Cukup sering sehingga membuat kita terus ingat untuk menghargai orang lain, tapi tidak cukup sering untuk membuatnya jadi basa-basi tanpa arti.
Coba bayangin, kalau kita beli roti dan krupuk di Marks & Spencer. Kasih semua ke teller, dia hitung, bilang ei’ pound fifteen pence plizz, trus kita kasih card, dia terima sambil bilang thank you, terus dia nawarin kalau kita perlu uang cash tambahan, kita bilang nggak usah, thank you, terus dia tekan tuts beep beep beep, keluar kertas, kita tandatangan, balikin ke dia, dia terima sambil bilang thank you, terus dia nawarin tas plastik, terus kita mengiyakan sambil bilang thank you, terus dia kasih barang-barang kita dan kita bilang thank you, terus kita kasih salam dan dia senyum sambil bilang thank you.
Kayaknya inflasi bener.
Dan waktu si Adnane mau nganter aku ke Warwick buat nonton Berlin Symphony Orchestra, aku pulangnya bilang thank you. Pause. Trus bilang: I mean it, thank you. Kalau thank you udah inflasi, kita janagn-jangan harus sering bilang kayak gitu: I mean it.
Dan omong kosong dengan segala demo anti perang di Indonesia. Di mana-mana juga kita suka perang. Coba keliling Jakarta, keliling Bandung. Di setiap pelosok mereka sudah menyiapkan jaringan perang.
Di mana titik paling lemah (Britons dengan sukacita menyebutnya the weakest link) dari sebuah sistem? Teknologi yang ketinggalan jaman? Yeah. Program yang dibuat asal-asalan? Yup. Tapi yang selalu paling lemah adalah manusia. Dan proses yang memungkinkannya. Itu salah satu yang menarik dari film Catch me if you can. Orang IT menyebutnya sebagai social engineering: bagaimana, dengan cara halus dan cerdik, kita bisa mengambil data cruicial dari orang-orang dalam, tanpa mereka tahu bahwa sedang dimanfaatkan.
Kalau kita bisa menikmati film itu (kayaknya itu satu-satunya film yang aku tonton di tahun 2003 ini, so far, pasti kita bakal tertarik juga buat baca buku Kevin Mitnick: The Art of Deception. Mitnick, kayaknya tokoh yang nggak perlu dijelaskan lagi. Konon teknik penerobosan yang lebih sering dia pakai, lebih dari pembobolan secara teknis, adalah social engineering. Dan buku ini justru lebih banyak menyoroti engineering di bidang non-engineering ini. Kumpulan informasi tak halal hasil social engineering ini yang kemudian dipakai untuk pembobolan lebih lanjut.
Also Sprach Zarathustra by … bukan Nietzsche, haha :). By Richard Strauss. Lagi nggak sempat baca buku tebel-tebel. Tapi kapan sih kita nggak sempat ngedengerin musik? Zarathustra, secara ide memang diilhami Nietzsche, tapi secara musik diakui diilhami Wagner. Kalau di aku sih, sejarahnya kebalik: aku justru kenal musik Wagner gara-gara penasaran sama jenis musik yang bisa mengilhami komposisi seindah Zarathustra ini.
Coba misalnya kita dengerin Zarathustra bukan dalam kerangka buku Nietzsche, tapi sebagai karya impresionistik yang mendahului Debussy (nah lo). Skip Einleitung yang hingar bingar. Kita masuk ke bagian menjelang matahari terbit. Cahaya mulai mengisi langit, dan kegelapan di bumi mulai bergeser. Pemandangan yang samar. Awan. Kabut. Dan hanya garis-garis di bumi. Tapi lalu matahari beranjak. Satu garis sangat pendek, garis memanjang, garis cahaya yang panjang. Dan garis langit yang panjaaaaang. Dan kabut yang makin menipis. Pohon dan danau yang mulai menampakkan diri. Dan gerak-gerak fauna yang mulai tampak. Tapi matahari terus naik. Kabut menghilang. Embun jadi hiasan kayak permata yang menyemarakkan bumi.
Di bagian-bagian berikutnya fauna berlarian di antara bunga-bunga berwarna. Trus …
Trus kita baca judul setiap bagian yang ditulis Strauss. Setiap bagian diambil dari bab-bab bukunya Nietzsche. Trus kita bisa ketawa sendiri, menertawakan fantasi kita yang ternyata beda dengan yang dipikirin Strauss. Trus untuk membela diri, kita meminjam ujar Derrida. Setiap karya yang ditulis hanya memiliki makna yang tertunda — makna akhir adalah makna yang dihasilkan oleh pembaca, pendengar. Ada tundaan antara yang dimaksud penulis dan makna akhirnya, dan ada selisih interpretasi yang tak mungkin dihindarkan. Dan yang pasti, makna sebuah teks bukan makna seperti yang dibuat penulisnya, tapi makna yang diterima pembaca.
Jadi aku terus menikmati Also Sprach Zarathustra dengan melupakan ide-ide Nietzsche, tapi dengan ide-ide fauna yang berkejaran riang, dan mengingatkan kita untuk mengisi hidup kita sesuai keindahan hari ini yang kita rasakan. Apa artinya übermensch untuk dunia fana ini? Kefanaan di atas kefanaan yang lain lagi?
Seorang warga Amerika keturunan Arab ikut berdemo di Washington. “BIG LIAR“, gitu tulisan di plakat yang dibawanya. Lalu ia meneriakkan: “Big liar! Civilian slaughter! Election cheater! Evil conspiracy! Nepotist! Shame! Shame! Shame!” begitu berulang-ulang. Tapi FBI tak kalah sigap. Orang itu segera digiring ke kantor. Dibiarkan di ruang pengap beberapa jam. Dan akhirnya diinterogasi.
“Untuk siapa kamu berdemo?”
“Untuk saya. Untuk rakyat Irak. Untuk kemanusiaan.”
“Tahi anjing! Kamu tahu kamu bisa dihukum berat karena bersikap tidak patriotik?”
“Saya percaya pada kebebasan berpendapat.”
“Tapi tidak untuk menghina kepala negara.”
“Kepala negara yang tidak sah dan harus digulingkan. Pembunuh. Mempermainkan hasil Pemilu.”
“Anda tidak akan bisa membuktikan fitnah Anda.”
“Memang tidak bisa. Tapi mana ada pemilu menghasilkan suara nyaris aklamasi untuk memilih dia jadi presiden.”
“What the hell are you talking about?”
“Saddam! The bastard. The murderer.”
“Saddam?”
“Yeah, Saddam. Don’t you know him? What the heck did you think I was talking about?”
Well, berusahalah untuk duniamu seperti kamu akan meninggalkannya
besok pagi. Dunia macam apa yang kamu tinggalkan? Dunia yang
lebih baik? Wujudkan saat ini juga, dan jangan pikirkan resikonya.
Kan seolah-olah kamu akan meninggalkannya besok pagi. Trus
apa yang bisa jadi resikonya?
Dan kalau pernyataanku bikin sebel lagi, mengganggu hati nurani lagi,
bukankah itu artinya aku udah jadi aku lagi?
Apa yang tersisa dari hidup kalau kita kehilangan harapan?
Apa yang tersisa kalau kita tidak lagi mengharapkan apa-apa?
Ya tidak perlu ada yang diharapkan tersisa juga sih :).
Sebenarnya tak ada yang salah kalau kita kehilangan harapan. Ada apa kalau kehilangan harapan? Mau berhenti melakukan segalanya? Diam pun membosankan — kayak masuk neraka sebelum waktunya. Ada atau tanpa harapan, manusia punya kecenderungan untuk terus aktif. Kita boleh kerja demi nilai-nilai kita, dengan penuh kesungguhan, biarpun tanpa harapan bahwa akan ada sesuatu yang bisa diwujudkan.
Dan kalau kita bekerja tanpa mengharapkan apa-apa, bukankah kita bisa jadi lebih jujur dan lugas? Bukankah kita bisa bekerja sepenuhnya demi nilai-nilai kita tanpa khawatir pada apa yang bisa menimpa kita?
Bawa hasil foto x-ray siang ini. Masih cakep juga paru-parunya. Tapi dokternya masih memaksakan istirahat. Sekaligus ngasih valium buat maksain istirahat kalau bener-bener nggak bisa istirahat. Errh, kayaknya aku nggak mau cari masalah baru dah. Dokternya memang canggih, tapi kan manusia juga :).
Masalahnya, memang dokternya bener. Pikiran masih lincah berkeliaran di antara kotak-kotak berwarna bersusun, dan nomor-nomor RFC, plus mainan-mainan lain. Hmmh :). Gimana bisa bobo yang lama dengan pikiran kayak gini?
Heh, trus inget: kayaknya udah lama juga nggak masang serial “Der Ring”.
Kayaknya Siegfried bisa pas buat malam ini.
Coba deh menemani Siegfried merenungi kekuatan besar manusia yang tersimpan rapi dalam kelemahan esensialnya di depan formulasi takdir. Mudah-mudahan cukup buat bikin bobo. Asal ntar nggak berisik angkat-angkat pedan “Notung”-nya aja. Hmmmm :). Jadi ragu nih. Apa langsung pasang Götterdammerung aja ya, biar Siegfriednya cepet mati, trus musik pemakamannya bisa menghantar tidur yang pulas, mengantar seorang manusia dalam kompleksitas kelemahan dan kekuatannya, sekedar menjalankan apa yang harus dijalaninya dalam hidup.
Bukan cuma TELKOM yang sedang sibuk dengan pensiun dini karyawan-karyawannya. BT juga sedang mempensiunkan Piper, si peniup terompet yang baru 12 tahun bekerja sebagai logo BT. Abad berganti, BT nggak merasa sreg lagi dicitrakan sebagai manusia polos yang harus menggunakan terompet (teknologi suara) untuk berkomunikasi. Komunikasi sekarang lebih beraneka raga, terdiferensiasi dengan cantik, penuh warna, penuh gaya.
TELKOM, yang suka nggak sengaja berkiblat ke BT, kira-kira bakal ganti logo nggak ya.