Page 26 of 210

Welch Licht Leuchtet Dort?

“Welch Licht leuchtet dort?”
“Dämmert der Tag schon auf?”
“Loges Heer lodert feurig um den Fels. Noch ist’s Nacht. Was spinnen und singen wir nicht?”
“Wollen wir spinnen und singen, woran spannst du das Seil?”

Tiga norn itu berbisik pada pembukaan Die Götterdämmerung (non Wagnerian lebih mengenalnya sebagai Ragnarök). Wajah mereka pucat dan kaku. Ilmu mereka, tentang masa lalu, masa kini, masa depan, lebih jadi beban daripada berkah. Para manusia itu, perlukah mereka tahu? Dan para dewa itu? Dan para peri itu? Saat manusia mengira hanya tanah mereka berputar, semesta baru menghampiri dan menyelubungi mereka. Perlukah menyanyi kita saat selubung itu menghantar cahaya pagi pembawa simpul waktu? Takkah berbagi ilmu akan menjadi berbagi luka?

Wajahkukah itu, yang selalu pucat dan kaku?

Maka hentikan nadamu. Kita punya tali yang harus kita urai. Awas, jangan putus tali itu.

LHC 2008

Musim semi 2008 tengah dinantikan para fisikawan. Di antara Perancis dan Swiss, sebuah penumbuk hadron berukuran besar (large hadron collider, LHC) yang digerakkan magnet superkonduktor siap dinyalakan. Dan hasilnya diharapkan akan membuka satu lagi teka-teki semesta.

Kita kembali dulu ke 10 tahun sebelumnya. Di sebuah konferensi teori string di Santa Barbara, para fisikawan menyisihkan sejenak waktu untuk becanda menyanyikan lagu buat Juan Maldacena.

Yet start with the brane, and the brane is BPS.
Then you go near the brane, and the space is ADS.
Who know what it means? I don’t, I confess.
Heyyy … Maldacena.

Nadanya – mungkin kita bisa menebak – diambil dari lagu Macarena. Maldacena yang sedang dirayakan itu baru saja menurunkan sebuah konjektur yang melibatkan sekaligus black hole dan kuark. Konjektur, yang disebut Konjektur Maldacena itu, cukup unik. Formula 5 dimensi direduksinya dulu menjadi 4 dimensi, ditransformasikan, lalu – uniknya – dikembalikan lagi menjadi 5 dimensi. Efek sampingan dari formulasi (yang menggabungkan mainan fisika kuantum bernama kuark dan mainan relativitas bernama black hole) ini, adalah ide-ide sampingan. Jadi 5 dimensi itu bisa direduksi jadi 4 dimensi, tanpa kehilangan arti? Jadi misalnya, ruang 3 dimensi kita ini bisa saja sebenarnya adalah 2 dimensi, dengan dimensi ketiga hanyalah kode tertanam di dua dimensi yang lain? Dari itu, lahirnya istilah semesta holografis, dan seterusnya.

Tapi, OK, itu sepuluh tahun yang lalu. Lalu sepuluh tahun ini teori string tidak lagi ke mana-mana. Bahkan Edward Witten, yang dua kali membangkitkan dan menyelamatkan teori string (sebagai superstring dan kemudian sebagai teori M, mirip Einstein yang dua kali membangun teori relativitas) hanya bisa berkata bahwa ada hari2 yang cerah, dan ada hari2 yang sulit. Witten sendiri berharap, dengan energi LHC sebesar itu, ia bisa menampilkan miniatur semesta saat berusia hanya sepersetrilyun detik setelah big bang, yakni saat simetri antara elektromagnetik dan interaksi nuklir lemah belum runtuh. Foton (pembawa elektromagnetik) dan boson W/Z (pembawa interaksi nuklir lemah) merupakan saudara dekat pada level atom, tetapi memiliki sifat yang jauh berbeda. Boson W/Z misalnya, punya massa. Konon dia bisa mengkonsentrasikan partikel Higgs, yang dispekulasikan sebagai pembawa massa. Tapi partikel Higgs sendiri belum ditemukan.

Di antara banyak (sekali) fisikawan string, Nima Arkani-Hamed memiliki riset yang agak menarik. Rekan Lisa Randall ini juga berharap banyak dari LHC. Kalau di tahun ini atau di tahun lalu aku menulis tentang kritik Lee Smolin atau Peter Woit tentang string, maka yang satu ini adalah salah satu sasaran tembaknya. Dia banyak bermain dengan yang disebut multiverse (banyakmesta, sebagai lawan dari semesta – universe). Semesta kita, katanya, hanyalah satu dari nyaris tak terhingga gelembung-gelembung semesta yang membulukutuk di sop dimensi string. Setiap semesta merupakan habitat tersendiri yang terpisah. Tidak ada satu pun partikel atau gaya yang bisa melintas antar semesta, nah, kecuali: gravitasi. Jadi, saat fisikawan lain mengherani bahwa gravitasi memiliki kekuatan amat sangat lemah dibanding gaya lainnya (dalam skala hingga kuadrilyun), maka Hamed mencadangkan satu jawaban: gravitasi jadi lemah karena sudah melintasi banyak semesta lain. Eksperimen dengan LHC ini diharapkan Hamed akan dapat mulai menampakkan permainan antar cangkang semesta. Jika hipotesis Hamed ini terbuktikan, bukan saja teka teki tentang gravitasi terjawab, tetapi juga teori string terbukti.

Mulai 2008, Hamed juga akan bergabung di IAS, bersama Witten dan Maldacena. IAS juga pernah menjadi tempat buat Einstein, saat ia berhijrah ke negeri Amrik.

Oh … Hai 2008 :).

Ephremides

Kurasa IEEE harus jadi kategori satu lagi di blog ini. Atau tag, kalau aku sudah memutuskan bermigrasi ke WordPress 2.3.x nanti. Urusan lain deh. So, hari ini aku menikmati jadi mahasiswa. Datang ke Univ Bina Nusantara untuk menghadiri IEEE Distinguished Lecture on Cross Layering Issues. Lecturenya Prof Anthony Ephremides, dari Univ of Maryland. Namanya Yunani bener ya, mengingatkan pada Empieles (tema tesisku, haha). Mantan Presiden IEEE Information Theory Society (dimana aku hanya berstatus ‘mantan anggota’) ini datang ke Jakarta hanya untuk satu sesi kuliah ini, dalam tur kuliahnya keliling Asia Tenggara.

Di dalam ruangan, aku baru sadar bahwa judul kuliahnya adalah Cross-Layer Issued in Wireless Networks. Tadinya aku pikir semacam GMPLS dalam network terkonvergensi, karena sejauh ini aku membayangkan beliau sebagai ahli traffic engineering. Kuliah ini lebih menyoroti kasus2 dalam wireless network berelemen banyak (single hop dan multi hop), dimana akhirnya keputusan untuk membentuk jalinan network (pada layer fisik) akan berkait penuh dengan layer2 di atasnya (MAC, IP, dst). Tapi tak sembarang cara dilakukan untuk melakukan cross-layering. Secara hati2, kita harus amati interaksi antar layer, melakukan eksploitasi atasnya. Selanjutnya adalah formula2 dengan huruf2 Yunani (kan …) yang bikin otak merasa muda lagi (haha). Dan kemudian ide tentang network coding. Yummie.

Buat yang berminat, materi kuliah ini bisa aku kirim via mail. Atau kontak host sesi ini: Mr Lukas Tanutama and Mr Wiejaya of Univ Bina Nusantara, Computer Engineering Department. Telusuri juga beberapa tulisan Pak Ephremides di sini: www.hindawi.com/13692679.html.

Di dekat toilet aku mendengar seorang senior berbincang tentang penanaman saham Telkom baru2 ini di sebuah perusahaan pengembang perangkat lunak. Waktu aku keluar, Mr Endang of Trisakti memperkenalkan aku ke beliau. “Ini Kuncoro, Pak. Dari Telkom.” Beliau menatapku lekat, trus … “Ya, saya melihat kuliah Anda di Trisakti minggu lalu. Saya duduk di belakang.”

The Story of Doing Nothing

Ekspresi biasa: “Lagi apa?”
Ekspresi panik: “Nggak ngapa2in, nggak ngapa2in.”

Itu salah satu standard joke antara aku sama Dewi. Trus suatu hari kita menjudulinya “The Story of Doing Nothing.”

Menemui oasis langka kesendirian di tengah riuh tak ramah minggu2 ini, aku mencoba menikmati “doing nothing.” Update MacSquirrel (bukan ke Leopard, masih Tiger, tapi 10.4.11). Scanning buku The Revenge of Gaia dari Lovelock. Tentang Gaia, aku pernah singgung dikit di blog ini. Yang ternyata masih pas, lucunya, malah baca2 jurnal IEEE. Pagi ini (atau barangkali malam tadi), IEEE Communications versi Desember 2007 datang. Biar punya waktu buat baca, kopi Siborong2 (digiling 15 detik, diseduh uap espresso stove, pas sekali) tidak ditambahi es.

gelombang-otak-gue-pagi-ini.gifHmm, coincidentally, banyak artikel di jurnal hari ini berkaitan dengan presentasi aku di Trisakti awal minggu ini (NGMS). Evolusi HSPA di 3GPP Rel 7. OFDM-based Overlay System. Perluasan jaringan 3G/WiMAX via WLAN. WiMAX versi mobile. Pertimbangan biaya untuk arsitektur 4G. Dll. Dll. Yang aku belum masukin hanya yang sifatnya pendek: ad hoc, sensor, dll. Eh, sebenernya dimasukin sih, tapi di bagian service. Ah, pagi yang menyenangkan: paduan kopi dan jurnal yang pas. Sedikit teringat bahwa aku harus bergegas pergi lagi. Ada satu alasan kenapa Telkom menghentikan promosi Telkomnet-Instan Weekend-net. Satu alasan saja. “Kita tidak punya weekend lagi.” Trus, aku pura2 belum lihat jam. Melanjutkan membuang waktu tidak untuk apa2.

Atau, barangkali aku harus sedikit membalik pikiran. Aku lagi berbuat banyak pada dunia. Bahwa aku tidak keluar dari rumah ini, berarti aku tidak menambah kekacauan di semesta di luar sana. Wow, aku menciptakan ketenangan dan perdamaian. I’m doing great thing. Kalau aku keluar, maka — percayalah — chaos akan kembali melanda. Pun — sekali lagi percayalah — tak ada yang bisa aku sumbangkan untuk mengejar target2 bersama. Aku cuman engineer salah jalan. Di tengah lelucon panjang di sana, justru aku sebenarnya “do nothing.”

Trus ingat, di tengah keriuhan “of doing nothing” minggu ini, Pak Adi (a.k.a. Mr Checklist) tak sengaja melihat versi cetax atas presentasiku tentang NGMS. Penasaran karena tidak ada satu checklistpun yang berisi judul aneh semacam itu, beliau mulai menginterogasi: siapa yang buat, kapan, nyontek dari mana? Wakaka. Aku betul2 hidup di ruang yang salah. Secara gitu loh.

Scanning selesai. Kopi tinggal dikit. Blogging ah. “The World of Doing Nothing” masih bisa menunggu sedikit lagi.

Trisakti

So sesuai rencana, aku sedang berada di Universitas Trisakti (Grogol, Jakarta) hari ini. Judul acaranya IEEE Distinguished Lecture on Mobile Telecommunications and Enery Efficient Systems. Ini merupakan bagian dari Dies Natalis Universitas Trisakti. Undangan untuk acara ini diterbitkan oleh Jur Teknik Elektro, Fak Teknologi Industri. Acara dibuka oleh Ibu Ir. Docky Saraswati, MEng, dekan FTI; dan Bapak Ir Chairul G Irianto, MT, Kajur Tek Elektro pada pukul 9.00. Wuih, jadi rajin nulis gelar. Udah ah.

Seperti biasa, presentasi dalam IEEE Roadshow dimulai dengan mengenalkan kembali IEEE; oleh Mas Ary (Chairman of Indonesia Comsoc chapter). Dan berikutnya aku memaparkan tema Next Generation Mobile System, yang berisi ringkasan aspek2 dalam komunikasi mobile masa kini ke depan, baik network maupun servicenya. Di network ada quality of service (QoS), di service ada quality of context (QoC).

Hall di Gedung F-G Kampus A itu penuh sesak. Rupanya kuliah umum ini diwajibkan oleh pihak jurusan kepada Mahasiswa Elektro. Umumnya mahasiswa yang hadir dari Semester 6 ke atas: sudah cukup kritis, tetapi tetap bergaya sopan. Barangkali karena ada Kajur di antara mereka, haha. Puluhan pin IEEE yang aku bawa dari Bandung kelihatannya kurang cukup, jadi akhirnya dibagikan hanya ke penanya, panitia, dan peminat IEEE.

Acara berakhir pukul 12.00. Lalu ramah tamah di Kantor Jurusan Elektro, dan kunjungan ke Lab Telekomunikasi. Hmm, terasa sangat singkat, dan kami meluncur ke Bandung lagi. Sekitar Purwakarta, hujan deras sekali. Nyaris tak nampak apa pun di luar jendela. AWGN :p

Prague

Hah? Novel? Haha, semua orang — pun kala tidur pun tak sempat — perlu pelarian. Novel ini sendiri dibeli gara2 aku mendadak demam Ceska: dapat surat perpanjangan hosting koen.cz, baca Milan Kundera lagi, termasuk akhirnya mengintip filmnya, Unbearable Lightness of Being, dan membuat web pi.koen.cc dengan tagline mempelesetkan Kundera yang lain: The Blog of Laughter on Forgetting. Dalam suasana seperti itu, buku berjudul Prague terasa pas. Biarpun sekilas aku merasa … jangan2 pelesetan dari Plague (Albert Camus).

Novel ini ditulis oleh Arthur Phillips, dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai Praha, dengan nama Prague tetap ditulis di sampul buku. Setting cerita di Budapest (yang, btw, terdiri atas Buda dan Pest), beberapa bulan setelah jatuhnya komunisme. Hongaria mengajarkan rakyatnya menganggap diri perlu ditolong (mereka dijajah Jerman pada PD II, dihancurkan dan dimusuhi semua pasukan yang berperang, lalu dijajah komunis sejak itu). Sebagian besar tokoh cerita ini adalah para expat pencari peruntungan. Sebagai expat pencari peruntungan, tentu saja mereka punya pola pikir tipikal expat pencari peruntungan (haha). Dengan satu atau cara lain, mereka merasa hilang. Ah, post-eksistensialisme, post-Plague :). Yang menarik, dengan demikian, adalah bahwa cerita ini tidak perlu mengangkat tokoh protagonis dan antagonis. Sekedar hidup di tempat yang sedang menata definisi, termasuk tokoh2nya sendiri.

John Price, tokoh yang paling sering diceritakan, selalu merasa punya visi, mengejar entah apa itu, yang dia yakin … tidak di sini. Dia terus mengejar integritas dirinya, somehow, sambil kadang terjebak seperti yang akhir2 ini seringkali aku pikirkan, bahwa sebenarnya apa yang kita lakukan bukan sepenuhnya kehendak bebas. Sebetulnya gue banget, kecuali …

Ada game sincerity di bagian awal: para tokoh bertemu di sebuah meja, bergantian membuat pernyataan (yang tak dapat dibuktikan dengan mudah), lalu semua saling menilai mana di antara pernyataan yang disebut itu yang benar, dan mana yang bohong. Aku sisipkan juga cara berpikir game itu di sini :p.

Maka di tengah cerita, Charles muda (Karoly, anak imigran Hongaria yang lari ke Amrik saat Soviet menyerbu kembali negeri itu di 1956. “Tak benar bahwa kita salah mengerti tentang para komunis. Mereka benar2 pembunuh, dan jahat.”) berkongsi dengan Imre (pengusaha Hongaria yang telah melewati seluruh penderitaan negerinya). Modal Charles diperoleh dari kongsi dengan banyak partner, yang terkesan atas tulisan John tentang Charles (Dia tak selalu menulis yang sesuai dengan hatinya. Tapi inilah hidup: kita tidak tahu mana yang sesuai hatinya dan mana yang tidak). Masalahnya, Imre mengalami koma. Dan Charles menjual perusahaan mereka ke perusahaan asing dengan keuntungan luar biasa. Saat transaksi ditepuktangani, Imre bangun: lumpuh tetapi bisa berkomunikasi. Terjadi ledakan kemarahan dan penyesalan atau tuduhan jahat? Tentu tidak. Ini, sekali lagi, bukan sinetron Indonesia.

“Kayak apa sih rasanya?” tanya John. Untuk mana Charles mengejek, “Hare gene? Mikirin perasaan?” Sebenernya begitulah seringkali kita berpikir: sesekali mencoba berempati dan di kali lain mengabaikan perasaan. Hidup toh harus jalan terus: ini amanah, Bung. Konyol kalau misalnya menuding Charles penjahat. Dia bukan misalnya pengejar harta yang serakah, tetapi hanya orang yang mencoba secara jujur dan terampil mencari kesempatan bisnis. Tertembaknya Charles, dan terfitnahnya John, hanya merupakan cara untuk menutup novel agar tak jadi lembek. John pergi ke tempat yang sesuai visinya: Praha, memasang harapan yang sama, dan barangkali menemui letup2 hidup yang berbeda tapi sebenarnya sama lagi.

Waktu buku ditutup: ah, sebenarnya memang hidup tak jauh berbeda :p. Mudah2an tak terperangkap seperti tokoh Nadya yang menggelung diri dalam ingatan kolektif. Dan, oh ya, novel ini membosankan.

NGMS

Tadinya judulnya mau next generation mobile services. Tapi Mas Ary minta lebih dari service. Haha, service pun bisa beberapa jam, kalau aku dikasih waktu sebanyak itu. Tapi, OK, akhirnya jadi next generation mobile system. Biar masih NGMS. Masih bagian dari rangkaian IEEE roadshow dan knowledge sharing setelah Surabaya bulan lalu. Sayangnya belum sampai ke luar Jawa. Mungkin Mas Ary dan Mas Arief menunggu ada permintaan.

Dengan beralih dari service ke system, aku harus menambahkan soal network. Maka, NGMN, seperti yang pernah sempat diulas di blog ini juga. Tentu NGMN layers yang mengadopsi berbagai metode akses itu akan disinggung juga. Tapi di sisi ini, aku tergerak membahas kandidat-kandidat yang sedang dipertimbangkan oleh ITU untuk menjadi standard 4G.

Lebih jauh soal ini, aku tulis ringkasannya dwibahasa di Telkom.info dan blog Network. Intinya ITU menghendaki transmisi dengan OFDMA (versi multi-user dari OFDM). Tentu diharapkan semua informasi sudah dialirkan sebagai data paket berbasis IP, dari ujung ke ujung (seharusnya ini terlaksana untuk 3G, tetapi kelihatannya waktu itu belum mungkin). Tiga kandidat itu diajukan oleh Ericsson dan kelompok 3GPP serta kubu GSM-nya yang mengajukan LTE (long-term evolution); Qualcomm dan kelompok 3GPP2 serta kubu CDMA-2000-nya yang mengajukan UMB (ultramobile broadband); serta kelompok WiMAX yang mengajukan WiMAX II (IEEE 802.16m). 802.16m ini pengembangan dari 802.16e yang telah memiliki mobilitas terbatas.

Trus … kembali ke soal services :). Tapi sementara itu, malah ada undangan ikut demo dalam rangka menyemarakkan percepatan pembukaan Kode Akses SLJJ. Kayaknya menarik juga. Mudah2an aku nggak jadi baik Franz maupun Sabina, yang harus terjebak kitsch berwujud demo, pawai, acungan tangan, di bawah pemerintahan sarang kitsch di republik yang indah ini. Ah, nggak lah.

Akar Kuadrat dan 5f3759df

Saat source code untuk game Quake III dibuka, orang menemukan kode-kode C menarik dari John Carmack. Salah satunya adalah fungsi invers akar kuadrat, yang pada intinya ditulis sebagai berikut:

float InvSqrt(float x)
{
float xhalf = 0.5f*x;
int i = *(int*)&x;
i = 0x5f3759df- (i>>1);
x = *(float*)&i;
x = x*(1.5f-xhalf*x*x);
return x;
}

Menariknya, hack semacam ini menghasilkan kecepatan kalkulasi yang amat cepat, kira-kira empat kali lebih cepat daripada menggunakan (float)(1.0/sqrt(x)), walaupun sqrt dalam hal ini menggunakan instruksi assembly FSQRT.

Yang jelas, kode ini memanfaatkan metode Newton-Raphson. Tetapi pendekatan yang digunakan, dan terutama penggunaan heksadesimal 5f3759df tentu sangat menarik. Googlekan angka itu, dan temukan petualangan menarik mencari asal-usul baik bilangan ajaib itu, maupun hacknya sendiri. D Ebery misalnya, menganggap shift i>>1 mengakibatkan interpolasi linear pada si invers akar kuadrat. Tetapi, pertama kali, kita harus ingat bahwa si penulis kode sedang memainkan bit-bit floating point yang secara standar akan dikodekan sesuai IEEE 754-1985 (yang memisahkan mantissa dengan eksponen); dan si penulis juga meyakinkan diri bahwa kode ini jalan baik untuk little endian maupun big endian.

Sekarang, metode Newton-Raphson dulu, sambil dipandu C Lomont. Kita akan menghitung 1/akar(x). Definisikan dulu f(y)=1/y2 – x, sehingga nantinya nilai yang kita cari adalah akar positif dari f(x). Dengan metode Newton, jika kita punya pendekatan awal yn, maka kitadapat menghitung pendekatan berikutnya sebagai yn+1 = yn – f(yn)/f'(yn). Dengan f(y) di atas, akan diperoleh yn+1 = ½yn (3 – xyn2), atau dalam kode C di atas adalah x = x*(1.5f-xhalf*x*x), dengan x nilai pendekatan awal y0 kita. Baris i = 0x5f3759df-(i>>1) menghitung nilai awal y0 ini, dengan mengalikan eksponen x dengan -½. Kemudian bagian yang menarik pun dimulai. Karena, hey, yang dishift kan bukan hanya eksponen, tetapi keseluruhan bilangan.

Ada beberapa pendekatan untuk bagian ini. Aku baca baik versi C Lomont maupun C McEniry. Lomont membagi ulasan untuk eksponen genap dan ganjil segala. Tapi akhirnya yang mereka dapati adalah sebuah pola berulang, yang kemudian dicari minimasi kesalahannya, sehingga diperoleh sebuah nilai dengan kesalahan paling kecil. Dan kode di atas itulah hasilnya, dengan sebuah kiraan r 0.4327448899 dst. Lomont sendiri mendapati bahwa ia memperoleh bilangan yang memberikan akurasi lebih tinggi, yaitu 5f375a86. McEniry mengkritik bahwa brutal force yang sempat digunakan Lomont bisa justru tidak mendeteksi jurang sempit antar celah serangan brutal itu. Tapi, sebagaimana Lomont, ia juga memberikan saran perbaikan, baik untuk versi float maupun versi double.

float InvSqrt(float x)
{
union {float f; unsigned long ul; } y;
y.f = x;
y.ul = ( 0xBE6EB50C – y.ul ) >> 1;
y.f = 0.5f * y.f * (3.0f – x * y.f * y.f);
return y.f;
}

Untuk versi double, keyword float harus diganti double, unsigned long menjadi unsigned long long, dan si konstanta ajaib jadi 0xBFCDD6A18F6A6F54.

Hukum Conway

Cukup beruntung untuk mendapati Götterdämmerung dalam format DVD, minggu lalu. Dan cukup mengacaukan jadwal hidup. Pulang kerja kadang nyaris tengah malam, dan tak langsung pindah ke alam mimpi. Malah mencicil act demi act dari bagian keempat tetralogi Der Ring Des Nibelungen ini. Musik yang masih menggetarkan itu bagian awal dari prelude, sebelum para Norn mendongeng (“Ulurkan lagi tali itu, Saudariku“); dan bagian awal Act 2, saat Hagen dihantui Alberich, bapaknya (“Tidurkah kau, Anakku?“). Biarpun Götterdämmerung adalah bagian keempat, tetapi sebenarnya Wagner merancang opera ini terlebih dahulu, lalu merancang tiga lainnya sebagai latar belakang. Pun dari Götterdämmerung saja, kita akan mendengar sari tiga opera pendahulunya diceritakan ulang. Cerita konyol, haha. Tapi telanjur adiktif sama Wagner sih. Mau jadi apa, coba?

Wotan, sang mahadewa, menghadapi suatu masalah. Dari soal delegasi kewenangan biasa, masalahnya lari ke soal ancaman atas sumberdaya kritis: sebuah cincin yang membuat pemiliknya memiliki power, namun dimuati sebuah kutukan: “Siapa yang memiliki cincin itu akan hancur. Tapi siapa yang tak memilikinya akan menginginkannya.” Wotan tak mengingini cincin itu, tetapi berkepentingan bahwa cincin itu tak dapat digunakan siapa pun. Plot dari Wotan dan para rekan dari sidang dewa terbukti hanya memindahkan ancaman dari satu titik ke titik lainnya. Buntu. Bukan, bukan Edubuntu, karena ini tak mendidik.

Lalu tak sengaja terbaca Wotan sebuah cuplikan dari buku software engineering. “Any organisation that designs a system will produce a design whose structure is a copy of the organisation’s communication structure.” Hukum Conway, namanya.

Sekilas mirip generalisasi sinis. Tetapi setidaknya kita bisa membayangkan bahwa pikiran yang memiliki kendali menyusun suatu organisasi, juga — dengan cara berpikir yang sama — memiliki kendali menyusun bentuk produk yang dihasilkan organisasi itu. Atau bisa juga kita bayangkan bahwa produk adalah anak dari organisasi, dan dengan satu atau beberapa cara akan mewarisi sifat orangtuanya. Jadi takkan salah kalau orang menilai organisasi Microsoft dari Windows dan Office-nya yang megah, berat, komplit, tapi malah bikin hang selalu. Atau menilai Telkom dari logo2 Speedy, Flexi, Homeline, 007, Ventus, dll yang tidak tidak saling memiliki hubungan batin :). Atau membayangkan birokrasi perguruan tinggi dari lulusan yang dihasilkannya. Cara kerja Google segera tampak misalnya saat kita melihat produk luar diadaptasi masuk sebagai bagian dari produk Google.

Pikiran Wotan melantur. Blog juga barangkali, pikirnya. Blog, sebagai produk personal, menunjukkan komunikasi internal sang penulis: cara berpikirnya; pun tanpa serius mengamati argumen apa yang tertulis di dalamnya. Apakah seseorang bekerja dengan komitmen atau tergantung mood. Apakah dalam menghadapi masalah, sebuah blog cenderung menyusun terobosan solusi, mencari kompromi, atau sekedar menuding tanpa solusi yang jelas, atau lebih parah lagi sekedar meramaikan? Begitulah pula barangkali platform pikiran sang blogger bekerja :).

Lepas dari lanturannya, Wotan berpikir lagi: tapi sebenarnya bisakah kita menghindar? Misalnya, tanpa kewenangan mengubah organisasi Valhalla (yang berbiaya besar dan bisa menyulut perang dewa yang lain lagi), ia ingin merancang sistem yang lebih efektif. Berkelit bisa jadi solusi, sebenarnya. Serahkan desain program ke pihak luar, untuk diadaptasi kembali. Dan hasilnya bisa unpredictable (bisa dalam arti positif maupun negatif). Memang perlu spekulasi.

Tapi lalu itu yang dilakukan Wotan. Ia turun ke bumi, menjadi Walse, dan dengan kerjasama makhluk bumi menurunkan para Walsung: Siegmund dan Sieglinde, yang berikutnya melalui metode incest menurunkan Siegfried. Sebagai derivatif Wotan, Siegfried mewarisi kekuatan kedewaan. Tetapi ia memiliki sifat baru: ketiadaan rasa takut. Hmm, jadi ingat salah satu buku Asterix. Tapi ini cerita lain. Singkat cerita, Siegfried berhasil menguasai sumberdaya yang kritis itu, tapi tanpa kehendak untuk menggunakannya (Untuk apa? Orang yang bebas rasa takut tak memerlukan apa pun.). Ia menjadi solusi yang ideal. Tetapi tetap tak sempurnya: mudah terkena konspirasi. Dan akhirnya ia harus hancur juga.

Wotan mungkin akan cuman bilang: Oops. “Software is doomed to reflect structure of the organisation that produces it.” Ya, keburukan Valhalla memang tak tampak pada personality Siegfried. Tetapi kelemahan itu cuma berubah menjadi bentuk yang lain. Tak bisa tidak, struktur memang harus diubah, untuk menghasilkan produk yang lebih baik. Tanpa berkelit.

Al Ma’mun

Khalifah Al-Ma’mun melantunkan puisi di depan para undangan dan punggawanya. Tampak Abu Nawas sang penyair di antaranya. Selesai menikmati puisinya sendiri, khalifah berpura-pura sopan kepada Abu Nawas: “Bagaimana puisi sederhanaku, Hai Abu Nawas? Seorang penguasa pun bisa puitis, bukan?”

Dalam mood anti-kitsch, Abu Nawas menjawab, “Aroma balaghah (kefasihan) tak tercium dari Anda.”

Al-Ma’mun memendam kemarahan. Namun setelah acara selesai, ia menyuruh punggawanya menangkap Abu Nawas. Diam-diam diperintahkannya untuk membawa Abu Nawas ke kandang keledai, dan melemparkannya ke tumpukan kotoran hewan. Abu Nawas dilepaskan dalam keadaan babak belur dan menjijikkan.

Menguji kesetiaan rakyatnya, Abu Nawas kembali diundang dalam acara khalifah Al-Ma’mun yang berikutnya. Tanpa malu, khalifah kembali melantunkan puisi yang lebih heboh dan disyahdu-syahdukan itu. Dan kembali ia menanyakan pendapat Abu Nawas: “Adakah kini aroma balaghah sudah mulai tercium, wahai Abu Nawas?”

Abu Nawas tersenyum tipis, berdiri, lalu melangkah keluar.
“Mau ke manakah tamu tanpa kesopanan ini?” hentak Khalifah.
“Ke kandang keledai lagi,” jawab Abu Nawas, disusul dengan: “Tuanku!”

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑