Kemarin, cerita tentang S-Matrix aku mulai dari Wina. Ada apa sih di Wina? Salah satunya, pernah ada Wittgenstein, sebelum dia pergi ke Cambridge. Aku pernah tulis bahwa tokoh ini kabur dari dunia fisika dan masuk ke filsafat. Nah, di Wina ada tokoh yang senada: Moritz Schlick. Murid Max Planck ini, — oh ya betul: h dicoret itu. Jadi murid Planck ini lebih suka berkarir sebagai filsuf. Tetapi ia masih membawa sisa dunia lamanya. Bagi Schlick, filsafat haruslah diturunkan dari sains. Filsafat bertujuan untuk merjernihkan arti dari proporsi, dengan metode yang sama dengan metode sains. Inilah yang menjadi dasar dari positivisme logis, yang kemudian kadang disebut sebagai Madzhab Wina.
Schlick mulai rutin mengumpulkan rekan2nya di Boltzmanngasse, gedung jurusan matematika dan fisika. Setiap malam Jum’at. Hanya terbatas bagi orang yang diundang. Diantara tokohnya adalah Otto Neurath, Herbert Feigl, Rudolf Carnap, Kurt Gödel, Viktor Kraft, Felix Kaufmann, Phillip Frank, Hans Hann, dan Olga Hann yang pakar aljabar Boole. Wittgenstein dijadikan anggota kehormatan dan ‘guiding spirit’ — tetapi menolak. Mereka duduk dalam formasi setengah lingkaran. Dan tak lama, kelompok ini terkenal sebagai Lingkaran Wina. Der Wiener Kreis. Wiener Schnitzel? Bukan. Itu sih makanan sedap. Karl Popper, pernah berharap bisa masuk lingkaran ini. Tetapi tak pernah diajak. Itu salah satu sebab bahwa ia selalu ingin bisa mengalahkan … Wittgenstein :).

Prosedur pertemuan cukup baku. Schlick memulai dengan membacakan surat2 yang masuk, termasuk dari raksasa2 sains seperti Einstein, Russel, Hilbert, atau Bohr. Kemudian debat dimulai, sesuai tema yang ditetapkan minggu sebelumnya. Kadang tamu asing pun diundang. Ayer dari Inggris, Quine dari Amrik, Hempel dari Berlin. Tamu2 ini membawa pengaruh Lingkaran Wina ke filsuf di negeri2 lain.
Tentu saja banyak juga pihak yang bertentangan. Di Cambridge misalnya, di masa itu orang percaya bahwa justru sains yang harus belajar dari filsafat. Juga, positivisme logis bertentangan dengan idealisme model Jerman seperti yang dibawakan Fichte dan Hegel, atau Kant, yang lebih mengutamakan pikiran dan spirit daripada fisika dan logika. Lingkaran Wina menggunakan relativitas Einstein (yang di masa itu berlawanan dengan akal sehat) untuk melawan pendapat Kant bahwa kita bisa merumuskan isi semesta hanya dengan merenung. Dan tentu jangan ditanya soal agama dan metafisika. Hal2 semacam ini juga telah membuat Lingkaran ini dimusuhi banyak penduduk Wina sendiri.
Kenapa namanya positivisme logika? Baca di Google atau Wikipedia deh. Gitu2 aja kok :).
Lalu, di suatu hari di tahun 1936, Schlick ditembak salah satu mahasiswanya. Tak lama, terjadi Anschluss. Lingkaran Wina pun menghilang. Gödel tentu masih berkibar. Dan Heisenberg, kita singgung kemarin, mengadopsi madzhab ini ke dalam S-matrix, yang masih beranak cucu sampai ke Teori M.


Buku ini unik. Menyembunyikan kelengkapan dalam kesederhanaan. Lebih mirip kumpulan feature daripada paparan imiah, sehingga enak dicerna dalam waktu senggang sekalipun. Cerita CDMA dimulai dengan Hedy Lamarr, pemegang patent frequency hopping (lengkap dengan gambar skema), sekaligus pemain film bugil pertama (lengkap dengan foto), yang latar belakang patriotiknya mendorongnya mengembangkan ide CDMA ini. Kemudian Claude Shannon yang teorinya dapat digunakan untuk mengembangkan konsep komunikasi spread spectrum. Dan tentu Irwin Jacobs yang mengusung teknologi CDMA melalui Qualcomm. Dan sejarah digulirkan.
Saat mulai bermain dengan relativitas, Einstein mulai berbagi narasi bahwa waktu adalah dimensi yang sama dengan ruang. Dan dengan demikian ia mulai selau menulisnya sebagai besaran dimensi zeit-raum yang tunggal. Meneruskan permainan relativitas dan efek fotolistrik, ia berbagi diskursus yang lebih menarik: materi dan energi adalah entitas yang sama. E=mc2, dengan c sebuah tetapan yang hanya mengkonversi satuan. Tapi kalau ruang dan waktu memang sama, kenapa c harus punya nilai dan satuan. Berikan saja nilai 1. Kalau perlu satuan, c = 1 kaki per nanodetik :). Tapi kalau c tanpa satuan, kita bisa bayangkan bahwa waktu 1 nanodetik setara dengan jarak 1 kaki :) :). Kita teruskan dengan E = m. Kita bisa bercerita tentang massa sekian GeV tanpa harus mengkonversikan dalam hati menjadi kg. Dan, oh, kalau memang massa dan energi memang harus punya satuan (katakan eV), maka baik jarak maupun waktu sebagai dimensi ‘sebenarnya’ dapat dirumuskan sebagai inversi dimensi massa atau energi. Dengan demikian satuannya adalah eV-1. Kemudian … banyak hal2 menarik dari sini :), asal nggak terantuk sama angka 137.
Memang jadi ada waktunya semua itu dilepas: konsep, komitmen, legenda, visi. Dan biarkan pikiran ini mengaliri segala jalan besar hingga celah sempit yang kita temui hari ini, saat ini, detik ini. Biarkan juga ide-ide jadi frame-frame sporadik yang mencuat ke sana kemari dalam permainan warna yang indah berpola seperti permainan lampu di jalan raya, berpadu dengan percikan air di sungai bersemu coklat dan kenangan yang menarik secara hitam putih ke tenggara dan barat daya. Dan biarkan Debussy menyentak jiwa dengan musik yang pernah dinamai impresionistik itu (entah kenapa).
Para pedoyan buku akan paham bahwa buku Blink memotivasi kita untuk mengasah kembali kepekaan nalar halus kita. Ada yang menggerakkan nalar halus kita itu untuk mengambil pilihan paling baik dan paling tepat, dan ini terlihat dari gejala fisik. Tangan kita berpeluh lebih saat kita mengambil keputusan yang salah, kata Blink, sebelum daya analisis kita akhirnya (jika belum terlambat) memahami bahwa keputusan yang diambil itu salah. Think berpikir sebaliknya. Sempitnya waktu dan derasnya beban membuat kapasitas manusia berpikir kritis makin melemah. Manusia mengambil keputusan2 instan hanya berdasar pikiran spontan, sementara jika kita mau meluangkan waktu untuk menganalisis lebih teliti, kita akan dapat menemukan faktor-faktor kritis yang membantu kita mengambil keputusan.