Category: Life (Page 6 of 29)

Bandung Masih Lautan Api

Pulang dari sebuah sesi blogging di Landmark (akan diceritakan lebih lanjut –red), ada sesi dinner berdua Ikhlasul Amal di Gloria Jeans, Braga Citiwalk. braga-lautan-obor.jpgYang dibahas tentu bukan cuma soal blogging. Ada banyak dunia di luar blogging :). Tetapi, keluar dari Citiwalk, kami berdua menghadapi ribuan siswa seBandung Raya yang berpawai membawa obor. Braga Lautan Obor? Tentu tidak. Ini adalah cara siswa siswi Bandung menunjukkan bahwa Bandung tak pernah kehilangan semangat asalinya: BANDUNG LAUTAN API.

Keacuhan Pemerintah Republik Indonesia memberikan pengakuan atas jasa2 Moh Toha dan rekan-rekan sedikit banyak dirasa menyakitkan warga Bandung. Berbeda dengan perang di Surabaya yang didokumentasikan secara berimbang baik oleh pihak Inggris dan pihak Indonesia, di Bandung pemerintah lebih suka membaca sejarah versi pihak Belanda yang biarpun jelas2 sering bias namun nyaris selalu diasumsikan sebagai catatan yang valid. Barangkali kelemahan orang2 Bandung juga yang malas menulis sejarah dengan rapi. Sejarawan militer Belanda menulis bahwa gudang senjata Dayeuhkolot meledak oleh rokok seorang sipir yang tak disiplin (yang tentu barang buktinya ikut meledak, tetapi catatan semacam ini tetap dianggap valid), sementara klaim pejuang Bandung bahwa Moh Toha berhasil menyusup dan meledakkan gudang senjata itu tak pernah diakui.

Moh Toha bukanlah tokoh fiktif. Ia punya orang tua dan saudara. Ia punya rekan2 seperjuangan, termasuk yang turut menyusup tetapi akhirnya gagal (mereka mundur setelah terjadi kontak senjata yang menewaskan Moh Ramdhan). Ia punya kisah cinta yang kandas juga, di usia 19 tahun itu. Toha memang tidak punya foto. Yang ada di kuncoro.co.uk itu ternyata bukan foto Moh Toha, tetapi pejuang lainnya. Tetapi seperti juga semangat Bandung yang sering diabaikan dan dilupakan bahkan oleh warga Bandung sendiri, Toha ada, dan masih selalu ada. Ia menunjukkan bahwa pengorbanan dan keberanian itu ada — dan hal2 lain, termasuk kecurangan sejarawan dan cinta sebelah tangan :) itu bukan hal2 yang terlalu penting.

A Smile For God

Meow :). Oh ya, aku kan bershio kucing. Kayak yang pernah aku singgung, makhluk pemalas nan bandel ini tidak dianugerahi nama tahun oleh Buddha, karena waktu para hewan dipanggil, sang kucing tak hendak turut datang. Sebagaimana semua hewan, ia tentu pecinta Tuhan. Tapi ia tak merasa lebih damai saat harus menghadap Tuhan, atau siapa pun yang merasa mewakili-Nya. Mendingan bobo, gitu kata si kucing ndut.

Tapi bukan berarti ia tak mengenali Tuhannya. Pun Richard Dawkins, nabi kaum atheist masa kini, pernah bersabda, “Orang-orang yang tiada berTuhan sebelum Darwin adalah orang yang tak pandai menyimak.” Dan sebagai orang yang menikmati segala karya Dawkins (kecuali kenyinyirannya kepada umat beragama), aku hanya bisa berkata, “Orang-orang yang masih mengenali Tuhannya setelah mendalami Dawkins, Hawking, Game Theory, Superstring, dll adalah orang yang memiliki daya simak sungguh luar biasa.”

Kedengerannya megaloman. Tapi begitulah kucing. Dan biarlah orang beragama memaki kaum ilmuwan yang membuang semua peran tuhan sebagai motivator dunia. Biarlah para ilmuwan memakin kaum agamawan yang tidak mau membuka wawasan lebih dari kitab masing2. Kaum kucing bisa tetap tiduran di atas atap, mendengkur, tak terganggu.

Tuhan tidak perlu masuk sains, kata si kucing. Ia penggerak, pencitra nurani akal batin itu sendiri. Tapi, Tuhan tidak perlu masuk analisis. Tuhan tak perlu memanggil kita menghadap, face-to-face, memberi tunjuk tentang apa yang harus kita perbuat. Saat akal diciptakan dalam kerumitan kimiawi makhluk hidup, Tuhan sudah menyisipkan diri sebagai ide yang tak terpisahkan di dalamnya. Evolusi yang akhirnya memasukkan akal ke dalam raga, secara tak sengaja (karena para ilmuwan tak mengakui peran Tuhan dalam evolusi) sekaligus memperkenalkan konsep jiwa dan Tuhan kepada manusia. Maka manusia mengenali-Nya. Kaum yang tak percaya Tuhan pun akhirnya terpaksa menciptakan tuhan masing2 di dalam pikirannya. Mereka tak bisa lari. Mereka terbaptis sebelum lahir, membaca syahadat (kesaksian) saat jiwa terciptakan, apa pun arti jiwa itu bagimu. Bahkan para ilmuwan juga terpaksa mengakui: bayi tak terdidik agama pun mengenal konsep jiwa.

Oh ya, tentu rada jahat kalau kita menyamaratakan semua ilmuwan. Sebenarnya, yang mengaku atheist itu cuma beberapa ilmuwan kelas atas. Ilmuwan yang merangkap jadi politisi, begitulah. Di AS, 96% orang percaya Tuhan. Bukan sebagai konsep saja. Mereka betul2 berdoa dan percaya ada hidup sesudah mati. Kalau kita bilang AS memang dogmatis, kita coba tengok Eropa. Di negara yang konon paling ogah agama, misalnya Islandia, di mana gereja hanya dikunjungi 2% penduduk, 80% dari total orang dewasa masih berdoa dan percaya adanya hidup sesudah mati. Saat para ilmuwan disurvei, mayoritas mengaku percaya Tuhan. Waktu para ilmuwan itu ditanyai tidak tentang Tuhan dalam arti “totalitas yang mengatur” atau “yang maha indah dan tak terpahami,” tetapi betul2 ditanyai tentang Tuhan yang mewahyukan kitab suci, di mana kita dapat berdoa memohon, dan dapat betul-betul menerima petunjuk dari-Nya, masih 40% yang mengaku beriman. Hanya pada saat melihat ilmuwan kelas elit, baru wabah atheisme ditemukan.

Trus apa penjelasan mereka? Evolusi membentuk gene dan meme yang demi kelangsungan hidup dan strukturnya memang membentuk keyakinan pada yang adikodrati dan mengikat dalam bentuk relasi sosial yang beraturan (so called agama). Yah, apa lah yang dikau2 bilang :). Kaum kucing hanya bisa senyum. Bukan menertawai, tetapi menyampaikan salam kepada Tuhan, yang tidak harus tampak teranalisis, tidak harus turun ke sini, tidak harus memanggil.

:)

Medy Satria

Dalam foto di atas, Mas Medy itu yang nomor dua dari kanan. Waktu itu doi masih warga Loughborough, aku (paling kanan dan paling nyengir) masih warga Coventry; dan kami lagi tersesat di Manchester. Yang dua lagi: Mas Tatang (kiri) dan Mas Aris (sebelahnya). Tapi tentu kami nggak ngaku lagi tersesat. Ngakunya sih lagi nunggu jemputan buat ke ISSM — suatu konferensi ilmiah something something — di Universitas Misterius (UMist). Aku nggak inget apa pernah ketemu lagi sama Mas Medy abis itu. Paling baca weblognya di Friendster. Duh, ini kandidat PhD yang cerdas nian — tapi bloggingnya di Friendster.

Udah selesai belum ya PhD-nya?

Tapi berita hari ini bukan soal PhD. Beritanya: Mas Medy mohon doa restu. Menikah, katanya :). Resepsi tanggal 23 Desember 2006 di Kelurahan Korong Gadang, Kecamatan Kuranji Padang, Sumatera Barat. Duh, aku bahkan belum dengar makhluk ini pulang.

Selamat ya, Sahabatku. Insya Allah, Kasih-Nya akan membimbing kalian berdua menjadi pasangan yang mampu saling mengisi dengan kasih sayang dan bersama memperjuangkan dunia yang lebih baik. Dan kalau nggak sempat lagi baca2 buku setelah menikah (entah karena apa), rumah kecilku di Bandung masih mau ditambahi beban menyimpan buku2mu. Heh-heh-heh :).

Metapuzzle

Teka-teki Usia Sultan ternyata sempat bikin keki. Yang menjebak dalam teka-teki itu bukan bahwa kita sedang mencari nilai x dimana x=x1+x2+x3 dan x1*x2*x3=y tidak memiliki solusi tunggal. Tetapi bahwa … sebentar. Gara2 solusi tidak tunggal, aku jadi mendadak pingin nulis soal Ramanujan.

metapuzzle.jpgSrinivasa Aayengar Ramanujan (bukan tokoh fiktif) adalah matematikawan cemerlang dari negeri India. Ia dibawa ke Cambridge oleh G.H. Hardy untuk meneruskan pendidikan di sana. Ramanujan tetap bergaya pertapa Brahmin: memperbanyak merenung, mengasyiki hobi, mengurangi makan dan tidur – di negeri dengan cuaca yang tak ramah. Maka ia jatuh sakit, dan harus dirawat.

Suatu hari Hardy mengunjunginya. Hardy pun tak kalah eksentriknya: ia menganggap topik yang menarik hanyalah matematika. Maka ia pun tak mudah menemukan topic pembicaraan dengan orang sakit. Alih-alih, ia mulai bicara lagi tentang angka. “Aku naik taksi tadi. Nomor mobilnya 1729. Bukan angka asyik ya”

Sebaliknya, Ramanujan justru tertarik. “Sama sekali tidak, Hardy. 1729 adalah angka terkecil yang bisa merupakan jumlah dari dua bilangan kubik dari dua kombinasi bilangan kubik yang berbeda!” OK, buat kita yang bukan matematikawan, 1729 adalah 1000 + 729 sekaligus 1728 + 1.

Jadi misalkan Abdul Azis membawa tiga kotak ke Sultan Mas’ud, dan berkata bahwa usia tiap kotak kurang dari 2000 tahun, serta usia dua kotak itu, jika masing-masing dipangkattigakan lalu dijumlahkan, sama dengan usia kotak ketiga, dan Sultan Mas’ud mengaku tidak bisa memecahkan, kita bisa menduga bahwa usia kotak ketiga adalah 1729 tahun.

Teka-teki semacam Usia Sultan sering disebut sebagai metapuzzle. Yang menjebak dalam teka-teki itu, seperti yang ditulis di atas, bukan bahwa nilai x dimana x=x1+x2+x3 dan x1*x2*x3=y tidak memiliki solusi tunggal. Yang menjebak adalah bahwa teka-teki itu hanya bisa dipecahkan kalau kita melihat fakta “Sultan yang hobby matematika itu tidak bisa memecahkan” sebagai clue, bukan hanya sebagai bunga cerita. Aku berikan contoh lain, dari negeri Rajsinghe.

Penduduk negeri Rajsinghe memeluk satu dari dua agama. Dewa Posithe dipuja sebagian rakyat, yang karena aturan agamanya — yang menjunjung kejujuran — hanya boleh mengatakan hal yang benar semata. Dewa Negathe dipuja rakyat lainnya, yang karena aturan agamanya — yang menafikkan kata-kata – hanya boleh menggunakan kata-kata untuk hal yang salah semata. Tapi penganut kedua agama itu toleran dan saling bersahabat, serta memiliki kebiasaan serupa: bicara setengah berbisik.

Suatu hari, Inspektur Vijay, seorang penganut Posithe, diperintahkan untuk menyidik sepasang sahabat, yakni Meneketehe dan Meregehese. Agama kedua orang ini tak diketahui. Maka datanglah Vijay ke tempat dua sahabat itu.

Setelah bertemu, Inspektur Vijay memulai interogasi.
“Meregehese, apakah dari kalian ada yang menyembah Posithe?”
Meregehese membisikkan satu kata. Tak tertangkap mesih perekam kita. Tapi Vijay jelas mendengarnya. Memilin kumis tebalnya sebentar, lalu ia bertanya lagi:
“Meneketehe, apa benar yang dikatakan Meregehese?”
Meneketehe membisikkan satu kata juga. Juga tak tertangkap mesin perekam kita. Vijay memilin kumis lagi sebentar, ia lalu berkata: “Sekarang aku tahu.”

Pertanyaan: Apa agama si Meneketehe dan Meregehese?

Setelah mencoba menjawab, klik pada Komentar untuk membaca jawabannya.

Cimahi

GajahmadaC4.jpg

Ada Jalan Gajahmada di Cimahi. Dulu. Mudah2an sekarang belum diubah namanya. Ada lapangan luas di sana. Dulu. Sekarang sebuah masjid anggun bertahta di atasnya. Ada bocah bandel yang suka berlarian di atas lapangan. Menangkap ulat dan cacing. Menunggui kakaknya pulang sekolah. Atau bahkan berkeliling naik becak tanpa izin ortu. Dulu. Sekarang ia sedang mencari dirinya di atas genangan kenangan.

Cimahi.

Aku sedang mencari lagi diriku. Dimulai dari sebuah kenangan yang menguat jadi kekangenan. Dan ziarah. Makam itu sudah bercungkup. Nama yang begitu aku kagumi terukir di atasnya. Kusentuh halus nama itu, dan kubiarkan tangan berdebu itu kemudian mengusap kepalaku. Dan hatiku.

Maafkan aku. Ternyata masih cengeng. Berhasil menahan tangis. Tapi sambil tersendat juga doa. Doa melaju antara hentak hati, dan kerinduan yang masih juga dalam. Besok Ramadhan. Dua Ramadhan yang lalu …

Besok Ramadhan. Aku harus melangkah lagi. Adakah langkahku menuju ridlaNya? Atau sekali lagi hanya bermain dalam teka teki indahNya? Apa pun. Yang aku tahu: aku harus melangkah. Dan esok ada langkah baru.

Saroyan Lagi

Dan kuda putih lagi. Yang ditunggangi pagi itu oleh sepasang kakak beradik di negeri Armenia itu. Tercekat si adik melihat seorang tetangganya memergoki mereka bersama kuda putih itu. Tapi si kakak menenangkan.

Tapi tentu, si tetangga lebih tercekat lagi. Dihampirinya kuda itu. Benar-benar mirip kudanya yang hilang bulan sebelumnya. “Kalau aku tak mengenal kalian, tentu aku berani bersumpah bahwa ini kudaku yang hilang bulan lalu. Duhai, betapa miripnya.” Ia membuka mulut si kuda, dan mengamati giginya. “Bahkan gigi-giginya pun serupa benar. Aku hampir berani bersumpah.

Tapi aku mengenal keluarga kalian. Aku lebih mempercayai hatiku daripada mataku. Barangkali saja kuda itu memiliki saudara kembar juga. Selamat jalan, sahabat-sahabat mudaku.” Lalu ia berlalu. Kuda yang dicuri itu akhirnya kembali di suatu pagi yang lain. Lebih sehat dan lebih jinak.

Cerita yang aku baca dari zaman SMA ini (zaman ketika seorang guru mengatakan bahwa pandangan mataku selalu tajam) terlalu lama membekas. Tentu aku tak bisa mengharapkan punya sahabat yang lebih mempercayai hatinya daripada matanya. Sahabatku manusia, bukan malaikat :). Tapi setidaknya, untuk sahabat-sahabatku, aku masih akan lebih mempercayai hatiku daripada mataku. Setajam apa pun mataku kata pak guru itu. Ke mana ya beliau?

Bote

“Setia hingga akhir dalam keyakinan,” itu ada tertulis di kitab di tangannya. 24 tahun hanya ia hidup, sebelum ia biarkan kekejaman mencerabut hidupnya. Ia Bote, dan dunia mengenang nama panjangnya: Robert Wolter Monginsidi.

Lahir di Manado, dan mulai bekerja sebagai guru di Luwuk Banggai, serta tumbuh rasa kebangsaannya. Menyaksikan kembalinya pasukan Belanda ke tanah airnya, ia membentuk induk organisasi kelaskaran yang disebut LAPRIS (Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi) pada Juli 1946, dan terpilih sebagai sekjen.

Keberanian, kecerdasan, dan pembawaan diri Bote membuatnya makin disegani dan dipercaya memimpin aksi-aksi pertempuran melawan tentara Belanda di dalam dan di luar kota. Taktik dan strateginya mencengangkan dan meresahkan pihak Belanda. Bote sempat tertangkap, tapi mampu melarikan diri dari penjara melalui cerobong asap dapur. Maka Belanda menjalankan taktik khasnya: penyuapan dan pecah belah. Iming2 uang ditawarkan bagi rakyat yang bersedia mengkhianati Bote. Dengan cara itu, Bote akhirnya tertangkap, dimasukan ke tahanan di Kiskampement Makassar dengan tangan dan kaki dirantai dan dikaitkan di dinding tembok, dan kemudian dijatuhi hukuman mati.

Di dalam sel, Bote membuat catatan-catatan:

  1. Jangan takut melihat masa yang akan datang. Saya telah turut membersihkan jalan bagi kalian meskipun belum semua tenagaku kukeluarkan.
  2. Jangan berhenti mengumpulkan pengetahuan agar kepercayaan pada diri sendiri tetap ada, dan juga jangan tinggalkan kepercayaan teguh pada Tuhan.Kasih Tuhan mengatasi segala-galanya.
  3. Bahwa sedari kecil harus tahu berterima kasih tahu berdiri sendiri. Belajarlah melipat kepahitan! Belajar mulai dari 6 tahun, dan jadilah contoh mulai kecil sedia berkorban untuk orang lain.
  4. Apa yang saya bisa tinggalkan hanyalah rohku saja yaitu roh “setia hingga terakhir pada tanah air” dan tidak mundur sekalipun menemui rintangan apapun menuju cita-cita kebangsaan yang ketat.
  5. Memang betul, bahwa ditembak bagi saya berarti kemenangan batin dan hukuman apapun tidak membelenggu jiwa.
  6. Perjuanganku terlalu kurang, tapi sekarang Tuhan memanggilku, rohku saja yang akan tetap menyertai pemuda-pemudi. Semua air mata, dan darah yang telah dicurahkan akan menjadi salah satu fondasi yang kokoh untuk tanah air kita yang dicintai: Indonesia.
  7. Saya telah relakan diriku sebagai korban dengan penuh keikhlasan memenuhi kewajiban buat masyarakat kini dan yang akan dating. Saya penuh percaya bahwa berkorban untuk tanah air mendekati pengenalan kepada Tuhan yang Maha Esa.
  8. Jika jatuh sembilan kali, bangunlah sepuluh kali. Jika tidak bisa bangun berusahalah untuk duduk dan berserah kepada Tuhan.

Di luar sel, dunia sedang berubah. Secara sepihak, Belanda mengkhianati perjanjian Renville dan menduduki Yogyakarta. Tapi dukungan dari dunia memaksa Belanda kembali ke meja perundingan, yang kemudian dipimpin oleh Dr Roem dan Van Roijen. Belanda dipaksa mengakui kedaulatan Indonesia, yang dijadwalkan akan dilakukan pada akhir tahun 1949.

Namun di Makassar, perundingan yang sudah mencapai final itu tidak menyurutkan niat pembesar Belanda untuk membunuh Bote. Pada 5 September 1949, Bote dihadapkan pada regu tembak. Ia menolak ditutup matanya. “Dengan hati dan mata terbuka, aku ingin melihat peluru penjajah menembus dadaku. ” Lalu ia memekikkan “Merdeka!” dan delapan butir peluru dimuntahkan ke tubuhnya: dada kiri, dada kanan, ketiak, pelipis, pusar.

24 tahun ia waktu itu. Namun semangatnya tak pernah dapat dimatikan.

Agustus

Di Bayreuth, Jerman, festival tahunan Wagner sudah dimulai. Tentunya Wagnerian berbahasa Indonesia itu makhluk langka; jadi aku nggak akan mulai membahas di weblog berbahasa Indonesia ini bagaimana cara memperoleh tiket, yang bisa memakan waktu tujuh tahun itu :). Alih2, aku mau iseng menulis tentang para pecinta musik Wagner.

Alf Wight tentu, a.k.a. James Herriot, yang memperkenalkan Wagner ke aku. Dan George Bernard Shaw, yang memperkenalkan Wagner ke Wight. Dan Stephen Hawking. Dan Nietzsche, tapi yang ini terlalu kuno. Dan tentu Edward Said. Pecinta musik Wagner, btw, tak selalu mencintai pribadi Wagner. Khususnya kelakuan Wagner yang anti yahudi, dan terang2an. Tapi itu cuman salah pengertian. Semasa hidupnya, Wagner cuma mengira bahwa Yahudi itu kaum rentenir dan bergaya exclusive. Dia waktu itu belum tahu bahwa orang-orang Yahudi itu, begitu berkuasa atas sebuah entitas polisi dunia, tega melakukan genocide juga.

Temen2 yang masih muda itu ribut soal serbuan atas Libanon. Tapi aku belajar nonton TV waktu PM Israel masih Menachem Begin dan Ariel Sharon masih Menhan dan nama-nama Shabra, Shatilla, Burj-al-Barajneh terdengar setiap hari. Dan kekejaman rezim Israel itu udah sama niscayanya dengan terbitnya matahari pagi. Tapi orang Islam, seperti biasa, cuman bisa menikmati jadi umat terjepit. Pimpinan Arab memarahi milisi Hizbullah yang lebih dulu memprovokasi Israel. Pusing mereka. Mau netral, tapi Israel jelas kejam. Mau bantuin secara militer, tapi mereka udah kehilangan kepercayaan pada kekuatan kaum Syiah (suka jadi musuh dalam selimut).

Dan ketidakjelasan kemauan orang-orang Islam itu masih sama niscayanya dengan terjadinya gempa di Indonesia. I mean, orang Indonesia tidak punya hak berdoa agar tidak terjadi gempa. Indonesia sendiri dibentuk oleh tekukan di batas lempeng. Kalau mereka tidak saling bersitekuk, kepulauan bernama Indonesia ini tidak pernah terbentuk. Dan begitu kepulauannya jadi, mendukung kehidupan, nenek moyang kita masuk, trus minta: ya udah, berhenti donk. Bumi bergerak mengikuti sebuah hukum yang ditetapkan Allah juga, bukan mengikuti kemauan kita. Dan ancaman buat kita bukan saja di lempeng benua yang masih asyik bergerak, tetapi juga di dalamnya lagi, di mana logam2 panas dan cair itu masih lincah bergerak.

Logam cair itu yang membuat bumi punya kemagnetan, yang turut mendukung kehidupan di atasnya. Tapi cairnya logam itu membuat kemagnetan juga bergeser — bisa lambat tapi juga bisa cepat. Dan kalau dia bergeser rada cepat, kehidupan kita semua juga terancam.

OK, kalau ada waktu luang, aku akan mulai menulis. Dan di Bayrouth, Libanon, rudal2 Israel masih membunuhi anak2 manis itu tanpa ampun.

Demikian, bulan Agustus.

Kunang Kunang

Dan malam sudah larut lagi waktu aku sampai di rumah putih kehijauan ini. Tapi … “Dik Annet mau liat kunang-kunang.” Haha, dasar Anak Jakarta, belum pernah liat kunang-kunang, selain dari lagu, dan dari cerita bahwa makhluk ini bisa bercahaya indah.

Jadi kita keluar lagi, dalam kegelapan. Tiap lapangan rumput di Griya Caraka kita datangi. Tapi kerlip cahaya yang dicari tak kunjung tampak. Annet udah mulai kecewa. Aku rada iseng, kadang2 ngejarin kucing yang melintas. Mata kucing juga bercahaya loh :). Tapi itu kucing-kucing, bukan kunang-kunang.

“Tapi kunang-kunang itu apa?” Annet mulai berceloteh. Dih, Yani bagian kedua — apa-apa ditanyain. “Itu serangga,” aku jawab singkat, sambil mata meradari tiap ujung kegelapan. Mendadak terselinap kerlip kecil. Aku berhenti. Menerawang. Ya, ada kerlip di tempat lain. Aku tunggu. Satu, dua, tiga, empat. “Kunang-kunang!” — dan kami mendekat. Menikmati kerlipan-kerlipan bersahutan. Tidak redup lagi, tapi terang, tapi benderang, tapi menyala.

Annet berjongkok mengamati. “Tapi, Om West, kunang-kunang itu sebenernya apa?” tanyanya lagi. Aku ambil seekor. Nyala itu sekarang di atas jariku. Annet takjub. “Kunang-kunang itu serangga,” aku jawab lagi. Kunang-kunang jatuh ke jari Annet. Annet ikutan berbinar. “Kok serangga bisa menyala?”

Aku nggak sepintar zaman berkeliling sama Yani dulu. Sekarang aku cuman bisa membayangkan bahwa yang dilakukan makhluk seimut itu adalah membagi f=E/h, dengan h tetapan Planck, dan E adalah energi yang diserap dari makanan, kemudian dia memancarkan cahaya dengan frekuensi f. Duh! Lalu berapa efisiensinya, yang bikin serangga imut itu bisa bercahaya sangat terang tanpa terasa panas? Dia menggunakan hukum termodinamika juga, sedemikian hingga efisiensi cahaya lebih dari 90%. Jadi hewan ini jelas jagoan fisika. Tapi energi E-nya dari mana? Dari proses bioluminescence, yaitu saatenzim luciferase yang yang khas dimiliki hewan ini bereaksi dengan ATP dan oksigen menghasilkan foton. Jadi serangga ini jagoan biologi dan kimia juga.

Kesimpulannya …

Tristan & Iseult

Doyan Tristan & Isolde? Eh, emang kemaren pertanyaannya “doyan” yach? Hmm. Yang jelas aku ambil DVD itu dari BEC dengan dua alasan. Satu Celtic. Dua Wagnerian. Sambil berharap, mudah2an memang bagus.

Ceritanya sendiri nggak mirip dengan opera Wagner. Bukan berarti nggak asli. Tristan & Isolde (atau Iseult atau Yseult atau Isotta) sendiri merupakan cerita kuno, semacam cerita rakyat, yang tentu berbeda dengan dokumen sejarah yang tercatat. Orang boleh menulis menurut versi apa pun yang mereka dengar, dan boleh memodifikasinya sedikit banyak untuk memuati dengan pesan moral.

Berbeda dengan versi Wagner, versi DVD ini tidak banyak membahas racun, kecuali racun yang melumpuhkan Tristan, membuatnya dianggap sahid dan dimakamkan ke lautan, untuk justru akhirnya ditolong oleh Isolde. Seperti juga versi Wagner, Tristan dalam DVD juga tega menyerahkan soulmatenya ini ke raja Cornwall, demi tujuan yang lebih besar: mempersatukan negara2 Britania agar kuat menghadapi penindasan tak berperikemanusiaan. Dan seperti versi Wagner, Tristan juga tak dapat lepas hatinya dari Isolde. Akhir ceritanya?

Tentu, Tristan harus mati juga. Dan harus dengan gagah juga. Dan harus ditemani Isolde juga. Tapi ceritanya membuat kita nggak merasa membuang waktu, soalnya bener2 cerita yang menginspirasi dan membuat kita tidak merasa mengulang membaca buku Tristan & Iseult kita, atau mendengar opera Wagner Tristan & Isolde kita. Dan tentu kita jadi ingat bagaimana sebuah negara (Inggris) bisa kuat. Bukan saja dengan konsensus dan komitmen untuk membahagiakan rakyat, tetapi kadang juga dengan memotong leher dan mengangkat kepala terpenggal di muka umum.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑