Category: Life (Page 16 of 29)

Q-122, Last Visit

Yang bikin aku rada lega malahan di kampus. Waktu aku ke message board di depan Q-100, seorang mahasiswa berdiri tegang di depan pintu Q-122. Sia-sia berusaha mendorong pintu. Huh, primitif juga, udah tahu pintu dikunci :).
Waktu aku mendekat, mengeluarkan dompet, dia menatap lega. “You got the key! Thanks God!”

That’s the ultimate word for me. Somebody praises his God for what we have done. Thanks God, for letting somebody like that living around me.

Keun Lee

Tapi KL lagi-lagi bikin keajaiban. Makhluk serius yang disertasinya dinilai terbaik itu masuk ke ruang pesta malam ini dengan senyum lebar. Barangkali masih ingat betapa berisiknya aku di ruang kuliah setahun terakhir :). Berbincang sedikit tentang acara wisuda. Nego dikit sana-sini. Dan waktu aku berjingkat melarikan diri dari ruangan (eh, I never enjoy the party, sebenernya), dia menahan. “Thank you, Koen. I know what you have done.” Aku jadi gugup. “It’s nothing. It’s nothing.” Dia memaksa memeluk aku. Aku peluk balik, terus melarikan diri ke Faraday. Well, mon ami, just forget it.

Chahidi

Aku menatap matanya, trus … “Don’t worry, my friend. Please just tell me your problems. I’ll pretend to concern, and I’ll try very hard.”
Dan Chahidi jadi tertawa keras.

Sebenernya aku lagi serius apa lagi becanda sih?
Kayak ada bedanya aja, buat aku :).

Rasanya aku lagi banyak bersalah sama orang-orang di sini. Hari-hari terakhir tesis, plus assesment, plus acara packing yang rumit bener, bikin aku jadi agak acuh. Masih care untuk ngebantuin temen-temen yang kebeneran belum kapok minta bantuan, tapi nggak sepenuh hati. Solve the problem, leave it, forget it. On ne peut pas bon en tout, n’est pas?.

Waterstone’s

Barangkali aku kurang banyak cerita tentang Waterstone’s. Waktu pertama masuk Waterstone’s di Coventry, aku kagum bener dengan penataan interior toko buku satu ini. Mirip taman bacaan untuk pecinta buku, lengkap dengan sofa dan rak-rak dan penunjuk posisi buku. Tapi Waterstone’s di Leamington lebih bagus lagi. Trus jadi ketagihan membandingkan Waterstone’s di setiap kota. Yang terbagus sampai sekarang masih yang di Nottingham, dengan koleksi buku yang bikin Waterstone’s lain terkesan miskin :). Plus sofa yang tertata dengan konsisten, jadi gampang dicari, plus café dan kamar kecil yang bersih sekali. Yang juga unik adalah resensi buku dari pemilik toko, dengan tulisan tangan cakar ayam khas Inggris, di depan beberapa buku. Waterstone’s Picadilly London yang sering dibanggakan pun nggak sebagus ini.

Tapi hari ini aku ketemu Waterstone’s lain lagi di Birmingham. Ada dua sebenernya. Satu terkesan kecil, tapi di dalamnya luasss sekali. Agak berantakan, tapi koleksinya barangkali selengkap Nottingham. Satu lagi tepat di depan pintu New Street Station, tinggi menjulang. Cara penataan bukunya sama sekali tidak mempermudah pencarian buku. Tapi banyak hal khas di dalamnya. Ada beberapa ruang tematis, kayak satu ruang khusus untuk The Ring dari Tolkien, lengkap dengan pensuasanaan ruang. Di sebelahnya, ada gallery khusus musik klasik. Hey, kenapa aku baru ke tempat ini di minggu terakhir di negara ini? Banyak koleksi prima ditawarkan dengan harga relatif murah. Lengkap sekali. Wagner aja menempati beberapa deret rak. Untung aja aku nggak kemaruk, jadi cuman ambil 3 CD, dan bukan Wagner.

Memang nggak semua Waterstone’s jadi istimewa sih. Yang di Edinburgh misalnya, ditatanya sama jeleknya dengan toko buku Gramedia di Matraman. Yang punya bukan pecinta buku kali. Atau kotanya terlalu bagus, jadi orang lupa menata toko buku.

Mhula

Luis Filippe de Lucas bergegas naik bis di depan Skydome. Agak kaget ngeliat aku duduk di kursi agak ke belakang.

Aku menyambut, “Surprising, huh?”

“I thought you went to Birmingham,” katanya, masih dengan nada heran.

“Indeed. But it’s frozen outside. It’s better to spend 1 hour on the bus than 20 minutes walking.”

“Exactly, my friend. And you can accompany me too. Listen, I just saw the examination board. You have passed with merit.”

“Really? It’s surprising too, isn’t it?”

Bis 460

Segala nuansa warna beige namun agak gelap dan kaku dari gedung-gedung mulai menyambut bis nomor 460.

Barangkali ini perjumpaan terakhir dengan London. “Marble Arch,” teriak si copilot bis, mirip kondektur bis ke alun-alun Bandung. Kita lompat turun, jalan cepat bersama angin dingin ke Grosvenor. Melintasi gedung kedutaan AS yang dikarantina dengan pagar logam tinggi karena menularkan penyakit berbahaya.

Sampai kita di flat berbendera merah putih. Di sini hari ini acaranya mengurusi surat pulang dan surat selesai studi, plus daftar barang bawaan. Daftarnya cuma berisi tiga barang, ditambah dua halaman daftar buku dan CD.

Sambil nunggu surat selesai, kita jalan kaki lagi. Oxford Street jadi lautan manusia. Mirip Kepatihan di Bandung menjelang Idul Fitri gini. Lengkap dengan pedagang kaki lima.

Stuff of the River

Tapi barangkali masih seperti itu juga kondisi kita sekarang. Umat
dihancurkan. Persatuan dan persaudaraan diceraiberaikan. Saudara-
saudara kita dibunuhi setiap hari tanpa henti. Tapi kita masih bisa
nyenyak tidur. Dan masih sibuk bertikai dan mencaci.

Barangkali (stuff of the river), di Afghanistan, AS akan mengulangi
strategi mereka di Iraq. Di Iraq, Saddam Hussein tidak dijatuhkan,
walapun barangkali bisa. Kalau Saddam dijatuhkan, lalu penggantinya
bisa membuat Iraq yang lebih baik dan berkembang pesat, maka Israel
akan terancam. Kondisi di sana memang harus dibikin labil.

Maka Saddam tidak dijatuhkan. Si perampok itu dibuat tetap dapat
menekan rakyatnya, sehingga nyaris tidak mungkin terbentuk pemberontakan
yang kuat; tetapi Saddam juga ditekan agar tidak bisa kuat. Jadi di
sana hanya ada segerombolan masyarakat lemah.

(Di tahun 1991, Tariq Azis mengatakan bahwa pendudukan Kuwait oleh Iraq
sudah dikonfirmasikan ke AS, dan AS tidak menanggapi negatif, yang
ditafsirkan Iraq sebagai restu. Ini strategi AS untuk bisa membuat
pangkalan permanen di kawasan teluk).

Di Afghanistan, barangkali Taliban tidak akan dikalahkan total, agar
terjadi ketidakstabilan permanen di negara itu. Barangkali juga
Taliban dihabisi, karena toh kekuatan sekutu utara juga sudah
potensial sebagai biang perpecahan, seperti semasa Taliban belum
berusaha menegakkan hukum di sana.

Di mail buat Prof Yoder, aku menulis bahwa bukan berarti semua orang
Amerika jahat. Cuma memang politisinya sungguh-sungguh kriminal. Bukan
juga karena mereka orang Amerika. Pendahulu mereka pun sudah suka
mengabaikan urusan-urusan moral dan etika demi kepentingan hegemoni
negara.

Tapi yang jadi soal sebenarnya: mengapa kita mudah sekali
dipecah belah ? Mengapa perbedaan pandangan saja harus diperuncing
jadi permusuhan ? Kenapa kita lebih suka bersekutu dengan kriminal
daripada dengan sesama ?

Kemas-Kemas

Sebenernya kurang kerjaan kali. Acara tulis menulis pun akhirnya membosankan juga. Notebook lebih banyak berfungsi jadi CD player, menemani acara baca-baca bacaan ringan. Yang terakhir: Effective C++ dari Scott Meyers (recommended). Plus sambil melayani dering telepon dan ketukan pintu yang nyaris 24 jam.

Sore tadi ngenganggu Alan si Mr Postman lagi, dan berhasil pulang dengan kardus Fedex yang bagus bener. Jadi ada kerjaan baru mulai malam ini. Mengemasi buku-buku buat dikirim pulang.

Sabtu kemaren, masih ketemu Harry dan Dani di Birmingham. Besok udah Sabtu lagi, ke Birmingham lagi ketemu Fajar. Dan dua Sabtu berikutnya, udah di Birmingham Airport, terbang pulang !

Harry & Dani

Sepanjang jalan menuju New Street, berderet stasiun-stasiun kecil, tapi nggak ada yang mirip Tile Hill. Semuanya memiliki wajah yang berbeda-beda, keunikan yang berbeda-beda.

“Birmingham New Street, This is Birmingham New Street”. Di New Street, ribuan orang bergerak, mirip gerak Brown. Segala warna manusia, berbagai bahasa, berjuta ekspresi, bergerak acak. Baru sehari sebelumnya aku di sini juga, tapi kayaknya ekspresi orang-orang itu sudah beda-beda pula.

Seseorang memegang pundakku. Senyum ramah, sambil terus bicara di handphone, terus menarik aku ke mobil. Pertama kali ketemu Mas Dani, boss PPI Birmingham, anak muda yang selalu sibuk (soalnya belum berani nyuruh-nyuruh anak buahnya –haha).

Di atas mobil baru dia menyapa, sambil melarikan mobil ke Aston. Lucu
sekaligus dinamik sekali.

Di Aston, ketemu lagi dengan Mas Harry, si da’i merangkap hacker dan junker. Trus mobil dipacu lagi ke University of Birmingham, buat ikut acara buka puasa bersama PPI Birmingham.

Argh, ini baru buka puasa yang hangat. Congrats deh buat anak-anak muda di Birmingham. Eh, ada Fajar juga. Di luar langit bersih, bulan purnama tampak terang sekali, dikelilingi halo yang melingkar nyaris sempurna. Udara membekukan badan. Brrrrrrrrr.

Tile Hill

Perjalanan kemarin diawali dari Tile Hill, stasiun kecil mungil dan sepi. Bis 81E berhenti di stasiun waktu kereta berangkat, jadi aku harus nunggu setengah jam lagi. Pintu stasiun otomatis terbuka, dan si penjaga loket yang berkumis tebal menatap. Aku jadi masuk, tapi bukan ke loket, malah lihat-lihat suasana. Si penjaga loket meninggalkan loket, terus mengambil sapu, dan mulai menyapu stasiun, dan memunguti sampah.

Aku ke luar, ditemani dua anak sekolah yang belajar merokok dengan tanggung. Sambil terus menyapu, si penjaga loket meminta anak-anak itu menunjukkan tiket. Mereka menolak menunjukkan. Trus si penjaga mengancam memanggil polisi dalam 5 menit. Sambil memaki-maki, kedua anak itu pergi.

Beberapa orang berlalu di sekeliling stasiun, dan kedua pintu masuk bergeser membuka menutup tanpa henti. Sepasang anak kecil jadi mempermainkan si pintu, dengan melompat sepanjang garis batas, dan membuat pintu membuka menutup tanpa henti. Kereta berlalu, dan seluruh calon penumpang
di seberang rel menghilang ke atas kereta.

Ini Tile Hill. Di luar, pohon berdaun cokelat seluruhnya, dikelilingi pohon-pohon lain yang sudah tak berdaun. Aku duduk sendiri di luar. Gerimis mulai datang.

Kereta-kereta cepat antar kota berlalu, melintasi stasiun tanpa permisi, mendorong angin dingin menembus jaket. Aku masuk lagi. Sebuah pigura menampilkan sekelompok pegawai stasiun membawa pigura berisi penghargaan.

Si penjaga loket berkumis nampak paling riang di foto itu. Beberapa gambar kereta yang didesain dengan CAD menghias dinding, dengan nama perancangnya, dan ucapan terima kasih di bawahnya. Hiasan natal di ujung ruangan bukan berhias rusa, tapi bebek berkepala hijau.

Aku jadi tahu kenapa aku harus nunggu setengah jam di sini.

Tapi setengah jam akhirnya berlalu juga. Kereta Centro ke arah Birmingham tiba tepat waktu. Waktu naik kereta, rasanya aku bukan meninggalkan stasiun, tapi meninggalkan rumah seorang manusia, yang hidup dan mengisi hidupnya.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑