Category: Book (Page 4 of 10)

PT Harun Yahya

Tidak seperti di Amerika Serikat, Teori Evolusi diajarkan di Indonesia secara damai dan nyaris tanpa pertentangan. Diajarkan sejak awal masa baligh di SMP, teori ini dianggap sama wajarnya dengan teori2 lain, seperti lempeng benua, teori elektromagnetika, dll (teori kuantum nunggu SMA –red). Tentu memang ada kekhawatiran bahwa teori ini tak ditentang bukan karena dianggap wajar, tetapi karena metode pendidikan tingkat menengah di Indonesia yang masih dangkal itu menjadikan semua teori sebagai hal yang hanya perlu dibaca sebentar, dipakai menjawab ujian pilihan ganda, dan kemudian dilupakan selamanya. Tak menjadi dasar pengambilan keputusan, baik skala pribadi maupun skala nasional :). Paling jadi candaan: “Eh, teori evolusi itu yang bilang bahwa manusia keturunan monyet kan? Kalau liat muka elo sih, kelihatannya memang benar.” Tapi itu dulu.

Kini, murid2 menjadi semakin pintar. Khususnya setelah tumbangnya rejim Soeharto, pikiran kritis sudah menjadi keseharian di sekolah. Diskusi dengan mahasiswa zaman sekarang sudah berbeda dengan diskusi dengan para korban brainwash gank Soeharto. Tapi itu aspek positif. Aspek di sisi lain adalah Harun Yahya :).

Berlawanan dengan perkiraan orang, Harun Yahya bukanlah nama orang. Ini adalah nama samaran bagi sebuah tim, dalam sebuah organisasi, dengan Adnan Oktar sebagai ideolog utamanya. Tujuannya mulia. Mengangkat kebenaran dan keindahan Islam menggaung ke seluruh dunia. Tapi tak beruntungnya, kebenaran Islam di sini adalah kebenaran dalam interpretasi organisasi itu. Adnan Oktar sendiri menyukai sains, dan sekaligus mistisisme, lalu ia gabungkan sebagai Sains Islam. Tapi terbitan pertama tokoh ini malah menyoal zionisme, kepalsuan holocaust, dll; yang membuatnya sempat dihukum. Tak lama ia mulai menerbitkan serial Sains Islam yang memang menawan. Semesta ciptaan Allah yang indah (segala puji bagimu, Rabbal ‘Aalamiin). Tapi kemudian sambil menyangkal teori evolusi. Harun Yahya mulai memaksakan pendapatnya tentang cara Allah mencipta dan menyusun semesta. Allah tidak boleh menjalankan semesta sesuai yang dideskripsikan oleh Teori Evolusi (tapi boleh dengan teori kuantum, mudah2an). Lebih menarik lagi, Allah harus masuk ke sains, harus teramati di mikroskop: harus kelihatan dengan mata. Misalnya mata itu sendiri :). Mata adalah bukti bahwa struktur itu diciptakan sebagai struktur, bukan melalui evolusi: ini adalah bukti adanya Sang Pencipta. Kita bisa melihat Sang Pencipta di sini. Begitu ulas Harun Yahya. Berikutnya adalah tuduhan: Teori Evolusi adalah teori atheist. Darwin adalah biang dari materialisme yang artinya biang dari komunisme, naziisme, zionisme, kapitalisme, soekarnoisme, marhaenisme, soehartoisme, terorisme, dll. Tapi jangan lupa bahwa naziisme tidak jahat, karena Harun Yahya sendiri bilang bahwa holocaust itu palsu. Buku2 Harun Yahya diinternasionalkan dalam bahasa2 dunia: Inggris, Urdu, Indonesia. Dan disambut hangat. Jangan lupa, bagian depannya memang bagus :).

picture-9.png

Sementara itu para ilmuwan jadi terpaksa garuk2 kepala. Justru dengan Darwinisme, evolusi genetik, dan evolusi mimetik, evolusi budaya, didukung berbagai teori menarik, misalnya teori game, orang bisa memahami bagaimana budaya terbentuk, dan bagaimana cara terbaik menata masyarakat. Orang yang sungguh2 paham Darwinisme akan menjadi manusia yang menjaga nilai2 pribadi maupun nilai2 masyarakat. Kenapa? Coba tamatkan buku teori game. Justru orang2 dogmatik, yang tak paham ilmu, yang memperalat ideologi dan agama untuk saling membunuh dan menghancurkan.

Aku pikir tadinya demam Harun Yahya akan pudar, dan akal sehat menang. Tapi tentu aku terlalu banyak nonton film :). Dalam kehidupan nyata, justru Harun Yahya sedang memulai tahap baru dari offense-nya. Sebuah buku Atlas of Creation dicetak dan dikirimkan ke banyak sekolah di Eropa. Dukungan segera datang dari beberapa pemuka berbagai agama di Eropa: Protestan, Katolik, Yahudi, dan Islam. Terjadi kaukus kreationisme. Keren juga, jadi Pancasilais yang bisa menyatukan agama2 :). Orang Islam yang tadinya menganggap injil itu tak perlu dibaca (dengan alasan sudah terjadi modifikasi atas ayat Tuhan di dalamnya), kini jadi ikut rajin membaca genesis. Protes berdatangan. Sementara itu masyarakat Perancis gelisah, membacanya sebagai peningkatan radikalisme Islam dalam bentuk perang pikiran. Berikutnya Atlas ini juga disebarkan ke ke seluruh dunia

Tapi, huh sebalnya, bukankah cara Harun Yahya itu sendiri memang tak berbeda dengan cara sebuah kepercayaan disebarkan? Dimulai dengan hal2 yang baik, seperti moral, kasih sayang, yang tak seorangpun akan menyangkalnya; kemudian didukung hukum2 primer; lalu hukum2 sekunder; dan standardisasi; lalu konsensus yang memilih satu hal baik di atas hal baik lainnya (soal pilihan); lalu pematahan ketidaksesuaian pendapat. Dan, demi moral dan kasih sayang, tapi juga demi level ketakutan tertentu, orang masih terus memberikan dukungan. Untuk berlepas dari fraud model Harun Yahya dan model serupa, orang harus mulai juga berlepas dari kebiasaan menerima agama (yang mau tak mau harus diakui: hasil evolusi budaya juga) apa adanya. Orang harus kembali beragama dan berkomunikasi dengan Rabb-nya dengan bersih, yakin diri, ikhlas, kuat, percaya diri; lalu menatap sesamanya dengan kasih sayang tanpa syarat.

“Tapi kan buku Harun Yahya berisi ayat Qur’an.”
“Terus? Mau bikin buku sains beneran yang berisi ayat Qur’an juga boleh kok.”
“Dan dalam kitab suci mana pun tidak tertulis tentang teori evolusi.”
“Dan juga teori kuantum.”
“Teori kuantum ada. Si Koen pernah menuliskan di web yang lama. Nggak tahu kenapa dihapus.”
“Iya, kalau diinterpretasikan seperti itu. Tapi teori evolusi juga ada, kalau diinterpretasikan dengan cara yang sama. Juga teori string, biarpun belum jelas teori string benar atau salah.”
“Tapi buku Harun Yahya dijual di masjid.”
“Jualan di masjid?”

Apa sih yang paling berbahaya dari Harun Yahya? Orang Islam sibuk menajiskan evolusi, peran DNA, dll, plus jualan di masjid; sementara orang2 yang dituding sebagai atheist itu melejit memanfaatkan biotechnology. Tertutup pintu kita untuk revolusi akbar setelah revolusi semikonduktor.

“Ah, dasar si Koen atheist. Pasti dia mau bilang juga bahwa bumi mengelilingi matahari.”

Prague

Hah? Novel? Haha, semua orang — pun kala tidur pun tak sempat — perlu pelarian. Novel ini sendiri dibeli gara2 aku mendadak demam Ceska: dapat surat perpanjangan hosting koen.cz, baca Milan Kundera lagi, termasuk akhirnya mengintip filmnya, Unbearable Lightness of Being, dan membuat web pi.koen.cc dengan tagline mempelesetkan Kundera yang lain: The Blog of Laughter on Forgetting. Dalam suasana seperti itu, buku berjudul Prague terasa pas. Biarpun sekilas aku merasa … jangan2 pelesetan dari Plague (Albert Camus).

Novel ini ditulis oleh Arthur Phillips, dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai Praha, dengan nama Prague tetap ditulis di sampul buku. Setting cerita di Budapest (yang, btw, terdiri atas Buda dan Pest), beberapa bulan setelah jatuhnya komunisme. Hongaria mengajarkan rakyatnya menganggap diri perlu ditolong (mereka dijajah Jerman pada PD II, dihancurkan dan dimusuhi semua pasukan yang berperang, lalu dijajah komunis sejak itu). Sebagian besar tokoh cerita ini adalah para expat pencari peruntungan. Sebagai expat pencari peruntungan, tentu saja mereka punya pola pikir tipikal expat pencari peruntungan (haha). Dengan satu atau cara lain, mereka merasa hilang. Ah, post-eksistensialisme, post-Plague :). Yang menarik, dengan demikian, adalah bahwa cerita ini tidak perlu mengangkat tokoh protagonis dan antagonis. Sekedar hidup di tempat yang sedang menata definisi, termasuk tokoh2nya sendiri.

John Price, tokoh yang paling sering diceritakan, selalu merasa punya visi, mengejar entah apa itu, yang dia yakin … tidak di sini. Dia terus mengejar integritas dirinya, somehow, sambil kadang terjebak seperti yang akhir2 ini seringkali aku pikirkan, bahwa sebenarnya apa yang kita lakukan bukan sepenuhnya kehendak bebas. Sebetulnya gue banget, kecuali …

Ada game sincerity di bagian awal: para tokoh bertemu di sebuah meja, bergantian membuat pernyataan (yang tak dapat dibuktikan dengan mudah), lalu semua saling menilai mana di antara pernyataan yang disebut itu yang benar, dan mana yang bohong. Aku sisipkan juga cara berpikir game itu di sini :p.

Maka di tengah cerita, Charles muda (Karoly, anak imigran Hongaria yang lari ke Amrik saat Soviet menyerbu kembali negeri itu di 1956. “Tak benar bahwa kita salah mengerti tentang para komunis. Mereka benar2 pembunuh, dan jahat.”) berkongsi dengan Imre (pengusaha Hongaria yang telah melewati seluruh penderitaan negerinya). Modal Charles diperoleh dari kongsi dengan banyak partner, yang terkesan atas tulisan John tentang Charles (Dia tak selalu menulis yang sesuai dengan hatinya. Tapi inilah hidup: kita tidak tahu mana yang sesuai hatinya dan mana yang tidak). Masalahnya, Imre mengalami koma. Dan Charles menjual perusahaan mereka ke perusahaan asing dengan keuntungan luar biasa. Saat transaksi ditepuktangani, Imre bangun: lumpuh tetapi bisa berkomunikasi. Terjadi ledakan kemarahan dan penyesalan atau tuduhan jahat? Tentu tidak. Ini, sekali lagi, bukan sinetron Indonesia.

“Kayak apa sih rasanya?” tanya John. Untuk mana Charles mengejek, “Hare gene? Mikirin perasaan?” Sebenernya begitulah seringkali kita berpikir: sesekali mencoba berempati dan di kali lain mengabaikan perasaan. Hidup toh harus jalan terus: ini amanah, Bung. Konyol kalau misalnya menuding Charles penjahat. Dia bukan misalnya pengejar harta yang serakah, tetapi hanya orang yang mencoba secara jujur dan terampil mencari kesempatan bisnis. Tertembaknya Charles, dan terfitnahnya John, hanya merupakan cara untuk menutup novel agar tak jadi lembek. John pergi ke tempat yang sesuai visinya: Praha, memasang harapan yang sama, dan barangkali menemui letup2 hidup yang berbeda tapi sebenarnya sama lagi.

Waktu buku ditutup: ah, sebenarnya memang hidup tak jauh berbeda :p. Mudah2an tak terperangkap seperti tokoh Nadya yang menggelung diri dalam ingatan kolektif. Dan, oh ya, novel ini membosankan.

Buku Buku Buku Buku

Liburan ini berlalu nyaris tanpa penjelajahan. Asthma datang tak tepat waktu :). Jadi, selain bebenah, aku banyak ditemani buku. Bukunya dari banyak tema, dan aku bacanya melompat dari satu buku ke buku lain. Kalau buku tertinggal di sofa, aku nggak mau susah2 ambil lagi — aku baca saja buku yang lain lagi.

Aku sempat cerita tentang si Running Mac OS X Tiger di blog ini. Yang ini aku baca sambil santai, bukannya sambil dicobai di Mac. Aku mau menikmati benda ini sebagai buku. Kalau pernah pegang buku O’Reilly, tentu tahu bahwa buku O’Reilly dirancang untuk nyaman dipegang dan dibaca. Sambil membacai buku ini, komputernya aku biarkan melakukan software update ke Mac OS X 10.4.10. Ini update yang terlambat memang. Hasilnya, dia melejit secepat harimau. Ah, berlebihan. Sebelum diupdate pun, dia sudah melejit secepat harimau si Santa Claws :). Oh ya, O’Reilly sedang menyiapkan update buku ini, berjudul Running Mac OS X Leopard. Jadi, kalau berminat, lebih baik menunggu buku updatenya, sekaligus sambil update Mac OS X ke 10.5.

Albert Camus

Buku tipis dari Albert Camus: La Chute terbaca ulang pasca lebaran. Ini buku yang amat bergaya eksistensialis, seperti banyak buku Camus lainnya (misalnya Sisyphus, l’Etranger, dan entah apa lagi). Gaya eksistensialisnya bikin kita terpaksa memaki, serasa menemukan bagian dari diri kita yang tersesat dan ikut terjatuh. Aku pernah menikmati diskursus eksistensialisme secara aktif, beberapa saat. Tentu masih ada sisanya sampai sekarang. Tapi Camus betul2 sialan, dan mencapai ekstrim yang menyebalkan. Bayangkan: tokoh dalam cerita ini malam itu meninggalkan pacarnya lewat tengah malam. Berjalan melintas tepi sungai. Bersitatap dengan seorang wanita. Tapi dia acuh, dan meneruskan perjalanan. Setelah agak jauh, terdengar suara air, dan teriakan. Tokoh kita mengkalkulasi: apa sih yang mungkin terjadi — aku tak pandai berenang — dan kalaupun bisa, jarak kami terlalu jauh sekarang untuk bisa menolong. Lalu, tanpa menoleh, tokoh kita meneruskan perjalanan. Dan karena kurang enak badan, ia tidak membaca berita besok dan beberapa hari kemudian. Eksistensialis kurang ajar yang betul2 merasa bahwa pada saat ia tidak dapat melakukan perubahan, maka hidup harus jalan terus dengan nilai yang melekat pada perjalanan kita. Syukur aku belum pernah kenal tokoh beneran yang macam gini. Hey, tapi ceritanya menarik. Ini adalah buku Camus terakhir sebelum ia meninggal akibat kecelakaan. Saat itu, ia sudah berpisah jalan secara keras dengan Sartre. De Beauvoir, pasangan Sartre, melihat nada muram dalam buku ini, dan dengan puas menyatakan bahwa ia bahagia bisa menghancurkan hati Camus. Orang tak menarik, de Beauvoir itu. Tapi buku ini recommended :).

Lalu dalam perjalanan ke Senayan, aku sempat melihat buku Norman Peale: The Amazing Result of Positive Thinking. Reminds me to my best friend who used to call me Mr Positive Thinking. Sayangnya dia menyebutku seperti itu justru di awal masa aku sedang luruh ke idealisme yang lain, termasuk bahwa dunia tidak diciptakan untuk mewujudkan nilai yang terus positif dan bertambah baik. Alih2 aku malah percaya bahwa dunia ini tempat ujian panjang untuk tumbuhnya kita secara cerdas dan jujur — tidak tertipu oleh nilai2 palsu yang meninabobokan. Mungkin bagian besar dari pikiranku masih ada di sana. Tapi memang terasa ada bagian dari diriku yang jadi hilang. Buku Peale ini aku ambil. Barangkali bisa jadi cermin untuk mengembalikan pikiranku yang lebih positif lagi :). Recommended juga :).

Roger Penrose

Sementara itu, aku sudah berjanji bahwa buku Roger Penrose: The Road to Reality, harus aku tamatkan sebelum lebaran. Cedera janji: bukunya belum tamat. Aku sempat ulas di blogku satunya, yang in English: ini buku sains populer yang tak terlalu populer. Berbeda dengan Stephen Hawking yang menghindarkan buku populernya dari formula2 (untuk tak menjatuhkan pemasaran), Penrose tak ambil pusing dengan soal marketing. Dibanjirinya buku ini dengan segala formulasi matematis, untuk memberikan penjelasan yang detail dan jujur, menghindarkan pembacanya dari bayangan bahwa sains itu manis dan meninabobokan (dan ujungnya pembaca mudah tertipu pada orang awam yang mengaku ilmuwan, misalnya Harun Yahya). Memegang buku ini, waktu serasa mengalir cepat, seiring dengan otak yang berolahraga dengan asyiknya. Baru sahur, tahu2 sudah waktunya buka puasa :p, dan sahur lagi :). Not recommended, kecuali buat yang beneran tergila2 pada sains. Sekali lagi: buku ini perlu waktu untuk dibaca :). Penrose saja perlu 8 tahun untuk menulisnya :). Teh Jennie (Jennie S Bev) konon beli buku ini juga. Udah tamat belum, Teh?

Lisa Randall

Tapi ada alasan lain kenapa buku Penrose belum tertamatkan. Baca tulisan Penrose, aku jadi pingin membandingkan dengan Lisa Randall: Warped Passages. Buku yang dibeli di Borders tahun lalu ini, dan udah tertamatkan beberapa kali, jadi enak dibaca lagi berseling dengan buku Penrose. Randall juga tak alergi formula. Tapi dia banyak mengurangi, agar bukunya praktis dan nyaman dibaca. Buku Randall bahkan dipasangi fragmen2 kecil di tiap awal bab. Sayangnya kadang Randall terlalu wordy untuk menceritakan sebuah konsep — tidak hemat kata. Kesannya memang jadi kayak ngobrol sama ilmuwan jenius, nggak kayak kuliah misalnya. Formula yang dipotong Randall bisa didetilkan di Penrose, sementara ekstrapolasi (duh, maaf, ini subyektif — jangan dipertentangkan ya) dari yang diulas Penrose bisa dicari di Randall. Penrose sangat berhati2. Misalnya, dia dikenal tidak (belum) menyetujui konsep superstring, sementara Randall termasuk yang cukup mendalami bidang ini. Penrose memasang lukisan Escher untuk contoh, dan Randall memasang Dali dan Picasso. Recommended. Recommended! Aku sudah baca buku Peter Woit. Tapi buku Randal masih akan aku labeli recommended 2x :).

Trus ada buku lagi. Mmm, buku kosong. Mungkin aku harus belajar menulis.

Rak Buku

Dulu rak buku baru bisa dipetakan di LibraryThing. Selama beberapa waktu, site ini memiliki interaktivitas yang tak terlalu kaya; sehingga agak jarang aku kunjungi, kecuali sesekali saat ada buku yang baru dibeli, dan ingat untuk update. Baru kemudian akhir2 ini ada feature2 baru.

librarything.jpg

Biasanya adanya feature baru menunjukkan mulai adanya kompetisi. Memang, layanan sejenis sudah mulai dirilis. Beberapa hari yang lalu, aku berkenalan dengan Shelfari. Shelfari cukup berbaik hati, memperbolehkan kita mengimpor CSV dari LibraryThing, sehingga kita tak harus menambahkan buku satu per satu dari awal.

shelfari.jpg

Eh, malam ini, blog Nita memperkenalkan satu lagi rak buku maya: GoodReads. Boleh impor CSV dari LibraryThing juga. Langsung eksekusi.

goodreads.jpg

Yuk, cari 10 perbedaan :). Hush. Yang perlu dilakukan adalah mencari feature yang menarik dari site2 ini, terutama yang berkait dengan review, dan ide2 baru tentang buku yang menarik untuk dibaca. So, aku menjelajah dulu ya :).

Profesor September

September, karya Noorca Massardi (diterbitkan oleh Tiga Serangkai), dan Terbunuhnya Seorang Profesor Posmo, karya Arthur Asa Berger (terjemahan diterbitkan oleh Marjin Kiri). Dua buku ini dilahap di sebuah weekend pada suasana hati yang sedang asing. Asing bukan karena merasa berada dalam kedalaman yang terpisahkan dengan dunia sekeliling, tetapi justru karena merasa hati hanyut menganjak di dunia yang bergerak bebas lincah sambil menyembunyikan tujuan keterpelantingan kita.

berger.jpgSingkatnya, September mereka ulang peristiwa 1965. Penceritaannya jadi menarik, karena sejarah direka ulang oleh tokoh Darius yang bisa menyusupi jiwa2 pelaku, termasuk Presiden Soekresno Pemimpin Besar Reformasi masa itu. Sayangnya Darius tak hendak menyusupi daripada Mayjen Theo Rhosa si pengkhianat yang licik dan cerdik itu. Sedangkan Profesor bercerita tentang terbunuhnya profesor Gnocchi di meja makan saat sedang bersantap bersama istri dan para koleganya sesama postmodernist. Pelacakan melalui wawancara dengan para tersangka maupun dengan membacai surat2 Gnocchi kepada Lyotard, Baudrillard, Habermas, dan Jameson, serta dengan menonton rekanam kuliah terakhir Gnocchi, memaksa sang Inspektur untuk memahami postmodernism dari berbagai sudut pandang.

Tentu bukan karena tertular posmo maka kedua buku ini direview dalam satu artikel. Tapi — coba lihat kembali — memang gaya kedua buku ini kebetulan sama. Pemfiksian atau penovelan sesuatu, baik itu sebuah sejarah (September) atau sebuah perspektif/filsafat/genre (Profesor), dengan tidak meninggalkan deskripsi utama. Peristiwa 1965 digambarkan seperti aslinya, dengan nama pelaku dianagramkan (hey, I love that) dan tanggal2 digeser, serta teknologi Internet, seluler, jalan tol, dll sudah dimasukkan. Postmodernism diperikan melalui sudut pandang sesungguhnya dari mendiang Foucault, Lyotard, Baudrillard, Habermas, dll; dengan memfiksikan tokoh lain dan hubungan tokoh itu dengan Gnocchi (yang ini fiktif, sefiktif Darius).

Tapi tentu kesastrawanan Massardi belum mampu ditandingi oleh seorang Berger. Buku September mampu membuat aku mengagumi Noorca kembali, setelah sekian tahun nama itu aku lupakan. Sedangkan Berger? Ummm, kalau kita sempat baca Orient Express punya Agatha Christie, kita kelihatannya sudah bisa menebak pembunuhnya dari awal. Bedanya, yang betul2 membunuh memang berbeda. Karena ini bukan buku novel kriminal beneran. Pun penarasiannya rada kedodoran. Biar deh. Enak kok buat menikmati weekend :).

I Am A Strange Loop

Douglas Hofstadter pernah memenangkan Pulitzer untuk buku sebelumnya: Gödel, Escher, Bach: An Eternal Golden Braid, yang bisa2nya mengaitkan teorema esoterik Gödel, lukisan paradox Escher, dan komposisi multilayer ala Bach, dalam satu tema. Ide menarik itu dibawanya ke bukunya yang baru ini: I am a Strange Loop. Strange loop? Apa tuh? Carilah di Wikipedia :).

Strange loop memiliki sifat menarik. Mereka beroperasi serentak pada beberapa level abstraksi. Misalnya, pada versi matematika, strange loop dapat dilihat pada level mikro sebagai permainan angka dan operator; sementara pada level makro dapat dilihat sebagai permainan teorema dan pembuktian2. Untuk komputer, kita bisa bicara tentang relasi elektronik antara transistor, kapasitor, resistor; atau bisa tentang subrutin software yang menginstruksikan CPU mengubah angka pada storage. Pada network? Ah, pasti kita kenal.

Karakteristik lain adalah bahwa pada level abstraksi tertentu, ia bisa dianggap sebagai sistem yang bekerja dengan simbol pada obyek dan konsep. Menariknya, strange loop dengan demikian bisa bekerja mensimbolkan dirinya sendiri. Terjadi mekanisme feedback, yang kemudian membuat tak mungkin lagi dilacak apakah perilaku loop ini mula2 ditentukan pada aktivitas level mikro sebagai penyusun loop ini, atau pada level makro yang bermain pada abstraksi simbolis. Lalu, Hofstadter pun menyatakan bahwa bentuk feedback macam inilah yang menjadi asal muasal adanya kesadaran. Adanya ‘aku’ :).

Sorry, kalau ini tidak menarik buat Anda. Tapi mencari asal-usul rasa ‘aku’ adalah salah satu pencarianku sejak balita. Dan buku ini jadi menarik karena akhirnya membahas soal ini. Tapi kita kembali dulu ke buku ini, yang sekarang kita tahu kenapa judulnya “I am a Stranger Loop.”

Hofstadter beranjak lebih jauh. Setiap sistem yang mampu merepresentasikan simbol dalam jumlah besar akan mengembangkan kesadaran diri, katanya, tak peduli apakah sistem itu dibentuk oleh neuron atau transistor. Namun tak semua komputer, dan tak semua otak, mampu mengelola simbol yang sekaya itu. Nyamuk dianggapnya tidak punya kesadaran. Juga semua komputer masa kini. Juga, kata dia, bayi yang baru lahir sampai usia tertentu.

Tapi kita sedang bermain dengan simbol, jadi cerita berlanjut. Sistem otak kita, lanjutnya, tidak terbatas hanya merumahi satu strange loop saja. Biarpun, normalnya, ‘si aku’ tetap menjadi pribadi dominan. Bisa saja otak ini dalam level yang lebih rendah, merumahi abstraksi, dan dengan kata lain pikiran, dari manusia atau sesuatu yang lain. Manusia yang memiliki kedekatan, ide-ide personal yang terasa lekat, akan membentuk semacam salinan kesadaran di otak kita. Ada semacam ‘you, me, and us’ yang melekatkan relasi manusia.

Jelas, ide2 dalam buku ini sangat menarik. Tak heran, begitu terbit dia langsung menembus ranking di Amazon. Untuk ide yang juga menarik tentang asal usul pikiran manusia, sila baca juga buku Roger Penrose yang judulnya … dicari dulu sebentar. Salah satunya The Large, the Small and the Human Mind. Tapi ada yang lain juga. OK, ini dulu deh.

Kopi Jawa

Update: Visit INDONESIAN.COFFEE

Kopi lagi? Tentu. Ini tema yang menyegarkan!

Sebelum mulai dengan Java, kita mulai lagi dengan sejarah kopi. Terdapat sebuah versi lain sejarah kopi yang tidak melibatkan domba. Masih dari Ethiopia, kisah ini hanya dimulai dari Ali al-Shadili yang gemar meminum sari biji kopi untuk membuatnya tetap terjaga demi menjalankan shalat malam. Tak lama, kopi menjadi komoditas yang diekspor ke Eropa, terutama dari daerah Kaffa di Ethiopia. Orang Eropa menamainya mocha. Bijinya tidak boleh diekspor, kecuali sudah dalam keadaan terpanggang, dan tak dapat ditanam lagi. Tapi penyelundup selalu ada. Tak lama, penjajah di nusantara sudah mulai membudidayakan tanaman kopi di Jawa.

javaestate.jpgDi Jawa, kopi mula2 ditanam di sekitaran Jayakarta, meluas ke Jawa Barat, dan kemudian lebih diperluas ke Jawa Timur, serta kemudian ke luar Jawa. Varietasnya arabika. Sebuah pameran yang digelar di AS (dengan dana yang cukup besar, ditanggung industri kopi Jawa) membuat publik Amerika mulai mengenal kopi dan menjuluki minuman ini sebagai Java. Nusantara, khususnya Jawa, menjadi pengekspor kopi terbesar dan terbaik di dunia. Malangnya, terjadi wabah di tahun 1880an, yang memusnahkan kopi arabika yang ditanam di bawah ketinggian 1km dpl, dari Shri Lanka hingga Timor. Brasil dan Colombia mengambil alih peran sebagai eksportir kopi arabika terbesar, sampai kini. Sementara itu, varietas kopi di sebagian besar Jawa diganti dengan liberika. Tapi tak lama, wabah yang serupa memusnahkan varietas ini juga, sehingga akhirnya 90% kopi di Jawa diganti dengan varietas robusta, kecuali di tempat yang betul2 tinggi.

Setelah para penjajah didepak, kebun2 kopi dinasionalisasi dan/atau diprivatisasi. Adalah PTPN XII (a state-owned company) yang kini mengelola kopi yang disebut sebagai Java Estate. PTPN XII yang mengelola beberapa perkebunan di pegunungan Ijen (Jawa Timur) hingga kini tetap memelihara varietas arabika dengan kualitas amat tinggi. Kebun2nya terletak di Blawan (2500 Ha), Jampit (1500 Ha), Pancoer (400 Ha), dan Kayumas (400 Ha), dengan ketinggian antara 900 hingga 1600 m dpl. Hasil tahunan mencapai sekitar 4 ribu ton biji kopi hijau. 85% biji diekspor sebelum dipanggang. Kalau kebetulan menjenguk Starbucks di Bandung, dan mengamati ada sekantung kopi berlabel Java Estate, nah itulah kopi Jawa yang berkeliling dunia sebelum kembali ke negerinya.

Di dekat kawasan PTPN XII, terdapat juga perkebunan Kawisari dan Sengon, dengan luas 880 Ha, dan ketinggian lebih rendah dibandingkan kebun2 milik PTPN XII. Kopinya 95% robusta, dan sisanya arabika. Hasilnya banyak digunakan untuk industri kopi di sekitar Jawa Timur. Di Jawa Tengah, di kawasan Losari yang dikelilingi tak kurang dari 8 gunung berapi, terdapat juga perkebunan Losari (d/h Karangredjo). Losari dimiliki Gabriella Teggia, warga Italia yang sudah menetap di Indonesia sejak 1965.

Tahun 2003, Gabriella Teggia inilah yang menulis buku A Cup of Java bersama Mark Hanusz. Buku keren ini bercerita tentang sejarah kopi hingga masuk ke Jawa, tentang sejarah kopi di Jawa (termasuk tentang Multatuli dan Max Havelaar-nya), tentang Java Estate (dan menyinggung juga kopi2 keren lainnya: Mandailing Sumatra, Kalosi Toraja, dll), tentang kopi panggangan Jawa (termasuk Kopi Warung Tinggi Jakarta, Kopi Aroma Bandung, Kopi Kapal Api, dll), serta tentang budaya ngopi di Jawa. Di bagian Appendix, buku ini menampik mitos tentang Kopi Luwak.

Starbucks sempat menelepon minggu lalu, menawarkan dua kopi istimewa untuk edisi khusus bulan ini: satu dari Sulawesi, dan satu dari Papua. Sementara menunggu kopi2 rasa nusantara itu (ingat Kopi Kampung), kita nikmati hari ini dengan Kopi Malang.

Planet Digital

Buku ini berjudul Planet Digital: Manuver CDMA di Indonesia. Terima kasih buat Kawan Budi Putra. Bukan hanya karena berbaik hati memberikan buku ini, tetapi, lebih dari itu, karena telah menulis buku yang menarik ini. Kawan Budi menulisnya sebagai bagian dari triloginya, setelah Planet Selular dan Planet Internet.

planetdigital.jpgBuku ini unik. Menyembunyikan kelengkapan dalam kesederhanaan. Lebih mirip kumpulan feature daripada paparan imiah, sehingga enak dicerna dalam waktu senggang sekalipun. Cerita CDMA dimulai dengan Hedy Lamarr, pemegang patent frequency hopping (lengkap dengan gambar skema), sekaligus pemain film bugil pertama (lengkap dengan foto), yang latar belakang patriotiknya mendorongnya mengembangkan ide CDMA ini. Kemudian Claude Shannon yang teorinya dapat digunakan untuk mengembangkan konsep komunikasi spread spectrum. Dan tentu Irwin Jacobs yang mengusung teknologi CDMA melalui Qualcomm. Dan sejarah digulirkan.

Kemudian buku ini memperdalam ulasan teknologi CDMA diperdalam, termasuk membandingkan dengan teknologi wireless lainnya, serta membandingkan berbagai platform dalam teknologi CDMA sendiri, termasuk CDMA 2000 dan CDMA-One. Setelahnya kita diajak melongok industri CDMA, dari operator telekomunikasi hingga perangkat terminalnya. Lengkap dengan foto2. Fokus kita kemudian dibawa ke Indonesia, dimana satu per satu produk telekomunikasi CDMA diulas: Flexi, Esia, Fren, dan StarOne. Yang dibahas bukan cuma implementasi teknologi, tetapi segmen bisnis dan strategi marketing tiap produk itu. Barulah kemudian semuanya disandingkan dalam kajian strategi kompetisi. Kita dibawa juga ke masa depan pengembangan CDMA dalam jangka dekat, termasuk platform BREW untuk pengembangan content multimedia, serta EVDO sebagai platform broadband di atas CDMA. Niche segment dari CDMA juga tak tertinggal, semisal CDMA 450 untuk kawasan rural, yang sudah cukup mampu membawa teknologi sekelas 3G hingga ke pelosok2.

Budi Putra, kalau barangkali belum mengenal nama ini, adalah seorang jurnalis, dengan spesialisasi pada IT dan telekomunikasi. Pernah memperoleh penghargaan utama dalam berbagai lomba karya tulis jurnalistik yang diselenggarakan oleh Indosat, Excelcomindo, Cisco, HP, Nokia, dan pasti masih menyusul lagi. Lucunya, beliau malah kemudian menseriusi dunia weblog. Ini trend yang aku pikir sehat dan menarik — berlawanan dengan beberapa media yang mulai runtuh kredibilitasnya karena jurnalis2 di dalamnya malah menjadikan media resmi sebagai sarana blogging pribadi tanpa dukungan QA yang memadai.

Th!nk Blink!

Richard Oh membahas tentang Think dan Blink. Ini bukan tentang toko buku QB, gudang kecendekiaan yang mendadak melenyap satu demi satu dari bumi Indonesia. Tulisan di edisi perdana majalah Esquire Indonesia ini membahas perbandingan observasi dan pengambilan keputusan model buku Blink! karangan Malcom Gladwell vs Th!nk karangan Michael LeGault.
esquire-indonesia.jpgPara pedoyan buku akan paham bahwa buku Blink memotivasi kita untuk mengasah kembali kepekaan nalar halus kita. Ada yang menggerakkan nalar halus kita itu untuk mengambil pilihan paling baik dan paling tepat, dan ini terlihat dari gejala fisik. Tangan kita berpeluh lebih saat kita mengambil keputusan yang salah, kata Blink, sebelum daya analisis kita akhirnya (jika belum terlambat) memahami bahwa keputusan yang diambil itu salah. Think berpikir sebaliknya. Sempitnya waktu dan derasnya beban membuat kapasitas manusia berpikir kritis makin melemah. Manusia mengambil keputusan2 instan hanya berdasar pikiran spontan, sementara jika kita mau meluangkan waktu untuk menganalisis lebih teliti, kita akan dapat menemukan faktor-faktor kritis yang membantu kita mengambil keputusan.

Kedua konsep itu, kata Oh, menawarkan hal yang sebenarnya sama: dalam hidup yang berdesakan kita perlu mengambil waktu secukupnya untuk berpikir kritis sehingga daya rasio kita selalu tajam dan siaga untuk menghadapi persoalan yang mendesak. Oh memberi contoh menarik dengan menculik Milan Kundera dan Don Quixote dalam bagian ini. Don Quixote memberi contoh bagaimana manusia kadang perlu beringsut ke alam imajinasi untuk menghadapi realitas brutal.

Seandainya weblog ini berusia beberapa tahun lebih tua, katakan awal tahun 1990an, tentu aku sudah menulis di sini (alih2 di buku kecil yang entah sekarang ada di mana) tentang intuisi versi aku sendiri. Intuisi dalam hal ini bukanlah kilasan batin. Ia dibentuk dari rasio; dari knowledge; dari kumpulan pengetahuan yang terolah membentuk kearifan yang kemudian tersimpan secara rapi di layer yang tidak bersifat verbal lagi. Repeat: ia tadinya dibentuk dari rasio, tetapi tidak lagi bekerja secara verbal. Maka intuisi tetap dibentuk melalui pendidikan, pengasahan kearifan, perenungan, pengalaman, kecerdikan, dan segalanya itu. Intuisi kemudian membimbing kita dari dasar pikiran, di level yang berbeda, dengan cara seolah ia ilham yang datang dari langit. Berlalunya tahun barangkali membuat aku tak lagi sepenuhnya sependapat dengan pikiranku lebih dari 10 tahun lalu :) – setidaknya barangkali aku tak lagi menamainya intuisi :). Tetapi membaca perbandingan Blink dan Think, mau tak mau aku jadi terpaksa ingat catatan purba ini.

Bagaimanapun, seperti Oh tulis, memang akhirnya perlu keseimbangan. Persoalannya bukanlah memilih nalar halus atau pikiran kritis. Ada waktu yang perlu diluangkan untuk merenung dan menganalisis, tapi juga ada waktu untuk mengosongkan pikiran dan mempertajam kepekaan batin; untuk akhirnya mengambil keputusan dengan cara yang sistematis dan accountable. Batin dan rasio akan selaras membantu kita memilih langkah yang paling bijak. Dan kapan memilih tools yang mana? Ada porsi yang tepat untuk setiap masalah.

Tapi sialnya, justru waktu aku kemudian berpikir seperti itu, Oh justru mencuplik Yamamoto Tsunemoto: perlakukan masalah besar bagai masalah kecil; perlakukan masalah kecil bagai masalah besar. Trus? :). Ambillah keputusan :).

Dari Ljubljana, Alenka Zupancic berceloteh: komedi adalah bentuk drama yang lebih realis daripada tragedi. Dan itu menjelaskan kenapa tadinya aku beli Esquire Indonesia. Dari namanya aku membayangkan kemiripan dengan squirrel, ésqurial, atau écureuil. Tupai. Cit cit cit. Hush. OK, kemudian ada IEEE Network yang membahas Evolusi 4G Wireless (huh dari tahun 2001 terus membahas 4G), dan IEEE Wireless yang membahas Protocol Engineering for 802.16. Hmm, yang mana dulu ya?

Tresche

Beberapa pin mawar putih itu masih ada di koleksiku. Itu hasil perjalanan dari Yorkshire beberapa tahun yang lalu. York is a beautiful city :). Tapi ini dulu pernah aku tulis di sini. Aku cuman mau cerita bahwa dulu sebenernya aku berharap bisa dengan satu cara menyusup ke Thirsk, yang udah nggak terlalu jauh lagi dari York. District Hambleton bersebelahan dengan kota York. Tapi sayangnya di musim itu, transportasi ke Thirsk tak terlalu leluasa. Jadi aku belum berhasil. Hmm, biarpun usia manusia tak panjang, mudah2an kapan2 sempat juga aku singgah ke sana.

Thirsk. Kalau orang Viking dulu menamai York sebagai Jorvik, maka Thirsk dulu bernama Tresche, yang juga berasal dari kata Viking “þresk” yang artinya … apa ya.

Buku If Only They Could Talk, yang diterbitkan tahun 1970, dan diterbitkan versi Indonesianya tahun 1976 sebagai Seandainya Mereka Bisa Bicara, ditulis dan banyak bercerita tentang kota ini, biarpun disamarkan dengan nama Darrowby. Oh ya, buku ini juga beberapa kali bercerita tentang Harrogate, yang disamarkan sebagai Brawton. Buku ini, dan deretan sekuelnya, menduniakan nama Yorkshire, dan akhirnya nama kota Thirsk juga. Sang penulis, Alf Wight (James Herriot), selain mendapatkan penghargaan Ordre of British Empire karena prestasinya sebagai penulis, serta diangkat sebagai FRCVS (Fellow of RCVS) dan anggota kehormatan BVA, juga mendapatkan penghargaan karena mengangkat (atau bahkan disebut menciptakan) industri pariwisata di North Yorkshire.

Tetapi, selain faktor Herriot, sebenarnya banyak hal menarik lain dari kota Thirsk. Kota ini masih kecil. Pasarnya tak banyak berubah sifat dari zaman Herriot: dibuka setiap Senin dan Sabtu. Juga desa2 disekitarnya, yang nama2nya masih berbau Viking juga: Thirlby, Boltby, Borrowby. Akhiran -by berarti desa, katanya. Barangkali nama Borrowby yang diculik Wight untuk memberi nama Darrowby. Fakta bahwa Herriot betah di kota renik ini selama puluhan tahun (selain setiap Kamis kabur setengah hari ke Harrogate), serta banyak bercerita tentang bukit dan lembah di sekitarnya dengan cara yang selalu berbeda tapi tetap menakjubkan, menunjukkan bahwa kota ini memang layak dikunjungi.

Ummm … kapan ya …

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑