Category: Life (Page 10 of 30)

Arlene Feynman

Feynman konon memang beruntung. Selain cerdas, hidupnya juga penuh dengan hal-hal yang lucu dan menarik. Tapi kita suka lupa, bahwa yang menentukan kelucuan dan kemenarikan hidup kita itu kita sendiri.

Aku abis baca kisah Feynman dengan istri pertamanya, Arlene — nggak ada hubungannya dengan pacarnya Garfield. Arlene adalah primadona di sekolah Feynman, dan selalu punya pacar. Feynman baru bisa merebut hati Arlene waktu dia jadi siswa terbaik dalam bidang matematika, fisika, kimia, dan biologi; plus penghargaan khusus dalam bahasa Inggris, gara-gara dia bikin karangan yang berisi kata-kata rumit cuman buat iseng. Tapi terus Feynman harus kuliah di MIT. Mereka janji mau menikah abis Feynman lulus.

Tapi kemudian Arlene terdeteksi menderita Hodgin, semacam TB, tapi yang tak tersembuhkan. Dia divonis akan meninggal hanya dalam beberapa tahun ke depan. Mereka berdua terpaksa menghadapi vonis itu, dan menerima kenyataan terburuk. Feynman lulus, meneruskan ke Princeton, dan bikin tesis di bawah bimbingan Wheeler. Kondisi Arlene makin buruk. Jadi, abis lulus dari Princeton, Feynman menyatakan siap menikah.

Ortu Feynman jelas tidak setuju. Mereka lebih suka Feynman memulai karir yang bagus daripada menikah dan memiliki hidup bermasalah. Feynman menemui dokter lagi, minta diizinkan menikah. Kata dokter: bisa, tapi nggak boleh terlalu sering melakukan kontak fisik. Berciuman pun nggak boleh. Jadilah mereka menikah berdua, tanpa diiringi keluarga, dan pindah ke Princeton. Waktu itu Proyek Manhattan sudah dimulai di Princeton.

Di Princeton, Arlene tinggal di rumah sakit. Situasi berlanjut sampai Feynman harus pindah ke Los Alamos untuk mengerjakan kelanjutan Proyek Manhattan. Arlene ikut pindah ke Los Alamos, tapi selalu hanya di RS. Dari RS dia mengirim surat-surat aneh ke proyek. Di bulan Mei, dia mengirim koran ke banyak orang di proyek, dengan berita utama “RP Feynman Berulang Tahun”. Dia mengirimkan puzzle yang bikin Feynman selalu dimusuhi provost proyek (tentara). Dia juga beli panggangan, dan memaksa Feynman memanggang steak setiap weekend di tepi jalan umum.

Tapi … well … segalanya harus berakhir. Arlene meninggal setelah cukup lama tidak sadar. Waktu Feynman mencium rambutnya, dia merasakan keharuman yang sama seperti biasanya. Itu mengagetkannya. Arlene meninggal — sesuatu yang besar telah terjadi — tapi nyaris tidak ada yang berubah.

Cina dan Islam

Sekian tahun abis insiden Yogya, dan beberapa bulan abis tragedi sosial di Jakarta, sekali lagi aku punya harapan yang terkabul mendadak. Travelling sore-sore dari Bandung ke Jakarta, bulan Ramadhan. Parahyangan kayaknya, soalnya jam segitu Argogede pasti lagi dalam perjalanan berlawanan arah. Aku beli Chicken Katsu untuk buka puasa, duduk di seat, terus mulai bikin skenario lagi: kayaknya enak kalau orang di sebelahku itu orang Cina. Orang Indonesia keturunan Cina maksudnya. Biar bisa saling curhat tentang tragedi Jakarta yang sampai saat itu masih kerasaaa sekali. Biar bisa curhat bebas, enaknya orang itu bener-bener punya kesan mendalam (dalam arti negatif, tentu) tentang tragedi itu. Dendam kalau perlu. Garang juga oke. Harus cowok, soalnya cewek nggak terlalu bisa aku ajak talk bebas.

Trus nggak lama duduk lelaki tua. Keturunan Cina sih, tapi terlalu tua untuk bisa garang. Aku senyum aja: he-he, meleset dikit.

Nunggu … terus aku mulai basa-basi: “Duduk di sini, Pak?”
Dia senyum juga, “Di belakang. Tapi lagi diduduki tentara.”
Waktu itu setiap pintu gerbong dijaga dua tentara, dan mereka lagi istirahat. Aku berdiri, ngobrol sama si tentara, ngasih tau kalau yang punya seat udah ada. Mereka berdiri, dan nerusin ngobrol sebentar, sementara si bapak itu pindah.

Balik ke seat, bareng sama cowok keturunan Cina lagi, seumuran aku lah. Dan dia cuek duduk di sebelahku. Aku senyum lagi: yang ini rada pas kali. Ngobrolnya dari mana ya? Tau nggak dari mana? Aku komentarin HP-nya dia (Ericsson G688). Terus kita ngebahas HP. Terus tempat beli HP. Terus pertokoan yang dibakarin. Cepet kan?

Aku nggak akan nulis namanya di sini :). Dia tipikal temen bicara yang waktu itu aku harapin: cerdas, masih menyimpan luka dan dendam sama tragedi Jakarta, dan menyalahkan warga pribumi khususnya orang Islam dalam peristiwa itu. Aku cerita juga bahwa Islam tidak mentolerir kekerasan, apalagi ke warga sipil dan rumah-rumah ibadah. Dalam Quran, perang diperbolehkan justru untuk melindungi masjid, gereja, dan sinagog. Kalaupun terjadi perang, level kekerasan di dalamnya juga dibatasi: dilarang merusak rumah warga, dilarang merusak fasilitas umum, dilarang mengganggu orang yang tidak melawan, dll.

Diskusinya lama. Dan kayaknya nggak bakal muat masuk ke weblog. Kali aku bakal nulis cerita khusus soal diskusi ini. Nggak janji tapi.

Ujungnya, kita bisa saling ngerti. Trus jeda. Dia minum. Nyuruh aku berhenti puasa. “Nggak ada yang tahu kok” — katanya. Bales-balesan cela-celaan lah. Aku baca koran (punya dia kayaknya). Terus pramugari mengumumkan waktu maghrib dan membagikan makanan buat yang pesen. Makan bareng. Aku yang pakai chopstick tapi — Hoka-Hoka sih.

Ngobrol lagi. Dia cerita lagi belajar Bahasa Mandarin. Tuh kan. Tadinya aku pikir semua orang Cina yang masih berbudaya Cina bisa bahasa Mandarin. Ternyata dia di rumah berbahasa Taiwan. Dia ngasih tahu beberapa contoh. Aku tanya: tapi kan huruf kanjinya sama. Ada perbedaan, katanya. Soalnya ada modernisasi huruf kanji di RRC. Dia ngasih contoh. Tapi dia rada kaget waktu tahu bahwa aku bisa beberapa huruf kanji. Hobby di SMA, haha :).

Ngobrol lagi soal pekerjaan. Dia ngabur ke AS abis tragedi Jakarta. Jadi kasir, tapi gajinya lebih gede daripada waktu jadi manajer di Jakarta. Terus nanya kenapa tarif SLI dari AS ke RRC lebih murah daripada dari AS ke Indonesia. Aku cerita dikit tentang struktur network dan pembundelannya. Trus dia pamerin kartu telepon calling card berhuruf kanji, khusus untuk koneksi dari AS ke RRC. Sebagai kolektor yang baik, aku minta kartunya :). Abis tarik-tarikan, dia kasih salah satu kartunya.

Sampai Jatinegara, aku pusing berat — belum istirahat. Tapi puas bisa saling curhat dengan orang yang tepat. “Sampai ketemu ya”, gitu basa-basi kami. Nggak pernah ketemu lagi sih sampai sekarang. Tapi kartu telepon-nya masih ada.

LKTI Politikus

LKTI dimulai gara-gara Ziggyt pingin bikin prototip kegiatan untuk workshop elektroteknik yang waktu itu baru kita bikin di Unibraw. Kita ikut LKIP (lomba karya inovatif produktif), memanfaatkan hobby main-main interface dan programming pakai bahasa C. Sebenernya di tingkat FT kita udah menang sih, dan dimodalin untuk terus. Tapi kita keasyikan bereksperimen yang nggak-nggak. Jadi prototipenya nggak pernah jadi. Trus sama dekan disarankan diubah jadi LKTI, dan diajukan ke Univ. Jadi deh.

Aku masih inget bener waktu kita harus presentasi. Ziggyt lagi ke Bandung kayaknya waktu itu. Jadi aku sama Hakim aja yang maju. Kuota waktu 15 menit. Sebagai politisi, Hakim memulai dengan kata pengantar. Dan sebagai politisi yang baik, dia menghabiskan 11 menit untuk pembukaan, dan 30 detik untuk mengestafet pembicaraan ke aku. Aku cuman punya 3,5 menit untuk membahas seluruh aspek teknis: platform, hardware, program, dari keseluruhan sistem. Dan aku berhasil menyelesaikan tepat tiga setengah menit. Kalau kita baca blog ini, kita tahu kenapa aku bisa :). Tapi apa audiens ngerti? Kita tahu jawabannya kayaknya :).

Lumayan juga, masih masuk 3 besar. Tapi itu proyek ilmiah terakhir dengan Hakim. Abis itu aku kerja praktek dan bikin skripsi bareng Ziggyt.

Dan aku masih bangga punya temen politikus sekelas Hakim :).

Insiden Yogya

Sering nggak sih, punya harapan (atau doa kali ya) yang langsung terjadi? Kayak waktu aku ngajak Ziggyt berdoa di KA itu — tapi nggak harus sehebat itu, biarpun boleh selucu itu.

Cerita di KA aja ah, bentar.

Ini cerita zaman di Yogya. Aku masih sering balik ke Bandung (istilah yang nggak bener-bener amat, soalnya aku waktu itu resminya warga kota Malang). Biasanya naik kereta entah apa namanya itu, zweite klasse, berangkat sekitar 9.30.

Di salah satu sesi kereta itu, waktu baru masuk ke kereta, aku mikir rada aneh: sesekali temen duduknya cewek kek, daripada bapak-bapak lagi bapak-bapak lagi. Mahasiswi gitu, biar rada bervariasi. Duduk. Trus aku sempat bikin kriteria: enaknya sih mahasiswi yang doyan
ngobrol, tapi rada-rada berselera ilmiah (gile nggak sih). Nah, pas gitu, dateng deh cewek beneran, pakai jaket putih. Naruh tas di kursi di sebelah aku, terus jalan balik. Sekilas aku intip kertas yang menyembul di luar tas: LKTI (lomba karya tulis ilmiah). Nah lo, kok bisa sih?

Trus aku baru inget bahwa aku orangnya susah mulai pembicaraan. Ha-ha :). Mudah-mudahan aja dia yang ngajak ngobrol duluan.

Trus balik deh si mahasiswi ilmiah itu. Dan … biar lebih lucu … beneran dia yang mulai pembicaraan.

Katanya: «Mas, saya baru ketemu temen. Boleh tukeran tempat duduk nggak?»

Well … saat itu terbukti Hk Kuncoro nomor VIII: Jangan pernah merancang skenario — kalau skenario itu terjadi tepat seperti rancangan kita, hasilnya tidak akan sama dengan bayangan kita.

OK, aku pindah. Nggak jauh, cuman sekitar 4 kursi. Dan dari situ, masih kedengeran dua mahasiswi itu asyik bener ngobrol semaleman. Seat di sebelahku kosong. Bisa berbaring, sambil ngebayangin zaman bikin LKTI bareng Hakim dan Ziggyt.

Tanpa Harapan

Apa yang tersisa dari hidup kalau kita kehilangan harapan?
Apa yang tersisa kalau kita tidak lagi mengharapkan apa-apa?
Ya tidak perlu ada yang diharapkan tersisa juga sih :).

Sebenarnya tak ada yang salah kalau kita kehilangan harapan. Ada apa kalau kehilangan harapan? Mau berhenti melakukan segalanya? Diam pun  membosankan — kayak masuk neraka sebelum waktunya. Ada atau tanpa harapan, manusia punya kecenderungan untuk terus aktif. Kita boleh kerja demi nilai-nilai kita, dengan penuh kesungguhan, biarpun tanpa harapan bahwa akan ada sesuatu yang bisa diwujudkan.

Dan kalau kita bekerja tanpa mengharapkan apa-apa, bukankah kita bisa jadi lebih jujur dan lugas? Bukankah kita bisa bekerja sepenuhnya demi nilai-nilai kita tanpa khawatir pada apa yang bisa menimpa kita?

Empati Pada Para Tiran

Sebenernya aku nggak adil juga selalu mencaci maki Saddam Hussein dan George Warcrime Bush. Barangkali aku udah larut dengan pikiran Dogbert yang dengan senang hati menganggap semua makhluk memiliki pengalaman yang sama dengan dirinya, dan artinya memiliki diskursus yang sama, dan artinya kalau ada yang berbeda pendapat selalu ada yang bisa disalahkan. Well, cakep kan?

Coba bayangkan kalau kita jadi Saddam, dari kecil dicekoki dengan kisah kepahlawanan padang pasir, dari sejak peradaban manusia, sampai masa masa kenabian, dan masa-masa kekhalifahan, yang semuanya penuh tragedi dan kehendak untuk menegakkan kekuasaan dan nilai-nilai dengan segala kekuatan.

Seperti diktator ngetop lain, Saddam mulai sebagai pemuda pejuang yang mengorbankan masa muda dan mempertaruhkan nyawa untuk perjuangan. Dan apa artinya kediktatoran Saddam dibandingkan banyak kekejian dalam sejarah peradaban manusia di sepanjang jazirah Arab.

Bayangkan juga kalau kita jadi Bush, yang seperti orang AS lainnya dicekoki kisah patriotisme AS membebaskan dunia dan menyebarkan nilai-nilai Americanism ke seluruh penjuru dunia.

Bush adalah manusia yang berhati lembut, kalau dibandingkan dengan Truman yang melelehkan dua kota besar di Jepang plus jutaan penduduknya dengan bom nuklir cuma untuk mendeaktivasi pusat kesenjataan Jepang, atau dibandingkan serial Kennedy hingga Nixon yang menghabisi jutaan keluarga di Vietnam dengan berbagai senjata pedih yang tak masuk akal digunakan di bumi (senjata kimia, senjata biologi, bom napalm, ranjau darat, racun makanan dan air, dan segalanya).

Trus bayangkan kalau kita jadi supporter Persib. Eh kok …

Basra

Berita dari BBC: Pasukan Inggris mulai memasuki kota Basra. Tapi mereka heran. Tak seperti di beberapa kecamatan kecil di selatan Irak, kali ini tidak ada penyambutan yang meriah dari masyarakat. Sepi, dan cenderung menghindar. Kenapa sih?

Paul Wolfowitz berkilah: orang-orang Basra masih takut pada intel-intel Saddam. Tahun 1991 mereka menyambut pasukan sekutu. Dan waktu kedaulatan Irak dikembalikan, pasukan Saddam menghabisi mereka. Tapi BBC menganggap itu alasan yang terlalu dangkal — khas Wolfowitz.

Orang-orang Basra, katanya, tidak bisa lagi bersimpati pada pasukan asing yang beberapa saat sebelumnya asyik menghujani kota mereka dengan ledakan-ledakan yang meluluhlantakkan fasilitas umum dan membunuhi saudara-saudara mereka tanpa ampun.

Orang Basra sudah melihat bahwa serangan sekutu yang katanya selektif itu cuman mitos. Jangankan orang Basra — kita juga disuguhi berita bahwa rudal-rudal AS bisa meleset ke Syria, ke Iran, bahkan ke pesawat tornado pasukan Inggris.

Media-media barat tidak seperti media di Indonesia yang suka memasang gambar kepala dipotong atau semacamnya demi recehan bagi pimred. Waktu foto seorang bapak di Irak menggendong anak perempuannya yang terluka kena bom dipampangkan, tidak ada yang melihat bahwa kaki anak itu sudah lepas dari badannya. Kekejaman semacam itu diketahui orang-orang Basra, tapi tidak diketahui orang yang hanya melihat TV. Orang-orang US dan Eropa lebih tercekat pada tayangan tawanan perang Irak yang sehat-sehat saja itu.

Kebencian orang-orang Basra pada si tiran Saddam Hussein, tidak mempu membuat mereka bersimpati pada agressor asing.

Hari Pi

Para geek memperingati hari ini sebagai hari π. Nggak ada hubungannya dengan penemuan angka π ini, yang udah diutak-atik manusia bahkan sebelum kitab-kitab suci dituliskan. Sampai akhir abad ke-20, orang sudah bisa menuliskan bilangan π sampai jutaan digit, jauh di luar kebutuhan praktis sehari-hari.

Yang tetap menarik buat aku sih formula cantik dari Euler: e = -1 — sebuah bilangan transendental bisa dihitung secara sederhana, menggunakan bilangan transendental lain yang ditemukan untuk urusan lainnya.

Jadi berapa tuh nilai π ?

ln(-1)/√(-1) ?

Oh ya, kenapa hari ini diperingati sebagai hari π ?

Soalnya di beberapa negara, hari ini dinotasikan sebagai 3,14.

Katak Hijau di Tembok

Katak bisa lompat ke tembok? Itu sih cerita biasa. Banyak gambarnya di buku-buku dan di Internet.

Tapi aku baru tahu kalo katak kayak gini bisa ada di Bandung. Di Griya Caraka. Di dalam rumahku!

Bentuknya memang rada lucu. Ramping. Warnanya juga bersih bener. Waktu aku deketin, eh dia lompat ke pintu. Nempel pula. Ketawa aja aku. Aku kejar lagi, lompat dia ke tembok. Kaget aku sekarang: kok bisa nempel di tembok. Trus lompat jauh lagi dia dan menghilang.

Hari ini dia keliatan, masuk kamar mandi. Lompat ke tembok, sampai akhirnya lompat ke atap. Kebayang nggak sih, mandi sambil ada katak lucu di atas kita. Kebayang aja kalau dia tau-tau jatuh ke punggung. Atau dia iseng ber-ekskresi memperkaya shampoo. Haha :).

Itu katak jenis apa sih, yang bisa ada di Indonesia bagian Bandung?

Apel Newton

Newton kejatuhan apel sebelum menuliskan hukum gravitasi? Cerita palsu!

Newton menemukan deretan hukum yang luar biasa. Tapi idenya jelas melampaui zamannya. Jadi ia memutuskan untuk menuliskan hukumnya di dalam point-point. Hukum pertama, hukum kedua, hukum ketiga, hukum keempat. Ia tersenyum riang membayangkan menulis karya besar yang mencakup hingga relativitas umum hingga gravitasi kuantum. Tapi ia memutuskan beristirahat sebentar. Cari udara segar di luar. Di luar ia kejatuhan apel tepat di kepala.

Trus kena amnesia.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑