Si telmi :). Baru hari ini aku tahu kalo BBC punya site berita dalam bahasa Indonesia juga: www.bbc.co.uk/indonesian. Biasanya langsung tembak ke news.bbc.co.uk sih, dan nggak mau repot-repot eksplorasi ke mana-mana.
Page 88 of 210
Jadi kita memberikan sumbangan besar kepada kaum papa. Sumbangan besar yang sebenarnya kecil dibanding apa yang telah dikaruniakan Allah kepada kita. Lalu kita menuntut diterimakasihi?
Ha-ha :). Kita tidak memiliki sepicing hak pun untuk memperoleh terima kasih. Kalau kita memiliki nilai-nilai yang menuntut kita untuk peka pada sesama, kita sedang memenuhi nilai-nilai kita sendiri. Kalau ada yang mau berterima kasih, entah secara tulus, entah cuma basa-basi, itu karena mereka menjalankan nilai-nilai mereka sendiri. Kalau mereka membalas ‘pemberian’ dengan acuh, dengan makian, atau dengan menggunakannya tidak seperti yang kita bayangkan, itu adalah realita milik mereka.
Kita sendiri, menerima ilmu dan bimbingan dari ortu dan guru dan rekan-rekan, tapi tidak pernah mau menghargai mereka. Kita sendiri, menerima limpahan nikmat yang luar biasa, tapi sangat jarang mensyukurinya.
OK, nilai-nilai. Nilai-nilai. Jadi jalankan hidup kita seperti bagaimana kita menghendaki hidup kita dijalankan. Peduli apa kita pada terima kasih, penghargaan, penghormatan.
Yang penting dapat pahala.
Gitu?
Ha-ha :). Kita tidak memiliki secuil hak pun untuk menuntut pahala :). Mengharapkan ridla Allah atas hidup kita. Tidak lebih dari doa dan harapan. Bukan tuntutan, bukan permintaan.
Tapi kenapa kita harus menuntut dihargai?
Maslow dengan cemerlang merumuskan self esteem sebagai salah satu dari empat tingkat kebutuhan. Tapi itu sebenernya bukan pembenaran untuk minta dihargai. Psikologi humanistik, sejauh yang aku mengerti, justru mendorong manusia untuk meletakkan sumber motivasi pada nilai-nilai yang dibentuk diri sendiri secara sadar. Lebih jauh, kita disarankan secara sadar membentuk motivasi hidup terlepas dari empat tingkat kebutuhan dasar, dan memasuki level kepribadian sehat, yang tidak lagi berkekurangan, tidak memiliki ‘kebutuhan’, dan tidak memerlukan ‘motivasi untuk mengisi kekurangan’.
Pada level kepribadian sehat, manusia membentuk meta-kebutuhan, yang umumnya berisi pembentukan dan pemenuhan nilai-nilai. Tidak terpenuhinya meta-kebutuhan tidak serta-merta merusak kepribadian, seperti pada kepribadian yang belum sehat. Tapi memang pasti ada ketidakpuasan yang terasa, dan dengan itu manusia jadi punya ‘meta-motivasi’ untuk memenuhi meta-kebutuhannya itu.
Ini sebenernya catatan tahun 1994, ditulis di kamp Pusdikhub oleh si Koen yang lagi digundul :). Tapi aku jadi inget tema ini gara-gara inflasi thank you itu :).
Adnane adalah sebuah manusia kompleks. Di awal ketemu, dia banyak membantu membuat aku bertahan. Sama-sama ke masjid, bikin jamaah di kamar Abdoulkarim. Di pertengahan tahun, dia kadang jadi satu-satunya teman yang mau diajak travelling, ke taman-taman di luar kota, nonton teater dan orkestra, sampai bikin usulan ke sekolah untuk bikin travelling khusus untuk tim kami. Dan di akhir tahun, tingkat stress dia bikin aku bener-bener nunggu kapan bisa pulang, dan membuatku bersyukur bahwa hari kepulangan tiba juga. Jarang ada makhluk sedemikian lengkapnya. Jangan lupa, dia juga punya bapak yang unik yang menghibur ktia waktu lagi kangen keluarga.
Hari terakhir di West Midlands, eh jam terakhir, atau berangkali menit-menit terakhir di Birmingham Airport, dia pingin es. Jadi aku beliin es, sambil menghabiskan koin-koin yang kebanyakan. Aku beli dua bungkus es krim. Trus ngeliat angka di cash register, terus ngeluarin semua koin, sembunyi-sembunyi, buat optimasi mengeluarkan koin sebanyak mungkin. Tapi si penjual es lebih berpengalaman. Sambil bilang let me help you, dia ambil semua koin, dan dia mulai mengambili koin-koin itu dari recehan terkecil, biar sebanyak mungkin koin yang terbuang. Yup, dari penny coklat tembaga dulu, baru si mungil five pence, baru ke yang lain-lain, dan menyisakan hanya tinggak sedikit sekali koin yang bernilai besar. Aku terpana sebentar: oops. Kali aku pernah cerita: dibandingkan banyak bangsa lain, keramahtamahan bangsa kita belum dapat dipuji terlalu banyak. Trus aku harus bilang apa? Thank you yang inflasi itu? No way. Aku cuman bisa bilang “I think the world should be filled with persons like you.” — kalimat yang terus dijadiin joke sama Adnane di detik-detik terakhir itu.
Banyak Adnane menemani aku bukan saja sampai titik terakhir di Birmingham Airport. Nggak. Lebih dari itu, dia ikut pesawat yang sama sampai Schipol. Dan baru di Schipol kami berpisah. Apa kata terakhir? “I think I will miss you” … “Yeah, I think so.” … Nggak pakai kata-kata inflasi lagi. Terus kita melayang ke negeri-negeri yang thank you-nya belum kena inflasi, di mana orang lebih suka menuntut dihargai daripada belajar menghargai.
Seberapa sering kita harus bilang terima kasih?
Cukup sering sehingga membuat kita terus ingat untuk menghargai orang lain, tapi tidak cukup sering untuk membuatnya jadi basa-basi tanpa arti.
Coba bayangin, kalau kita beli roti dan krupuk di Marks & Spencer. Kasih semua ke teller, dia hitung, bilang ei’ pound fifteen pence plizz, trus kita kasih card, dia terima sambil bilang thank you, terus dia nawarin kalau kita perlu uang cash tambahan, kita bilang nggak usah, thank you, terus dia tekan tuts beep beep beep, keluar kertas, kita tandatangan, balikin ke dia, dia terima sambil bilang thank you, terus dia nawarin tas plastik, terus kita mengiyakan sambil bilang thank you, terus dia kasih barang-barang kita dan kita bilang thank you, terus kita kasih salam dan dia senyum sambil bilang thank you.
Kayaknya inflasi bener.
Dan waktu si Adnane mau nganter aku ke Warwick buat nonton Berlin Symphony Orchestra, aku pulangnya bilang thank you. Pause. Trus bilang: I mean it, thank you. Kalau thank you udah inflasi, kita janagn-jangan harus sering bilang kayak gitu: I mean it.
Dan omong kosong dengan segala demo anti perang di Indonesia. Di mana-mana juga kita suka perang. Coba keliling Jakarta, keliling Bandung. Di setiap pelosok mereka sudah menyiapkan jaringan perang.
WAR NET.
Di mana titik paling lemah (Britons dengan sukacita menyebutnya the weakest link) dari sebuah sistem? Teknologi yang ketinggalan jaman? Yeah. Program yang dibuat asal-asalan? Yup. Tapi yang selalu paling lemah adalah manusia. Dan proses yang memungkinkannya. Itu salah satu yang menarik dari film Catch me if you can. Orang IT menyebutnya sebagai social engineering: bagaimana, dengan cara halus dan cerdik, kita bisa mengambil data cruicial dari orang-orang dalam, tanpa mereka tahu bahwa sedang dimanfaatkan.
Kalau kita bisa menikmati film itu (kayaknya itu satu-satunya film yang aku tonton di tahun 2003 ini, so far, pasti kita bakal tertarik juga buat baca buku Kevin Mitnick: The Art of Deception. Mitnick, kayaknya tokoh yang nggak perlu dijelaskan lagi. Konon teknik penerobosan yang lebih sering dia pakai, lebih dari pembobolan secara teknis, adalah social engineering. Dan buku ini justru lebih banyak menyoroti engineering di bidang non-engineering ini. Kumpulan informasi tak halal hasil social engineering ini yang kemudian dipakai untuk pembobolan lebih lanjut.
Also Sprach Zarathustra by … bukan Nietzsche, haha :). By Richard Strauss. Lagi nggak sempat baca buku tebel-tebel. Tapi kapan sih kita nggak sempat ngedengerin musik? Zarathustra, secara ide memang diilhami Nietzsche, tapi secara musik diakui diilhami Wagner. Kalau di aku sih, sejarahnya kebalik: aku justru kenal musik Wagner gara-gara penasaran sama jenis musik yang bisa mengilhami komposisi seindah Zarathustra ini.

Coba misalnya kita dengerin Zarathustra bukan dalam kerangka buku Nietzsche, tapi sebagai karya impresionistik yang mendahului Debussy (nah lo). Skip Einleitung yang hingar bingar. Kita masuk ke bagian menjelang matahari terbit. Cahaya mulai mengisi langit, dan kegelapan di bumi mulai bergeser. Pemandangan yang samar. Awan. Kabut. Dan hanya garis-garis di bumi. Tapi lalu matahari beranjak. Satu garis sangat pendek, garis memanjang, garis cahaya yang panjang. Dan garis langit yang panjaaaaang. Dan kabut yang makin menipis. Pohon dan danau yang mulai menampakkan diri. Dan gerak-gerak fauna yang mulai tampak. Tapi matahari terus naik. Kabut menghilang. Embun jadi hiasan kayak permata yang menyemarakkan bumi.
Di bagian-bagian berikutnya fauna berlarian di antara bunga-bunga berwarna. Trus …
Trus kita baca judul setiap bagian yang ditulis Strauss. Setiap bagian diambil dari bab-bab bukunya Nietzsche. Trus kita bisa ketawa sendiri, menertawakan fantasi kita yang ternyata beda dengan yang dipikirin Strauss. Trus untuk membela diri, kita meminjam ujar Derrida. Setiap karya yang ditulis hanya memiliki makna yang tertunda — makna akhir adalah makna yang dihasilkan oleh pembaca, pendengar. Ada tundaan antara yang dimaksud penulis dan makna akhirnya, dan ada selisih interpretasi yang tak mungkin dihindarkan. Dan yang pasti, makna sebuah teks bukan makna seperti yang dibuat penulisnya, tapi makna yang diterima pembaca.
Jadi aku terus menikmati Also Sprach Zarathustra dengan melupakan ide-ide Nietzsche, tapi dengan ide-ide fauna yang berkejaran riang, dan mengingatkan kita untuk mengisi hidup kita sesuai keindahan hari ini yang kita rasakan. Apa artinya übermensch untuk dunia fana ini? Kefanaan di atas kefanaan yang lain lagi?
Ah … mendung.
Seorang warga Amerika keturunan Arab ikut berdemo di Washington. “BIG LIAR“, gitu tulisan di plakat yang dibawanya. Lalu ia meneriakkan: “Big liar! Civilian slaughter! Election cheater! Evil conspiracy! Nepotist! Shame! Shame! Shame!” begitu berulang-ulang. Tapi FBI tak kalah sigap. Orang itu segera digiring ke kantor. Dibiarkan di ruang pengap beberapa jam. Dan akhirnya diinterogasi.
“Untuk siapa kamu berdemo?”
“Untuk saya. Untuk rakyat Irak. Untuk kemanusiaan.”
“Tahi anjing! Kamu tahu kamu bisa dihukum berat karena bersikap tidak patriotik?”
“Saya percaya pada kebebasan berpendapat.”
“Tapi tidak untuk menghina kepala negara.”
“Kepala negara yang tidak sah dan harus digulingkan. Pembunuh. Mempermainkan hasil Pemilu.”
“Anda tidak akan bisa membuktikan fitnah Anda.”
“Memang tidak bisa. Tapi mana ada pemilu menghasilkan suara nyaris aklamasi untuk memilih dia jadi presiden.”
“What the hell are you talking about?”
“Saddam! The bastard. The murderer.”
“Saddam?”
“Yeah, Saddam. Don’t you know him? What the heck did you think I was talking about?”
Well, berusahalah untuk duniamu seperti kamu akan meninggalkannya
besok pagi. Dunia macam apa yang kamu tinggalkan? Dunia yang
lebih baik? Wujudkan saat ini juga, dan jangan pikirkan resikonya.
Kan seolah-olah kamu akan meninggalkannya besok pagi. Trus
apa yang bisa jadi resikonya?
Dan kalau pernyataanku bikin sebel lagi, mengganggu hati nurani lagi,
bukankah itu artinya aku udah jadi aku lagi?