Category: Music (Page 3 of 5)

The Tristan Chord

When Wagner started to be a composer, there were three different models of contemporary opera. Wagner had tried to adopt those types with Die Feen (German, rich-orchestrated style), Das Liebesverbot (Italian, lyrical style), and Rienzi (French style, with its luxuries). He then decided that Italian and French models had been decadent: they had passed their peaks in developments; therefore Wagner went back to explore more in German style, manifested in Die Fliegende Holländer, Tannhäuser, and Lohengrin.

Being ideologically attached with Bakunin the anarchist, Wagner got involved with Dresden putsch. Bakunin got caught and jailed, and Wagner fled to Switzerland. He faced the prospect of seemingly endless exile, with debt, hopeless marriage, and bad health. On this condition, he started composing Der Ring. Also he started reading Schopenhauer.

His reading gave him the idea for a wholly new way of opera composing. In a letter to Liszt, he referred the philosopher as a man who has come like a gift from heaven. He then composed Tristan und Isolde, called it the simplest but most full-blooded music conception. He stopped Siegfried on Act 3, and devoted himself to Tristan. But after several months, it was only music as yet.

Schopenhauer maintained that we are, in the most literal sense, embodiment of the metaphysical will, so that willing, wanting, longing, craving, yearning, are not just things we do: they are what we are. Music is also a manifestation of the metaphysical will. It directly corresponds to what we are in our innermost thing.

For years, Tristan remained ‘only music.’ But even now, its chord remains the most famous single chord in the history of music. It contains not one but two dissonances, thus creating a double desire, agonizing in its intensity, for resolution. The chord then moves, resolving one but not the other, thus providing resolution-yet-not resolution. In every chord-shift, something is resolved but not everything. When a satisfaction is created, so is a new frustration. Until the end. The silence. In Wagner’s words: “Here I sank myself into the depths of the soul’s inner workings. Here life and deaths and the very existence and significance of the external world appear only as manifestations of the inner workings of the soul.”

On another fine day, Wagner performed a nice symphony for his wife’s birthday. Siegfried Idyll. It was performed at home, with a very small number of guests attending. One of them was young Nietzsche, starting his long and historical friendship with Wagner. Indeed, Wagner was the greatest influence on the young man, who would in turn became one of the greatest figures in the entire history of western philosophy. But it is another story.

Lagi: Lohengrin Act 1

Robert Horwitz, maintainer site http://www.open-spectrum- international.org, berkirim mail. Mail pertama membahas liberalisasi frekuensi 2.4GHz di Indonesia. Mail kedua menyebut hal yang lebih menarik: Lohengrin. Pembukaan Lohengrin, kata dia, adalah 8 menit terindah dalam musik yang pernah diciptakan. Yang barangkali dia nggak tahu adalah: aku baca mail itu (di Xphone) masih sambil ngedengerin Pembukaan Lohengrin (Act 1). Dan itu bukan kebetulan. Beberapa hari itu, aku memang selalu masang Lohengrin, kadang berderet dengan Tannhauser. Kadang dengan salah satu opera dari Der Ring. Tapi selalu ada Lohengrin tiap hari.

Lohengrin ada di kaset Wagner-ku yang pertama. Sisi B kaset itu berisi Lohengrin, Parsifal, dan Siegfried Idyll. Tapi nggak tau kenapa aku sempat lupa sama nama Lohengrin. Kaset itu aku bawa ke Coventry, tanpa cover. Dan di bulan Februari 2001 aku nulis salah satu kejeniusan Wagner yang bisa memahami sekaligus mewarnai semesta. Aku salah waktu itu, nulis judulnya Parsifal. Padahal justru Pembukaan Act 1 Lohengrin yang waktu itu terasa seperti magic, musik ajaib yang entah diturunkan dari mana ke semesta ini. Aku baru sadar beberapa bulan kemudian, waktu beli CD Lohengrin. Dan waktu sempat nonton Birmingham City Orchestra memainkan Act 1 Lohengrin (Pembukaan dan Elsa’s Dream) di Warwick. Betul-betul musik yang ajaib, biarpun waktu itu yang aku nunggu adalah Tristan und Isolde.

Aku bukan Robert Horvitz yang sudah mendengarkan semua musik yang ads di muka bumi dan bisa menentukan mana yang paling indah. Tapi aku bisa memahami orang yang bisa memiliki pendapat kayak Horvitz. Ini barangkali memang 8 menit terindah dalam sejarah musik.

Zarathustra

Also Sprach Zarathustra by … bukan Nietzsche, haha :). By Richard Strauss. Lagi nggak sempat baca buku tebel-tebel. Tapi kapan sih kita nggak sempat ngedengerin musik? Zarathustra, secara ide memang diilhami Nietzsche, tapi secara musik diakui diilhami Wagner. Kalau di aku sih, sejarahnya kebalik: aku justru kenal musik Wagner gara-gara penasaran sama jenis musik yang bisa mengilhami komposisi seindah Zarathustra ini.

Coba misalnya kita dengerin Zarathustra bukan dalam kerangka buku Nietzsche, tapi sebagai karya impresionistik yang mendahului Debussy (nah lo). Skip Einleitung yang hingar bingar. Kita masuk ke bagian menjelang matahari terbit. Cahaya mulai mengisi langit, dan kegelapan di bumi mulai bergeser. Pemandangan yang samar. Awan. Kabut. Dan hanya garis-garis di bumi. Tapi lalu matahari beranjak. Satu garis sangat pendek, garis memanjang, garis cahaya yang panjang. Dan garis langit yang panjaaaaang. Dan kabut yang makin menipis. Pohon dan danau yang mulai menampakkan diri. Dan gerak-gerak fauna yang mulai tampak. Tapi matahari terus naik. Kabut menghilang. Embun jadi hiasan kayak permata yang menyemarakkan bumi.

Di bagian-bagian berikutnya fauna berlarian di antara bunga-bunga berwarna. Trus …

Trus kita baca judul setiap bagian yang ditulis Strauss. Setiap bagian diambil dari bab-bab bukunya Nietzsche. Trus kita bisa ketawa sendiri, menertawakan fantasi kita yang ternyata beda dengan yang dipikirin Strauss. Trus untuk membela diri, kita meminjam ujar Derrida. Setiap karya yang ditulis hanya memiliki makna yang tertunda — makna akhir adalah makna yang dihasilkan oleh pembaca, pendengar. Ada tundaan antara yang dimaksud penulis dan makna akhirnya, dan ada selisih interpretasi yang tak mungkin dihindarkan. Dan yang pasti, makna sebuah teks bukan makna seperti yang dibuat penulisnya, tapi makna yang diterima pembaca.

Jadi aku terus menikmati Also Sprach Zarathustra dengan melupakan ide-ide Nietzsche, tapi dengan ide-ide fauna yang berkejaran riang, dan mengingatkan kita untuk mengisi hidup kita sesuai keindahan hari ini yang kita rasakan. Apa artinya übermensch untuk dunia fana ini? Kefanaan di atas kefanaan yang lain lagi?

Ah … mendung.

Tentang Beberapa Musik

Rap, musik yang sempat dimusuhi BJ Habibie. Padahal rap kadang kerasa enak. Malahan Rap yang di plug in pada “Another One Bites The Dust” punya Queen sempat bikin aku kecanduan juga.

Kali musik itu soal kebiasaan ya. Orang bisa digeser seleranya dengan melakukan embedding jenis musik lain pada musik yang dia suka. Perpaduan yang bagus, manis, dan menyeret paksa, haha :). Soalnya, kalau rap nggak ditanam di Queen, gimana caranya rap bisa bikin aku kecanduan?

Kayaknya aku sempat stuck di Wagner gara-gara itu. Dari Bach, aku yakin. Terus tergeser ke Beethoven. Terus ke Wagner dan (Richard) Strauss. Akhirnya stuck di Wagner. Abis, dari Wagner mau ke mana? Yang mungkin sih ke Kitaro, haha. Coba aja dengerin Kitaro abis Wagner, kan kerasa ada link-nya.

Kalau abis itu sempat ada Debussy dan Stravinsky, itu adalah kesengajaan, bukan akibat mood. Waktu akhirnya Debussy memenuhi ruang-ruang, aliran mood membawa lagi ke Wagner. Duh, itu orang memang egois bukan kepalang. Semua musik bermuara ke dia, tapi dia nggak ngasih ide buat cari musik jenis lain.

Queen sendiri dari mana sih? Dari kebiasaan aja. Terus ada suasana real art di sana, yang bikin musiknya nggak kalah-kalah amat dengan Debussy misalnya.

Eh, jadi inget Rhoma Irama zaman dulu. Maunya berdakwah dengan dangdut. Akhir ceritanya kayaknya bukan pedangdut jadi santri. Malah para santri yang tadinya soleh jadi doyan dangdut dan suka goyang goyang. Idih, amit-amit.

Jeux de Vagues

Aku sering juga nulis “ruangan diwarnai musik”. Memang rasanya musik mengubah warna ruangan, sekaligus bikin waktu jadi lentur :) ;). Tapi barangkali frase semacam itu lebih pas lagi kalau musiknya dari Debussy. Dia pernah bilang, kurang lebih, “Musik, pada hakekatnya, bukan hal yang bisa dipindahkan ke dalam bentuk yang tetap dan tradisional. Musik terbuat dari warna dan irama.” Dan karena itu musik Debussy kemudian dinamai musik impresionistik. Jangan-jangan aku pernah cerita soal ini. Juga tentang musik gamelan yang pernah dia suka.

“Ingat nggak musik Jawa itu,” tulis dia ke temannya, “yang sanggup mengekspresikan setiap bayangan arti, yang membuat musik tonik dan dominan Eropa jadi mirip musik hantu.”

Sekarang ruangan diwarnai Jeux de vagues, btw.

Par les Rues et par les Chemins

Claude Debussy lagi yang mewarnai ruangan, dan kali ini Par les rues et par les chemins. Dari judul-judulnya pun udah kelihatan bahwa Debussy menjauh dari tema-tema besar model Wagnerian, dan memilih hal-hal yang berbau impermanence (jadi ingat Calvin&Hobbes, tapi ini lain kali aja). Misalnya apa yah. Kabut. Parfum di malam hari. Sirine. Dan tentu deretan dari La Mer: ombak yang berbincang dengan angin. Musiknya nggak jauh berbeda dari judulnya, mengalir sesuai ide, dan membawa nuansa-nuansa ketidaktegasan, keberlaluan. Aku kadang heran bahwa musik kayak gini bisa dinotasikan — aku pikir tadinya improvisasi spontan aja :). Musik yang centil dan lembut, terputus mendadak digantikan yang lain. Dalam arti terputus, dan tergantikan, nyaris tidak ada hubungannya dengan yang sebelumnya. Orkestra jadi kayak orang main solo bergantian. String main seolah di kejauhan.

Ande-Ande Lumut

At last, the “Ketoprak Ande-Ande Lumut” opera was performed, di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Kosambi, Bandung. Kegiatan disebut dimulai sekitar jam 18:00, haha. Tapi pukul 18:00, penonton baru satu per satu berdatangan, dan panggung disiapkan. Baru sekitar pukul 21:00, opera dimulai, tetap secara informal.

Berbeda dengan latihan-latihan sebelumnya, aku malah gagak ikut menonton apa pun itu yang ada di atas panggung. Instrument bonang penerus yang aku pegang punya posisi yang unik, menghadap penonton, jadi aku nggak bisa lihat ke panggung, kecuali waktu bonang dalam posisi mute.

Tentu, beda dengan opera versi Eropa, opera versi Jawa ini lebih bersifat informal. Timing bisa diatur. Dialog bisa terus diimprovisasi. Musik latar bisa dimodifikasi kapan saja, bahkan waktu pertunjukan sedang berlangsung. “Sekarang srepegan sanga terus. Nggak jadi pakai pelog,” para pengiring
berbagi info di tengah adegan peperangan di panggung.

Dan begitu selesai, tanpa aba-aba penutup, semuanya dibubarkan. Tirai ditutup, penonton pulang, pemain gamelan lepas baju luar di situ juga, salam-salaman, pulang. Di luar udara dingin membekukan.

Bonang

Di basement 2 di Gedung Japati, aku baru sadar bahwa opera Wagner semacam Der Ring (termasuk Die Walküre) yang serba tepat itu pasti menuntut kerja ekstra keras dari para pemainnya, khususnya para pengiring musiknya (Hey, what did I think!). Wagner si Mr Promethean yang suka hal-hal besar itu, pasti menyiksa para pemain untuk memainkan instrumen yang lengkap dengan keteraturan ekstra tinggi.

Kesadaran yang datang rada terlambat, datang di basement ini waktu aku kesusahan mukulin bonang penerus buat pengiring opera (a.k.a. ketoprak) Ande-Ande Lumut. Adegan kijang yang riang, adegan harimau yang mendebarkan, pertarungan antara pemburu dengan harimau, adegan kehilangan, dan diikuti warta berita. Pemain berlompatan dari slendro ke pelog, dengan kecepatan dan kekuatan yang terus bervariasi.

Kenapa aku nggak memilih jadi penonton aja?

Debussy Day

Mendadak pingin dengerin Prélude à l’après-midi d’un faune, simfoni Debussy yang pertama aku denger zaman aku lagi impresionistik dulu (ups), dan kebawa ke mana-mana bareng serial Der Ring dari Wagner dan Petrushka dari Stravinsky. Tapi buat menjalani hidup yang dinamik dan bersemangat tinggi di tengah absurditas, Debussy jadi kerasa kurang pas — terlalu indah, dan mulai jarang ikut menemani paper-paper dan program-program.

Debussy day hari ini. Bukan buat menegaskan keindahan yang di HQ ini hampir nggak pernah ada; tapi buat mempertegas pikiran yang lagi impresionistik.

Le Sacre du Printemps

Kalau personality lagi nggak standard, dan Wagner bisa terasa membosankan, berarti waktu untuk Stravinsky. Tapi, abis beberapa kali membahas Stravinsky, dan sempat menyebut bahwa Stravinsky itu salah satu dari top-five composer, aku baru sadar bahwa di koleksi aku itu hanya ada dua CD Stravinsky. Huh, trus selama ini aku ngebahas Stravinsky sambil ngedengerin apa? Dua CD itu bergantian?

Kenapa nama Mozart yang menempati lima slot CD malah nggak pernah (?) ditulis. Atau kalau ngebahas yang rada langka, kenapa bukan ngebahas Shostakovich, Bruckner, Bartok, Balakirev, Mussorgsky, dll yang masing-masing menempati satu slot CD.

Ceritanya harus diawali dari Wagner lagi (yang di rak sini menempati 16 slot). Waktu Wagner menancapkan racun yang terlalu kuat, Debussy jadi penawar. Tapi Debussy sendiri kurang kuat menghadapi Wagner. Jadilah Stravinsky mengawal Debussy, membentuk trio yang dipasang bergantian … dulu :).

Stravinsky sendiri … barangkali nggak pernah pas dipasang di depan khalayak yang nggak terlalu sinting. Stravinsky sendiri bilang, musik yang disusunnya hanya bisa dinikmati anak-anak dan hewan-hewan. Aku belum bisa memutuskan masuk kelompok yang mana.

Le Sacre du Printemps masih mengisi ruang.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑