Yogya 1994, di atas bis kota yang tak terurus. Musik latarnya something dengan “terpuruk” oleh Katon cs. Maunya memang lagi terpuruk juga. Rasanya segalanya berjalan monoton tanpa variasi: pekerjaan yang melelahkan (lagi ada gebyar pembukaan ribuan pelanggan telepon baru, dan harus dibuka satu-satu plus dites satu-satu), dan bis yang panas dan lembab. Emang hidup lagi terasa tanpa arti. Terpuruk ku di sisi … eh di sisinya siapa?

Duduk di sebelah aku, ibu-ibu setengah baya, dengan jualannya, pernik-pernik elektronik semacam senter, kipas angin, dan mainan anak-anak berbaterai. Dia lagi megangin kipas anginnya.Kok tumben makhluk introvert kayak aku tau-tau nanya, “Kenapa, Bu, kipas anginnya?” Rusak, kata dia, nggak bisa dijual. Kami diam. TMP Kusumanegara terlintasi. Boleh liat? Dia berikan kipas angin itu. Pasti coil motornya, pikir aku, benda murahan ini. Gimana ngebukanya? Ambil dulu baterainya. Nggak bawa obeng, aku coba mengalihkan ide. Kali cuman konektor baterai. Geser dikit dan ditekuk dikit pakai balpen. Pasang baterainya. Kipas cuek. Buka lagi, geser-geser aja lagi. Pasang lagi. Kipas berpusing dengan indahnya (bisnya panas abis soalnya). “Cuman sambungan baterainya kok Bu.” Dia senyum ceria. Terima kasih, jadi bisa dijual lagi, katanya. Di luar matahari menyengat tajam, tapi rasanya jadi kayak kehangatan yang ramah. Terima kasih, Tuhanku, buat hidup yang bervariasi dan indah ini. Lempuyangan di depan mata. Aku lompat dari bis, dan bis menderu dengan asap hitamnya.