Ramadhan tahun lalu, aku kehilangan Papap, pahlawanku. Kehilangan yang terus mewarnai jalan hidupku tahun ini (oh ya, tahun spiritualku dimulai dari Ramadhan dan diakhiri Ramadhan). Secara fisik, barangkali kami jarang dekat. Selama sekolah, bapakku adalah foto Papap, bukan Papap sendiri :). Tapi aku curiga bahwa aku doyan nulis gara2 terlatih surat2an sama Papap, bukan gara2 hasil didikan guru SD-ku. Kumpulan surat2 Papap, terutama masa dari Bangkok, masih tersimpan di rak tempat aku nulis teks ini. Jarang dibaca. Tapi beberapa kata2 di dalamnya masih terpatri tajam, seolah baru ditulis kemarin.
Papap punya hobi nulis, obviously. Pulang dari Timor aja, yang dibawa mesin ketik gede. Azerty, bukan qwerty. Dan ada huruf ç di tutsnya. Aku belajar ngetik di situ. Dan Papap nggak pernah punya mesin tik lain, sampai akhirnya pakai WS. Apa aja ditulis. Dari sistem senjata elektronik, sampai psikologi komando. Tapi Papap selalu bilang bahwa tulisannya bukan apa-apa, dibandingkan tulisanku yang kapan-kapan akan aku tulis. Papap selalu punya bayangan yang ketinggian atas aku :). Aku selalu dianggap pemikir dan penulis yang hebat. Dan scientist. Dan … you name it. Di waktu2 libur yang singkat di Bandung, Papap bisa jadi teman diskusi filsafat, yang sama2 keras kepala. Kadang terlalu keras sampai aku pulang ke Malang lagi.
Tentu, sampai sekarang aku belum nulis satu buku pun :). Dan kalau beberapa tahun lalu aku doyan nulis script-script kecil; sekarang itu semakin jarang juga. Aku khawatir Papap kecewa. Dan tentu aku yang terpukul, bahwa sampai Papap pergi, aku belum juga jadi apa yang dibayangkan Papap. Itu memukulku sekali. Satu tahun ini aku jadi terus membayangkan: emang aku udah bikin apa dalam hidup? Dengan kecerdasanku, apa yang udah aku sumbangkan untuk dunia? Dan sebagai orang tolol, aku justru lebih jatuh dan lebih redup dengan terus menyalahkan diri. I mean nothing. I’m just nothing.
Ini adalah tahun di mana aku selalu bilang «I’m just nothing».
Ada kalanya ada yang membantuku dalam pencarian kembali, mencari diri sendiri. Tapi akhirnya cuma kembali ke kesemuan. Fatamorgana. Aku terus disangkal dan menyangkal diri. Aku terus dipersalahkan dan mempersalahkan diri. Aku terus dicampakkan dan mencampakkan diri.
Aku bukan orang tabah. Aku kehilangan pahlawanku, dan jadi kehilangan diriku sendiri. Buat orang lain, barangkali tidak pernah terjadi masalah kayak gini. Tapi … ini adalah warnaku tahun ini. Aku hilang.
Papap memang bermarga Scorpius :). Seperti scorpius lainnya, Papap menjejas pengaruh yang tajam. Padahal sering tampak sebagai paduan yang ajaib antara kenekatan dan keengganan mengambil resiko. Sebagai scorpius, Papap sering misterius. Bahkan sampai sekarang banyak jejak hidupnya yang nggak pernah jelas buat kita. Tapi sering menyusun filsafat hidup yang indah sekaligus kontroversial.
Yang beberapa kali Papap sampaikan buat aku adalah bahwa hidup bukanlah bersifat take and give. Hidup itu give and give. Orang yang tidak pernah mengharapkan, tulis Papap di Kartu Ulang Tahun buatku, tidak pernah kecewa — mereka selalu bahagia. Barangkali jadi Manusia Bodoh. Tapi bukankah manusia mencapai kesempurnaan pengetahuan justru pada saat ia memperlakukan diri sebagai manusia bodoh?
Aku coba melacak kembali diriku dari kalimat yang dulu selalu aku jadikan pegangan ini. Hidup itu … to give and give.
Neo melesat dari Puncak Monas ke Jalan Medan Merdeka Barat. Eh, bukan mau cerita Matrix yang ini dink. Mau ngerasani Retno aja. Ini adikku, buat yang belum tahu.
Alkisah, almarhum Papap dapat kiriman tagihan Matrix dari Indosat. A.n. Retno. Sama Papap dicuekin aja. Biasa aja kalau anak2 Papap pakai alamat Papap untuk korespondensi legal. Lama2 Indosat bertelepon, minta tagihan Matrix sebesar 10 juta dilunasi. Baru di titik itu kita semua sadar ada yang nggak beres. Retno nggak pernah daftar Matrix, nggak pernah pakai Matrix. Karena ditelepon terus2an, Retno mengirim nota ke Indosat. Indosat menyuruh datang ke kantor (baca: Indosat menyuruh orang yang bukan customernya, tapi diganggunya dengan telepon terus2an, untuk datang). Retno datang. Officer Indosat langsung menyambut ramah. “Eh ketemu lagi. Pakai kerudung ya sekarang?” Well, Retno pakai kerudung udah lebih dari 10 tahun yang lalu :).
Abis cek KTP, foto, dll, diputuskan bahwa memang ada kesalahan. Seseorang melakukan fraud dengan bikin KTP palsu pakai nama dan alamat Retno. Selesai. Masa? Nggak. Indosat masih menego dengan mencoba meminta pembayaran sebagian, pembayaran cicilan, dll. Lucu? Nggak.
Akhirnya Retno nulis di Kompas. Trus Indosat lebih serius. Semuanya dicek ulang. Papap, sekitar 2 minggu sebelum meninggal, sempat didatangi satu gerombolan orang suruhan Indosat untuk recheck. Dan akhirnya Retno dapat surat permintaan maaf resmi dari Indosat. Selesai. Masa?
Tadi malam, setahun abis peristiwa itu, Retno cerita bahwa debt collector suruhan Indosat masih meneleponi. Karena ini bulan puasa, Retno cuman memberikan makian khasnya secara moderat.
Jadi barangkali Matrix memang harus pakai slogan lama Indosat : “we care more” — nggak daftar pun bisa kena tagihan. Dan tentu slogan yang lain: “the corporate is always right.”
Ugh, aku punya beberapa temen baik di Indosat sebenernya. Orang2 yang bener2 profesional dalam bidangnya. Mudah2an nggak menyinggung mereka. Nothing personal, guys. Hk Murphy aja. Sebenernya sih, aku juga menahan diri nggak nulis soal ini dari tahun lalu. Cuman, kayak Retno bilang semalam, “Elu ganggu bokap gue terus sampai meninggal. Sekarang mau apa? Ganggu nyokap gue juga?”
From: James M Galvin
To: Teddy Purwadi
Cc: David McAuley; Fred Baker; Lynn St.Amour; Nelson Sanchez
Sent: Wednesday, October 12, 2005 2:11 AM
Subject: Re: regarding issues with ISOC Indonesia
Dear Purwadi,
As you see below, I asked you on August 18th to reply with a detailed plan to fairly address the issues that have been raised with respect generally to the management of the ISOC Indonesian Chapter. I gave you two weeks to reply and obviously I have waited an additional period but I have not received any reply from you.
We respect all that you have done to form and run a chapter for ISOC. But with that effort comes the responsibility to manage the chapter in an open and fair way for all members. You must afford members who feel they have a grievance with the chapter a fair way to be heard and to have that grievance considered. It is not up to ISOC to specify these procedures but we do have a right, which we insist upon, to have such mechanism available to members.
In light of your not having replied, it is my intent to revoke the Internet Society Charter from ISOC Indonesia effective at 23:59 local time in Jakarta on Tuesday, October 18th, unless I receive from you a detailed plan as described in my e-mail below of August
18th. I will be the sole judge of whether any plan or correspondence you submit is sufficient to meet these requirements and I will be happy to respond before then to suggestions you might have for such a plan. But the burden is on you to do it and to
finish it by that time. There has been some delay and I will not further delay this. If this revocation takes place you must then cease and desist using the Internet Society and ISOC Chapter name, logo and other proprietary materials and you should inform your
members of such action. We also will inform your members of such action should it occur.
We regret this but those members who have a grievance are entitled to be heard and given a fair chance to seek redress.
Jim Galvin
Internet Society
VP Chapters
Well, mudah2an TAP nggak berkelit yang nggak-nggak lagi. Biarlah ISOC Chapter Indonesia dicabut. Mudah2an kemudian dapat dibangun lagi oleh orang2 yang punya moral dan tanggung jawab.
Acara ritual tahunan yang lain lagi: memperpanjang membership di IEEE. Hampir tanpa kesan lagi :), soalnya nggak ada setting yang harus diubah. Jarang loh :). Waktu di IS, membership dititikberatkan ke Computer Society. Sebagai analis teknologi, membership dipindahkan keseimbangannya ke Communications Society. Dan waktu pindah ke Product Management, statusnya dalam keberimbangan antara keduanya. Belum berubah tahun ini.
Sebelas tahun, dan masih doyan jadi Member. Dulu sih pernah punya minat mempersiapkan upgrade jadi Senior Member. Cuman abis itu aku udah terlalu banyak mengacuhkan soal level dll, jadi nggak care lagi. Titel akademik aja aja nggak pernah dipakai (ah, yang ini mah udah dari lahir) — kecuali kalau lagi iseng jadi pembimbing tesis atau skripsi.
Dan buat para engineer yang belum doyan IEEE, denger dulu lagu ini: “IEEE …. IEEE … no, she doesn’t know what she’s missing.”
Setiap tahun, ACM tidak pernah bosan mengirim penawaran keanggotaan (Professional Membership). Dan setiap tahun, terpaksa aku skip tawaran itu. Bukan cuman anggaran terbatas, tapi juga rumah mungilku makin nggak kuat menampung jurnal-jurnal. Still, I wonder what I have been missing so far :), if any :) :).
Juga, Scientific American udah tiga kali mengirim reminder untuk memperpanjang subscription. Selalu tergoda :). Tapi, udah ah. Buat tahun ini satu majalah sains cukup: Science & Vie. Budget nggak cukup kalau langganan banyak-banyak. Jangan lupakan juga buku2 yang nyaris tak pernah gagal menggodaku.
BTW, ada jurnal tentang kehidupan tupai nggak yach?
Sebelum Jay nulis soal zaitun, aku udah bercita2 nulis tentang jenis2 minyak goreng dan pengaruhnya ke kadar kolesterol. Tapi, tentu saja, aku sangat sibuk (heh-heh-heh). OK, bagaimana pun, aku pasang aja deh sumber yang mau aku tulis di atas ini. Dibaca sendiri yach :).
Nggak kebaca? Hmm, kapan2 aku nulis juga tentang Vitamin A dan kesehatan mata deh :).
Tapi ntar kalau lagi agak leluasa, aku tambahin tulisan di sini tentang minyak2 ini.
Beberapa tahun lalu, seorang ustadz/celebrity/politikus — yang beberapa hari yang lalu diinterview polisi akibat pemakaian gelar akademik palsu — menyatakan bahwa rasio jumlah lelaki terhadap perempuan saat ini adalah 1:4. Beliau menjadikan ini sebagai pembenaran poligini secara konsep. Ada juga yang percaya. Tak kurang dari rekan kuliah di Coventry :), dan seorang penulis mail di milis Isnet :) :). Di Isnet, aku cuman membalas bahwa rasio semacam dari dari 1:1,1 pun sudah berarti ketidaksetimbangan yang membahayakan. Jadi nggak mungkin, kecuali misalnya kondisi setelah perang. Karena masih ada sanggahan, aku copy data dari BPS. Case dismissed.
Saat ini memang jumlah perempuan masih lebih dari lelaki, kalau semua umur diperhitungkan. Tapi kalau kita lihat kecenderungan di US, dan memperhitungkan hanya yang berusia antara 20 dan 44 (so called cewek dan cowok), maka jumlah cowok sudah lebih dari cewek. Inflasi, boys! Rasionya memang cuman 1,02:1 (kalau 1,1:1 udah bencana, boys). Kalau bang ustadz di atas jujur, beliau harus menjadikan data ini sebagai pembenaran untuk poliandri ;). Nah, inflasi ini juga dipertajam oleh fakta bahwa masa kini adalah masa di mana cewek sudah mengejar ketertinggalannya dalam pendidikan dan karir daripada cowok. Jadi ketergantungan cewek atas cowok sangat berkurang.
So, di masa-masa yang akan datang, kita bisa jadi pengamat: apa yang akan dilakukan para cewek itu setelah mereka menjadi gender yang dominan. Apakah dunia betul akan lebih baik?
Petuah lama untuk cuci tangan sebeleum makan diuji oleh P&G Beauty, divisi dari Procter & Gamble. Uji dilakukan di Karachi untuk mengetahui pengaruh cuci tangan terhadap penyebaran radang paru (pneumonia) dan diare.
Jumlah kasus pneumonia per 100 orang yang mencuci tangan tanpa sabun adalah 4,4 orang. Yang mencuci tangan dengan sabun biasa 2,2 orang. Yang mencuci tangan dengan sabun antibakteri 2,4 orang.
Jumlah kasus diare per 100 orang yang mencuci tangan tanpa sabun adalah 4,1 orang. Yang mencuci tangan dengan sabun biasa 1,9 orang. Yang mencuci tangan dengan sabun antibakteri 2,0 orang.
Jadi mencuci tangan dengan sabun tetap lebih efektif daripada tanpa sabun. Tapi benarkah sabun biasa lebih baik mencegah penyebaran penyakit daripada sabun anti bakteri?
Well, survei membuktikan.
Soal lain, tentu, adalah bagaimana caranya agar masyarakat mampu beli sabun? Atau bahkan untuk mampu memperoleh air bersih buat cuci tangan?
Sejuk udara pagi ini, lembut menyapu wajah kaku ini, menyesap ke sendi-sendi yang mulai pulih, mengisi saluran pernafasan yang mulai jernih, sedikit-sedikit mulai menghapuskan beban ke kepala yang terasa berat berhari-hari (betulkah cuma berhari-hari).
Gamang, masih. Tapi sinar matahari mirip permainan di angkasa. Cerah, tapi tak terasa panas. Hanya nuansa kehangatan, yang sedikit-sedikit mulai terasa menyusup ke hati.
Hey, ini bulanku. Nggak ada lagi alasan untuk nggak jadi diriku. Ini Ramadhan!
Ramadhan memang datang dari kemaren. Tapi beberapa hari aku cuman jadi pasien yang dipaksa istirahat. Baru hari ini aku menikmati sebuah hari di bulan Ramadhan. Inspirasi-inspirasi abstrak mulai mengalir. Dan setiap tetes darah menyambut dengan semangat, datangnya ledakan-ledakan daya cipta baru. Ini Ramadhan!
Terima kasih, Tuhanku, untuk masih memperjalankan aku memasuki Ramadhan kali ini. Apa lagi yang akan kualami di bulan ini?