Dan kuda putih lagi. Yang ditunggangi pagi itu oleh sepasang kakak beradik di negeri Armenia itu. Tercekat si adik melihat seorang tetangganya memergoki mereka bersama kuda putih itu. Tapi si kakak menenangkan.
Tapi tentu, si tetangga lebih tercekat lagi. Dihampirinya kuda itu. Benar-benar mirip kudanya yang hilang bulan sebelumnya. “Kalau aku tak mengenal kalian, tentu aku berani bersumpah bahwa ini kudaku yang hilang bulan lalu. Duhai, betapa miripnya.” Ia membuka mulut si kuda, dan mengamati giginya. “Bahkan gigi-giginya pun serupa benar. Aku hampir berani bersumpah.“
“Tapi aku mengenal keluarga kalian. Aku lebih mempercayai hatiku daripada mataku. Barangkali saja kuda itu memiliki saudara kembar juga. Selamat jalan, sahabat-sahabat mudaku.” Lalu ia berlalu. Kuda yang dicuri itu akhirnya kembali di suatu pagi yang lain. Lebih sehat dan lebih jinak.
Cerita yang aku baca dari zaman SMA ini (zaman ketika seorang guru mengatakan bahwa pandangan mataku selalu tajam) terlalu lama membekas. Tentu aku tak bisa mengharapkan punya sahabat yang lebih mempercayai hatinya daripada matanya. Sahabatku manusia, bukan malaikat :). Tapi setidaknya, untuk sahabat-sahabatku, aku masih akan lebih mempercayai hatiku daripada mataku. Setajam apa pun mataku kata pak guru itu. Ke mana ya beliau?