Pulang dari sebuah sesi blogging di Landmark (akan diceritakan lebih lanjut –red), ada sesi dinner berdua Ikhlasul Amal di Gloria Jeans, Braga Citiwalk. Yang dibahas tentu bukan cuma soal blogging. Ada banyak dunia di luar blogging :). Tetapi, keluar dari Citiwalk, kami berdua menghadapi ribuan siswa seBandung Raya yang berpawai membawa obor. Braga Lautan Obor? Tentu tidak. Ini adalah cara siswa siswi Bandung menunjukkan bahwa Bandung tak pernah kehilangan semangat asalinya: BANDUNG LAUTAN API.
Keacuhan Pemerintah Republik Indonesia memberikan pengakuan atas jasa2 Moh Toha dan rekan-rekan sedikit banyak dirasa menyakitkan warga Bandung. Berbeda dengan perang di Surabaya yang didokumentasikan secara berimbang baik oleh pihak Inggris dan pihak Indonesia, di Bandung pemerintah lebih suka membaca sejarah versi pihak Belanda yang biarpun jelas2 sering bias namun nyaris selalu diasumsikan sebagai catatan yang valid. Barangkali kelemahan orang2 Bandung juga yang malas menulis sejarah dengan rapi. Sejarawan militer Belanda menulis bahwa gudang senjata Dayeuhkolot meledak oleh rokok seorang sipir yang tak disiplin (yang tentu barang buktinya ikut meledak, tetapi catatan semacam ini tetap dianggap valid), sementara klaim pejuang Bandung bahwa Moh Toha berhasil menyusup dan meledakkan gudang senjata itu tak pernah diakui.
Moh Toha bukanlah tokoh fiktif. Ia punya orang tua dan saudara. Ia punya rekan2 seperjuangan, termasuk yang turut menyusup tetapi akhirnya gagal (mereka mundur setelah terjadi kontak senjata yang menewaskan Moh Ramdhan). Ia punya kisah cinta yang kandas juga, di usia 19 tahun itu. Toha memang tidak punya foto. Yang ada di kuncoro.co.uk itu ternyata bukan foto Moh Toha, tetapi pejuang lainnya. Tetapi seperti juga semangat Bandung yang sering diabaikan dan dilupakan bahkan oleh warga Bandung sendiri, Toha ada, dan masih selalu ada. Ia menunjukkan bahwa pengorbanan dan keberanian itu ada — dan hal2 lain, termasuk kecurangan sejarawan dan cinta sebelah tangan :) itu bukan hal2 yang terlalu penting.