Category: Life (Page 22 of 29)

Petani Jagung

Dari Mas Firson di Kibar:

Seorang wartawan mewawancari seorang petani untuk mengetahui rahasia di balik buah jagungnya yang selama bertahun-tahun selalu berhasil memenangkan kontes perlombaan hasil pertanian. Petani itu mengaku ia sama sekali tidak mempunyai rahasia khusus karena ia selalu membagi-bagikan bibit jagung terbaiknya pada tetangga-tetangga di sekitar perkebunannya.

“Mengapa anda membagi-bagikan bibit jagung terbaik itu pada tetangga-tetangga anda? Bukankah mereka mengikuti kontes ini juga setiap tahunnya?” tanya sang wartawan.

“Tak tahukah anda?,” jawab petani itu. “Bahwa angin menerbangkan serbuk sari dari bunga-bunga yang masak dan menebarkannya dari satu ladang ke ladang yang lain. Bila tanaman jagung tetangga saya buruk, maka serbuk sari yang ditebarkan ke ladang saya juga buruk. Ini tentu menurunkan kualitas jagung saya. Bila saya ingin mendapatkan hasil jagung yang baik, saya harus menolong tetangga saya mendapatkan jagung yang baik pula.”

Hiatus

Khatib muda itu bermuka simpatik. Tidak sibuk menyalahkan orang lain, dia mengajak kita untuk mengamati diri sendiri, untuk melihat sejauh mana kita mempengaruhi orang-orang dekat kita. Apakah kita ikut berperan untuk membuat mereka lebih baik, atau malah lebih buruk. Kita memiliki tanggung jawab atas pengaruh kita pada orang lain, begitu dia sampaikan Jumat ini.

Kayaknya sebelumnya ada yang juga mempertanyakan: apa aku membawa pengaruh positif ke orang-orang dekat aku, atau cuman bikin berisik tetangga dengan Wagner. Wow, ekstropeksi yang menarik juga.

Kalau mau jujur sih, aku juga nggak tahu jawabannya. Misalnya catatan ini. Banyak yang berbasa-basi bilang bahwa catatan ini jadi inspirasi buat mereka. Tapi di luar soal basa-basi, apa sebenarnya catatan ini membuat orang lebih arif, lebih bisa bersyukur atas kasih sayang Allah, lebih mendekatkan diri pada Allah, lebih bekerja keras memicu pikiran daripada memakai acuan buta, lebih mencoba memahami kompleksitas pikiran dan perasaan orang lain? Kayaknya nggak sama sekali. Catatan ini jadi dekaden, lebih banyak berceloteh tanpa ujung pangkal tentang selera yang ganjil, humor yang kering, dan pikiran setengah jalan.

Barangkali sementara ini aku hentikan dulu catatan ini. Ada waktunya kita mulai, ada waktunya kita berhenti sebentar untuk menatap balik langkah kita, dan ada waktunya kita mulai lagi.

Hanya dengan kasih sayang Allah kita melangkahkan hidup kita, hanya kepada Allah kita menghadapkan hati kita.

Ronggowarsito

Celtic. Nordic. Kapan mau cerita tentang budaya Jawa? Tapi soalnya, apa yang mau diceritain. Dulu aku jadi minoritas orang non Jawa di Malang, haha. Dan waktu di Bandung aku jadi minoritas orang Jawa. Pertama kali menyentuh budaya Jawa waktu diajarin bahasa Jawa di kelas, lengkap sama hanacaraka-nya. Terus belajar karawitan (dengan sepenuh hati) di SMA. Nggak lebih. Barangkali budaya Jawa udah mati di situ.

Budaya seharusnya adalah hal yang dikembangkan secara progresif di masyarakat. Jadi budaya Jawa nggak ada hubungannya sama nulis hanacaraka di Internet, tapi lebih pada memasyarakatkan Internet berbahasa Inggris ke orang Jawa yang speak Indonesianpun enggan setengah mati. Juga bukan memasyarakatkan pikiran kuno orang Jawa ke dunia internasional, tapi memasyarakatkan pikiran progresif ke orang Jawa.

Sunan Kalijaga bisa dijadikan panutan untuk soal ini. Beda sama sunan lain yang sibuk ngurusin penerapan fiqh, Sunan Kalijaga lebih berfokus pada meningkatkan kemanusiaan dengan mengembangkan kebudayaan. Aneh kalau keturunannya terus sibuk mengabadikan Ronggowarsito. Ronggowarsito hidup sezaman dengan filosof sekelas Nietzsche, sosiolog sekelas Marx, fisikawan sekelas Maxwell, dan budayawan sekelas Goethe (untuk tidak menulis Wagner melulu). Di jaman itu pun sebenernya pikiran Ronggowarsito udah ketinggalan jaman. Masa sih mau diabadikan?

Apa berarti pikiran orang Jawa semuanya dekaden? Soalnya bukan itu. Banyak orang Jawa dengan pikiran cemerlang. Tapi pikiran cemerlang itu terus nggak diakui sebagai budaya Jawa, soalnya Jawa yang diakui sebagai Jawa cuman yang udah dikakukan oleh aristrokasi berabad-abad.

Nirkata

Lucu juga bahasa Celtic. Sama sekali nggak nyambung sama bahasa Eropa lain. Enak kali ya kalau cari kursus tertulis tentang salah satu bahasa Celtic (Irish, Gaelic, Manx, Breton, Welsh, etc). Kayaknya aku memang penggemar cara berkomunikasi yang tidak komunikatif. Seolah-olah. Tapi ada hal yang menarik sebenernya, setidaknya buat aku.

Di Isnet, aku pernah berdiskusi tentang berbagai cara berkomunikasi non-verbal atau setidaknya sub-verbal. Bisakah kita menangkap pesan Wagner tanpa belajar Bahasa Jerman? Ternyata bisa, biarpun barangkali cuman sebagian. Ada pesan yang memang disampaikan melalui kata-kata, tapi ada yang hanya bisa tersampaikan dengan mengabaikan kata-kata. Ini barangkali yang pernah bikin Enya disukai para junker Bemo (aku kenal Enya juga di sana, haha).


Diskusi di Isnet akhirnya kembali ke soal formal. Kenapa Qur’an tidak disusun dengan urutan waktu kayak buku sejarah, atau dengan urutan tema kayak buku-buku hukum. Qur’an disusun untuk bekal hidup yang seperti adanya, bukan hidup dengan formalitas kekakuan. Hidup, di setiap detiknya, selalu perlu keseimbangan. Hari ini kita bicara soal kosmologi dan sejarah. Sejam lagi soal linguistik dan signal processing. Sebelum tidur kita ngebahas soal hukum dan musik. Qur’an disusun oleh yang maha mengerti dengan cara hidup manusia.

Menggugat Sejarah

Mungkin menarik untuk belajar sejarah dari sisi yang berbeda. Berbeda memang bukan berarti lebih benar dari versi mainstream, tapi setidaknya kita bisa menyusun perbandingan secara lebih bebas.

Contoh yang sangat klasik itu Ramayana, yang dari sisi lain merupakan gerakan nasionalisme bangsa Alenka (sekarang Shri Lanka) melepas diri dari pengaruh India. Perbedaan fisik antara bangsa Aria India, suku-suku Dravida India, dan bangsa Srilanka digambarkan di Ramayana dengan perbandingan manusia, monyet, dan raksasa. Keterlaluan juga orang India, masa sekutunya sendiri dilambangkan sebagai monyet.

Juga di PD II, selalu digembar-gemborkan kematian jutaan Yahudi, padahal etnik terbanyak yang mati adalah Russia, yang mencapai belasan juta (dan itu dijadikan alasan buat Stalin untuk membuat daerah buffer di luar Uni Soviet).

Tapi di luar itu, para fisikawan malah menyusun eksperimen untuk menentukan: apakah sejarah (history) itu ada? Ini tidak berkait langsung dengan pernyataan Bertrand Russel bahwa dunia baru diciptakan tiga menit yang lalu lengkap dengan manusia berjumlah sekian miliar dengan memori yang komplit di otak masing-masing. Ujikaji yang dirancang akan menentukan betulkah ada kontinuitas dalam interaksi. Kalau tidak ada kontinuitas, bahkan candaan Russel pun salah. Dunia yang sekarang tidak ada satu detik yang lalu ;). Setidaknya dalam artian yang bisa diandalkan.

Lalu pak tua Iosif Vissariodovich menggerutu: terlalu banyak yang dijelaskan tentang dunia — yang penting itu bagaimana cara mengubahnya.

Barometer

Ini cerita klasik, tapi kali-kali enak kalau disimpan di sini. Kali-kali kapan-kapan pingin baca lagi. Mengukur Ketinggian dengan menggunakan Barometer.


Konon, cerita ini berasal dari salah satu pertanyaan dalam ujian fisika di Universitas Copenhagen
“Jelaskan bagaimana menetapkan tinggi suatu bangunan pencakar langit dengan menggunakan sebuah barometer.”

Salah seorang mahasiswa menjawab “Ikatlah suatu tali panjang pada leher barometer, lalu turunkan barometer dari atap pencakar langit sampai menyentuh tanah. Panjang tali ditambah panjang barometer akan sama dengan tinggi pencakar langit.”

Jawaban yang luar biasa orisinilnya ini membuat pemeriksa ujiannya begitu geram sehingga akibatnya sang mahasiswa langsung tidak diluluskan. Si mahasiswa naik banding atas dasar bahwa jawabannya tidak bisa disangkal kebenarannya, sehingga universitas menunjuk seorang arbiter yang independen untuk memutuskan kasusnya.

Arbiter menyatakan bahwa jawabannya memang betul2 benar, hanya saja tidak memperlihatkan secuil pun pengetahuan mengenai ilmu fisika. Untuk mengatasi permasalahannya, disepakati bahwa sang mahasiswa akan dipanggil, serta akan diberikan waktu enam menit untuk memberikan jawaban verbal yang menunjukkan paling tidak sedikit latar belakang pengetahuannya mengenai prinsip2 dasar ilmu fisika.

Selama lima menit, si mahasiswa duduk tepekur, sampai dahinya terlihat berkerut. Arbiter mengingatkan bahwa waktu sudah sangat terbatas, yang mana sang mahasiswa menjawab bahwa ia sudah memiliki berbagai jawaban yang sangat relevan, tetapi tidak bisa memutuskan yang mana yang akan dipakai.
Saat diingatkan hakim untuk bergegas, sang mahasiswa menjawab sbb:

“Pertama-tama, ambillah barometer dan bawalah sampai ke atap pencakar langit. Lemparkan melewati pinggir atap, dan ukurlah waktu t yang dibutuhkan untuk mencapai tanah. Ketinggian bangunan bisa dihitung dari rumus H = ½gt² . Tetapi ya sayang barometernya.”

“Atau, bila matahari sedang bersinar, anda bisa mengukur tinggi barometer, tegakkan diatas tanah, dan ukurlah panjang bayangannya. Setelah itu, ukurlah panjang bayangan pencakar langit, sehingga hanya perlu perhitungan aritmatika proporsional secara sederhana untuk menetapkan ketinggian pencakar langitnya.”

“Tapi kalau anda betul2 ingin jawaban ilmiah, anda bisa mengikat seutas tali pendek pada barometer dan menggoyangkannya seolah pendulum, pertama di permukaan tanah kemudian saat diatas pencakar langit. Ketinggian pencakar langit bisa dihitung atas dasar perbedaan kekuatan gravitasi T = 2 π√(l/g).

Atau kalau pencakar langitnya memiliki tangga darurat yang eksternal, akan mudah sekali untuk menaiki tangga, lalu menggunakan panjangnya barometer sebagai satuan ukuran pada dinding bangunan, sehingga tinggi pencakar langit = penjumlahan seluruh satuan barometernya pada dinding pencakar langit.

Bila anda hanya ingin membosankan dan bersikap ortodoks, tentunya anda akan menggunakan barometer untuk mengukur tekanan udara pada atap pencakar langit dan di permukaan tanah, lalu mengkonversikan perbedaannya dari milibar ke satuan panjang untuk memperoleh ketinggian bangunan.

Tetapi karena kita senantiasa ditekankan agar menggunakan kebebasan berpikir dan menerapkan metoda-metoda ilmiah, tentunya cara paling tepat adalah mengetuk pintu pengelola gedung dan mengatakan: Bila anda menginginkan barometer baru yang cantik, saya akan memberikannya pada anda jika anda memberitahukan ketinggian pencakar langit ini.

Кунчоро

Dan abis cerita Lenin, aku mau cerita bahwa aku abis dapat mail dari Rusia. A nice guy, penggemar Gibran :), dan beliau mengkritik bahwa penulisan huruf sirilik di site ini salah satu huruf: Кунчоро Вазтувибово. Jadi bacanya /kunchoro vaztuvibovo/. Yeah, barangkali memang salah, tapi kesalahan itu bukan kekhilafan, melainkan hasil pemikiran. Nama Wastu barangkali hasil penculikan dari bahasa Sanskrit Vaçtu (the king, the leader), dan aku liat orang Rusia dan beberapa bangsa lain cenderung mengubah Ç jadi Z alih-alih S (Moçambique jadi Mozambik). Di Perancis memang Ç disamakan dengan S. Tapi S di Perancis dibaca tebal mendeziz. S ringan ditulis sebagai SS (la music classique /lamuziklasik/). Kalau di Indonesia Ç malah jadi SY (yang kalau dirusiakan bakal jadi SH). Kali biar angker pakai huruf SHCH aja ya, yang hurufnya kayak gini: щ. Ntar biar kayak Khrushchev.

Karakteristik Muslim

Seorang kawan lagi bingung sama urusan assignment. Boleh minta bantuan nggak, katanya. OK, jadi hari itu dia ikutan ke Faraday 125. Mau kopi, tanya aku. OK. “Hey, sebelum mulai belajar, enaknya kita mandi sore dulu. Ada handuk cadangan buat kamu.” OK. Terus analisis trafik yang rumit dan mendebarkan, sambil dalam hati sempat mikir, kapan aku bikin assignment aku sendiri yah. Dan terkapar kelelahan. “Sekarang kita harus makan malam.” Aku belikan dulu kupon dinner buat dia.

Ruang makan selalu penuh orang, dengan berbagai macam perbincangan. “Kok kamu makan pork? Kamu bukan muslim ya?” tanya teman lain. “Enakan jadi muslim, bisa punya empat istri, hahaha.”

Malam jadi larut. Teman aku berkeras mau pulang. Jadi kami menembus malam berjalan beberapa mil mencari perhentian bis. Dia sempat nanya, “Kamu muslim juga kan?” “Oh iya.” “Boleh donk kamu punya empat istri.” Aku lepas dia di perhentian bis. Dan aku menembus malam yang dingin buat balik ke Faraday.

Apa sih karakteristik muslim?

Islam, seperti yang diajarkan Rasulullah, berisi ajaran-ajaran seperti ini: hormatilah sesama kita tanpa memandang agama, juga muliakanlah tetangga, muliakanlah tamu. Waktu kita mengikuti perintah Rasulullah, tidak ada yang peduli bahwa itu adalah nilai-nilai Islam. Orang-orang Islam tertentu sudah lebih dahulu mengambil posisi untuk mendefinisikan Islam: agama yang sibuk mengurusi babi dan empat istri.

Barangkali selama ini memang tidak ada yang merusak citra Islam, selain umat muslim sendiri.

Dilbert Treasury

Hah, di mailbox ada “Dilbert Treasury”, hah.

Scott Adams memulai, kira-kira kayak gini. Banyak orang gila di sekitar kita. Mereka tidak merasa gila. Sebaliknya mereka merasa canggih. Itu membuat saya berpikir: jangan-jangan saya juga gila. Jadi saya menyusun daftar keanehan saya. Nomor satu, saya menyusun daftar keanehan saya. Nomor dua, saya menganggap bahwa kata ‘nomor satu’ itu salah, karena jelas bahwa ‘satu’ itu nomor. Nomor tiga (atau tepatnya: tiga), saya terlalu banyak menganalisis. Anda bisa lihat, untuk menyusun daftar kegilaan saja saya sudah bisa menyusun daftar kegilaan sendiri. Terus Scott cerita soal vegetarian dan lain-lain, diakhiri soal bersin akibat sinar matahari. Baru komik pertama Dilbert dimulai.

Tuhanku, aku lelah sekali, dua hari penuh turut berpacu dengan umatmu yang riuh rendah di lorong-lorong bawah tanah kota London. Maafkan aku kalau aku mau mengisi hari ini dengan istirahat panjang sambil menertawai manusia saja.

Terpuruk di Yogya

Yogya 1994, di atas bis kota yang tak terurus. Musik latarnya something dengan “terpuruk” oleh Katon cs. Maunya memang lagi terpuruk juga. Rasanya segalanya berjalan monoton tanpa variasi: pekerjaan yang melelahkan (lagi ada gebyar pembukaan ribuan pelanggan telepon baru, dan harus dibuka satu-satu plus dites satu-satu), dan bis yang panas dan lembab. Emang hidup lagi terasa tanpa arti. Terpuruk ku di sisi … eh di sisinya siapa?

Duduk di sebelah aku, ibu-ibu setengah baya, dengan jualannya, pernik-pernik elektronik semacam senter, kipas angin, dan mainan anak-anak berbaterai. Dia lagi megangin kipas anginnya.Kok tumben makhluk introvert kayak aku tau-tau nanya, “Kenapa, Bu, kipas anginnya?” Rusak, kata dia, nggak bisa dijual. Kami diam. TMP Kusumanegara terlintasi. Boleh liat? Dia berikan kipas angin itu. Pasti coil motornya, pikir aku, benda murahan ini. Gimana ngebukanya? Ambil dulu baterainya. Nggak bawa obeng, aku coba mengalihkan ide. Kali cuman konektor baterai. Geser dikit dan ditekuk dikit pakai balpen. Pasang baterainya. Kipas cuek. Buka lagi, geser-geser aja lagi. Pasang lagi. Kipas berpusing dengan indahnya (bisnya panas abis soalnya). “Cuman sambungan baterainya kok Bu.” Dia senyum ceria. Terima kasih, jadi bisa dijual lagi, katanya. Di luar matahari menyengat tajam, tapi rasanya jadi kayak kehangatan yang ramah. Terima kasih, Tuhanku, buat hidup yang bervariasi dan indah ini. Lempuyangan di depan mata. Aku lompat dari bis, dan bis menderu dengan asap hitamnya.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑