Category: World

Kelemahan Strategi Global

Abad lalu, AS adalah puncak kekuatan industri. Dengan kapasitas industri dan inovasi terdepan, AS berproduksi dalam skala besar sambil menciptakan kelas menengah yang luas. Namun, sejak akhir abad ke-20, dominasi ini terkikis. Perusahaan Amerika seperti Apple dan Microsoft sukses secara global, tapi industri AS mulai melamah. Ini sebuah paradoks menarik: strateginya menang, tetapi negara kalah.

AS memimpin liberalisasi dan globalisasi, dengan memaksakan perdagangan bebas, deregulasi, dan offshoring sebagai strategi pertumbuhan ekonomi dan keunggulan kompetitif. Hal ini diperkuat masa Reagan-Thatcher dan dilembagakan dalam bentuk NAFTA dan dukungan atas keanggotaan RRC di WTO. Manufaktur padat karya dialihkan ke negara berbiaya rendah, sementara AS berfokus ke layanan bernilai tinggi dan inovatif, sambil menikmati manfaat efisiensi global.

Di level perusahaan, cara kerja ini efektif. Apple membangun salah satu ekosistem paling bernilai di dunia, dengan integrasi erat antara desain, software, layanan, dan hardware. Hampir semua hardware diproduksi dan dirakit di luar negeri, terutama RRC. Microsoft mendominasi perangkat lunak dan layanan enterprise, tetapi ekosistem globalnya—cloud, pengembangan sistem, dan rantai pasok—makin bergantung pada infrastruktur dan stabilitas politik internasional.

Makin jelas bahwa strategi berbasis ekosistem ini—meskipun brilian dalam skalabilitas, penguasaan pasar, dan profitabilitas—pada dasarnya rapuh. Strategi ini dibangun atas asumsi lingkungan global yang stabil, arus tenaga kerja lintas batas, modal, dan data yang tak terganggu, serta konsensus geopolitik yang kini mulai runtuh. Pandemi COVID-19, perang teknologi AS–China, dan meningkatnya kebijakan proteksionis di seluruh dunia menunjukkan rapuhnya mata rantai pasok dan ketergantungan atas platform tersebut.

Model kapitalisme AS juga dangkal dan berorientasi jangka pendek. Perusahaan didorong memaksimalkan laba triwulanan dan nilai return, dan jarang berfokus pada berinvestasi pengembangan kapabilitas secara domestik. Serikat pekerja melemah, dan infrastruktur politik dan sosial yang didukung kelas pekerja ikut runtuh. Pergeseran budaya menuju “knowledge economy” diikuti gagasan bahwa produksi fisik kurang berharga daripada platform digital, kekayaan intelektual, dan rekayasa keuangan.

Inti kelemahan terletak pada optimisasi efisiensi secara berlebihan dengan mengorbankan resiliansi. Dengan mengalihkan manufaktur penting ke luar negeri, AS kehilangan pekerjaan, juga pengetahuan industri, infrastruktur logistik, dan kemampuan merekonfigurasi produksi domestik secara cepat saat krisis melanda. Hal ini tampak pada krisis semikonduktor, APD, dan kebutuhan pokok lainnya selama pandemi awal dekade ini.

Ideologi dangkal ini juga diperluas ke Inggris, yang setia mengikuti strategi liberalisasi ekonomi AS. Di bawah kepemimpinan buruk Thatcher tahun 1980-an, Inggris melakukan swastanisasi industri besar, deregulasi sektor keuangan, pelemahan serikat buruh, dan self-positioning sebagai pusat global untuk layanan—terutama layanan keuangan. Seperti AS, Inggris membiarkan basis manufakturnya menyusut demi layanan bernilai tinggi yang terkonsentrasi di Tenggara, terutama London.

Tidak seperti AS, Inggris masih kurang di sisi skalabilitas, keragaman sumber daya, dan dominasi teknologi global. Inggris jadi mudah runtuh akibat ketimpangan regional yang mencolok, produktivitas yang menurun, dan kekurangan investasi kronis dalam infrastruktur dan pendidikan. Brexit, dalam banyak hal, merupakan ekspresi politik dari keterasingan ekonomi ini—pemberontakan terhadap globalisasi, sentralisasi, dan persepsi bahwa rakyat telah ditinggalkan oleh pengambil keputusan.

Di kedua negara, kita melihat kontradiksi inti: perusahaan menang secara global, namun ekonomi nasional menderita karena kerapuhan, ketimpangan, dan hilangnya kedaulatan di sektor-sektor strategis utama. Strategi berbasis ekosistem dari perusahaan seperti Apple dan Microsoft terus menghasilkan nilai yang besar, tetapi dikembangkan di atas geopolitik yang rapuh, tenaga kerja berbiaya rendah di luar negeri, dan jaringan logistik kompleks yang semakin rentan terhadap gangguan.

Ekosistem bisnis konon merupakan metafora dari ekosistem alam, yang berkembang melalui keragaman, redundansi, dan dukungan timbal balik. Tapi ekosistem bisnis yang dibangun oleh raksasa teknologi kadang justru kehilangan aspek semacam ini. Mereka cenderung bergerak ke sentralisasi, dominasi, dan efisiensi, membuatnya lebih menyerupai monokultur industri daripada ekosistem sejati. Ketika tekanan datang—dalam bentuk sanksi, pandemi, atau perang dagang—sistem-sistem ini tidak bergerak adaptif dan elastis, tapi justru patah.

Bukan berarti model ekosistem ini cacat secara mendasar. Model ini tetap menjadi salah satu kerangka kerja paling kuat untuk penciptaan nilai dalam ekonomi jaringan. Namun perlu ada (r)evolusi. Perusahaan harus membangun ekosistem yang efisien, namun sekaligus tetapi juga tangguh dan adaptif di level ekosistem (bukan di level perusahaan). Perlu dilakukan diversifikasi rantai pasok, investasi dalam kapabilitas lokal, dukungan atas kesehatan ekosistem, serta mitigasi atas risiko politik dan lingkungan.

Negara juga harus meninjau ulang cara kerjanya. Kembali ke proteksionisme bukanlah jawabannya, tetapi kembali ke liberalisme pasar juga salah. Sektor-sektor strategis harus dibangun kembali atau didukung secara domestik tidak hanya demi daya saing ekonomi, tetapi juga untuk ketahanan nasional. Kebijakan harus mendorong investasi jangka panjang, regenerasi regional, dan kebijakan industri yang selaras dengan inovasi.

Penerapan strategi berbasis ekosistem tidak boleh terlalu sempit dan dangkal. Perlu pandangan jauh ke depan, dan perlu perhatian besar terhadap kesehatan ekosistem ini sendiri. AS dan Inggris memberikan pelajaran bagi negara mana pun, bahwa ketahanan, kedaulatan ekonomi, dan kemakmuran inklusif akan sama pentingnya dengan efisiensi dan inovasi.

Perikemanusiaan dan Perikeadilan

Waktu aku masih jadi Chairman of the IEEE Indonesia Section, sempat ada usulan dari anggota Advisory Board (yang dalam konteks Indonesia berarti mantan ketua IEEE Indonesia Section) tentang Israel. Saat itu, IEEE Indonesia Section tengah sangat gencar melakukan eksplorasi untuk menjadi host atas IEEE international conferences, baik yang skala region (Region 10 Asia Pacific) maupun kemudian level dunia.

Hal yang sering jadi issue adalah soal imigrasi. Banyak peserta konferensi dari negara Asia mengalami kesulitan mengurus visa masuk Indonesia, seperti dari negara Iran dan Pakistan. Beberapa anggota komite sempat menyebut bahwa filtering untuk beberapa negara memang lebih ketat. Salah satu alasannya adalah kekhawatiran Indonesia dijadikan jembatan untuk mencari jalan untuk migrasi ke Australia. Namun warganegara Pakistan yang sudah di Australia pun masih lebih sulit masuk ke Indonesia. Kadang ketua konferensi, atau bahkan ketua IEEE Indonesia Section, harus menulis surat jaminan pribadi ke Kedutaan dan Kantor Imigrasi.

Soalan lain adalah warga dari entitas ilegal zionis yang menduduki Palestina (yang demi kesederhanaan teks akan kita sebut sebagai Israel tanpa tanda petik). Kebijakan yang bijak dari Pemerintah Indonesia untuk selalu menolak adanya hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel dianggap jadi penghambat. Kami Excom IEEE Indonesia Section diminta mencari cara untuk memungkinkan dipermudahnya pemegang paspor Israel untuk memasuki Indonesia.

Secara pragmatis, waktu itu aku sampaikan bahwa banyak pemegang paspor Israel sebenarnya memiliki kewarganegaraan ganda, merangkap jadi warga negara Eropa, AS, Kanada, bahkan Singapura. Andaipun mereka hanya punya paspor Israel saja, mereka sangat dipermudah membuat paspor di negara lain. Jadi tidak ada perlunya kita mendorong pemerintah Indonesia memperlunak sikap pada pemegang paspor Israel. Kita tetap menerima mereka dengan tangan dan hati terbuka.

Salah satu anggota senior di Advisory Board kemudian menyampaikan bahwa persoalannya bukan bisa lewat jalan samping, tetapi secara politis Indonesia dianggap tidak ramah pada Israel, dan posisi ini menyulitkan Indonesia mengajukan diri sebagai tuan rumah berbagai konferensi internasional.

Atas statement itu, aku saat itu memberikan jawaban bahwa jika persyaratan tertulis atau tak tertulis untuk jadi host adalah harus memberikan rekomendasi atau saran kepada pemerintah Indonesia untuk memperlunak sikap kepada Israel, aku memilih tidak akan mengajukan IEEE Indonesia Section sebagai host — setidaknya selama aku jadi ketua.

Aku rasa, sikap yang sudah diambil Bapak Bangsa kita, untuk melihat perspektif geopolitis global secara lebih cerdas dan mengedepankan perikemanusiaan dan perikeadilan, masih relevan hingga kini, masih jadi kebijakan Pemerintah Indonesia yang patut didukung, dan sudah menjadi bagian dari perspektif pribadi dalam negosiasi global.

Selamat Ramadan!

Chechnya (Нохчийчоь)

Masa SMA, aku pernah dipanggil Wakil Kepala Sekolah, gara-gara menggambar logo ideologi tabu di kertas buram. Itu masa perang dingin, dan anak-anak seusia aku suka cari informasi dari berbagai sumber terbatas. Belum ada Internet, tapi majalah asing cukup banyak. Aku buat peta perimbangan politik Eropa, sebagai titik perimbangan konflik masa itu, dengan logo bintang segiempat NATO di kiri dan serpimolot USSR di kanan. Pakai huruf cyrillic segala. Petugas sekolah mana tahu logo NATO. Yang tahu logo partai terlarang doank, haha. Tapi syukur pimpinan sekolah paham. Tapi situasi saat itu, di tengah revolusi dunia yang berakhir dengan pecahnya USSR dan bubarnya komunisme, membuat generasi kami mempelajari banyak hal tentang sejarah dan progres politik dunia, khususnya kawasan Eropa. Perpecahan USSR membawa banyak dampak lain, dan menguak banyak entitas politik baru. Salah satunya: Chechnya (Нохчийчоь).

Saat revolusi Bolshevik, negara-negara di bawah kekuasaan Kekaisaran Russia direformasi. Beberapa kawasan mendapatkan status SSR (Republik) yang merupakan entitas pembentuk USSR. Republik semacam ini banyak yang memproklamasikan kedaulatan saat USSR bubar, termasuk Ukraina, Kazakhstan, Uzbekistan, Armenia. Namun banyak republik hanya mendapatkan status ASSR (Republik Autonomi) di bawah republik lain, termasuk Karakalpakstan di bawah Uzbekistan; dan puluhan republik di bawah Russia, termasuk Chechnya, Tatarstan, Baskhortostan, dll. Banyak yang berusaha melepaskan diri dari Russia; namun Russia berkeras mempertahankan kedulatannya sebagai Federasi Russia yang kian lama kian berpusat pada kerussiaan (alih-alih kefederasian). Perang Chechnya 1 dan 2 menjadi perang yang cukup besar; terjadi di waktu yang sama dengan perubahan besar di Indonesia (tumbangnya kediktatoran Soeharto, lepasnya Timor Timur, meningkatnya otonomi daerah) — yang artinya menjadi perhatian besar juga saat bangsa Indonesia sedang sangat sadar politik.

Sejarah Russia panjang, melibatkan bangsa-bangsa Slavik, Turkik, Mongolik, bahkan Uralik. Nanti kita cicil di sini, haha. Bisa tampak artifaknya misalnya di web PANGERANKECIL.COM yang koleksinya meliputi banyak bahasa etnik di kawasan Russia dan sekitarnya. Tapi kawasan Kaukasus lebih unik dari itu. Banyak spekulasi bahwa budaya dan bahasa umat manusia berasal dari kawasan itu. Bahasa-bahasa Kartvelia, Pontik / Sirkasia, dan Nakh yang ada di kawasan itu, sulit dicari induk bahasanya. Bahasa Indo-Eropa yang kawasannya sangat luas pun, dispekulasikan berasal dari sekitar kawasan ini (Kaspia), yang meluas baik ke barat (hampir seluruh Eropa) maupun ke selatan (Iran dan India). Chechen adalah salah satu cabang dari Nakh — jadi bukan Slavik, Turkik, Mongolik, atau Uralik.

Bangsa Chechen tinggal di ketinggian lereng utara pegunungan Kaukasus (atau orang Russia bilang Ciscaucasia = Kaukasus sebelah sini). Berabad mencoba memperluas kawasan ke daerah yang lebih memudahkan pertanian dan peternakan di kawasan yang lebih rendah. Pertikaian panjang bangsa Slav (termasuk Kossak) dan Mongol kadang memberikan mereka ruang untuk ekspansi. Islam masuk kawasan Chechnya dari Dagestan (yang sudah jadi kawasan Islam sejak millennium pertama). Tapi kekaisaran Russia pun berekspansi, dan akhirnya menduduki Chechnya. Daerah ini dianggap daerah sulit oleh pemerintahan Russia, karena sifat masyarakatnya yang tidak hierarchical — tidak mengakui peran para bangsawan, sehingga tidak mudah diatur seperti kawasan lain. Pengusiran massal pada orang Chechen telah terjadi pada masa ini, sehingga hingga kini dapat ditemui kelompok diaspora Chechen yang cukup besar di Yordania.

Saat Revolusi Bolshevik, orang-orang Kossak banyak yang mendukung Tsar dan kemudian Rus Putih. Mereka membantu Rus Putih mengepung Rus Merah. Orang-orang Chechen banyak yang membantu Rus Merah (lihat film The Reds untuk memahami bahwa Revolusi Bolshevik dianggap sebagai revolusi Jihad di Kaukasus, untuk melawan Tsar dan orang Kossak). Rus Putih dan Kossak harus mengurangi kekuatan penyerangan ke Utara untuk melawan ekspansi Chechen, sehingga akhirnya justru dikalahkan Rus Merah.

Saat Perang Dunia II, paranoia Stalin membuatnya melakukan kekejaman dalam bentuk pemindahan massal berbagai etnik minor. Seluruh bangsa Chechen dipaksa pindah ke Kazakhstan hingga Kyrgyzstan dalam operasi Chechevitsa, dengan korban meninggal hingga 30% dari seluruh populasi pada saat pemindahan dan pada tahun-tahun pertama di wilayah baru. Tanah mereka dirampas orang-orang Russia. Baru di masa Khrushchev, orang-orang Chechen boleh kembali ke negeri mereka. Namun struktur sosial telanjur rusak. Tidak ada budaya tradisional yang melekat lagi di bangsa Chechen. Tanah mereka pun sudah banyak dikuasai pendatang Russia. Ini justru mempercepat modernisasi Chechnya. Warganya bekerja di sektor modern: pertanian, engineering, pemerintahan, dan terutama militer. Banyak warga Chechnya menjadi perwira dan prajurit Uni Soviet. Dua diantaranya tentu Jendral Dzhokhar Dudayev di Estonia, dan Kolonel Aslan Maskhadov di Lithuania — yang kemudian mendirikan Republik Chechnya saat Uni Soviet bubar.

Dzhokhar Dudayev

Merdekanya Republik Chechen memicu perang dengan Russia. Tentara Russia dapat membunuh Dudayev, namun tak dapat memperoleh kemenangan mutlak. Akhirnya Russia di bawah Boris Yeltsin memutuskan gencatan senjata dan kemerdekaan de fakto Republik Chechnya.

Sayangnya kemudian Chechnya tidak stabil. Islamis ekstrim makin kuat dan berekspansi ke kawasan lain, seperti Dagestan. Mufti Chechnya, Akhmad Kadyrov-pun merasa terancam oleh aliran Islam yang semacam ini. Russia yang kini di bawah Vladimir Putin memutuskan menumpas habis militer Chechnya. Chechnya kembali menjadi Republik Autonomi di bawah Federasi Russia. Untuk memastikan stabilitas, Akhmad Kadyrov dijadikan presiden Chechnya. Bagi Kadyrov, ini pilihan terbaik untuk menjaga Chechnya tidak lebih hancur, sekaligus menahan penguatan para Islamis ekstrim. Sebagai pembalasan, para gerilyawan membom Akhmad Kadyrov. Ia wafat dan digantikan putranya, Ramzan Kadyrov.

Masjid Kadyrov yang dibangun pasca perang

Ramzan berada di situasi yang genting. Untuk mengamankan keseimbangan, ia memilih kesetiaan dan perlindungan penuh bersama Vladimir Putin. Ia dapat membentuk pasukan Chechnya yang relatif berdaulat, terpisah dari pasukan lain di Federasi Russia. Dan tentu ini jadi pasukan yang setia pada Putin melalui Kadyrov. Dalam model Russia versi Putin, tentu banyak soal-soal HAM yang juga dituduhkan pada Kadyrov.

Jadi, ini menjelaskan, mengapa Putin mengerahkan pasukan Kadyrov dari Chechnya ini dalam upaya menduduki dan mengalahkan Ukraina saat ini.

Ganti Logo

Udah lama nggak melakukan hal2 yang bersentuhan sama kampus, hari ini aku sedikit dikagetkan oleh datangnya Focus-news. Ini adalah jurnal untuk alumni dan associate Coventry University. Yang bikin kaget bukan jurnalnya, tapi logo universitas tampak tercetak terbalik. Di depan dan di belakang. Penasaran, aku ke website kampus: coventry.ac.uk, dan memang ternyata ada rebranding (duh istilahnya). Logo baru jadi kayak gini:

Rada canggung sih :). Sama canggungnya waktu aku jalan2 ke Sarinah dan lihat souvenir perak Garuda dengan wajah menghadap kiri (barangkali kalau menghadap ke depan malah keren). Tapi, dengan adaptasi beberapa menit, udah ok lagi. Dan malah asyik berkelana ke web kampus. Tentu sambil cari2 cerita: kenapa logo harus diganti.

Pasti aku pernah cerita di weblog ini, kenapa Coventry memilih logo burung Phoenix. Burung dari mitologi Arab ini menginspirasi kaum yang hancur, haha :). Burung phoenix, sekian waktu sekali, akan terbakar, menjadi abu, dan dari abunya akan tercipta phoenix baru yang segar dan perkasa. Kehancuran tak pernah jadi akhir cerita, melainkan menjadi titik tolak penting dan kritis untuk menjadi kita yang baru, yang jauh lebih baik.

OK, blogging bersambung. Surfing berlanjut.

Lannion

Yaa gitulah Ann, aku sempat seminggu ke Lannion, belajar teknologi SDH yang waktu itu masih relatif baru, di Alcatel. A nice li’l town, I must admit, biarpun pasti subyektif. Selamat jadi orang Lannion deh. Salam buat Jérôme dan pasukan :).

Lannion, bagian dari Bretagne, waktu itu (mudah2an juga sekarang) masih menjaga budaya Celtic mereka. Sebelum ekspansi bangsa Eropa yang sekarang, bagian barat Eropa memang masih diduduki bangsa Celtic. Tapi kemudian mereka punah, tersisa hanya di kepulauan Britain. Waktu bangsa Eropa masuk ke Britain dan jadi bangsa Inggris yang sekarang, mereka terdesak, tersisa di Wales (Cymru), ujung2 Scotland, Isle of Man, dan tentu Irlandia (Eire). Sebagian lari lagi ke bagian barat Perancis, dan jadi orang2 Bretagne sekarang. Papan2 nama masih bersifat bilingual. Dari arah pantai, tampak papan nama “Lannion/Lannuon” dan sebaliknya “Perros Guirec/Peroz Gireg”, kalau ingatanku nggak salah.

Sekitar akhir Oktober kayak gini lah waktu aku di Lannion. Titik2 air mengambang di udara, lebih kecil dari gerimis tapi lebih besar dari kabut. Dan kalau aku ke pantai pagi2, aku bisa jadi satu2nya orang di pantai selat itu. Nggak tau kayak apa siang2 di sana — kan aku harus training. Sore dipakai jalan2, soalnya kita dipinjami mobil, dan aku kayak biasa jadi navigator. Banyak perbukitan, dan jalan2 berliku. Suatu sore aku ngajak temen2 ke Cosmopolis. Kayaknya pernah aku ceritain di suatu tempat di web ini. Sampai sih, dengan perjuangan berliku sebagai seorang asing :). Tapi udah tutup. Jadi jalan2 di sekitarnya aja.

Ternyata di salah satu tanah kosong di situ, mereka membuat semacam reservasi hunian penduduk Celtic kuno, yang mereka namakan kampung Asterix. Nggak ada boneka Asterix atau lucu2an semacam itu. Tapi ada kampung yang mirip di buku Asterix. Pagar kayu yang agak tinggi. Rumah2 beratap kayu dan daun2an. Cuman aku nggak nemu ramuan ajaib aja. Kalau ketemu juga belum tentu aku berani minum. Mendingan kalau jadi kuat. Kalau badanku berubah jadi naga, gimana coba?

Di Lannion waktu itu nggak ada masjid atau semacamnya. Jadi, di hari Jumat kita harus ke Guingamp untuk cari masjid kecil. Melintas sekitar dua kabupaten.

Aku suka lupa kalau aku lagi nulis di weblog, bukan di email. Udah dulu ah.

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑