Page 4 of 209

Dessine-moi un Mouton

Gambarkan aku seekor domba! – pinta si pangeran kecil. Itulah awal jumpa Antoine de Saint-Exupéry sebagai pilot sebuah pesawat yang terdampar dengan si pangeran kecil di tengah Gurun Sahara, yang didokumentasikannya dalam buku Le Petit Prince.

Tak banyak dari kita yang mencoba menyelami, mengapakah gerangan permintaan pertama si pangeran kecil itu justru menggambar domba. Dessine moi un mouton!

Orang-orang yang mudah puas merasa telah menemukan penjelasan, karena pada bab awal, penulis menjelaskan bahwa saat ia kecil ia mencoba menggambar ular boa, tapi tak dipahami orang dewasa. Bahwa kemudian si pangeran kecil bisa memahami gambar sang pilot tanpa memerlukan banyak penjelasan, menjadi penjelasan bagi banyak pembaca bahwa si pangeran kecil memiliki pemahaman melintasi kekuatan persepsi orang dewasa yang pikirannya sudah banyak tertutupi angka-angka dan hal-hal remeh lainnya.

Padahal, jangan lupa, si pangeran kecil mengingatkan rahasia sang rubah kepada pembaca: Lihatlah dengan hati. Hal-hal yang penting justru tak tampak oleh mata.
Padahal, jangan lupa, sang pilot mengingatkan pembaca dari generasi sesudahnya sejak dari halaman pembuka: Mohon maaf, buku ini ditulis untuk orang yang sudah dewasa – sahabatku yang sedang kelaparan dan kedinginan di Perancis yang sedang dilanda perang.
Padahal, jangan lupa, si pangeran kecil menjelaskan, untuk apa ia memerlukan domba itu.

Baobab! Ia memerlukan si domba untuk makan tunas-tunas kecil. Tunas-tunas kecil, yang tampak lemah, bisa berkembang menjadi tanaman yang baik, atau tanaman yang merusak. Orang sering kali abai melihat tunas-tunas, yang sebenarnya mereka tahu bisa berbahaya. Mereka abai, sampai suatu hari sekumpulan baobab sudah menjadi terlalu besar, dan merusak planet-planet kecil, tanpa dapat diperbaiki lagi. Si pangeran kecil bahkan meminta sang pilot untuk secara khusus mengingatkan anak-anak tentang pentingnya ketelitian menyiangi tunas, dan mencegah tumbuhnya baobab. Ia bahkan merasa perlu membawa domba ke planetnya untuk mencegah baobab tumbuh.

Sebagai pilot, Antoine de Saint-Exupéry turut menjadi patriot yang bertempur dengan pesawat kecilnya, mempertahankan tanah air Perancis melawan fasisme Eropa masa itu. Adolf Hitler, Benito Mussolini, Francisco Franco, dan para diktator fasis lain tidak pernah betul-betul menyembunyikan tujuan dan strategi mereka. Hitler bahkan menuliskan cita-citanya yang kelam bagi kemanusiaan dalam buku Mein Kampf, sepuluh tahun sebelum Perang Dunia II. Pun terang-terangan ia mengangkat kemurnian ras. Pun terang-terangan ia mengancam lawan-lawan politiknya dari seluruh Eropa. Pun terang-terangan ia mengambil alih Austria dan Ceska. Tapi politisi Eropa dan dunia mengabaikannya. Lalu ia menduduki Polandia dengan mudah, dan tak ada lagi yang mampu menahannya, hingga Perancis jatuh.

Gambarkan aku seekor domba! – pinta si pangeran kecil. Gambarkan aku sesuatu yang mampu menahan tunas-tunas kekejian, kerusakan, kejahatan untuk tumbuh dan berkuasa. Dessine moi! Design me a system to avoid, to withstand, to overcome.

Tapi, tolong jaga, agar domba itu tak menganggu si bunga mawar merah. Domba itu tidak boleh mengganggu keindahan kreasi semesta. Domba itu sama sekali tidak boleh menjadi ancaman bagi kehidupan.

Akan sang bunga sendiri. Sadarkah ia bahwa si pangeran kecil mencoba menjaganya? Ia membalasnya dengan keangkuhan yang polos, dengan kebanggaan murni yang merepotkan.

Seperti akhirnya Exupéry harus meninggalkan negerinya yang jatuh ke tangan Nazi Jerman, si pangeran kecil juga memanfaatkan migrasi para burung untuk meninggalkan planetnya. Mencari jalan untuk melindungi semesta kecilnya. Namun yang ditemuinya hanya pemimpin negara dengan ilusi kekuasaan yang terkekang (lucunya, tetap sambil sepakat dengan Foucault bahwa kekuasaan itu tersebar dalam bentuk pengetahuan), para selebriti yang sibuk bermegah mengagumi diri sendiri, korporasi dunia yang memaksa mengejar angka yang jauh dari kenyataan real, para abdi negara yang sekedar menjalankan tugas hingga kelelahan tanpa menyadari apa tujuan tugasnya, serta orang-orang yang bahkan tak paham apa pun yang tengah terjadi di luar siklus hidupnya yang memusingkan.

Metafora dalam Le Petit Prince bukan berisi satu dua gagasan, ajakan, dan cerita saja. Di dalamnya tercakup juga biografi Exupéry sendiri, kecanggungannya sebagai seorang pelarian di dunia yang tak memahami ada hal genting di dunia lain, kenangannya pada adiknya yang meninggal, dan keinginannya untuk kembali ke medan perang melawan kaum fasis. Selesai menulis buku ini, Exupéry memberikan manuskrip kepada penerbit, lengkap dengan gambar-gambar indah yang dibuatnya dengan cat air sebagai ilustrasi cerita. Lalu ia kembali ke Eropa.

Tapi mengapa harus kembali? Menumbuhkan kebaikan bagi semesta bisa di mana saja. Si pangeran kecil terus teringat negerinya, bunganya. Bunga itu — être-en-soi —jauh lebih penting daripada ratusan lainnya, karena keterikatan yang dibentuk oleh komitmen darinya. Maka Exupéry kembali. Di sana ia minta diterima kembali sebagai pilot tempur melawan kaum fasis. Di akhir Juli, ia terbang dalam misi pengintaian untuk perebutan kawasan Perancis selatan.

Ia tak pernah kembali.

Ia hanya meninggalkan buku janggal, bukan tentang filsafat atau tentang esai atau tentang cerita yang menggugah, tetapi tentang seorang pangeran kecil yang janggal, masuk ke dunia yang janggal, berkomunikasi dengan cara yang janggal, dan mengirimkan pesan yang tak mudah dimengerti dunia. Bagaimana mungkin dunia mengerti? Di kepala mereka hanya ada delusi kekuasaan, kekaguman pada diri sendiri, target dan pencapaian bisnis, hidup yang berputar memabukkan, dan tugas-tugas yang harus diselesaikan. Les yeux sont aveugles. Il faut chercher avec le cœur. Bagi mereka, ia tak pernah kembali.

Tapi bagiku ia telah kembali.

Si Pangeran Kecil (Bab 17)

Ketika kita berusaha menjelaskan sesuatu secara sederhana, penjelasan kita malah akan bergeser jauh dari kenyataan yang sesungguhnya.

Tak tepat benar aku menggambarkan bumi sebagai panggung para penjaga lampu. Bagi yang belum mengenal bumi, mungkin penjelasanku justru menyesatkan.

Manusia hanya menempati tempat yang kecil di muka bumi. Jika dua miliar penduduk bumi berdiri berdempetan, seperti yang terjadi di pusat keramaian, maka semua manusia dapat ditempatkan dalam ruangan kotak berukuran dua puluh mil kali dua puluh mil. Seluruh umat manusia dapat ditempatkan pada sebuah pulau kecil di Samudera Pasifik.

Orang-orang dewasa takkan mempercayai kenyataan itu. Mereka yakin manusia perlu menempati ruangan yang sangat luas. Mereka menganggap dirinya mirip pohon baobab. Kita bisa saja minta mereka melakukan perhitungan sendiri. Mereka suka angka-angka, dan pasti mereka senang. Tapi jangan mau membuang waktu untuk pekerjaan tambahan ini. Sama sekali tidak perlu. Kamu cukup percaya padaku.

Demikianlah, maka ketika si pangeran kecil tiba di bumi, ia tertegun karena tak menjumpai seorangpun. Ia khawatir tiba di planet yang salah. Namun sebuah gulungan keemasan, dengan warna mirip sinar bulan, melintasi pasir.

“Selamat sore,” kata si pangeran kecil ramah.

“Selamat sore,” jawab si ular.

“Planet apa yang baru aku datangi ini?” tanya si pangeran kecil.

“Ini planet bumi. Ini benua Afrika,” jawab si ular.

“Jadi tidak ada manusia di bumi?”

“Ini gurun pasir. Tidak ada orang yang tinggal di gurun. Bumi ini besar sekali,” kata si ular.

Si pangeran kecil duduk di sebuah batu, menatap angkasa.

“Aku ingin tahu,” katanya, “Apakah semua bintang bercahaya di langit agar kita suatu hari dapat menemukan bintang kita sendiri. Lihat planetku. Tepat di atas kita. Tapi sejauh apa ia sekarang?”

“Cantik sekali,” kata si ular. “Apa yang membawamu kemari?”

“Aku mendapatkan masalah dengan bunga,” kata si pangeran kecil.

“Ah,” kata si ular. Mereka berdua terdiam.

“Di mana para manusia?” si pangeran kecil membuka percakapan lagi. “Sunyi sekali di gurun ini.”

“Lebih sunyi rasanya berada di kerumunan manusia,” jawab si ular. Si pangeran kecil menatapnya lama sekali.

“Kamu hewan yang lucu sekali,” katanya akhirnya, “Kamu tak lebih tebal dari jari.”

“Tapi aku lebih kuat daripada jari seorang raja,” kata si ular.

Si pangeran kecil tersenyum. “Tidak mungkin kamu kuat. Kamu bahkan tak punya kaki. Kamu tak bisa berjalan.”

“Aku bisa membawamu lebih jauh daripada semua jenis kapal,” kata si ular. Ia membelit betis si pangeran kecil, seperti sebuah gelang kaki. “Siapa pun kusentuh, aku mengirimkannya kembali bumi, dari mana saja ia berasal,” lanjut si ular, “Tapi kamu anak yang suci dan jujur. Dan kamu datang dari bintang.”

Si pangeran kecil tak menjawab.

“Kamu tampak rapuh di bumi yang penuh cadas ini,” kata si ular, “Aku dapat menolongmu, kapan saja, kalau kau rindu kembali ke asalmu. Aku dapat …”

“Aku paham semua perkataanmu,” kata si pangeran kecil, “Mengapa suka berteka-teki?”

“Aku bisa menyelesaikan semuanya,” kata si ular.

Keduanya kembali terdiam.

[Antoine de Saint-Exupéry, Le Petit Prince, #17]

Comnetsat & Cyberneticscom 2013

Tampaknya banyak IEEE conference yang dijadwalkan menjelang akhir tahun 2013. Terlalu banyak, dengan waktu yang saling mendesak. Syukur, executive committee dan para officers di IEEE Indonesia Section punya komitmen tinggi untuk dapat menjaga kegiatan-kegiatan ini. Secara pribadi, aku tidak bisa mengawal semua. Termasuk flag conference IEEE Indonesia Section ini: Comnetsat dan Cyberneticscom.

Comnetsat dan Cyberneticscom tahun ini diselenggarakan di Sheraton Hotel, Yogyakarta, 3-4 Desember. Sebenarnya aku sudah menjadwalkan untuk hadir penuh di konferensi paralel ini, yang sudah dijadwalkan bahkan sejak Januari. Tiket pun sudah terbeli. Tapi HR Telkom membuat undangan mendadak untuk assessment yang sifatnya wajib pada Hari H. Maka aku baru bisa hadir setelah Hari-1 selesai. Pembukaan dilakukan oleh General Chair, Dr Ford Lumban Gaol; dan sambutan IEEE Indonesia Section dilakukan oleh Pak Arnold Djiwatampu, Advisory Board. Keynote Speech yang temanya paling menarik buatku adalah Quantum Communications, yang disampaikan oleh Prof. Rodney van Meter. Tapi sayangnya aku malah gak hadir :(.

Aku baru melandas di Yogya Selasa malam, dan langsung menuju Gala Dinner di Kraton Yogyakarta. Hadir sekitar 80 orang dalam acara ini. Aku meluangkan sekitar 3 menit untuk Welcome Speech dari IEEE Indonesia Section, sekaligus appreciation buat Telkom Indonesia yang menyumbangkan dinner ini. Dinner dipilih dari favorit para Sultan Yogya terdahulu. Menunya unik, sampai aku gak tahu namanya :D.

Comnetsat-01

Aku mengambil posisi meja bersama Prof Van Meter dan Dr Agung Trisetyarso. Mas Agung ini adalah apprentice dari Van Meter, dan pagi sebelumnya jadi session chair dalam sesi keynote speech Van Meter. Talk dengan mereka bahkan lebih menarik lagi daripada dinner-nya sendiri. FYI, riset Van Meter tahun ini dipaparkan di IEEE Communications Magazine dan juga di Communications of the ACM (CACM).

Van-Meter

Balik ke Sheraton, aku terkapar di kursi malas dekat kolam. Kena akumulasi kelelahan beberapa hari / minggu, aku malah pulas di samping kolam. Bangun, balik ke kamar. Dan baru sadar bahwa mungkin ini pertama kali aku boleh tidur pulas di malam konferensi internasional yang kami selenggarakan. Biasanya sok sibuk persiapan presentasi ini itu.

Hari berikutnya masih banyak keynote speech menarik. Prof Benyamin Wah, past chair dari IEEE Computer Society, dan provost  dari Chineses University Hongkong, mengkaji Parallel Decomposition, yang berawal dari perlunya optimisasi dari berbagai aplikasi komputasi natural, termasuk komputasi neural dan evolusioner. Prof Wolfgang Martin Boerner, dari IEEE GRSS Asia Pacific, memaparkan Future Perspectives of Microwave Imaging with Application to Multi-Parameter Fully Polarimetric POLSAR Remote Sensing and Geophysical Stress-Change Monitoring. Dari Telkom Indonesia, Pak Rizkan Chandra diwakili oleh Pak Era Kamali Nasution, mengkaji kasus deployment network dengan konvergensi vertikal dengan pendekatan ekosistem.

Comnetsat-02

Sesi paralel sesudahnya cukup menarik. Peserta bukan saja datang dari kawasan Asia Pasifik seperti yang dibayangkan, tetapi dari negeri-negeri yang cukup tersebar. BTW, Conference Chair untuk Comnetsat adalah Dr Arifin Nugroho, dengan TPC Chair Prof Eko Tjipto rahardjo. Conference Chair untuk Cyberneticscom adalah Dr Wahidin Wahab, dengan TPC Chair Prof Riri Fitri Sari.

Kerjasama Konferensi IEEE

Dari beberapa misi Comnetsat dan Cyberneticscom tahun lalu, yang aku anggap terpenting adalah kemampuannya menyebarluaskan semangat dan komitmen mengangkat konferensi teknis ilmiah dari kampus-kampus dan lembaga penelitian di Indonesia menjadi konferensi internasional dengan standar kualitas IEEE. Di tahun-tahun sebelumnya, baru kampus semacam UI, ITB, dan ITTelkom (sekarang Telkom University) yang secara rutin menyelenggarakan konferensi internasional IEEE. Tahun ini, LIPI, UGM, UMN, telah mencoba menyelenggarakan konferensi serupa.

UGM: ICITEE

Tahun-tahun sebelumnya, UGM telah melaksanakan CITEE. Tahun ini, dipimpin Dr Wayan Mustika, diselenggarakan konferensi paralel CITEE yang bercakupan nasional dan ICITEE yang berjangkau internasional. ICITEE (International Conference on Information Technology and Electrical Engineering) [URL] dikoordinasikan dengan IEEE Indonesia Section dilaksanakan sejak awal tahun, baik secara online maupun via perbincangan di Yogyakarta.

ICITEE digelar di Sahid Rich Yogya Hotel, 7-8 Oktober. Pembukaan oleh Dr Wayan Mustika sebagai general chair. Aku mewakili IEEE memberikan congratulatory speech 7 menit saja. Keynote speeches disampaikan oleh Prof Tadashi Matsumoto (JAIST), Dr Susumu Yoshoda (Kyoto Univ), dan Dr Khiorul Anwar (JAIST).

ICITEE-550

LIPI: IC3INA

IC3INA (The International Conference on Computer, Control, Informatics and its Applications) [URL], mulai direncanakan awal 2013. Koordinasi dengan IEEE Indonesia Section dilaksanakan secara online; tetapi kami sempat melakukan dua kali kunjungan ke Gedung LIPI di Cisitu Lama, Bandung.

Konferensi digelar pada 19-20 November di Gedung LIPI, Gatsu Jakarta. Sesi pembukaan disusun dengan gaya meja-meja bundar di bawah panggung. Keynote speech disampaikan a.l. oleh Prof Md Mahmud Hasan dari Kazakh-British Technical University di Almaty dan Prof Antonio Uras dari ALICE CERN. Prof Uras bukan membahas hasil riset di LHC dan ALICE sendiri, tetapi bagaimana mereka di sana mengolah data dengan skala petabyte untuk mengambil hasil riset secara efektif. Aku didapuk jadi session chair untuk semua sesi keynote, karena semua komite sedang merangkap jadi seksi sibuk.

IC3INA-550

Selesai sesi, sempat ada bincang ringan dengan wartawan Tempo. Sambil berbincang ringan, aku menyebut bahwa kita telah beberapa tahun berusaha membangun inovasi digital. Hasilnya jauh dari menggembirakan. Dari sisi bisnis, tampak bahwa produk digital cuma jadi boom, tidak jadi revenue. Dari sisi social, melejitnya pemakai media social di Indonesia justru dibarengi mandegnya indeks pembangunan manusia (HDI) dan seluruh parameternya. Aku pikir ini a.l. karena inovasi kita lebih sering berasal dari contekan inovasi atau riset dari luar, dan bukan bukan dari riset yang dikembangkan dari Indonesia sendiri, buat kebutuhan Indonesia. Jadi kegiatan IEEE dan ekosistem pendidikan tinggi lebih difokuskan buat mendukung riset-riset nasional, termasuk dengan konferensi yang terkawal kualitasnya, dan peningkatan jurnal nasional. Tapi konon di Tempo dll, tidak ada yang bertugas mengawal kualitas berita :). Maka di Tempo yang ditampilkan adalah bahwa seolah-olah aku menuding riset-riset nasional adalah hasil contekan. Tentu, ini jauh dari pendapatku. Terima kasih, Tempo, untuk menunjukkan bahwa tugas kita memang lebih besar lagi. Bukan hanya di pendidikan nasional, tapi juga media nasional.

Sayangnya aku tidak bisa hadir di sesi paralel. Ada tugas mendadak dari Telkom DES.

UMN: CONMEDIA

Tahun lalu, Universitas Multimedia Nusantara (UMN) menyelenggarakan CONMEDIA (Conference of New Media Studies) [URL] dalam bentuk seminar yang hanya berisikan international speech. Baru tahun ini CONMEDIA menampilkan dan menguji paper-paper. Karena ini adalah pengalaman baru, UMN belum berfokus untuk mempublikasikan hasil konferensi melalu IEEE (Xplore). Namun, aku mencoba tetap menyusun skema kerja seperti halnya konferensi internasional IEEE lainnya; sekaligus sebagai sarana belajar bersama.

CONMEDIA diselenggarakan pada 27-28 November di New Media Tower UMN. Pembukaan oleh Rektor UMN Dr. Ninok Leksono; dilanjutkan dengan sesi keynote speech dari Prof. Tahee Kim (Youngsan University, Korea), Kuncoro Wastuwibowo (IEEE Indonesia Section), Prof. Richardus Eko Indrajit (APTIKOM) dan Prof. John Cokley (Swinburne University, Australia). Paparanku berjudul Converged Digital Ecosystem, dan membahas aspek teknis, desain, aplikasi dari pengembangan layanan-layanan digital. Dikenalkan juga standar baru seri IEEE 1903 yang disebut dengan NGSON. Berikutnya adalah sesi paralel.

Conmedia-550

Ketua penyelenggara, Dr Hira Meidia, sudah berkomitmen untuk meningkatkan CONMEDIA di tahun berikutnya, agar dapat memberanikan diri terpublikasi di IEEE Xplore.

Oh ya, aku juga dapat tanda mata unik menarik dari UMN & CONMEDIA. Mereka edit fotoku (waktu ketemu Dr Alain Chesnais di TALE tahun ini) dalam gaya Weda Style, dan mencetak dalam display yang keren. Here you are:

Conmedia-400

 

Konferensi 2014

Di tahun 2014, telah masuk beberapa proposal kerjasama penyelenggaraan konferensi. ITS, PENS, serta satu kampus di Malang telah mengajukan beberapa proposal juga. Kawasan timur semakin cerah. Tapi tentu target kita bukan jumlah konferensi. Kita tetap berfokus pada peningkatan dinamika dan kualitas riset ilmiah di Indonesia. Dalam konteks IEEE, tentu fokus pada STEM: science, technology, engineering, & math. Dan dalam kerangka IEEE, sifatnya tetap non komersial, not-for-profit. Di web IEEE Indonesia Section, bagian ini telah didetailkan.

Pidato Kebudayaan Karlina

Karlina Leksono Supelli, astronom Indonesia yang kecendekiaannya tentu juga menjangkau seluas kosmologi dan banyak hal yang jadi daya tarik akal budi manusia di dalamnya. Tahun ini, Pidato Kebudayaan yang diselenggarakan rutin oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) mempersembahkan cendekiawan ini, bertemakan Kebudayaan dan Kegagapan Kita. Aku bersyukur mendapatkan kehormatan memperoleh undangan istimewa untuk mengikuti pidato kebudayaan ini, dan berjumpa beberapa aktivis online Jakarta sebelum acara.

Sayangnya kami justru tidak diperkenankan mengambil gambar dari dalam ruangan, jadi tak dapat mengabadikan momen cemerlang dari Karlina. Karlina mengkontraskan kondisi kita semua saat ini, yang meremehkan hal-hal yang esensial dan penting dalam hidup kita — kelestarian alam, rasionalitas hidup, keanekaragaman pola pikir — seraya mengagungkan hal-hal yang fana dan remeh — keriuhan media sosial, konsumerisme, dll. Sangat menyentak, bahwa hal-hal yang selama ini kita anggap sudah menjadi bagian dari paradigma hidup kita, ternyata masih secara massive, kolektif, dan terus-menerus kita abaikan demi keabaian yang kita sering kita sebagai progress.

Karlina Leksono (Sumber: Tirto)

Kita, ungkap Karlina, tidak dapat mengubah keadaan dengan marah, melainkan harus secara tegas melakukan perubahan sikap.

NEST UI

Ini kegiatan tahunan dari Mahasiswa Elektro UI: NEST. Kepanjangannya canggung nian: National Electrical Seminar & Technology :). Beberapa minggu lalu, ketua penyelenggara kegiatan ini, Sdr Hegar Mada, dan sekretaris kegiatan, Sdr Isyana Paramitha, bergantian menghubungi IEEE Indonesia Section untuk endorsement kegiatan ini. Tentu, kegiatan akademis dan profesional semacam ini kita dukung. Komunikasi sempat terhenti sepanjang Ramadhan :). Tapi selesai APCC, Hegar berkontak lagi. Dua hari sebelum Hari-H, Hegar datang ke kantor Kebon Sirih. Ia menyampaikan undangan sebagai Keynote Speaker. Penandatangannya Dr Muhamad Asvial, salah satu pendukung kuat kegiatan-kegiatan IEEE di Indonesia. Jadi aku tidak bisa menolak. (Hey, ini H-2)

NEST berlangsung 12-13 September 2013 di Gedung Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Depok. Tema NEST adalah “A step foward to the green information and communication technology sustainability.” Keynote speech berlangsung di hari pertama, disusul seminar, workshop, dan pameran.

 (Coffee break bersama Prof. Riri, Prof Mulli, dan Pak Charles)

NEST dibuka Dr Muhamad Asvial, Kepala Departemen Teknik Elektro, Fakultas Teknik UI. Keynote speech pertama dari Prof. Dr-Ing. Kalamullah Ramli, atau akrab dipanggil Pak Mulli, Staf Ahli Menkominfo bidang Teknologi. Pertama kali aku mengenal nama beliau waktu masih di pengajian Isnet beberapa tahun lalu. Syukur sempat ketemu beliau akhirnya :). Keynote kedua dari aku, mewakili IEEE Indonesia Section. Prof Riri Fitri Sari (CIO UI) sempat hadir juga di tengah speech-ku.

Presentasiku berjudul “Green-Aware Networks” :). Sebelumnya aku sempat mengintip daftar program. Workshop dan seminar akan membahas hal-hal semacam smart grid, cloud computing, dan beberapa materi menarik lain. Jadi aku fokuskan presentasi pada hal yang belum dibahas pada workshop dan seminar, yaitu pada cognitive radio yang memiliki awareness pada reservasi energi dan kelestarian alam. Materi cognitive radio ini memang pernah aku presentasikan, namun penekanan pada konteks kehijauan memberikan pesan baru pada diskusi ini.

(Presentasi “Green-Aware Networks”)

Selesai presentasi, ada sesi break dengan kopi dan lemper yang sedap. Aku meluangkan beberapa menit ke lokasi pameran. Wow, robotika! Kebetulan aku sedang mendadak agak sedikit tertarik urusan robotika, sensor, dll. jadi aku menyibukkan diri berbincang-bincang dengan peserta pameran, dari UGM, Unitel, dan lain-lain. Plus dipameri hal-hal menarik.

Kembali ke ruang seminar, Pak Charles sedang memaparkan aspek openness dan security pada ICT projects. Ini hal yang penting untuk green ICT. Reusable engineering (hardware/software) memiliki peran penting buat ICT yang ramah lingkungan.

Jam 12:00 aku pamit balik ke kantor Kebon Sirih. Mitha mengawalku ke luar gedung perpustakaan. Sebenernya sih, mau bikin foto dulu di danau. Tapi aku ditunggu kegiatan lain di kantor sih. Syukur masih sempat foto di pintu perpustakaan.

 (Dikawal Mitha)

NEST UI dikemas sederhana, namun menunjukkan komitmen yang kuat, dari sisi akademis dan profesional, dari para engineer muda di UI dan kampus-kampus lain yang bertekad meningkatkan kekuatan negeri ini melalui teknologi tinggi, tanpa mengabaikan lingkungan, dan justru dengan tekad memperbaiki kembali lingkungan hidup yang hijau. Bravo, Universitas Indonesia. Teruskan dan tingkatkan aktivitas yang keren dan menginspirasi semacam ini.

APCC 2013

Alhamdulillah, akhirnya APCC 2013 terselesaikan. Ini proses panjang yang bikin sempat bergejolak antara semangat dan ketegangan yang sama tingginya. Ini adalah kelanjutan COMNETSAT 2012, saat Prof Byeong Gi Lee menyarankan IEEE Comsoc Indonesia Chapter menjadi tuan rumah APCC; lalu APCC 2012, saat kami memenangkan bidding untuk menjadi tuan rumah APCC 2013; disusul koordinasi kegiatan, baik event organising maupun paper management. Sebagai general chair, sidang IEEE Comsoc Indonesia Chapter memilih Dr Wiseto Agung sebagai General Chair APCC 2013. Langkah strategis lain yang dilakukan adalah menggaet ITTelkom (sekarang Universitas Telkom) sebagai co-organiser kegiatan ini, baik event maupun teknis-akademis. Seperti pada conference lain, kami harus tegang juga karena jumlah paper yang masuk sangat sedikit, hingga hari-hari terakhir. Tapi beberapa hari sebelum deadline, ratusan paper masuk melalui EDAS. Dari seluruh penjuru dunia, sebagian besar umat manusia yang terdidik sekalipun memilih mengirim materi pada detik-detik terakhir. Total terkumpul 309 paper. Technical Program Committee diketuai Dr Arifin Nugroho, dengan beberapa vice. Vice yang paling aktif-dinamis dalam proses pengolahan paper adalah Dr Rina Puji Astuti. Sementara itu konstelasi IEEE di Indonesia sedikit bergeser. Aku memegang posisi Chair di IEEE Indonesia Section, dan harus berbagi resource waktu dengan banyak kegiatan IEEE lain. Comsoc Chapter Chair (Satrio Dharmanto) dan para Past Chairs (Muhammad Ary Murti, Arief Hamdani) meneruskan perjuangan mensukseskan APCC 2013. Dengan seleksi yang ketat, APCC 2013 meluluskan 163 paper (53% dari total paper yang masuk).

APCC

APCC, Asia-Pacific Conference on Communications, adalah konferensi regional yang sangat bergengsi di Asia Pasifik sebagai salah satu kawasan dengan pertumbuhan teknologi IT tertinggi di dunia. Selain disponsori oleh IEEE Comsoc, APCC juga didukung oleh KICS di Korea, IEICE Communications Society di Jepang, dan CIC di Cina. Nama2 anggota ASC juga cukup mendebarkan: tokoh-tokoh besar yang merupakan pionir dunia ICT. APCC diselenggarakan pertama kali tahun 1993 di Taejon, Korea. APCC ke-18 tahun lalu juga diselenggarakan di Korea, tetapi di Jeju Island. Tahun ini, APCC ke-19 diselenggarakan di Bali Dynasty Resort di Pantai Kuta, 29-31 Agustus 2013. Aku memang sudah di Bali sejak 26 Agustus demi TALE 2013. Rekan-rekan dari Universitas Telkom (Bandung) didukung Universitas Udayana (Denpasar) mulai menyiapkan semua proses pada 28 Agustus.

Kamis, 29 Agustus, APCC dibuka. Dengan technical sponsor yang cukup banyak, cukup banyak juga speech yang disampaikan pada acara pembukaan. Tapi masing-masing memakan sekitar 5 menit saja. Opening speech disampaikan Dr Wiseto Agung (GC APCC  2013), Satriyo Dharmanto (Chair, IEEE Indonesia Comsoc Chapter), Dr. Ali Muayyadi (Universitas Telkom), Prof. Zhen Yang (Chair of APCC Steering Committee; Chair of the CIC), Dr. Ishikawa Yoshihiro (Chair, IEICE Communications Society), Prof. You-Ze Cho (Vice Chair, KICS), dan Koen (Chair, IEEE Indonesia Section). Dalam hal ini, IEEE Indonesia Section mewakili IEEE yang merupakan technical endorser kegiatan.

Paparanku cuma menyampaikan bahwa Asia Pasific memiliki arti besar dalam pengembangan ICT. Selain bahwa kawasan ini merupakan pusat industri ICT yang paling kompetitif, penduduk kawasan ini juga termasuk yang paling adaptif pada budaya digital lifestyle yang baru. Kekayaan budaya juag mendukung  pengembangan teknologi komunikasi, yang akan memahami dan mendukung bentuk interaksi yang sangat kontekstual dan sangat manusiawi. Namun masalah sosial kawasan ini juga mengkhawatirkan. Teknologi membuka akses informasi, tapi mendorong konsumerisme, tapi juga memungkinkan pelestarian alam, tapi juga meningkatkan polusi, tapi juga menciptakan lapangan kerja baru, tapi juga mempercepat urbanisasi, dst, dst. Tugas para insinyur adalah merancang dan mengembangkan teknologi yang akan mengatasi berbagai masalah kemanusiaan dan mencerdaskan kehidupan manusia. Pada konteks sosial inilah, kami memilih tema APCC 2013 ini: Smart Communications to Enhance the Quality of Life.

Sesi keynote speech diisi berturut-turut oleh Prof Byeong Gi Lee (Past President, IEEE Communications Society; Past President, KICS), yang tetap bersedia berkunjung ke Indonesia meramaikan APCC; Prof. Adnan Al-Anbuky (Director of Sensor Network and Smart Environment (SeNSe) Research Lab, School of Engineering Auckland University of Technology, Auckland – New Zealand); Mr Indra Utoyo (CISP, Telkom Indonesia; Chairman, MIKTI), dan Ichiro Inoue (Network Systems Planning & Innovation Project, NTT).

Kegiatan berikutnya cukup padat; tapi khas untuk setiap international technical conference. Sesi special speech, sesi tutorial, sesi presentasi paralel, sesi poster, dll. Di sesi tutorial, aku menghindar dari hal mainstream macam mobile network dll; dan memilih jaringan sensor yang merupakan salah satu elemen buat Internet of Things (IoT). Tutornya kebetulan sepasang profesor dari Coventry University. Hey, ini universitas modern (bukan universitas seangkatan universitas klasik) yang tahun ini banyak memperoleh appresiasi dan penghargaan di mana-mana loh. Acara rutin lain adalah Gala Dinner, tempat beramah-tamah dalam suasana semi formal, tapi boleh tertawa keras-keras; termasuk sesi-sesi penyerahan Paper Award dari APCC Steering Committee.

Sesi poster, yang diselenggarakan di hari terakhir, biasanya paling sepi pengunjung. Jadi aku justru menyempatkan diri datang ke sesi poster, dan secara serius menanyai setiap pemapar poster satu-satu. Sambil belajar banyak hal baru, sambil menambah network. Perbincangan di sesi poster bisa lebih dalam dan lebih menarik daripada sesi presentasi yang waktunya sangat terbatas.

Kerja keras yang luar biasa dari para organiser, di sisi teknis, perencanaan, dan pelaksanaan. Di sesi review di Sabtu sore, aku menyampaikan bahwa biarpun para organiser selalu merasa ada banyak kekurangan, namun dari APCC Steering Committee dan para peserta, kita justru secara personal menerima appresiasi dan feedback yang sifatnya positif. Luar biasa! IEEE, Unitel, Unud, dan semua. Luar biasa. Tahun ini akan masih banyak event-event dari IEEE Indonesia Section. Mudah-mudahan semua memberikan dukungan seperti saat ini, dan memberikan hasil yang lebih luar biasa :). Thanks, all.

TALE 2013

TALE, yaitu IEEE International Conference on Teaching, Assessment and Learning for Engineering, adalah salah satu dari tiga konferensi kunci dari IEEE Education Society. Tahun ini TALE diselenggarakan di Bali Dynasty Resort, sebuah resort di tepi Pantai Kuta, Bali, tanggal 26-29 Agustus 2013. Indonesia menjadi tuan rumah TALE atas rekomendasi Prof Michael Lightner (ex IEEE Education Society President), yang merasa IEEE Indonesia Section cukup serius dalam menyelenggarakan IEEE CYBERNETICSCOM 2012, tempat beliau hadir sebagai keynote speaker. Tentu, walau memperoleh rekomendasi, tim Indonesia tetap harus melakukan bidding pada TALE 2012 di Hongkong. Waktu itu konon Indonesia mengalahkan Malaysia pada bidding final.

Bidang teknis konferensi ini dilaksanakan oleh IEEE Education Society. Jadi IEEE Indonesia Section hanya direpoti untuk event organising. Penyelenggaraan dipimpin oleh Dr Ford Lumban Gaol, sebagai General Chair. Beliau juga adalah wakil ketua (vice chair) dari IEEE Indonesia Section. Dukungan datang dari beberapa kampus, terutama Universitas Bina Nusantara, Jakarta. TALE berjalan secara serial (bukan paralel) dengan APCC; jadi kami berbagi perhatian: Pak Ford di TALE dan aku di APCC. Aku cukup datang ke TALE dalam keadaan sudah disiapkan penuh oleh komite :).

Berfoto dengan Prof Castro dan Prof Ken Soetanto

Aku mendarat di Bali Senin siang, 26 Agustus. Bandara Ngurah Rai masih dalam proses renovasi yang intensif. Dari airport ke Bynasty Resort hanya diperlukan waktu sekitar 10 menit. TALE hari pertama ini penuh dengan kegiatan tutorial dan workshop. Sempat menyimak satu sesi workshop, aku menghabiskan sore dengan biking menyusuri Pantai Kuta, sampai matahari tenggelam. Sepedanya dipinjamkan gratis, btw :). Malam, ada acara Welcome Party, berisi pengenalan para VIP dan komite. Hadir dalam event TALE ini, Prof Manuel Castro (IEEE Education Society, President), Dr Alain Chesnais (ACM, Past President), Prof. Sorel Reisman (ex IEEE Computer Society President). Aku menghabiskan banyak waktu berdiskusi dengan rekan-rekan dari Bangalore.

TALE 2013

 (Sesi foto TALE 2013 setelah Acara Pembukaan: All in Batik)

Opening ceremony dilaksanakan 27 Agustus pagi. Opening speech dari Pak Ford sebagai General Chair, Prof. Gerardus Polla (ex Rektor Binus University) mewakili Binus sebagai co-organiser, lalu aku mewakili IEEE Indonesia Section. Seperti concern yang sering aku sampaikan dalam event uang mengkaji soal education, aku mengawali dengan paradoks bahwa walaupun nyaris seluruh kemajuan teknologi ICT diawali dari kalangan pendidikan, namun ICT justru belum banyak merevolusi bidang pendidikan (dibandingkan misalnya bidang komunikasi, transportasi, industri, dll). Infrastruktur ICT untuk ini sebenarnya sudah cukup siap. Namun sekedar mendigitalkan konten dan interaksi akan jauh dari memadai untuk mencapai harapan bentuk mendidikan yang mencerdaskan siapapun, pada umur berapa pun, dari kalangan manapun, di manapun, dengan cara yang tetap manusiawi dan tak memisahkan manusia dengan lingkungan alaminya. Diperlukan paradigma baru atas proses pendidikan manusia yang berkelanjutan, dengan dukungan infrastuktur ICT yang bersifat pervasive. Ini sebenarnya hanya pembukaan buat diskusi :). Konferensi sendiri dibuka Prof Gerard Polla dengan dentuman gong Bali. Bmmm-bmmm-bmmm.

Keynote speech disampaikan oleh Prof. Manuel Castro dari IEEE Education Society, Prof. Ken Kawan Soetanto, dan Prof. Dr. Satryo Soemantri Brodjonegoro dari Binus Advisory Board. Bidang education itu menarik, mendorong, dan memiliki dampak luas. Diskusi pada sesi keynote pun cukup panas, dari berbagai visi. Pro dan kontra pada setiap aspek dari e-learning, digital education, dan lain-lain. Berbeda misalnya dengan sesi serupa dari konferensi bidang telekomunikasi. Tapi justru battle of the titan macam ini yang membuat sebuah konferensi jadi jauh lebih menarik daripada sekedar membaca tumpukan paper :).

image

 (Prof Reisman berbincang dengan Prof Castro dan M Chesnais)

Aku berbagi tugas cukup baik dengan Pak Ford. Jadi selepas acara pembukaan, kerjaku cuma iseng-iseng menjenguk sesi-sesi paralel presentasi paper dan melarikan diri ke pantai-pantai. Ini buat membuktikan tesis Wahyu Sardono alm, bahwa “Katanya pulau Bali dikelilingi pantai.” Tapi tugas ceremonial lain, tetap jalan.

Hari terakhir, 29 Agustus (hari yang sama dengan pembukaan APCC). Bali konsisten dengan cuaca yang segar tapi panas. Para peserta sudah bergaya informal. Konferensi ditutup dengan penyerahan award oleh Alain Chesnais. Aku memberikan sambutan penutup, lalu menutup konferensi. Kali ini tidak ada gong. Jadi konferensi internasional keren ini aku tutup dengan mengetukkan pisau roti pada cawan putih. Tinq-tinq-tinq, TALE 20133 ditutup.

(Foto spesial dengan Alain Chesnais dan Alain Chesnais)

(Foto spesial dengan Alain Chesnais dan Alain Chesnais)

Deep Learning

Pada edisi Juni 2013, MIT Technology Review menampilan 10 terobosan teknologi. Teknologi dianggap merupakan terobosan saat penggunaannya meningkatkan kekuatan pemakainya. Misalnya, teknologi dengan desain intuitif sehingga mudah digunakan tanpa berat dipelajari; atau teknologi yang memungkinkan manusia dengan kerusakan otak untuk memiliki kembali memori yang baik. Salah satu yang dianggap merupakan terobosan adalah “Deep Learning”. Aku memutuskan untuk tak menerjemahkan istilah ini dulu, agar nuansanya tak tergeser oleh penerjemahan.

Juli tahun lalu, Ray Kurzweil menemui Larry Page. Sebagai pionir dalam bidang teknologi kecerdasan, Kurzweil menyampaikan bahwa ia berminat mengembangkan satu gagasan tentang pengembangan komputer yang memiliki kecerdasan alami. Komputer itu diharapkan mampu memahami bahasa, menyimpulkan tata logika, hingga mengambil keputusan. Menurutnya, upaya semacam ini memerlukan kumpulan data dan kekuatan komputasi berskala Google. Page mencoba menyanggupi permintaan Kurzweil, namun tidak sebagai perusahaan yang terpisah. Maka Kurzweil diminta bergabung dengan Google. Kurzweil masuk ke Google awal tahun ini sebagai Director of Engineering. Di sini, Kurzweil mendalami software Deep Learning.

Software ini meniru aktivitas lapisan neuron di neocortex, tempat 80% aktivitas pikiran dilakukan. Dengan ini, software ini mengenali pola dalam representasi digital dari suara, gambar, dan data lain. Ide ini tidak baru. Tapi pengembangan teknologi dan formulasi matematika baru membuat proses ini lebih dimungkinkan pada saat ini. Google menggunakan teknologi ini untuk berbagai hal, dari mengenali gambar kucing dari video-video Youtube (tanpa dibekali informasi tentang kriterianya), memperbaiki kualitas pengenalan suara di Android (yang membuatnya lebih baik daripada Siri dari Apple). Di luar itu, tim kecil dari Merck menggunakannya untuk mengenali molekul-molekul untuk merancang obat-obat terbaru.

Pengembangan di luar urusan speech dan image memerlukan terobosan software yang lebih konseptual. Deep Learning mengambil manfaat bukan saja dari besarnya data yang disimpan Google, tetapi juga oleh metode pemisahan pekerjaan komputasi yang telah ada; sehingga proses dapat berjalan jauh lebih cepat.

Namun proses ini masih menuai kritik. Jeff Hawkins, pendiri Palm Computing, menyampaikan bahwa Deep Learning tak cakap mengenali konsep waktu. Otak manusia mengolah aliran data sensor, dan manusia belajar dengan kemampuannya mengenali pola yang berurut menurut waktu. Kita mengenali gerakan, bukan serial gambar.

Kurzweil sendiri tengah merancang “cybernetic friend” yang memahami perbincangan telefon, email, dan kebiasaan kita. Mirip yang sering aku kuliahkan tentang context-aware applications itu lah :). Si teman akhirnya harus memahami kebutuhan kita, bahkan sebelum kita memintanya. Dalam kuliah2, aku mengusilinya dengan menciptakan istilah “wise terminal” sebagai masa depan dari “smart terminal” :p. Namun Kurzweil juga menginginkan komputer memahami bahasa alami, termasuk soal ketaksaan (ambiguity) di dalamnya. Tentu komunikasi dan informasi bersifat sangat kontekstual. Diperlukan informasi semacam common-sense bersama. Sebentar, aku akan perlu bacakan Borges atau Kundera dulu, atau setidaknya Rusell, untuk mereka yang mencoba mengandaikan hal ini bisa diwujudkan. Tapi, untuk permulaan, Kurzweil mencoba menggunakan Knowledge Graph, yaitu katalog milik Google yang berisi 700 juta topik, lokasi, orang, plus miliaran relasi antar data itu.

Deep Learning dan prakarsa AI lainnya; plus Internet of Things, context-awareness (di konten, aplikasi, network), kini tengah menyiapkan revolusi budaya berikutnya dalam masyarakat global. Revolusi Internet 2.0 memindah kendali informasi, dari yang sebelumnya nyaris terpusat, menjadi tersebar, milik publik sebagai individu-individu; menguatkan governance ala Foucault atau bahkan mengingatkan pada lagu l’Internationale (wkwkwk). Wisdom of the crowds, biarpun berbeda dengan bentuk yang dibayangkan semula; mashups terus menerus antar informasi, dan sebagainya. Revolusi berikutnya akan merupakan integrasi yang lebih besar antara kehidupan berbasis karbon yang kini terus menguat di Internet 2.0, dan kehidupan berbasis silikon, dari berbagai proses komputasi yang kian besar, kian mandiri, dan kian mengambil peran.

Sudah siap melompat sekali lagi?

Q-Learning

Lama-lama ada semacam Koen’s Birthday Lecture. Tanggal 19 Juni jadi sering terisi kegiatan presentasi, kuliah, atau seminar, baik dalam soal-soal engineering, social media, atau yang berkaitan dengan Telkom. Tahun ini, tugas presentasinya kecil saja: cerita tentang platform produk Telkom untuk higher education, di booth Telkom di CommunicAsia. Padahal sudah bertahun2 aku berhasil menghindari tugas mengunjungi CommunicAsia dan BroadcastAsia. Tapi kan ini bukan kunjungan :).

Senin malam, 17 Juni, aku baru sempat terbang ke Singapore. Sampai lewat tengah malam. Penjaga hotel di East Coast mengeluhkan asap yang kian tebal mengotori udara Singapore — hasil pembukaan lahan kebun sawit di Sumatera Timur, yang sebagian justru dimiliki pengusaha dari Malaysia dan Singapore sendiri. Aku bisa tidur lelap. Dan paginya langsung mengeksplorasi Marina Bays Sands. Booth Telkom ada di Exhibition Hall E.

20130623-232426.jpg

Booth Telkom tampak mencolok di bagian tengah hall. Telkom Indonesia sudah menggunakan logo baru, dengan nuansa merah putih. Booth ini juga dishare dengan seluruh anggota Telkom Group: Telin, Metra, Telkomsel, dll. Hari itu kami juga menggunakan seragam batik parang merah putih.

Booth Telkom dibuka oleh CIO Indra Utoyo. Kebetulan, pembukaan ini juga dihadiri oleh Ministry of ICT dan beberapa tamu. Pak Indra menjelaskan ekspansi bisnis Telkom ke arah TIMES. Maka booth-pun dibagi atas stand T, I, M, E, dan S. Di bagian depan, kami juga memasang kesenian tradisional Sasando Rote, seni sketsa wajah dari Pak Priadji Kusnadi, dan techno-illusion dari Galih.

20130623-232911.jpg

Aku sendiri baru menyampaikan presentasi mengenai platform dan produk Education dari Telkom Group, di hari kedua, 19 Juni 2013. Seragamnya bukan batik merah lagi, tetapi suite dengan dasi merah :). Wkwkwk, memang harus merah. BTW, sekalian bikin foto perdana dengan logo baru dari Telkom Indonesia.

Tak jauh dari yang sering dibahas di blog ini, aku menceritakan pengembangan platform Telkom di bidang higher education applications. Fokusnya ke Q-Learning, Q-Journal, dan Qbaca. Setelah presentasi, ada beberapa MOU juga yang ditandatangani oleh EGM DSC Telkom, Achmad Sugiharto, dan para partner yang berminat dengan bidang-bidang kerja kami.

Sebenernya, tugasku satu2nya hanya memberikan presentasi :). Tapi ternyata cukup banyak pengunjung, peserta CommunicAsia, atau sesama Exhibitor yang berminat berdiskusi tentang platform dan produk education dari Telkom. Jadi tiga hari penuh itu, aku menghabiskan waktu di booth untuk berdiskusi dengan para partner dan calon partner.  Hari ketiga (pakai batik merah putih lagi, tapi bukan parang), justru makin banyak calon mitra kerja yang sangat prospektif. Ada yang benar-benar punya produk yang aku rasa matching dengan platform yang tengah kami kembangkan. Wah, macam dapat harta karun.

Hari Jumat pagi, aku balik ke Jakarta. Bawa segepok kartu nama, dan banyak catatan rencana kerja sama. Hmm, bakal makin menarik nih platform, produk, dan program Education kami :).

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑