Page 179 of 210

Menggugat Sejarah

Mungkin menarik untuk belajar sejarah dari sisi yang berbeda. Berbeda memang bukan berarti lebih benar dari versi mainstream, tapi setidaknya kita bisa menyusun perbandingan secara lebih bebas.

Contoh yang sangat klasik itu Ramayana, yang dari sisi lain merupakan gerakan nasionalisme bangsa Alenka (sekarang Shri Lanka) melepas diri dari pengaruh India. Perbedaan fisik antara bangsa Aria India, suku-suku Dravida India, dan bangsa Srilanka digambarkan di Ramayana dengan perbandingan manusia, monyet, dan raksasa. Keterlaluan juga orang India, masa sekutunya sendiri dilambangkan sebagai monyet.

Juga di PD II, selalu digembar-gemborkan kematian jutaan Yahudi, padahal etnik terbanyak yang mati adalah Russia, yang mencapai belasan juta (dan itu dijadikan alasan buat Stalin untuk membuat daerah buffer di luar Uni Soviet).

Tapi di luar itu, para fisikawan malah menyusun eksperimen untuk menentukan: apakah sejarah (history) itu ada? Ini tidak berkait langsung dengan pernyataan Bertrand Russel bahwa dunia baru diciptakan tiga menit yang lalu lengkap dengan manusia berjumlah sekian miliar dengan memori yang komplit di otak masing-masing. Ujikaji yang dirancang akan menentukan betulkah ada kontinuitas dalam interaksi. Kalau tidak ada kontinuitas, bahkan candaan Russel pun salah. Dunia yang sekarang tidak ada satu detik yang lalu ;). Setidaknya dalam artian yang bisa diandalkan.

Lalu pak tua Iosif Vissariodovich menggerutu: terlalu banyak yang dijelaskan tentang dunia — yang penting itu bagaimana cara mengubahnya.

3222145

Barangkali memang bangsa ini akan hancur. Ada peringatan tertulis bahwa suatu kaum yang tidak memegang amanah akan dihancurkan dan digantikan dengan kaum lain yang lebih baik. Austria yang ceria dicaplok Nazi. Libanon, surga Timur Tengah, jadi tempat paling hancur tahun 80-an dulu. Nggak ada jaminan bahwa ketenangan dan kedinamisan hidup hari ini menyangkal kehancuran besok pagi.

Tapi sebuah hadis qudsi menceritakan bangsa yang terselamatkan. Dikatakan bahwa kadang Allah telah memutuskan untuk menghancurkan suatu bangsa yang hingar bingar. Tapi di tengah-tengah bangsa itu ada orang-orang tua miskin yang terus beribadah sambil tertatih-tatih; dan terdapat anak-anak yatim yang berdoa memohon perlindungan. Dan Allah membatalkan penghancuran itu karena ibadah orang miskin dan doa anak-anak yatim itu. Allah lebih menyayangi kaum seperti itu daripada orang-orang seperti kita.

Selama di bangsa itu anak-anak yatim dan orang-orang miskin masih bisa bertahan untuk hidup layak, mempertahankan iman, dan terus berdoa buat bangsanya, maka bangsa itu belum akan dihancurkan. Menyelamatkan sebuah bangsa bisa dilakukan dengan proyek-proyek kecil untuk menghidupi orang miskin dan mendidik anak yatim, agar mereka imannya terselamatkan, dan bisa terus beribadah dan berdoa buat bangsa ini.

Mendelbrot barangkali akan bergumam: kalau tidak mungkin menyerang New York, kenapa kita tidak memelihara kupu-kupu yang indah saja, di Tokyo

3211423

Di luar soal psikologi amatiran itu, ada soal lain yang juga terpikirkan. Di kerajaan, jelas munculnya Philippe jadi harapan semua orang, soalnya orang masih percaya sama soal keturunan (termasuk Dumas sebagai si penulis cerita). Tapi apa soal keturunan itu valid? Banyak yang percaya bahwa genetika benar-benar membentuk kualitas manusia dan kepribadiannya.

Misalnya, IQ (yang banyak diperdebatkan ketidakvalidannya). Satu orang dites IQ dua kali korelasinya 87%. Korelasi IQ kembar setelur yang hidup serumah 86%. Kalau tidak serumah 76%. Kalau tidak setelur tapi serumah 55%. Dan kalau serumah tapi bukan saudara kandung 0%. Tampaknya menguntungkan pendapat bahwa soal genetika itu significant. Pakar genetika bahkan sudah menentukan posisi kromosom penentu kecerdasan di DNA: kromosom nomor 6. Valid?

Pakar lain menemukan bahwa kromosom nomor 6 juga berkorelasi dengan kesimbangan minor, yang menentukan simetri pada telinga, tangan, kaki. Orang yang IQ-nya tinggi umumnya panjang jari di kanan dan kiri sama, dan semacam itu. Lho, apa si kromosom 6 mengurusi soal panjang jari, tangan, kaki, telinga, dan kecerdasan?

Janin yang baru terbentuk sebenarnya memiliki simetri yang sempurna. Tapi tekanan-tekanan (fisik, infeksi, emosi, dll), baik dalam kandungan maupun dalam pertumbuhan balita, bisa mempengaruhi bentuk manusia. Jadi kalau manusia masih berbentuk simetri sempurna, itu bisa berarti kurangnya tekanan yang dialami, atau bisa berarti kuatnya ketahanan menghadapi tekanan. Kemampuan menghadapi tantangan ini juga yang kemudian berkembang jadi kemampuan mengembangkan IQ. Jadi yang bersifat genetik sebenarnya bukan IQ, tetapi kemampuan mengembangkan IQ pada situasi lingkungan tertentu. Si A jadi punya IQ tinggi kalau hidup di domain X, tidak kalau di domain Y. Sebaliknya si B punya IQ tinggi kalau berkembang di domain Y, daripada kalau dia hidup di domain X. Tapi, hey, itu baru IQ. Belum personality.

3211410

Ada yang terpikirkan dari ?The Man with the Iron Mask?. Waktu bayi kembar Louis dan Philippe dipisahkan, dan diperlakukan berbeda, mereka jadi punya sifat yang jauh berbeda. Jadi secara ilmiah serampangan (yang bakal membuat Watson dan behaviorist lain bahagia), karakteristik manusia dipengaruhi oleh cara lingkungan mendidik manusia. Maksudnya, biarpun Aramis yang milih bayi mana yang jadi raja Louis dan bayi mana yang masuk penjara sebagai Philippe, dia sebenernya nggak lagi menentukan sejarah. Siapa pun yang jadi Louis, tetap saja dia akan jadi raja yang memuakkan, dan siapapun yang jadi Philippe, dia akan jadi pribadi yang baik setelah sekian puluh tahun dikerangkeng. (Para penganut Freudian yang menyebalkan itu pasti kesal, kalau ngikutin mereka mestinya justru Louis yang perilakunya baik, soalnya masa kecilnya bahagia, haha).

Nggak adil kalau nulis Watson dan Freud tanpa menyebut Maslow dkk. Aku rasa kalau ngikutin Maslow, jalan cerita itu agak valid. Kepribadian Philippe sekeluarnya dari penjara bakal hancur, tapi itu bisa diperbaiki karena dua hal. Pertama, faktor internal Philippe sendiri (berbeda dengan Freud yang mengagungkan faktor internal, madzhab Maslow berpendapat bahwa faktor internal cenderung bersifat positif, sementara menurut Freud cenderung ke arah negatif dan liar). Kedua, dukungan dari lingkungan (di mana perbedaan Maslow dan Watson adalah bahwa menurut Watson satu-satunya faktor yang patut diakui adalah faktor eksternal). Di akhir cerita pun konon Louis yang diubah namanya jadi Philippe dibebaskan oleh Philippe yang udah ganti nama jadi Raja Louis, karena kejahatan itu tidak akan abadi. Selalu ada waktu untuk berubah, memperbaiki diri.

Di luar hujan rintik dengan angin kencang. Di dalam ruang, Beethoven menghentakkan Eroica. Jadi siapa pahlawannya? Tergantung menurut siapa. Barangkali memang nggak perlu ada pahlawannya. Malanglah dunia yang membutuhkan pahlawan.

Barometer

Ini cerita klasik, tapi kali-kali enak kalau disimpan di sini. Kali-kali kapan-kapan pingin baca lagi. Mengukur Ketinggian dengan menggunakan Barometer.


Konon, cerita ini berasal dari salah satu pertanyaan dalam ujian fisika di Universitas Copenhagen
“Jelaskan bagaimana menetapkan tinggi suatu bangunan pencakar langit dengan menggunakan sebuah barometer.”

Salah seorang mahasiswa menjawab “Ikatlah suatu tali panjang pada leher barometer, lalu turunkan barometer dari atap pencakar langit sampai menyentuh tanah. Panjang tali ditambah panjang barometer akan sama dengan tinggi pencakar langit.”

Jawaban yang luar biasa orisinilnya ini membuat pemeriksa ujiannya begitu geram sehingga akibatnya sang mahasiswa langsung tidak diluluskan. Si mahasiswa naik banding atas dasar bahwa jawabannya tidak bisa disangkal kebenarannya, sehingga universitas menunjuk seorang arbiter yang independen untuk memutuskan kasusnya.

Arbiter menyatakan bahwa jawabannya memang betul2 benar, hanya saja tidak memperlihatkan secuil pun pengetahuan mengenai ilmu fisika. Untuk mengatasi permasalahannya, disepakati bahwa sang mahasiswa akan dipanggil, serta akan diberikan waktu enam menit untuk memberikan jawaban verbal yang menunjukkan paling tidak sedikit latar belakang pengetahuannya mengenai prinsip2 dasar ilmu fisika.

Selama lima menit, si mahasiswa duduk tepekur, sampai dahinya terlihat berkerut. Arbiter mengingatkan bahwa waktu sudah sangat terbatas, yang mana sang mahasiswa menjawab bahwa ia sudah memiliki berbagai jawaban yang sangat relevan, tetapi tidak bisa memutuskan yang mana yang akan dipakai.
Saat diingatkan hakim untuk bergegas, sang mahasiswa menjawab sbb:

“Pertama-tama, ambillah barometer dan bawalah sampai ke atap pencakar langit. Lemparkan melewati pinggir atap, dan ukurlah waktu t yang dibutuhkan untuk mencapai tanah. Ketinggian bangunan bisa dihitung dari rumus H = ½gt² . Tetapi ya sayang barometernya.”

“Atau, bila matahari sedang bersinar, anda bisa mengukur tinggi barometer, tegakkan diatas tanah, dan ukurlah panjang bayangannya. Setelah itu, ukurlah panjang bayangan pencakar langit, sehingga hanya perlu perhitungan aritmatika proporsional secara sederhana untuk menetapkan ketinggian pencakar langitnya.”

“Tapi kalau anda betul2 ingin jawaban ilmiah, anda bisa mengikat seutas tali pendek pada barometer dan menggoyangkannya seolah pendulum, pertama di permukaan tanah kemudian saat diatas pencakar langit. Ketinggian pencakar langit bisa dihitung atas dasar perbedaan kekuatan gravitasi T = 2 π√(l/g).

Atau kalau pencakar langitnya memiliki tangga darurat yang eksternal, akan mudah sekali untuk menaiki tangga, lalu menggunakan panjangnya barometer sebagai satuan ukuran pada dinding bangunan, sehingga tinggi pencakar langit = penjumlahan seluruh satuan barometernya pada dinding pencakar langit.

Bila anda hanya ingin membosankan dan bersikap ortodoks, tentunya anda akan menggunakan barometer untuk mengukur tekanan udara pada atap pencakar langit dan di permukaan tanah, lalu mengkonversikan perbedaannya dari milibar ke satuan panjang untuk memperoleh ketinggian bangunan.

Tetapi karena kita senantiasa ditekankan agar menggunakan kebebasan berpikir dan menerapkan metoda-metoda ilmiah, tentunya cara paling tepat adalah mengetuk pintu pengelola gedung dan mengatakan: Bila anda menginginkan barometer baru yang cantik, saya akan memberikannya pada anda jika anda memberitahukan ketinggian pencakar langit ini.

3203349

Ke site Harry Sufehmi. Banyak bener yang bisa dipelajari dari sana. Browsing hari ini bener-bener membuat waktuku nggak terbuang sia-sia.
Thanks, bro :).

3191869


Your name of Kuncoro creates a quick, clever mind capable of grasping and assimilating new ideas. You are rather studious, mentally challenging each new idea before accepting it. Because you learn so quickly you have little patience with those whose mental processes are somewhat slower, and you could become supercilious or somewhat “know it all” in your attitude. This characteristic could make you rather unpopular with your associates. Although you are very knowledgeable and intelligent, you often find spontaneous verbal expression difficult. You crave friendship, understanding, love, and affection abut your reserved manner appears forbidding to others. You can give expression to your personal thoughts and feelings most fluently through the written word. You have a sensitive nature–sensitive to your environment and particularly sensitive to how your deeper and more serious interests are regarded by others. Your feelings are very easily hurt and to protect yourself you withdraw within the realms of your own private thoughts and shut out the rest of the world. Moods, which are your worst enemy, result. Your sensitivity and lack of verbal expression frustrate and limit the satisfaction in life to be gained from your responsible and capable nature. Health problems arise due to worry and a sensitivity in the respiratory area which could lead to problems with the heart, lungs, or bronchial organs.

Source: http://www.kabalarians.com/male/kuncoro.htm

3185223

Emosi lagi jelek bener. Lagi kangen berat sama orang-orang tersayang di tanah air, kayaknya. Cuman kok efeknya rada-rada destruktif gini yah :).

Enak kali kalau emosi bisa diatur, kayak Lt Commander Data di Star Trek. Tahun 1992 (waktu zaman bikin skripsi tuh), salah satu Star Trek TNG bertemakan si Data in love. Mesra sih di awal-awal cerita, tapi mesra khas Data gitu. Di akhir cerita, ceweknya merasa bahwa hubungan mereka nggak bisa diteruskan, soalnya bagaimana pun Data itu bukan manusia. Data dituduh cuman menyusun motivasi, menyusun emosi, bukan didorong oleh emosi. Jadi biarpun si Data-nya selalu penuh kasih sayang, tapi si ceweknya mikir bahwa itu karena memang si Data melakukan setting seperti itu. Sedih banget ceweknya waktu berusaha mutusin hubungan sama Data. Tapi Data menerima dengan tanang. Memang berat, katanya, tapi saya bisa mematikan setting emosi yang itu. Terus dia duduk diam ngedengerin musik. Aku kesel sekali. Maunya sih ngeliat reaksi dia yang lebih manusiawi. Enak aja, cuman matiin emosi, udah gitu ngedengerin musik pula. Maksud aku, kalau chip emosi kita mati, musik itu nggak akan lebih dari sekedar notasi matematika. Dan dia menikmatinya. Ironik bener.

OK, aku masih menikmati Konzert für Violine dari Beethoven. Yang ini aku nikmati bukan sebagai matematika.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑