Liburan ini berlalu nyaris tanpa penjelajahan. Asthma datang tak tepat waktu :). Jadi, selain bebenah, aku banyak ditemani buku. Bukunya dari banyak tema, dan aku bacanya melompat dari satu buku ke buku lain. Kalau buku tertinggal di sofa, aku nggak mau susah2 ambil lagi — aku baca saja buku yang lain lagi.
Aku sempat cerita tentang si Running Mac OS X Tiger di blog ini. Yang ini aku baca sambil santai, bukannya sambil dicobai di Mac. Aku mau menikmati benda ini sebagai buku. Kalau pernah pegang buku O’Reilly, tentu tahu bahwa buku O’Reilly dirancang untuk nyaman dipegang dan dibaca. Sambil membacai buku ini, komputernya aku biarkan melakukan software update ke Mac OS X 10.4.10. Ini update yang terlambat memang. Hasilnya, dia melejit secepat harimau. Ah, berlebihan. Sebelum diupdate pun, dia sudah melejit secepat harimau si Santa Claws :). Oh ya, O’Reilly sedang menyiapkan update buku ini, berjudul Running Mac OS X Leopard. Jadi, kalau berminat, lebih baik menunggu buku updatenya, sekaligus sambil update Mac OS X ke 10.5.
Buku tipis dari Albert Camus: La Chute terbaca ulang pasca lebaran. Ini buku yang amat bergaya eksistensialis, seperti banyak buku Camus lainnya (misalnya Sisyphus, l’Etranger, dan entah apa lagi). Gaya eksistensialisnya bikin kita terpaksa memaki, serasa menemukan bagian dari diri kita yang tersesat dan ikut terjatuh. Aku pernah menikmati diskursus eksistensialisme secara aktif, beberapa saat. Tentu masih ada sisanya sampai sekarang. Tapi Camus betul2 sialan, dan mencapai ekstrim yang menyebalkan. Bayangkan: tokoh dalam cerita ini malam itu meninggalkan pacarnya lewat tengah malam. Berjalan melintas tepi sungai. Bersitatap dengan seorang wanita. Tapi dia acuh, dan meneruskan perjalanan. Setelah agak jauh, terdengar suara air, dan teriakan. Tokoh kita mengkalkulasi: apa sih yang mungkin terjadi — aku tak pandai berenang — dan kalaupun bisa, jarak kami terlalu jauh sekarang untuk bisa menolong. Lalu, tanpa menoleh, tokoh kita meneruskan perjalanan. Dan karena kurang enak badan, ia tidak membaca berita besok dan beberapa hari kemudian. Eksistensialis kurang ajar yang betul2 merasa bahwa pada saat ia tidak dapat melakukan perubahan, maka hidup harus jalan terus dengan nilai yang melekat pada perjalanan kita. Syukur aku belum pernah kenal tokoh beneran yang macam gini. Hey, tapi ceritanya menarik. Ini adalah buku Camus terakhir sebelum ia meninggal akibat kecelakaan. Saat itu, ia sudah berpisah jalan secara keras dengan Sartre. De Beauvoir, pasangan Sartre, melihat nada muram dalam buku ini, dan dengan puas menyatakan bahwa ia bahagia bisa menghancurkan hati Camus. Orang tak menarik, de Beauvoir itu. Tapi buku ini recommended :).
Lalu dalam perjalanan ke Senayan, aku sempat melihat buku Norman Peale: The Amazing Result of Positive Thinking. Reminds me to my best friend who used to call me Mr Positive Thinking. Sayangnya dia menyebutku seperti itu justru di awal masa aku sedang luruh ke idealisme yang lain, termasuk bahwa dunia tidak diciptakan untuk mewujudkan nilai yang terus positif dan bertambah baik. Alih2 aku malah percaya bahwa dunia ini tempat ujian panjang untuk tumbuhnya kita secara cerdas dan jujur — tidak tertipu oleh nilai2 palsu yang meninabobokan. Mungkin bagian besar dari pikiranku masih ada di sana. Tapi memang terasa ada bagian dari diriku yang jadi hilang. Buku Peale ini aku ambil. Barangkali bisa jadi cermin untuk mengembalikan pikiranku yang lebih positif lagi :). Recommended juga :).
Sementara itu, aku sudah berjanji bahwa buku Roger Penrose: The Road to Reality, harus aku tamatkan sebelum lebaran. Cedera janji: bukunya belum tamat. Aku sempat ulas di blogku satunya, yang in English: ini buku sains populer yang tak terlalu populer. Berbeda dengan Stephen Hawking yang menghindarkan buku populernya dari formula2 (untuk tak menjatuhkan pemasaran), Penrose tak ambil pusing dengan soal marketing. Dibanjirinya buku ini dengan segala formulasi matematis, untuk memberikan penjelasan yang detail dan jujur, menghindarkan pembacanya dari bayangan bahwa sains itu manis dan meninabobokan (dan ujungnya pembaca mudah tertipu pada orang awam yang mengaku ilmuwan, misalnya Harun Yahya). Memegang buku ini, waktu serasa mengalir cepat, seiring dengan otak yang berolahraga dengan asyiknya. Baru sahur, tahu2 sudah waktunya buka puasa :p, dan sahur lagi :). Not recommended, kecuali buat yang beneran tergila2 pada sains. Sekali lagi: buku ini perlu waktu untuk dibaca :). Penrose saja perlu 8 tahun untuk menulisnya :). Teh Jennie (Jennie S Bev) konon beli buku ini juga. Udah tamat belum, Teh?
Tapi ada alasan lain kenapa buku Penrose belum tertamatkan. Baca tulisan Penrose, aku jadi pingin membandingkan dengan Lisa Randall: Warped Passages. Buku yang dibeli di Borders tahun lalu ini, dan udah tertamatkan beberapa kali, jadi enak dibaca lagi berseling dengan buku Penrose. Randall juga tak alergi formula. Tapi dia banyak mengurangi, agar bukunya praktis dan nyaman dibaca. Buku Randall bahkan dipasangi fragmen2 kecil di tiap awal bab. Sayangnya kadang Randall terlalu wordy untuk menceritakan sebuah konsep — tidak hemat kata. Kesannya memang jadi kayak ngobrol sama ilmuwan jenius, nggak kayak kuliah misalnya. Formula yang dipotong Randall bisa didetilkan di Penrose, sementara ekstrapolasi (duh, maaf, ini subyektif — jangan dipertentangkan ya) dari yang diulas Penrose bisa dicari di Randall. Penrose sangat berhati2. Misalnya, dia dikenal tidak (belum) menyetujui konsep superstring, sementara Randall termasuk yang cukup mendalami bidang ini. Penrose memasang lukisan Escher untuk contoh, dan Randall memasang Dali dan Picasso. Recommended. Recommended! Aku sudah baca buku Peter Woit. Tapi buku Randal masih akan aku labeli recommended 2x :).
Trus ada buku lagi. Mmm, buku kosong. Mungkin aku harus belajar menulis.