Page 44 of 210

Dari Esia ke Excel

Kalau CSR Telkom ditanya tentang kompetitor Flexi, biasanya mereka menjawab dengan beberapa operator. Biasanya, kalau di Bandung, dimulai dengan Esia. Kemudian Fren, produk2 Indosat, dan Excel. Urutannya suka berubah, tapi biasanya dimulai dengan Esia dan diakhiri dengan Excel. Jadi aku bikin kunjungan ke Esia dan Excel, Bandung. Naik angkot.

Esia, dari Bakrie Telecom, menempati sebuah rumah klasik berdinding tembok tebal di Dago. Tempatnya nyaman, dan mirip rumah atau kantor konsultan, nggakmirip tempat penjualan atau service, dan bikin ragu. Satpam-1 masih mengobrol, dan aku harus tanya “Beli Esia bisa di sini, Pak?” baru mereka menjawab. Di dalam satu lagi Satpam-2 ngobrol dengan CSR-1. Aku harus menginterupsi “Saya mau beli kartu Esia tapi bukan paket.” Satpam-2 mengulangi ke CSR-1 di sebelahnya, dan CSR-1 menelepon rekannya di dalam. Aku diminta menunggu sambil berdiri. Agak lama, CSR-2 keluar membawa telepon CDMA tanpa kartu. Aku ulangi permintaanku, dan dia mengambilkan kartu antrian, menyuruhku masuk ke ruang tunggu, dan meninggalkanku tanpa pesan lain. Minta maaf misalnya. Ada 3 loket buka. Dua untuk kartu pascabayar dan satu untuk kartu prabayar. Display nomor antrian di tembok mati. Di meja hidup. Aku hanya nunggu 2 orang. Tapi lama, hampir 1 jam, dan membosankan. Loket 1 dan 3 ternyata diandel 1 CSR yang bergantian. Pantes lama. Satu orang pengunjung masuk, tanpa antri, untuk beli voucher. CSR dari loket pascabayar melayaninya. Hmmh, kalau aku tahu di sini nggak perlu antri, aku langsung tembak aja tadi. Akhirnya aku dipanggil. CSR-3 menerimaku dengan keramahan yang alami dan profesional. Aku minta kartu perdana, dan dia mau lihat HPku. Sekilas aku tunjukkan, dan dia mengangguk. OK, dia tahu Nokia 6235. CSR-3 memberiku daftar noor untuk dipilih, tapi terus meninggalkan meja. Padahal aku sekalian pingin chatting tentang feature Esia yang baru. Nggak ada kesempatan. Dia balik waktu aku sudah memilih nomor. Masih simpatik. Aku tanya soal Internet. Dia jawab: Esia prabayar tidak bisa dipakai Internet dan WAP, dan tidak ada rencana untuk itu. Dia menawarkan voucher isi ulang, dan aku setujui. Trus aku diminta ke kasir (tempatnya terpisah) untuk melakukan pembayaran. Kasirnya pendiam, dan tidak customer-oriented. Visa bisa dipakai di sini. Trus balik ke loket. CSR-3 menawari registrasi (wajib). Aku iyakan. Dia mengeluarkan formulir panjang dan minta KTP. Trus dia mengisikan formulir (di kertas) sambil terus menanyaiku. Sampai selesai. Trus dia membuka aplikasi registrasi di komputernya, dan mengetik ulang semua data dari kertas di komputernya. Prosesnya lama. Tapi simpatik. Sementara kursi di sebelahku (di loket ini juga) diduduki seorang Bapak berseragam TNI yang masuk tanpa antri. CSR-3 melayani kami berdua sekaligus. Selesai, aku keluar. Satpam-3 sedang mengatur parkir. Melihat aku mau menyeberang, dia ke luar, menghentikan mobil di Jl Dago, dan mempersilakan aku menyeberang.

Excel, dari Excelcomindo, menempati bekas Bank Bali di perempatan Riau-Purnawarnan. Gedungnya khas pelayanan, berdinding kaca jernih yang memudahkan melihat dari luar. Tak ada Satpam menyambut buat diisengi. Masuk, aku nggak menemukan karcis antrian. Jadi langsung ke loket. CSR-1 menyuruh antri dan menunjukkan tempat karcis antrian. Aku ambil. Di kejauhan tampak beberapa Satpam bercakap, acuh. Ruang tunggu luas, warnanya menarik. Loket jumlahnya banyak, dan dibagi untuk berbagai urusan. Menuggu tidak membosankan, karena — coba tebak — ada dua terminal Internet gratis buat customer yang sedang menunggu. Layar datar dan jernih, dioperasikan dengan keyboard dan mouse sambil berdiri. Menunggu 2 jam pun nggak bakal bosan. Aku bisa download file dan save (ke harddisk), trus dikirim ke mail kantor :). Trus nomorku disebut. Ke CSR-1 lagi. Aku menanyakan bedanya XLFun, XLBebas, XLJempol, dan dia menjelaskan. Aku menyatakan mau beli, dan dia menginformasikan bahwa di luar ada stand promo. Kalau aku beli kartu prabayar di luar, aku dapat merchandise. Di dalam nggak. Menarik. Tapi aku keukeuh di dalam, dan dia menerima. Milih kartu, mirip di Esia, tapi sambil ngobrol dengan CSR-1 tentang feature-feature. Satu nomor diambil. Aku minta disetting Internet di HP-ku. Dia minta lihat HP-nya. Aku tunjukkan XPhone, dan CSR-1 bilang bisa. “Yakin bisa?” aku rada kaget. XPhone udah nggak terlalu umum. Dia memastikan. Trus aku serahkan XPhone. Si CSR-1 mulai melakukan setting. Agak lama. Tapi dia nggak minta bantuan apa pun dari aku. Padahal menu XPhone udah aku customise. Hebat. Trus aku penasaran, dan mulai melirik layar monitor si CSR. “Sambil baca ya?” Dia mengiyakan. Tapi aku masih kagum. Selesai akhirnya. Aku coba baca mail ke Gmail. Gagal. Aku tanya kenapa masih gagal. CSR-1 minta aku cek ke alamat lain. Hotmail. Berhasil. OK. Aku mengingatkan bahwa aku belum bayar. CSR-1 ketawa (CSR ini jarang ketawa sebenernya. Serius melulu). Trus dia mengurus pembayaran. Dia yang ke kasir. Sebelum pergi, dia nyuruh aku ngisi formulir registrasi. Di kertas. Ngisi sendiri. Selesai, dia ambil formulir, dan bilang nanti akan diurus. Selesai. Keluar, masih nggak ketemu Satpam.

Setiap perusahaan punya policy sendiri, punya tantangan sendiri, dan jelas punya approach sendiri. Tapi entah kenapa, aku kayaknya harus bilang ke CSR Telkom, bahwa lebih baik menganggap Excel merupakan kompetitor yang bakal lebih tangguh daripada Esia. Kecuali kalau kompetisinya di bidang kesatpaman.

Trus, gimana dengan Flexi? Haha :). Aku bakal dibilang bias kalau nulis soal Flexi. Biar weblog lain aja yang membahas soal Flexi.

Satu Bintang di Langit

Angkasa tanpa pesan merengkuh semakin dalam
Berselimut debu waktu kumenanti cemas
Kau datang dengan sederhana
Satu bintang dilangit kelam
Sinarmu rimba pesona dan kutahu tlah tersesat
Kukejar kau takkan bertepi
Menggapaimu takkan bersambut
Sendiri membendung rasa ini
Sementara kau membeku
Khayalku terbuai jauh
Pelita kecilmu mengalir pelan dan aku terbenam
Redup kilaumu tak mengarah
Jadilah diriku selatan
Namun tak kau sadari hingga kini dan nanti

Labirin

Satu lagi dari Borges yang selalu suka labirin.

Alkisah, raja Babilonia membangun labirin besar yang serba rumit. Meniru kerumitan semesta, kilahnya. Bukan dua dimensi, karena ada lorong mendaki, tangga2, pintu2, dan tentu banyak jalan buntunya. Berbiaya tinggi, dan sungguh rumit, sehingga manusia normal bisa mati kehausan atau kelaparan sebelum berhasil menemukan jalan keluar.

Ketika raja Arab berkunjung, raja Babilonia memamerkan labirin besar tersebut. Di dalam, ia meninggalkan raja Arab. Raja Arab mencoba keluar, tapi sungguh rumit labirin itu, sehingga ia sungguh2 makin tersesat. Memahami bahwa ini hanya miniatur kerumitan semesta Tuhan, ia pun mulai berdoa memohon perlindungan, kemudian mempercayai intuisinya, yang akhirnya berhasil membawanya keluar labirin. Menghadap raja Babilonia, ia tersenyum, dan mengucapkan terima kasih karena telah ditunjukkan kerumitan luar biasa dari kepandaian Babilonia.

Kembali ke negaranya, ia menyusun pasukan, dan langsung menyerang Babilonia. Pasukan hanya menculik raja Babilonia, dan kemudian meninggalkan kerajaan. Sang raja dibawa ke tengah gurun Arabia. Berkata si raja Arab: “Ini adalah labirin raksasa kami. Sungguh rumit, biarpun tak satu dindingpun membatasinya. Selamat berjuang sahabatku.” Lalu mereka meninggalkan raja Babilonia itu di tengah gurun maha luas itu.

Decaf

Pagi hari, gitu kata Morrie, adalah satu2nya saat untuk bersedih. Untuk merenungi apa yang lewat dan apa yang ada di depan kita. Berikutnya adalah memaksa diri bangun, dan menghadapi hidup, dengan keceriaan dan harapan. Dengan paksaan, kalau memang tidak bisa. Jadi, aku mengikuti petuah Morrie hari ini.
Sederetan obat sudah tidak perlu mengotori jadwal hidup. Kopi masih diharamkan. Tapi kita orang bandel, mana mau menerima fatwa haram tanpa melakukan investigasi hukum. Siang ini aku beli sekantung kopi decaf lagi.

Kopi decaf, kita tahu, membuang setidaknya 97% kafein dari dalam badan kopi. Kopi2 decaf (misalnya Nescafé) biasanya berbentuk bubuk yang dipadatkan. Ini dibuat dengan menggiling kopi yang sudah dipanggang, menyedunya dengan air panas sesuai resep, memisahkan kafeinnya (dengan elektrolisis?), lalu menyuling airnya, dan meninggalkan bubuk kopi yang bebas air dan bebas kafein untuk diolah lebih lanjut. Kafeinnya tentu tidak dibuang, tapi dijual ke perusahaan penjual minuman semacam Krating Daeng atau Coca Cola. Atau Paramex :). Hush.

Decaf gaya Starbucks rada lain. Bentuknya biji. Nah lo, kapan kafeinnya dipisah. Sang barrista cerita: biji kopi direndam dalam larutan kimia tertentu sehingga kafein kabur keluar. Kemudian biji kopi diolah, dipanggang, dan dikemas. Rasanya? Lebih baik daripada versi bubuk dipadatkan, biarpun gulanya Tropicana Slim. Kadar kafeinnya? Ntah, gimana aku harus ngukur :).

Sore ini, di tengah semesta yang sedang tak ramah, kembali satu mug kopi menemaniku. Yummie. Tapi nggak lama. Sa’iki kari letheké thok. Dah ah, siapin presentasi dulu buat besok.

Oil for Food

OK, aku udah janji meneruskan cerita tentang Oil for Food. Here we are.

Sesadis apa pun kata media dan kata dokter tentang lemak, kita tetap memerlukan lemak. Vitamin A, D, E, dan K (hehe, apal, soalnya ‘adek’) tidak larut dalam air (karena itu tidak ada sebagai kandungan dalam minuman Mizone), dan hanya larut dalam lemak. Lemak juga merupakan bahan baku dalam pembentukan membran sel, yang tidak dapat disintesa sendiri oleh tubuh kita.
Lemak terdiri atas lemak jenuh (saturated) dan lemak tak jenuh (unsaturated). Lemak hewani sebagian besar merupakan lemak jenuh, dan dia membeku pada suhu udara normal. Lemak nabati memiliki lebih besar kadar lemak tak jenuh, dan pada suhu udara dia bertahan sebagai cairan. Lemak jenuh mengancam kesehatan, dan lemak tak jenuh lebih ramah buat tubuh. Lemak tak jenuh sendiri dibedakan atas mono unsaturated yang dianggap paling baik, dan poly unsaturated yang masih cukup baik.
minyak-goreng.jpg

Diagram di atas (dari AMA), memaparkan kandungan lemak jenuh dan lemak tak jenuh dari berbagai minyak nabati. Di sebelah kiri, minyak kelapa, memiliki kadar lemak jenuh hingga 92%. Di sebelah kanan, minyak kanola, memiliki kadar lemak jenuh hanya 6%.
Tapi kalau kita ingin mengejar kadar lemak mono unsaturated tertinggi, peringkat tertinggi dipegang oleh minyak zaitun (olive oil), yang memiliki 77% lemak mono unsaturated, sementara minyak kanola hanya memiliki 58%. Sayangnya minyak zaitun memiliki lemak jenuh 14%, di atas dua kali minyak kanola. Jadi, mana minyak yang terbaik? Pilih sendiri ah. Cuman, di supermarket di Bandung sih, minyak kanola lebih murah daripada minyak zaitun :).

Ceska

Ada apa dengan satu lagi negara Eropa Tengah? Baik2 aja :). Apa sih yang terbayang dari nama Ceska? Milan Kundera yang di mata pemerintah Cekoslovakia dulu namanya mirip Malin Kundang? Atau Sungai Moldau yang mengalir seirama musik Bedrich Smetana? Atau Vaclav Havel sang politikus humanis.

Jam 23.00 lebih. Wajar kalau aku ngelantur panjang. Lima obat dari dokter (plus sekian obat tambahan) ini memberikan efek samping yang menarik: tekanan ajaib dari dalam dada. Dan hasilnya adalah keputusan untuk menempatkan feed weblog2 ini di sebuah server di Ceska, dengan domain Ceska juga. So, comrades, here you are: KOEN.cz –> feed tematik untuk weblog kita.

Gunanya apa? Hmmm. Bisa sih dijawab dengan “pertanyaan nggak penting.” Atau mengikuti kata Wally: “we prefer to ask why not.” Tapi lebih pas barangkali jawabannya: Masih berhubungan dengan rantai panjang yang sudah meliputi Friendster, dan lain2. OK, kalau diperpanjang juga, tulisan ini nggak akan lebih jernih lagi. Obat2 ini udah menguasaiku 4 hari penuh.

10 Tahun di IEEE Comsoc

Ten Years Comsoc Member

Rintik sporadik di atas Bandung tak menghalangi paket ini mendarat di mejaku. A surprise? Nggak: cuman dari IEEE. Communications Society. Sebuah pin, sebuah certificate of appreciation, sebuah surat, sebuah pena. Dan setumpuk beban pikiran. Hey, melajunya waktu masih perlu diasesorisi artefax. Entah untuk apa. Hidup masih terus jadi kumpulan tantangan. Artefax bisa melenakan seolah ada milestone yang terlewati. Padahal tantangan selalu makin rumit sebanding dengan semakin terasahnya diri.

Surat itu juga mengingatkan (to remind) untuk kali2 mencoba mengajukan diri jadi Senior Member. Ntah apa aku masih care sama soal2 kayak gitu. Tempelan lagi. Artefax lagi.

Pinnya aku pakai. Beberapa detik. Trus dilepas lagi. Life goes on.

Le Jardin Sous La Pluie

Kebun Raya Bogor

Candaan berjudul “le jardin sous la pluie” — mencontek satu simfoni Debussy — langsung jadi kenyataan di kota ini: Bogor. Hujan mewarnai setiap siang. Syukurlah kota ini masih mengampuni para pengungsi seperti kami dengan membiarkan malam berlangsung tanpa hujan: hanya angin dingin menerjang dari lembah berkerlip ribuan lampu. Mesin2 boleh tak henti menderu di kota yang akan tercaplok konsep megapolitan ini. Tapi kehijauan yang masih dipertahankan masih dapat menaungi hati yang mencari kesejukan.

Bogor. Mudah2an ada Bogor2 lain lagi tahun ini. Dan berikutnya, tentu.

Starbucks @ BIP

sbux-bip-invitation.jpg
Undangan itu udah tergeletak di atas meja waktu aku sempat2nya mampir di kantor abis workshop panjang di Gegerkalong. So, akhirnya jadi juga Starbucks BIP dilaunching, tiga hari lagi. Hmm, sayangnya akunya malah nggak bakal bisa datang. Ada acara yang cukup penting dan menarik di Bogor.

Maafkan aku, rekan2 di Starbucks. Mudah2an nggak kapok mengundangku lagi. Dan buat kompensasi, aku pasang undangannya di sini biar seluruh dunia tahu bahwa kalau kita ke tengah kota Bandung, kita sudah bisa menikmati segarnya kopi di satu lagi gerai Starbucks.

Belajar Bahasa

Aku sampai sekarang nggak pernah fasih berbahasa Jawa dan Sunda, biarpun aku hidup lama di kedua daerah itu. Robby bilang aku berbahasa Indonesia dan Jawa dengan logat Russia – tapi Andrei dan Marsha pasti nggak sependapat :). Berondongan budaya justru jadi barikade yang bikin defensif: nggak berani mencoba untuk mulai berinteraksi. Tapi pada bahasa Inggris terjadi ketidakfasihan juga. Kekurangan komunikasi bikin nggak berani mencoba berinteraksi juga?

Barangkali soalnya adalah pemaksaan. Belajar untuk survive. Alah bisa karena terpaksa. Faktanya, aku nggak harus berbahasa Jawa/Sunda untuk survive di Malang/Bandung. Tapi aku harus bisa bahasa Inggris tertulis untuk survive! Bahasa Inggris tertulis itu aku kuasai atas jasa para dosen di Teknik Elektro Unibraw yang nggak doyan literatur lokal, dan lebih memilih mencari literatur asing, difotokopi, dan dijadikan bahan tugas seminar buat mahasiswanya. Aku masih ingat, aku nggak bisa tidur gara2 sedih: terlalu lama buatku memahami halaman2 fotokopian itu. Tapi pusing nggak memecahkan masalah. Buka kamus sampai lecek, dan akhirnya jadi terbiasa, jadi bisa. Dan malah terus jadi hobi beli buku bajakan di Tamansari. Hah, trik dosen2ku berhasil, congrats buat mereka :(.

Di Telkom Divre III, trik dosenku masih menyisakan hasil. Biarpun paling malas berbahasa Inggris, aku sempat mengalahkan seluruh seniorku waktu tes TOEFL di Telkom. Congrats lagi buat dosen2ku yang tukang maksa itu.

Tapi tentu kemahiran bercakap tak pernah bertambah. Tidak ada yang memaksa bisa bercakap untuk survive. Pun di zaman Ariawest, aku berada juh dari lingkaran kekuasaan, dan bisa mengirimkan laporan cukup secara tertulis.

Trackback, di Malang aku juga coba kursus Bahasa Perancis (ini adalah satu2nya kursus yang pernah aku ikuti sampai tahun 2000). Informal. Lebih banyak conversation, atau tepatnya chatting. Lumayan untuk menimbulkan keberanian berekspresi. Sayangnya aku harus pindah ke Bandung. Aku memperdalam grammar sendiri, tapi nggak ada faktor pemaksa, jadi setengah hati. Abis kenal Amazon, aku beli beberapa buku bahasa Perancis untuk memaksa diri membaca. Juga dua kali berlangganan Science&Vie. Bisa sih. Tapi tak seberhasil membaca bahasa Inggris di kampus. Aku pikir faktornya masih sama: nggak ada faktor pemaksa.

Pertanyaannya: bagaimana caranya memaksa diri? Aku masih pingin belajar belasan bahasa lagi nih. Russia terutama. Lebih dari “Ya tebya lyublyu, solnyshka mayo” – hmmm.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑