethoven Kesembilan. Ini adalah Simfoni Beethoven yang paling populer, bahkan sering disebut sebagai puncak performansi musik barat sepanjang masa. Padahal Beethoven mencipta simfoni ini sudah dalam keadaan tuli. Aku sendiri nggak akan bisa menceritakan dereten fase-fase yang menghantar setiap bagian dari simfoni ini dalam sebuah entry blog semacam ini :). Bagian favoritku justru bagian 1 (allegro ma non troppo) dan 2 (scherzo), yang lembut dan riang menyemangati pagi, tanpa terlalu heboh :).

Namun tentu bagian yang paling heboh adalah bagian keempat. Sempat jeda sebentar untuk membiarkan choir dari Batavia Madrigal Singers memasuki aula, bagian ini dimulai dengan sedikit cuplikan dari bagian-bagian sebelumnya. Lalu sebuah jeda yang diisi sebuah bariton: “Hey, bukan nada semacam ini! Ayo angkat suara dengan lebih ceria!” — dan choir pun dimulai dengan meriahnya. Ini adalah satu2nya simfoni Beethoven yang dilengkapi dengan choir. Kata2 dalam choir ini diambil dan dimodifikasi Beethoven dari puisi Friedrich Schiller berjudul An die Freude, yang sering diinggriskan sebagai Ode to Joy. Puisi ini memberi semangat hidup bagi kemanusiaan dan persaudaraan. Tak heran, musik ini sering dianggap sebagai Lagu Kebangsaan Eropa.

Bagian keempat dari Simfoni Kesembilan ini menceriakan ruang selama sekitar setengah jam. Ada yang bahkan menganggap bagian keempat ini sebagai sebuah “simfoni” tersendiri, yang dibaginya menjadi empat “bagian” dengan fase2 yang menariknya serupa dengan pemfasean dalam Simfoni Kesembilan ini sendiri. Simfoni Kesembilan sendiri memakan waktu sekitar 1 jam + 15 menit.

Aku bukan musisi, jadi tak akan membahas kualitas permainan DSO, apalagi untuk karya serumit ini. Dan pembandingan subyektifpun akan jadi tak adil, karena yang biasa terdengar di player adalah permainan Royal Concertgebouw Orchestra dipimpin Bernard Haitink. Maka akan berbeda dengan pengalaman mendengarkan Simfoni Keenam di tempat yang sama bulan lalu, dimainkan Jakarta Symphony Orchestra, dimana kualitas permainan jadi terasa jauh lebih baik daripada CD player :D. OK, ini cuma untuk menjelaskan kenapa aku harus menuliskan para pemain di koleksi Beethovenku di atas :).

Anyway, menyaksikan Simfoni Kesembilan dengan An die Freude malam ini cukup untuk mengangkat semangatku lagi; dan mengingatkanku kenapa aku sampai sekarang tak pernah mau menyerah :). Thanks, Dubrovnik Symphony Orchestra, Pak Noorman Widjaja, Batavia Madrigal Singers, Aula Simfonia Jakarta :).

Beethoven Night

Aku ternyata belum kenal Jakarta. Aku bahkan belum tahu di kota ini ada Aula Simfonia Jakarta. Ini bukan hanya sebuah hall / aula, tetapi benar2 sebuah gedung, bertempat di Kemayoran, tak jauh dari Merdeka Selatan, tempatku berkantor.

Sore tadi Jakarta bercuaca cukup seram. Awan hitam melintas kencang dari arah timur ke barat. Di lapisan bawahnya, awan kelabu melintas lebih kencang dari barat ke timur. Angin dingin menembus jaket. Tapi Aula Simfonia Jakarta akan menyelenggarakan Beethoven Night. Dan nama Beethoven cukup untuk mendorong kami melintasi ancaman badai itu, dan menuju ke Kemayoran: mencari sebuah aula.

Kami belum beli tiket. Begitu sampai, ticket box pun dihampiri. Tiket termurah 200K, hanya menyisakan tempat tak strategis. Ambil tiket 300K. Tapi ticket box hanya menerima cash atau debit dari sebuah bank tak menarik. Maka dompet langsung kosong untuk membayar tiket. Hall ini masih baru: belum ada café, toko, tempat snack, atau bahkan ATM. Ah, who cares. Kami naik ke atas, dan menyempatkan diri mengamati sederetan lukisan yang seluruhnya bertema musik. Musik klasik. Musik klasik eropa. Gong dibunyikan, dan kami masuk hall.

Sesuai namanya, malam tadi Orkestra Simfonia Jakarta hanya memainkan karya Beethoven. Sebagai pembuka, Kevin Suherman memainkan dua sonata piano. Kevin masih muda, dan ia bersekolah musik hingga ke Melbourne. Yang dimainkan adalah Piano Sonata op 2. Aku jarang mendengarkan sonata piano Beethoven. Jadi ini terasa jadi pemainan baru yang asik buat aku. Menyenangkan. Sayangnya terasa tak berlangsung lama. Piano dimasukkan ke bawah panggung. Lalu Orkestra Simfonia Jakarta memasuki panggung.

Konduktor untuk bagian ini adalah Rebecca Tong. Ia masih muda juga. Menempuh pendidikan di US di bidang sejarah musik, khususnya mengenai conducting, ia konon terkenal piawai memimpin musik secara dinamis. Deretan empat karya orkestral Beethoven mengalir, dengan tempo yang bergerak dari lembut ke dinamis: Coriolanus (Serumpun Padi, haha), Fidelio, Prometheus, dan Egmont. Egmont ini pernah juga aku dengarkan di Warwick entah di tahun berapa, bersama Simfoni Ketiga. Tapi Kemayoran tak mengecewakan. Dinamikanya sunguh menyegarkan.

Rehat 15 menit. Sayangnya belum ada fasilitas rehat di sini. Panitia menjual Aqua, tapi tak banyak yang berminat. Aku menghabiskan waktu melihat2 benda2 musikal yang ditata dalam ruang kaca mirip diorama. Menarik juga tempat ini sebagai museum. Sempat mengambil sedikit foto (dilarang mengambil foto selama pertunjukan berlangsung). Lalu gong bergaung lagi.

Pada bagian ini, konduktor diambil alih Dr Stephen Tong — tokoh yang sudah sekian lama membawa musik klasik keliling Indonesia, dan lalu menjadi salah satu pelopor Orkestra Simfonia Jakarta ini. Sunyi sejenak, lalu mengalun bagian awal dari Simfoni Keenam. Dawai-dawai memulai alunan, dengan gaya tenang, teduh, dan anggun. Masuklah deretan pipa-pipa mungil yang ditiup, membawa suasana riang dan lincah. Khas Beethoven: flute yang bergantian membawa suasana ceria. Lalu … hey … ada yang menarik. Ada dimensi yang memisahkanku dari skala waktu linear. Ia membawa ke alam yang luas, berwarna keemasan, dan paralel mengisi ruangan. Beda sekali dengan versi CD. Aku baru sadar, baru sekali ini aku mendengarkan Simfoni Keenam secara live. Lalu segala instrumen menderu, membawa badai dan guruh di luar sana masuk ke aula. Mendung tebal sore itu tampak lebih menghitam dan memasuki hall. Lalu ditenangkan. Tapi tak juga terasa tenang buat aku. Sampai simfoni berakhir. Masih terasa ada hentakan keras di dalam.

Kemayoran tak lagi hujan. Masih berangin tak nyaman. Tapi Beethoven membuat angin dan gelap itu terasa memiliki aroma yang menyegarkan.

Akhir Oktober, di tempat yang sama akan ditampilkan Simfoni Kesembilan, oleh Dubrovnik Symphony Orchestra. Tag di agenda! :)

The Inextinguishable

London Symphony Orchestra, menurut Wikipedia, adalah salah satu orkestra terbaik di dunia. Patron orkestra ini adalah Ratu Inggris sendiri; presidennya Sir Colin Davis; dan konduktor utama adalah Valery Gergiev. Sir Colin Davis pernah menjadi konduktor utama juga pada tahun 1995-2006. Orkestra ini merupakan resident di Barbican Centre. Malam ini di Barbican Centre LSO memperformansikan The Inextinguishable.

The Inextinguishable adalah simfoni keempat dari Carl Nielsen. Walau aku bisa menikmati simfoni Nielsen kelima berulang dan berulang kali, tetapi aku belum cukup akrab dengan simfoni keempatnya. Saat akan menuliskan simfoni ini, Nielsen menulis kepada istrinya: “I have an idea for a new composition, which has no programme but will express what we understand by the spirit of life or manifestations of life, that is: everything that moves, that wants to live … just life and motion, though varied – very varied – yet connected, and as if constantly on the move, in one big movement or stream. I must have a word or a short title to express this; that will be enough. I cannot quite explain what I want, but what I want is good.” Maka The Inextinguishable menceritakan anasir daya kehidupan itu sendiri, yang bergerak lincah membentuk jiwa-jiwa dinamis dan beraneka rupa dan warna.

Performance Simfoni Keempat ini dikonduktori oleh Sir Colin Davis sendiri. Bukan performance biasa, aku pikir. Jadi, hanya beberapa menit setelah menjejakkan kaki di London dari perjalanan dari York, aku memutuskan mereservasi tempat di Barbican Centre. Barbican Centre sendiri terletak di City of London, bagian dari kota London yang kaya dengan pusat-pusat budaya.

Performance LSO dimulai pukul 19.30. Pada sesi pertama, LSO memainkan Simfoni 97 dari Haydn. Seperti simfony Haydn lainnya, musik ini menenangkan dan membersihkan pikiran. Lalu panggung ditata ulang. Piano besar di sudut ditengahkan. Tampillah Mitsuko Uchida; dan Sir Colin Davis kembali memimpin orkestra memainkan konserto piano yang lembut dari Mozart. Sempurna :).

Setelah sesi break, piano telah ditepikan kembali. Namun jumlah pemain ditambah lebih dari dua kali. Kelompok alat tiup mengisi setiap sisi panggung. Dan sepasang timpani mengisi ujung ruang.

Simfoni Keempat ini terdiri atas 4 movement, dan dimainkan tanpa break. Seperti simfoni Nielsen lainnya, movement pertama langsung diisi hentakan yang bergaya atonal. Tapi tak sedrastis Simfoni Kelima. Klarinet terasa mendominasi. Movement kedua, yang biasanya bersifat lebih tenang, masih dipenuhi paduan menarik dari alat-alat tiup. Violin dan dawai-dawai mendominasi movement ketiga, seperti menyiapkan diri ke klimaks movement terakhir. Di movement keempat, kedua timpani disandingkan mengiringi orkestra yang ditutup masih dengan rasa kepenasaranan yang tinggi.

Memang banyak alternatif untuk menggambarkan sang hidup. Bisa dalam bentuk perulangan yang menarik dan dinamik, atau dalam bentuk tanda tanya yang menggelitik, atau pengelanaan misteri panjang dengan keengganan untuk memasuki kedalaman. Atau ribuan variasi lain. Simfoni Keempat menggambarkan sang hidup dari sisi-sisi dinamika dan variasinya yang menarik. Menghentak, mengejar, dan berpadu dengan lincahnya menyeberangi batas dimensi realita dan kemayaan. Mengajukan kesetaraan antara yang mayor dan minor, antara yang mainstream dan yang terpinggirkan. Sungguh simfoni yang menarik untuk jadi bahan perenungan awal untuk memulai penjelajahan di kota London.

Fulltrek

Nama Fulltrek sendiri kami rancang beberapa saat setelah menempati ruang baru Gugus Tugas Content & Application (GTCA) di Merdeka Selatan 12. Dari sekian pilihan nama, tampak tak ada yang menarik. Aku lupa, nama itu hadir dari Pak Widi atau Pak Komang. Dan aku cuma menambahi: Trek-nya dibuat mirip Star Trek yach. Lalu jadilah.

Di GTCA, aku termasuk yang paling tak memiliki sense atas musik. Kata musik sendiri entah kenapa mengingatkan aku pada Haydn, Debussy, atau malah gamelan. Oh, lagu masuk ke musik ya? Haha :). OK. OK. Clueless kalau teman2 GTCA berbincang asyik masalah musik. Atau game. Tapi waktu produk ini diluncurkan, tentu semua harus ikut andil menyebarluaskan ke komunitas-komunitas. Dan karena aku pastilah useless dipasangkan di komunitas musik (bukan Haydn dan gamelan, maksudnya), maka aku mendapatkan tugas yang berkait tidak dengan komunitas musik.

Tugas pertama adalah Ignite. Ignite baru pertama kali diselenggarakan di Jakarta. Ia mirip Pecha Kucha — Pecha Kucha yang mencontek konsep Ignite, atau sebaliknya. Aku pernah rajin hadir di Pecha Kucha, jadi bisa membayangkan formatnya. Ignite diadakan bulan lalu di Grha Citra Caraka. Ada 20-an speaker, yang memberikan presentasi dalam waktu masing2  lima menit saja. Aku jadi presenter kelima, tepat setelah Pandji Pragiwakarsa. Syukurlah Pandji berpresentasi dengan tema pembajakan, termasuk pembajakan musik. Tepat di akhir wacana Pandji, aku bisa masuk, dan tepat memulai dengan skala pembajakan musik. Tak ingin kehilangan momentum, aku langsung masuk ke tema itu … lupa memperkenalkan diri :). Haha. Gaya ajaibku membuat Aulia yakin bahwa presentasi itu bukan aku yang buat :). Pak Indra Utoyo kemudian sempat hadir, tapi jauh setelah presentasiku.

Tugas kedua adalah DJUS. DJUS adalah offline sharing forum dari MIKTI yang juga rutin diselenggarakan. Aku pernah sekali hadir di DJUS. Kali ini DJUS diselenggarakan di Risti Tower di Bandung, dan bertemakan Digital Music. Speaker adalah Jodi Handoyo dan Grahadea Kusuf. Pengantar dari Ketua MIKTI Indra Utoyo, Kadis Indag Jabar, dan salah satu pelindung MIKTI (Cahyana Ahmadjayadi) yang juga salah satu Indigo Fellow. Aku mengisi sedikit tentang Fulltrek juga.

Fulltrek bukanlah sekedar tempat penjualan musik secara online. Fulltrek dimaksudkan sebagai bagian dari prakarsa Indigo, untuk membentuk ekosistem bisnis musik digital. Distribusi musik secara fisik sudah jatuh — tampak secara visual. Namun karena distribusi digital tak pernah disiapkan, user menggantikan dengan pembajakan. Nilai pembajakan musik di Indonesia tahun lalu diperkirakan berskala 4.5 triliun rupiah (atau 180 gayus — dengan 1 gayus setara dengan loss 25 miliar rupiah). Peningkatan revenue ada, tapi kecil — karena baik pencipta maupun distributor tak termotivasi. Semangatnya hancur oleh pembajakan. Fulltrek dan prakarsa-prakarsa serupa mencoba membangun distribusi musik secara legal dan sehat, sehingga membangkitkan kembali kreativitas dan dinamika musik sehat Indonesia.

Fulltrek membangun ekosistem bisnis musik dari proses kreasi. Dengan Speedytrek, kelompok musik indie di daerah2 diseleksi, dipilih, dan dibantu memproduksi single atau album. Dengan Indigo Unplugged, dibentuk kegiatan komunitas untuk bersentuhan langsung dengan kelompok musik kebanggaannya, dan langsung dibuat produksi live music. Kerjasama produksi dilakukan dengan major label maupun kelompok musik indie dan developer yang mengabungkan musik dengan aplikasi-aplikasi digital. Revenue diperoleh dari sales, advertising, cobranding, events, dan kegiatan2 lain. DRM, security, hingga payment system dikelola dan dikembangkan dengan infrastruktur yang terus diperbaiki. Diharapkan publik akhirnya menemukan cara memperoleh musik secara sehat dan legal, dan menikmati distribusi musik dengan cara yang lebih mudah dan menarik. Diharapkan bahwa seniman musik akan kembali bangkit motivasinya untuk menciptakan yang terbaik buat dinamika musik Indonesia.

Mungkin dengan itu, suatu hari aku akan kembali menikmati musik kontemporer Indonesia. Bukan kembali ke Haydn, atau Stravinsky, atau Wagner. Serem deh :D. OK, sekarang kembali ke Die Walküre Act 2. Tadi Brunnhilde sedang berbincang dengan Siegmund di atas gunung.

Simfoni Ketiga

Aku agak takjub sadar bahwa di ipodku ada Simfoni Beethoven Pertama, Ketiga, Kelima, Ketujuh, Kesembilan, dan beberapa konserto violin. Huh, makhluk ganjil :). Sejujurnya, buat aku, yang terbaik bukan simfoni kesembilan. Simfoni pertama dan ketujuh itu penenang; sementara simfoni ketiga dan kelima itu penyemangat. Simfoni kesembilan itu buat temen2 yang mengaku doyan Beethoven, minta dipasangi simfoni kesembilan, dan langsung ngabur beberapa detik di Act 1 :). Mungkin mereka pedoyan ring back tone :).

So, hasil mencuri info di blog Novi si Antares Merah, aku kabur dari kantor Jumat sore lalu, menyerang Balai Sarbini di Semanggi, dan menyempatkan diri menyaksikan pagelaran Nusantara Symphony Orchestra untuk yang kedua kali. Kali pertama adalah Mei tahun lalu, dengan performansi Simfoni Kelima dan Carmen. Malam ini NSO menggelar dua simfoni Haydn dan satu dari Beethoven. Konduktor masih Hikotaro Yazaki, apprentice dari Seiji Okawa itu. Dan seperti waktu aku terpukau Simfoni Ketiga, sekian tahun lalu, kali ini juga aku dapat kursi VIP dengan tarif kursi biasa :).

Haydn menyaksikan Mozart tumbuh, dan Mozart menyaksikan Beethoven tumbuh. Jarak 2 generasi ini membuat aku jarang mengakrabi Haydn, kecuali dari beberapa studinya. Malam ini digelar Simfoni No 1 dan No 104. Betul2 klasik. Ada sedikit gaya barok di Simfoni 1. Juga rokoko. Urutan pun bergaya klasik. Mm, waktu dulu belajar, memang yang dijadikan contoh untuk ‘musik klasik’ adalah Haydn, dan Mozart :). So, klasik kali :). Buat wagnerian macam aku, ini adalah musik penenang :), yang sanggup menghapus semua urusan bisnis telekomunikasi dari kepala. Simfoni 104 terasa lebih dinamis dan diperberat, sedikit. Hanya dinamis dan berat dibandingkan simfoni no 1 :). Tetap hal yang tenang, riang, dan konon mencuplik musik2 rakyat pada bagian akhirnya yang sungguh riang.

Finalnya tentu pada Simfoni Beethoven Ketiga. Aku sungguh tak adil, selalu menitikberatkan Simfoni Ketiga pada bagian pertama, dan sedikit bagian kedua. Maka aku dihajar di sini. Bagian pertama Simfoni Ketiga malam ini dimainkan dengan sungguh kacau balau. French horn sungguh merusak (akibat cuaca buruk atau budaya rokok di Indonesia?). Tapi yang lain pun tak valid memposisikan yang seharusnya lembut, dan yang seharusnya keras mengalun, dan yang seharusnya keras menghentak. One word: bencana :). Paduan empat alat tiup yang seharusnya beriringan, dan biasanya sungguh menginspirasi itu, jadi nampak seperti bermain terpisah. Aku didorong jatuh, diikat sesak …

Dan saat itu, bagian kedua mulai menyajikan musik pemakaman yang agung itu: pemakaman kepahlawanan (eroica). Lupakan french horn, dan sisanya adalah keanggunan, yang mengembalikan nafas, dan mulai mengangkat diri. Hm, heran juga, kenapa musik pemakaman selalu terasa anggun (Requiem dari Mozart, Tod und Verklarung dari Strauss, dll). Ketuk-ketuk timpani mengingatkan pada pemakaman Siegfried (Gotterdämmerung, Wagner). Beethoven memang ajaib. Ia menjadikan adegan pemakaman seperti perayaan kehidupan, dengan gaung nilai-nilai yang berubah dinamik. Dan dari pemakaman, ia langsung ke bagian tiga yang riang berkejaran dengan berbagai alat musik tiup, terus menerus berkejaran semuanya, cepat, dan lambat. Sekali lagi, lupakan french horn pembawa bencana itu. Dan tanpa jeda, kita dibawa ke bagian terakhir yang kembali mengayunkan kita ke hidup yang nyata: dinamis, semangat, berkejaran, naik, turun, dan terlontarlah kita dengan semangat dan inspirasi tinggi. Ah, aku hidup …

Carmen dan Simfoni Kelima

Malam minggu ini digunakan untuk menikmati performance dari Nusantara Symphony Orchestra di Balai Sarbini (Jakarta). Di bawah judul Heart and Passion, orkestra yang diketuai Miranda S Goeltom, serta dipimpin conductor-nya oleh Hikotaro Yazaki ini menampilkan Simfoni Kelima dari Beethoven dan cuplikan opera Carmen dari Bizet. Orkestra dikonduktori langsung oleh Hikotaro Yazaki (yang ternyata apprentice dari Seiji Ozawa).

Simfoni kelima barangkali adalah simfoni Beethoven yang paling terkenal. Dulu digunakan untuk menunjukkan “motif” dalam musik (dan kemudian dianut secara fanatik oleh Wagner). Motif empat nadanya ini langsung terpapar dari birama awal, berulang, dan berulang, kemudian bervariasi, dan memaksa kita terus mencari, sambil riang; sambil tersentuh, entah oleh bagian mananya. Aksen2 dipaparkan dengan kontral antara nada keras, nada lembut, dan disonansi. Ya, simfoni kelima ini juga termasuk pelopor disonansi dalam musik klasik. Konon ini menceritakan tentang suatu malapetaka dahsyat yang tertanggulangi dengan tekat membaja dan kekuatan hati yang mengagumkan.

nso2008-01.jpg

Carmen juga masterpiece dari Bizet. Baru malam ini aku menseriusi opera Bizet (biasanya aku memilih yang versi nada tanpa kata saja). Dan baru baca ceritanya juga. Dibawakan dalam bahasa Perancis, Carmen menceritakan wanita petualang gipsi di Sevilla (Spanyol) yang terlibat cinta segitiga dengan serdadu Don Jose dan matador Escamillo. Gaya bernyanyi tokoh Carmen tentu harus dibuat urakan, dan baru melembut saat2 akhir, sebelum Jose membunuhnya, saat Escamillo tengah bertarung melawan seekor banteng. Vokal dibawakan oleh Sarah Sweeting sebagai Carmen, Aning Katamsi sebacai Micaela (tunangan Jose), Ndaru Darsono sebagai Jose, dan Harland Hutabarat sebagai Escamillo. Selain tentu harus kagum pada Sarah dan Aning, aku juga kagum pada suara Escamillo dari Harland. Hmm, dalam opera2 Nibelung, yang satu ini akan pantas jadi Hagen atau Alberich.

nso2008-02.jpg

Ruang tertutup ini menarik juga untuk menyegarkan pikiran, plus menambah semangat; untuk kembali ke perjuangan di luar sana. Yuk.

Laporan yang lebih menarik telah ditulis oleh:

Par les Rues et par les Chemins

Saat paling pas untuk menikmati Debussy tentu saat makna tak sedang digantungkan pada hal-hal besar, tetapi pada keseharian bahkan kesesaatan. Kesesaatkan. Atau kesesatan, boleh juga, kalau dianggap hidup harus diarahkan pada hal-hal besar :). Pun kefanaan, kalau dikonsepkan, jadi narasi bombastis juga :). parlesrues.gifMemang jadi ada waktunya semua itu dilepas: konsep, komitmen, legenda, visi. Dan biarkan pikiran ini mengaliri segala jalan besar hingga celah sempit yang kita temui hari ini, saat ini, detik ini. Biarkan juga ide-ide jadi frame-frame sporadik yang mencuat ke sana kemari dalam permainan warna yang indah berpola seperti permainan lampu di jalan raya, berpadu dengan percikan air di sungai bersemu coklat dan kenangan yang menarik secara hitam putih ke tenggara dan barat daya. Dan biarkan Debussy menyentak jiwa dengan musik yang pernah dinamai impresionistik itu (entah kenapa).

Klik. Klik. Klik. Beep. Ya. Kepalaku nyeri nian. Sekian hari tak juga mau mereda ia menghajar. Mengira aku dapat menyerah. Tak mungkin. Jiwa ini terlalu bebas untuk dapat diikat oleh belenggu ragawi.

« Older posts

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑