Tag: Islam (Page 1 of 2)

Cikarang – Pekalongan

Bagimu Guru dan Santri Indigo merupakan dua dari sekian bentuk program CSR Telkom. Kedua program ini diselenggarakan bersama dengan Republika. Bagimu Guru memberikan pembekalan tentang teknologi digital kepada para guru, yang umumnya berada di kota2 kecil. Santri Indigo memberikan keterampilan blog & Internet kepada para siswa di pesantren. Entah kebetulan aneh dari mana, dua minggu ini aku kebagian tugas untuk mengisi program CSR ini (setelah sekitar 1 tahun tak bersentuhan dengan keduanya).

Program Bagimu Guru dilaksanakan di Cikarang. Pada program ini, aku menggantikan Pak Indra Utoyo (CIO Telkom Indonesia) memberikan pencerahan tentang IT Trend. Materi aku kemas ulang — sebenarnya kami di Direktorat IT, termasuk IT Policy dan Content & Appl Work Group suka saling bertukar materi presentasi — supaya aku tak harus menceritakan banyak angka2. Aku lupa bahwa audience-nya guru2 yang secara sukarela mendaftar dan memang memiliki minat tinggi. Sekitar 60 orang. Wow, pertanyaannya banyak, dan kelas berat :). Mereka bukan pemula, tetapi pemakai Facebook, Twitter, dan social network lain, termasuk blog. Diskusi jadi cukup menarik dan tajam. Cikarang cukup dekat dengan Jakarta, jadi aku bisa melakukan tugas ini sambil tetap hadir di kantor :D.

Untuk program Santri Indigo, aku harus terbang ke Pekalongan. Eh, nggak ada airport dink di Pekalongan. Aku harus terbang ke Semarang, dan menempuh jalan darat ke Pekalongan, via Alas Roban. Jadi harus terbang malam sebelumnya. Baru sekali ini aku menuju (bukan sekedar lewat) di Pekalongan. Pesantrennya bernama Pesantren Modern Buaran. Aku seharusnya memberikan Teori Blog di sini, kepada sekitar 100 santri dan pengasuhnya. Beruntung, sekali lagi aku sempat bersua Ramaditya Adikara, salah satu Indigo Fellow kita, yang kali ini memberikan sharing motivasi kepada para peserta. Baru sekali ini aku ikut mendengarkan motivasi dari Rama. Keren. Elegan. Tak lebay seperti para banyak orang lain yang mengaku motivator :). Selama break, kami berbincang banyak hal. Termasuk soal Singa Udara (haha). Tapi harus diputus, kerna sudah waktuku menyebarkan paham blogisme kepada para santri. Sayangnya Pak Indra sekali lagi tak dapat hadir (sedang ada gelombang reorganisasi yang menarik di Telkom). Jadi sekali lagi aku bercerita tentang IT untuk Syiar Digital. Aku tak yakin bisa menggantikan presentasi Pak Indra yang selalu anggun itu. You know, presentasi seorang Koen kayak apa bentuknya, haha :). Nyaris tanpa break, aku langsung kembali mengejar pesawat di Semarang untuk kembali ke Jakarta, sementara para santri meneruskan tentang praktek blog dengan rekan2 dari Republika.

Banyak tugas yang tak dapat ditinggalkan. Tapi ikut sumbang ilmu dan waktu dalam kegiatan2 CSR ini menimbulkan kebanggaan, semangat baru, dan inspirasi baru. Kapan ya … program ini juga diperluas ke luar Jawa?

Akuntabilitas Babi

Kami sedang berbincang tentang tempat2 menarik di Indonesia, saat seorang intern dengan ringan bertanya, “Tapi sebenernya, kenapa sih babi itu haram?” Aku lupa apakah anak ini masih mahasiswa atau baru lulus. Tapi ini pertanyaan yang sebenernya standard, yang banyak ditanyakan siapa pun dari dalam dan luar budaya Islam, dari berbagai tingkat pemahaman agama. Asal usul pelarangan benda2 ajaib ini: babi, alkohol, riba; masih terus menarik diperbincangkan. Kalau rokok diharamkan, itu lebih mudah dipahami: ia merusak kesehatan orang2 di sekitar si perokok, dan membutakan hati serta otak si perokok sehingga tak akan bisa paham hal sepele semacam ini.

Tapi kembali ke babi. Aku akhirnya cuman memberi ringkasan jawaban dengan style ahli hikmah. Peraturan2 itu dibuat cuman sebagai constraint dalam kehidupan manusia. Kenapa harus babi yang diharamkan? Bisa sih apa pun. Tapi harus ada yang jadi tag untuk masuk ke exception list. Sekarang setiap kali umat manusia mau makan, ia harus bertanya2: “Ini makanan mengandung babi tidak?” Tapi kita tidak makan hasil peternakan kita atau tetangga kita sendiri. Dan asyiknya, sejauh mana pun makanan di piring kita berasal, kita tetap harus bertanya: “Ini makanan mengandung babi tidak?” Masyarakat harus punya kemampuan melacak asal usul makanan kita: dari manapun, disimpan berapa lama pun, diolah dengan cara apa pun, oleh siapa pun, bangsa apa pun. Artinya: semua harus terdokumentasi. Artinya: harus ada accountability.

Makanan tidak boleh berbabi. Minuman tidak boleh beralkohol. Uang tak boleh bercampur hasil riba. Dengan aturan2 macam ini, segala supply bahan pendukung kehidupan manusia, dan segala proses-proses ekonomi pendukungnya jadi harus terlacak, terdokumentasi, dan transparan. Kalau ini terlaksana, maka — sungguh — Islam adalah pelopor akuntabilitas publik yang paling mapan.

Tapi … hmmm … fakta bahwa tingkat kesehatan masyarakat dengan mayoritas muslim justru di bawah rata2, dan proses kerjanya paling buruk dan tak transparan, dan wacana masyarakatnya mudah tertembus pseudoscience, dan semacamnya; terpaksa membuat kita harus mengakui: kita abai dalam menjalankan hukum-hukum yang sudah kita akui bersama. “Halal nih, katanya Pak Haji yang jual. Juga bebas kuman dan bebas virus dan bebas bahan berbahaya dan beracun.” Tidak ada sertifikasi, tidak ada transparansi dalam proses kerja dan pengkomposisian bahan2 kerja. Padahal Rasulullah memarahi orang2 yang bertansaksi keuangan tanpa melakukan pencatatan, serta orang yang bekerja tanpa melakukan perjanjian kerja terlebih dahulu.

“Halah, soal haram kan berlaku untuk anggota MUI sendiri.”
Aku nggak tahu kapan aku boleh menertawai kejujuran orang yang memamerkan kebodohannya. Sambil … tentu saja … apakah MUI juga sudah mengamalkan transparansi? Haha. Hush.

Santri Indigo

Program Santri Indigo adalah program nasional dari Republika dan Telkom, untuk menyebarluaskan komunikasi kreatif digital ke berbagai pesantren di tanah air. Berbeda dengan Internet Goes to School, program Santri Indigo ini umumnya bersifat lebih high profile, dalam arti bahwa hingga Menteri, Dirjen, atau Direktur Telkom pun bisa ikut turun dan memberikan pembekalan pada para santri. Koleksi amal ibadah sekalian melepas kangen ke pesantren yang bersuasana tentram. Maka aku rada heran bahwa Mr Dody Gozali (a.k.a. Senor Dominggo Gonzales) menelefonku dan menginstruksikan untuk ke Sukabumi untuk ikut dalam Santri Indigo angkatan keenam, tanggal 8 November. Tapi, demi tugas, dan sudah lama juga tak menjenguk pesantren, maka aku mengiyakan. Dan syukurlah, Mas Ary Mukti pun mendadak menunda officer meeting of IEEE Comsoc Indonesia Chapter yang tadinya dijadwalkan jatuh pada hari yang sama.

Bukan waktu yang pas. Aku dijadwalkan memberikan pembekalan hari Sabtu pagi. Hari Kamis, aku harus memberikan pembekalan ke rekan-rekan di Indigo Centre Surabaya. Air Asia berbaik hati menunda flight sampai lewat tengah malam. Jumat pagi, aku harus menyelesaikan semua tugas karena minggu ini aku harus dikarantina (hihi) dan tidak bisa mengakses dan diakses kantor. Jumat malam, materi untuk Santri Indigo baru bisa difinalkan. Tapi memang aku punya ide bahwa badanku lagi perlu rada disiksa :). Dan begitu aku mengiyakan, Republika langsung memasang iklan setengah halaman.

sekalilagirespublica

Duh, aku pikir tadinya speakernya cuman beberapa rekan dari Telkom Sukabumi, Divre III, dan Republika. Huh, masih high profile ternyata. Maka meluncurlah aku ke Sukabumi hari Sabtu 8 November itu. Perjalanan darat Bogor – Sukabumi umumnya diwarnai kemacetan rutin. Aku sudah berhitung: 5 pasar, 5 kemacetan. Jakarta – Bogor – Lido – Cicurug – Parungkuda – Cibadak – Sukabumi. Sesuai hitungan, kemacetan memang terjadi. Tetapi lebih daripada yang diperkirakan. Total perjalanan dari Tol Pondok Gede ke Sukabumi akhirnya memakan waktu 6 jam. Pesantren As-Syafiiyah berada 10 km di luar Sukabumi ke arah Cianjur. Kami memasuki Pesantren waktu adzan Ashar berkumandang, waktu hujan deras tanpa ampun menghiasi pesantren sejuk itu. Pak Indra Utoyo tengah dengan asyik dan akrabnya menceritakan masyarakat digital yang tengah dibangun oleh berbagai komunitas, termasuk Telkom.

Setelah Ashar, aku mulai berpresentasi. Hari Jumatnya, rekan-rekan dari Republika sudah mengajari para santri, bagaimana membuat blog (Blogspot dan WordPress), mencari gagasan menulis, gaya menulis blog, serta memilih plus mengedit template. Hasilnya keren-keren. Aku cukup menambahi dengan hal2 sekitar … ada apa setelah blog: mengapa blog ada dan perlu ada, bagaimana blog bisa punya nilai lebih, bagaimana blog bisa berinteraksi, bagaimana blog kita didengar dunia, dll. Pernak-pernik blog, dan social networks. Tak terasa 2 jam berlalu, lengkap dengan tanya jawab interaktif. Duh, para santri ini. Ceria, penuh ide, cerdas. Dan jail. Jail! Mau menyemestakan hikmah, tapi jail :). Ceria mereka bikin hari ini jadi hari yang paling indah sepanjang November :). Presentasi aku tutup dengan halaman bertuliskan “To be continued.” Ini belum berakhir. Ini harus berlanjut dengan karya2 mereka. Dan mereka benjanji untuk terus menulis dan berkreasi, serta menyemestakan karya mereka melalui Internet.

Sayangnya, tak bisa berlama2 aku di sana. Setelah Maghrib di tempat yang tenang (hujan sudah berhenti) dan sejuk (tetapi tak dingin) itu, kami harus kembali ke Jakarta. Sudah malam, dan sudah tak macet lagi. Jam 23 kami masuk Jakarta. Beberes. Jam 8 pagi harus berangkat ke Bandung. Life goes on :). With smile :).

Abdurrahman Wahid

Ini joke lama yang aku ceritakan ke Abdoul Karim waktu kami sedang menyantap makan siang kami di suatu akhir pekan. Aku terjemahkan ya :).

“Bon appetit, Koen.”
“Merci, Abdoul. Hei, dulu konon di sebuah hotel di suatu pagi, ada orang Perancis memberi salam ‘bon appetit’ kepada orang Arab. Si orang Arab mengira ditanyai namanya. Jadi dia jawab ‘Abbas Hassan’.”
“Hahaha.” (Tertawa 1)
“Belum selesai. Nah, siangnya mereka ketemu lagi waktu makan siang. Orang Perancis memberi salam lagi ‘bon appetit’, dan si Arab menjawab lagi ‘Abbas Hassan’. Tapi lalu dia curiga. Masa orang bertanya nama dua kali.”
“Lalu?”
“Ya, dia ke toko buku kecil di situ, cari kamus Perancis-Arab. Dan akhirnya tahu ‘bon appetit’ artinya ‘selamat menikmati’.”
“Pintar.”
“Ya, masalahnya di toko buku itu tidak ada kamus Arab-Perancis. Jadi dia tidak tahu harus menjawab apa.”
“Lalu?”
“Malamnya, si Arab berpikir mendahului memberi salam; biar dia tahu apa seharusnya jawabannya.”
“Hahaha.” (Tertawa 2)
“Jadi begitu ketemu si Perancis, dia menguluk salam dulu: ‘bon appetit’. Ugh, sialnya … si Perancis malah menjawab … ‘Abbas Hassan’.”
“Kok gitu?”
“Ya, dia pikir jawaban untuk ‘bon appetit’ versi orang Arab memang ‘Abbas Hassan’.”
“Hahaha.” (Tertawa 3)
“Tahu nggak, aku baca joke itu dari siapa?”
“Siapa?”
“Mr Wahid, presiden kami.”
“Hahahahahahaha.” (Tertawa 4 dan panjang)

Ya, memang humor Mr Wahid itu multikultural dan bisa dinikmati orang berbagai dunia. Aku menikmati tulisan beliau sejak aku doyan baca kolom2 Abdurrahman Wahid di Tempo tahun 1980an. Budayawan yang cerdas, aku pikir waktu itu. Tapi politikus yang menyebalkan, dan presiden yang disastrous, aku pikir sekarang :).

Dalam rangka ingin menemui lagi Mr Wahid budayawan tersayang itu, aku datang ke pengajian Isnet lagi, di kediaman keluarga Motik, Menteng, Jumat malam — 8 jam setelah operasi mencabut geraham atas dan bawah.

Gusdur yang ini tidak mirip yang politikus. Ia berdamai dengan banyak pihak: Amien Rais, PAN, ahmadiyah, zionist. Perbaikan hanya bisa dilakukan dengan dialog, dia bilang. Kedekatannya pada kaum zionist diakuinya sebagai satu2nya langkah yang mungkin — kita loyo di kekuatan militer dan ekonomi, tetapi menginginkan adanya solusi. Maka sambil menerima penghargaan Simon Wiesenthal, ia juga mempertanyakan: mulai kapan Israel benar2 akan memulai demokrasi dan menghentikan diskriminasi rasialis.

Hal-hal yang sering kita dengar dari beliau juga diulangi. Misalnya bahwa pergerakan nasional didorong oleh orang2 Islam multialiran yang memiliki fundamental Islam dan nasionalisme. Juga hasil muktamar NU di Banjarmasin (sebelum kemerdekaan) bahwa cita2 yang dituju tidak berbentuk negara Islam. Sambil becanda, Gusdur juga bercerita bahwa menurut Hidayat Nur Wahid PKS itu bukan organisasi Islam, sementara menurut Tifatul Sembiring PKS itu organisasi Islam. Perbedaan fundamental dalam mendeskripsikan organisasi pun tidak membuat organisasi harus macet. Cuman mengenai soal PKB, Gusdur malah tegas. Kepemimpinan PKB dinilainya sudah berbau uang, dan harus dirombak total.

Ada beberapa halaman tulisanku tentang perbincangan malam itu. Mungkin aku save di tempat lain saja nantinya. Tapi yang aku cukup takjub adalah bahwa Gusdur betul2 demokrat budaya. Penanya boleh mengkritik dirinya cukup keras, termasuk menyebut bahwa Gusdur bukan presiden yang berhasil, serta menganjurkan Gusdur tidak maju lagi. Tapi ekspresi Gusdur tak berubah. Beliau tetap menjawab santun dan santai. Kadang selisih konteks juga sih :).

Terakhir, ada yang mau aku cuplik. Beliau menyebut kenapa komunikasi suka tak sampai. Bukan hanya soal salah konteks (eh, ini opini aku dink), tetapi terutama soal bahasa. Di Indonesia ada bahasa LSM/intelektual/mahasiswa, ada bahasa birokrat, dan ada bahasa rakyat. Ketiga bahasa itu belum menyatu. Hey, bahasa blogger di mana? Kayaknya di yang pertama ya. Pantas, sulit sekali memasyarakatkan blogger :)

Seperti gaya Gusdur yang berhenti bicara waktu pingin berhenti. Aku juga berhenti menulis waktu pingin berhenti. Mudah2an Gusdur tetap jadi Bapak Bangsa, dan tidak jadi presiden lagi :). Tentu yang terakhir ini juga diharapkan untuk Bu Mega dan Oom SBY. Kita pingin orang baru, bersemangat baru, lepas dari klik-klik lama.

PT Harun Yahya

Tidak seperti di Amerika Serikat, Teori Evolusi diajarkan di Indonesia secara damai dan nyaris tanpa pertentangan. Diajarkan sejak awal masa baligh di SMP, teori ini dianggap sama wajarnya dengan teori2 lain, seperti lempeng benua, teori elektromagnetika, dll (teori kuantum nunggu SMA –red). Tentu memang ada kekhawatiran bahwa teori ini tak ditentang bukan karena dianggap wajar, tetapi karena metode pendidikan tingkat menengah di Indonesia yang masih dangkal itu menjadikan semua teori sebagai hal yang hanya perlu dibaca sebentar, dipakai menjawab ujian pilihan ganda, dan kemudian dilupakan selamanya. Tak menjadi dasar pengambilan keputusan, baik skala pribadi maupun skala nasional :). Paling jadi candaan: “Eh, teori evolusi itu yang bilang bahwa manusia keturunan monyet kan? Kalau liat muka elo sih, kelihatannya memang benar.” Tapi itu dulu.

Kini, murid2 menjadi semakin pintar. Khususnya setelah tumbangnya rejim Soeharto, pikiran kritis sudah menjadi keseharian di sekolah. Diskusi dengan mahasiswa zaman sekarang sudah berbeda dengan diskusi dengan para korban brainwash gank Soeharto. Tapi itu aspek positif. Aspek di sisi lain adalah Harun Yahya :).

Berlawanan dengan perkiraan orang, Harun Yahya bukanlah nama orang. Ini adalah nama samaran bagi sebuah tim, dalam sebuah organisasi, dengan Adnan Oktar sebagai ideolog utamanya. Tujuannya mulia. Mengangkat kebenaran dan keindahan Islam menggaung ke seluruh dunia. Tapi tak beruntungnya, kebenaran Islam di sini adalah kebenaran dalam interpretasi organisasi itu. Adnan Oktar sendiri menyukai sains, dan sekaligus mistisisme, lalu ia gabungkan sebagai Sains Islam. Tapi terbitan pertama tokoh ini malah menyoal zionisme, kepalsuan holocaust, dll; yang membuatnya sempat dihukum. Tak lama ia mulai menerbitkan serial Sains Islam yang memang menawan. Semesta ciptaan Allah yang indah (segala puji bagimu, Rabbal ‘Aalamiin). Tapi kemudian sambil menyangkal teori evolusi. Harun Yahya mulai memaksakan pendapatnya tentang cara Allah mencipta dan menyusun semesta. Allah tidak boleh menjalankan semesta sesuai yang dideskripsikan oleh Teori Evolusi (tapi boleh dengan teori kuantum, mudah2an). Lebih menarik lagi, Allah harus masuk ke sains, harus teramati di mikroskop: harus kelihatan dengan mata. Misalnya mata itu sendiri :). Mata adalah bukti bahwa struktur itu diciptakan sebagai struktur, bukan melalui evolusi: ini adalah bukti adanya Sang Pencipta. Kita bisa melihat Sang Pencipta di sini. Begitu ulas Harun Yahya. Berikutnya adalah tuduhan: Teori Evolusi adalah teori atheist. Darwin adalah biang dari materialisme yang artinya biang dari komunisme, naziisme, zionisme, kapitalisme, soekarnoisme, marhaenisme, soehartoisme, terorisme, dll. Tapi jangan lupa bahwa naziisme tidak jahat, karena Harun Yahya sendiri bilang bahwa holocaust itu palsu. Buku2 Harun Yahya diinternasionalkan dalam bahasa2 dunia: Inggris, Urdu, Indonesia. Dan disambut hangat. Jangan lupa, bagian depannya memang bagus :).

picture-9.png

Sementara itu para ilmuwan jadi terpaksa garuk2 kepala. Justru dengan Darwinisme, evolusi genetik, dan evolusi mimetik, evolusi budaya, didukung berbagai teori menarik, misalnya teori game, orang bisa memahami bagaimana budaya terbentuk, dan bagaimana cara terbaik menata masyarakat. Orang yang sungguh2 paham Darwinisme akan menjadi manusia yang menjaga nilai2 pribadi maupun nilai2 masyarakat. Kenapa? Coba tamatkan buku teori game. Justru orang2 dogmatik, yang tak paham ilmu, yang memperalat ideologi dan agama untuk saling membunuh dan menghancurkan.

Aku pikir tadinya demam Harun Yahya akan pudar, dan akal sehat menang. Tapi tentu aku terlalu banyak nonton film :). Dalam kehidupan nyata, justru Harun Yahya sedang memulai tahap baru dari offense-nya. Sebuah buku Atlas of Creation dicetak dan dikirimkan ke banyak sekolah di Eropa. Dukungan segera datang dari beberapa pemuka berbagai agama di Eropa: Protestan, Katolik, Yahudi, dan Islam. Terjadi kaukus kreationisme. Keren juga, jadi Pancasilais yang bisa menyatukan agama2 :). Orang Islam yang tadinya menganggap injil itu tak perlu dibaca (dengan alasan sudah terjadi modifikasi atas ayat Tuhan di dalamnya), kini jadi ikut rajin membaca genesis. Protes berdatangan. Sementara itu masyarakat Perancis gelisah, membacanya sebagai peningkatan radikalisme Islam dalam bentuk perang pikiran. Berikutnya Atlas ini juga disebarkan ke ke seluruh dunia

Tapi, huh sebalnya, bukankah cara Harun Yahya itu sendiri memang tak berbeda dengan cara sebuah kepercayaan disebarkan? Dimulai dengan hal2 yang baik, seperti moral, kasih sayang, yang tak seorangpun akan menyangkalnya; kemudian didukung hukum2 primer; lalu hukum2 sekunder; dan standardisasi; lalu konsensus yang memilih satu hal baik di atas hal baik lainnya (soal pilihan); lalu pematahan ketidaksesuaian pendapat. Dan, demi moral dan kasih sayang, tapi juga demi level ketakutan tertentu, orang masih terus memberikan dukungan. Untuk berlepas dari fraud model Harun Yahya dan model serupa, orang harus mulai juga berlepas dari kebiasaan menerima agama (yang mau tak mau harus diakui: hasil evolusi budaya juga) apa adanya. Orang harus kembali beragama dan berkomunikasi dengan Rabb-nya dengan bersih, yakin diri, ikhlas, kuat, percaya diri; lalu menatap sesamanya dengan kasih sayang tanpa syarat.

“Tapi kan buku Harun Yahya berisi ayat Qur’an.”
“Terus? Mau bikin buku sains beneran yang berisi ayat Qur’an juga boleh kok.”
“Dan dalam kitab suci mana pun tidak tertulis tentang teori evolusi.”
“Dan juga teori kuantum.”
“Teori kuantum ada. Si Koen pernah menuliskan di web yang lama. Nggak tahu kenapa dihapus.”
“Iya, kalau diinterpretasikan seperti itu. Tapi teori evolusi juga ada, kalau diinterpretasikan dengan cara yang sama. Juga teori string, biarpun belum jelas teori string benar atau salah.”
“Tapi buku Harun Yahya dijual di masjid.”
“Jualan di masjid?”

Apa sih yang paling berbahaya dari Harun Yahya? Orang Islam sibuk menajiskan evolusi, peran DNA, dll, plus jualan di masjid; sementara orang2 yang dituding sebagai atheist itu melejit memanfaatkan biotechnology. Tertutup pintu kita untuk revolusi akbar setelah revolusi semikonduktor.

“Ah, dasar si Koen atheist. Pasti dia mau bilang juga bahwa bumi mengelilingi matahari.”

Edward Said

Putus asa aku mengamati jadwalku, malam itu, sekitar 5 tahun lalu. Nggak ada harapan untuk melihat presentasi Edward Said di Warwick University — hanya 15 menit jalan kaki dari kamarku. Sedih, hmm. Tapi aku kasih tahu ke beberapa teman, barangkali mereka berminat datang. Reaksi Adnan khas sekali: siapa itu Edward Said? Dan Khaldoun harus menjelaskan ke dia, sambil aku fade off.

Edward Said, selalu membuat aku berpikir tentang keterasingan. Seperti aku yang nggak pernah diterima dalam komunitas sukuistis di mana pun, terutama Jawa dan Sunda. Said tidak pernah merasa at home di negeri mana pun. Keluarga Palestina, tumbuh di Mesir, dan akhirnya tinggal dan menjadi profesor di Columbia, AS. Punya nama depan yang diambil dari nama pangeran Inggris, serta nama keluarga yang Arab nian, makin mengokohkan keterasingannya.

Di AS, Said tak pernah melupakan Palestina. Sebagai cendekiawan kelas dunia, ia terus menyuarakan keprihatinan atas Palestina. Bahkan ia sempat duduk di Dewan Nasional Palestina. Cita2nya bukanlah menghabisi orang Yahudi, tetapi melumpuhkan kekuatan militer Israel dan mendirikan negara demokratis non apartheid non rasialis di bumi Palestina, berisikan orang2 Yahudi, Kristen, Islam, dan agama mana pun. Sikap itu makin mengokohkan keasingan Said. Orang2 zionist menudingnya sebagai musuh berbahaya yang berhasil menyusup di tengah kaum cendekia Amerika, dan cenderung menggagalkan upaya misinformasi internasional mereka. Sementara orang2 Arab memakinya karena ia tak hendak mengusir orang Yahudi.

Said dipecat Arafat dari Dewan Nasional Palestina, karena sikapnya menolak perjanjian damai Oslo. Kenapa orang seperti Said menolak inisiatif damai? Said yakin, ini penipuan. Arafat tidak membaca seluruh naskah, selain beberapa pasal yang mengamankan posisi dirinya sendiri; dan ia dikelilingi veteran perang yang tak paham hukum serta tak mahir berbahasa Inggris. Setelah perjanjian, Arafat baru sadar bahwa tak satu pasal pun yang menyatakan adanya negara Palestina yang diakui.

Setelah kemenangan Hizbullah memaksa mundur pasukan Israel di Libanon Selatan, Israel membuat buffer berupa lahan kosong belasan kilo sebagai zona pengaman antara Israel dengan Libanon. Orang Arab suka melempar batu ke arah Israel. Tentu itu simbolis. Tak ada orang atau bangunan apa pun yang bisa kena. Tapi waktu Said berkunjung ke sana, ia becanda dengan beberapa pemuda, dan berlomba melempar batu sejauh mungkin. Foto Said sedang melempar itu dipasang sebagai headline di media-media AS, dengan seruan untuk memecat Said dari Columbia serta mengusirnya. Pimpinan Columbia University acuh.

Selama insiden itu, Said sedang mempersiapkan paparan di Lembaga Freud di Wina. Akibat ancaman orang2 zionist, pimpinan lembaga membatalkan paparan itu. Namun akhirnya Said diundang untuk memaparkan tulisannya itu di London, 2003. Temanya, sekali lagi, tentang keterasingan: Freud dan orang-orang bukan Eropa. Hal2 yang Said paparkan mungkin memang bikin marah orang Israel, yang akhir2 ini tengah mencari bukti2 arkeologis untuk memvalidasi keberadaan entitas itu di bumi Palestina. Said justu memaparkan bahwa konsep monotheisme orang Yahudi diambil Musa dari orang2 Mesir, bukan dari tradisi Ibrahim hingga Yusuf yang sementara itu sudah hilang. Nama tuhan sendiri, Yahweh, diambil para pengikut Musa itu dari suku Arab Midian di sekitar Sinai.

Said sendiri mempunyai beberapa sahabat Yahudi. Daniel Barenboim, salah satunya. Barenboim tak kalah asingnya :). Dia adalah minoritas conductor Yahudi yang gemar memainkan simfoni dan bahkan opera-opera Wagner, saat di Israel segala musik Wagner diharamkan oleh parlemen. Barenboim dan Said sempat membuat perbincangan panjang tentang Wagner, dan sempat membukukannya: Parallels and Paradoxes.

Said meninggal tahun 2003. Leukemia. Bukunya yang terakhir adalah On Late Style. Biografinya berjudul Out of Place. Asing.

Muhammad

Kemudian setelah riuh itu kembali merendah, seiring dengan sifat dasar manusia yang mudah lupa dan mudah lalai (manusiawi sekali), kita kembali membuka kisah sang manusia yang agung akhlaknya itu.

(1) Setiap kali Muhammad, saw, melalui suatu jalan, seorang perempuan membuang ludah ke arahnya. Keluarganya, dan kemudian beberapa sahabat yang mengetahui, mencoba memprotes, tetapi Muhammad, saw, selalu melarangnya. Namun pernah beberapa kali Muhammad melalui jalan itu tanpa gangguan si perempuan. Bertanyalah ia pada orang di sekitarnya. Dari sana ia tahu, perempuan itu sedang sakit. Maka ia mengambil makanan dari rumah, dan dijenguknya perempuan itu sambil membawa makanan. Tak pernah lagi perempuan itu mengganggunya sejak itu.

(2) Satu rombongan berjalan, membawa jenazah ke pemakaman. Muhammad, saw, yang sedang berbagi hikmah dengan sahabat-sahabatnya, segera berdiri memberi hormat.
“Tapi Rasulullah, itu jenazah seorang Yahudi,” seorang sahabat mengingatkan.
Muhammad, saw, bersabda pendek, “Berdirilah kalian semua. Itu adalah jenazah manusia, saudara kita.”

Dicaci maki, diludahi, dilempari batu, adalah hal yang pernah jadi kebiasaannya, sebelum Islam berkembang pesat. Dan setelah ajaran mulia ini berkembang, jejas dalam bentuk lisan maupun tulisan terus diarahkan padanya. Namun manusia tak lebih dari bentuk kehidupan singkat, dan hinaan atas manusia pun fana saja. Tak ada artinya dibandingkan perjuangan panjang mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi seluruh alam semesta. Konsistensi perjuangan dan keagungan pribadi Muhammad, saw, mewujudkan kekaguman, bukan hanya dari para sahabatnya tetapi juga para musuhnya, dari kekaisaran Romawi hingga kekaisaran Persia.

Kebodohan, yang sekali lagi dilakukan oleh segelintir kapitalis Eropa, tak lebih hanya kebodohan segelintir kapitalis. Dan tak perlu dibalas dengan kebodohan. Kemarahan sebagian umat muslim, yang tak terkendali, juga manusiawi, yang sebenarnya lebih ditujukan kepada diri sendiri. Kepada ketidakmampuan menjaga citra sebagai pewaris seorang Muhammad.

Oh ya, satu hal tentang pembakaran bendera. Negara-negara Skandinavia, serta Swiss, juga Skotlandia, memasang simbol Kristian sebagai bendera mereka. Pantang bagi umat Islam untuk menodai simbol-simbol agama lain, biarpun barangkali bangsa mereka juga sudah tak lagi berpegangan pada agama itu.

Isnet

Isnet, benda apa itu? Syukurlah, abis beberapa tahun bergabung dengan Isnet, aku belum melihat ada yang menyepakati apa yang disebut Isnet. Nggak pa-pa sih, dan malah baik, kalau kita bisa berjalan, melaju, dan sinergis, tanpa repot2 sama urusan definisi, koordinasi, dan bla-bla lainnya. Tapi saat sinergi pun jadi tinggal kenangan, kita seharusnya mulai mencari: kenapa potensi sehebat itu tidak kita manfaatkan dengan benar; dan kenapa kebersamaan sehangat itu kita khianati dengan kesendirian masing-masing.

Maka aku datang malam kemarin ke yang dinamakan sebagai Pertemuan Isnet. Dan yang dibahas memang kelembagaan dan perlembagaan Isnet. Tentu khas Isnet, dalam arti bahwa biarpun judulnya berbau2 soal lembaga, tetapi tidak ada yang menyebut urgensi melembagakan Isnet. Justru kembali yang dilakukan adalah berbagi ide dan pencerahan, antar generasi, antar sektor.

Barangkali aku juga hadir sekedar kangen. Bang Laurel Heydir tetap hangat seperti biasa. Dari Bandung cuma ada aku dan Mas Bogie Sujatmiko, yang sama2 pendiam dan ogah bersuara. Tuan rumah, Herr Faisal Motik, tetap jadi joker yang handal untuk membuka dan menutup acara. Dan ustadz Qodri Azizy betul2 menyampaikan alternatif kritis tentang lembaga2 Islam. Misalnya, kenapa nama “Islam” terkesan seram dan dihindari, tetapi nama Hukum Islam, a.k.a. “Syariah” terkesan ramah dan dikejar2 lembaga2 non Islam sekalipun. Juga tentang pendidikan Islam yang sebenarnya menekankan kepada rasio dan kritik. Kenapa Nabi Ibrahim, saat beroleh perintah Allah atas anaknya, perlu menanyakan pendapat anaknya, Ismail, alih2 bersikap “aku dengar dan aku laksanakan sekarang juga.” Juga tentang prioritas2 yang tertinggal oleh rutinitas2. Juga tentang …

Bersambung ah, as usual.

Tapi Isnet itu apa?

Nah, itulah soalnya.

Kalmykia

Republik Kalmykia (Хальмг) terletak di antara sungai Volga dan Don, sebagai bagian dari Rusia. Di selatan, ia berbatasan dengan Laut Kaspia dan Dagestan. Berdimensi 423 km dari timur ke barat, kali 448 km dari selatan ke utara. Ibukotanya Elista (Элст), terletak 1836 km dari Moskva. Profil area ini sebagian besar berupa dataran. Di barat ada perbukitan Yergeninsky yang titik tertingginya 218 m. Terdapat bekas selat yang menghubungkan Laut Kaspia dan Laut Hitam, yang sekarang menjadi lembah-lembah sungai Zapadny Manich dan Vostochny Manich serta sejumlah danau dan laguna berair asin.

Bangsa Kalmyk tadinya adalah bagian dari Bangsa Mongol di bawah Jengis Khan, yang memasuki kawasan ini saat bangsa Mongolia terbelah antara pihak barat dan timur. Unik, karena akhirnya bangsa ini jadi bangsa keturunan Mongol yang tinggal di Rusia kawasan Eropa. Bangsa Kalmyk kemudian menjadi bangsa yang mandiri tapi menjaga hubungan baik dan patuh pada ketsaran Rusia. Sayangnya kemudian bangsa ini terpecah2 oleh migrasi demi migrasi. Hampir hilang kedaulatan bangsa ini. Maka pada tahun 1917 bangsa ini bergabung dengan kekuatan Bolshevik untuk menjaga eksistensi negerinya. Setelah terbentuknya Uni Soviet, Kalmykia menjadi daerah otonomi. Pemerintah Soviet menjadikan wilayah ini sebagai penghasil bahan pangan saja. Pada puncak PD-II (masa Stalin), bangsa Kalmyk dipersalahkan, ditekan, dan diusir ke Siberia. Baru boleh kembali pada masa Khrushchev tahun 1957. Setelah Soviet bubar, Kalmykia menjadi republik yang tergabung dalam Federasi Rusia.

Di negara ini cukup berkembang agama Kristen Ortodoks, Katolik, Islam, dan Buddha. Seni berkembang baik di negara ini. Cukup ajaib, mengingat alamnya lebih banyak berupa stepa :). Stepa yang luas, membentang tanpa batas, membebaskan jiwa manusia dari kungkungan kerangka palsu kemanusiaan. Orang Kalmyk lebih suka berpuisi macam ini:

When in the steppe I stand alone
With far horizons clear to view,
Ambrosia on the breezes blown
And skies above me crystal blue,
I sense my own true human height
And in eternity delight.
The obstacles to all my dreams
Now shrink, appear absurd, inept,
And nothing either is or seems
Except myself, these birds, this steppe…
What joy it is to feel all round
Wide open space that knows no bound!

Alija Izetbegovic

Mail hari ini
Innalillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un. Telah kembali ke Rahmatullah: Alija Izetbegovic, mantan Presiden Bosnia Herzegovina yang pertama, akibat gagal jantung dalam umur 78 tahun. Alija merupakan tokoh pejuang muslim dan menjadi terkenal saat memimpin perjuangan muslim Bosnia dari agresi Serbia tahun 1992-1995.

Lahir pada tahun 1925 di kota kecil Bosansky Samac. Menempuh pendidikan di
Balkan Research Center, hingga lulus di fakultas hukum. Pada umur 16 tahun terlibat Organisasi Pemuda Muslim di Sarajevo, sebuah organisasi sayap gerakan Ikhwanul Muslimin di Balkan. Selama PD II, gerakan itu menjadi bagian dari gerakan Islam militan di kawasan eropa di bawah pimpinan Imam Mehmed Hendzvic.

Pada masa pemerintahan Presiden Yugoslavia, Joseph Broz Tito, beliau
ditangkap karena keterlibatannya dalam penerbitan Jurnal Islam, Al Mujahid. Sejak itu, penjara menjadi bagian hidupnya selama rezim komunisme menguasai tanah Balkan. Dari balik penjara, ia tetap menulis artikel untuk jurnal Islam Takvim, GVIS, dll.

Setelah rezim komunis runtuh, Alija mendirikan Partai Stranke Demokratske Akcije (Partai Gerakan Demokrasi), sebuah partai Islam bercirikan Ikhwanul Muslimin. Proses ini mengantarkannya menduduki jabatan presiden Bosnia Herzegovina. Semasa pemerintahannya inilah, ia menghadapi masa-masa sulit berperang melawan arogansi pasukan Serbia.

Melalui kedekatannya dengan aktivitas gerakan Islam, ia mendapat bantuan yang sangat besar dari umat Islam sedunia dalam melawan Serbia. Ia bahkan menolak seruan NATO untuk berdamai dengan Serbia dan justru mendatangi OKI meminta bantuan senjata untuk melawan Serbia. Bagi dia, jika NATO tidak mau menghentikan laju pasukan Serbia yang membantai 2 juta umat Islam di kawasan Balkan, maka dia meminta NATO tidak menghalanginya mencari senjata dan mujahid dari dunia Islam. Ia akan melawan sendiri Serbia. Sebuah sikap yang berbeda ditunjukkan NATO ketika Serbia menyerbu Kosovo, dimana negara induknya yaitu Albania merupakan negara yang sangat pro barat.

Alija berhasil mengusir pasukan Serbia dan ikut berperan aktif menyeret Slobodan Milosevic ke Mahkamah Internasional. Dalam waktu singkat, Alija juga berhasil mengembalikan Bosnia ke keadaan normal keluar dari trauma perang bosnia.

Dalam kunjungannya ke Turki pasca perang, Alija menolak berziarah ke makam Kamal Attaturk. Padahal kunjungan ke makam Kamal Attaturk merupakan sebuah rangkaian protokoler kenegaraan Turki menyambut pemimpin negara lain. Dalam sejarah Turki, hanya dua pemimpin negara yang berani menolak berziarah ke makam Kamal Attaturk yaitu Ayatullah Khomeini dan Alija Izetbegovic.

Atas kehilangan ini, semoga rakyat Bosnia diberi ketabahan yang mendalam dan diberikan pemimpin yang lebih baik di kemudian hari.

« Older posts

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑