Category: Book (Page 3 of 10)

Cuci Piring

Cukup lama tak menyentuh James Herriot, kali ini aku mencuplik satu cerita yang rada berbeda. Tak melibatkan kedokteran hewan. Dan ini diambil dari buku All Creatures Great and Small. Buku ini adalah versi Amerika, yaitu versi bundling, dari dua buku pertama Herriot: If Only They Could Talk dan It Shouldn’t Happen to a Vet. Seperti buku Seandainya Mereka Bisa Bicara (If Only They Could Talk) yang jadi bersejarah buat aku — dan buat banyak anak2 Indonesia masa itu; buku All Creatures Great and Small ini juga bersejarah. Ini adalah buku yang pertama kali aku beli dari Amazon. Waktu aku sedang menunggu buku ini datang dari gudang Amazon (zaman itu memakan waktu berminggu2), aku dipanggil British Council karena dinyatakan mendapatkan Chevening Award. Tapi, seperti siswa Chevening lainnya, aku harus ikut training Bahasa Inggris dulu, untuk memperbaiki dan terutama mempercepat respons kami memahami bahasa Inggris. Buku ini tiba tepat waktu. Aku baca setiap malam. Bahasa Inggrisnya yang dirusak pengejaan gaya York dan gaya lain (termasuk konon Scottish dan Irish English) membuat aku makin tertantang untuk cepat memahami kalimat2 unik di dalamnya.

Balik ke buku. Halaman 277. Herriot sedang kasmaran, haha. Seorang putri petani, Helen Alderson, terus menghantui pikirannya. Sayangnya ia tak punya cukup alasan untuk menemuinya. Pak Alderson peternak yang cerdas, dan ternaknya jarang sakit. Memang salah satu sapinya pernah harus dijahit kakinya. Tapi perlu menunggu sampai akhir bulan sebelum plester penutup jahitan bisa dilepas. Dan penantian itu kandas saat Pak Alderson menelepon dan menyebut sudah melepas plester itu sendiri — hasil operasinya bagus. Untuk pertama kali James memaki kecerdasan seseorang.

Lalu James bergabung ke Music Society di Darrowby. Helen tampak beberapa kali ikut pertemuan di sana. Namun beberapa minggu, James hanya berani melihat Helen dari kejauhan, dikerumuni sahabat2nya. Termasuk malam itu. Di tengah string kuartet (haruskah kuterjermahkan sebagai dawai berempat?), James hanya melihat punggung Helen. Tapi ketua kelompok dengan riang mengajak semuanya minum teh dulu (dan membayar 3 pence). James langsung menyambar teh, lalu bergerak ke arah Helen.

Helen menatapnya. “Selamat sore, Pak Herriot. Bisa menikmati malam ini?”
“Duh, kenapa panggilnya pakai Pak sih. Panggil saja Jim,” kata James. Tapi cuma dalam hati.
Dan yang dia ucapkan adalah, “Selamat sore, Nona Alderson. Malam yang menyenangkan kan?”
Lalu diam.

Para sahabat Helen berbincang tentang Mozart. Tak ada hal lain yang bisa diperbincangkan lagi. Selesai.

Tapi Pak Ketua datang lagi. “Kayaknya harus ada yang berkorban cuci piring malam ini. Siapa yang mau ambil giliran? Atau dua anak muda ini saja?” — sambil menatap Helen dan James. Tentu saja James punya banyak gagasan yang lebih menarik daripada cuci piring. Tapi tiba2 dia melihat itu sebagai peluang emas. “Oh. Tentu. Kalau Nona Alderson tak keberatan, tentu.”

Lalu mereka berbagi tugas. James mencuci. Helen mengeringkan. Lima menit berlalu. Mereka mulai berbincang. Tapi lagi2 tentang musik. Duh, gak kemana2, pikir James. Dan dengan panik dia melihat cangkirnya tinggal satu. Ia menyerahkan ke Helen. Tapi tak dilepas. Panik menunggu inspirasi yang tak kunjung datang. Sementara perang berebut cangkir terakhir terjadi, James mendengar suara, “Boleh kita ketemu lagi?” — yang ternyata suaranya sendiri.

Helen diam. Wajahnya tak dapat dibaca. Akhirnya ia menjawab pendek. “Boleh.” Lalu James lagi. “Sabtu malam?” Disusul anggukan ringan Helen yang meletakkan cangkir kering, dan pergi. Sementara Haydn dimainkan. Apakah Helen memang berminat untuk ditemui? Atau hanya terpaksa demi kesopanan?

Selesai.

Tapi, btw, untuk kita semua yang mengejar kesempatan apa pun: bisnis, karir, network, travelling, dll — jangan meremehkan hal2 kecil semacam kesempatan untuk mencuci piring. Ingat bahwa Feynman pun memperoleh Hadiah Nobel gara2 dia memanfaatkan waktunya menghitung rotasi piring, saat dia merasa mandeg dengan cita2 yang dirasa terlalu tinggi. Mungkin … cuci piring adalah peluang emas kita :).

Oh ya. Penasarankah dengan akhir cerita? Bisa ke Wikipedia atau lainnya sih :). Tapi aku cuplikkan halaman terakhir buku itu. Halaman 437.

Aku berteriak ke Helen: “Nomor tiga delapan. Tujuh. C!”
“Tiga delapan. Tujuh. C,” istriku mengulang sambil membentangkan bukunya dan mulai menulis.

Hlör u Fang Axaxaxas Mlö

Padahal kata labirin lebih mengingatkanku pada satu sesi dari serial The New Avengers. Tapi, Jorge Luis Borges, penulis dunia itu (kurasa tak perlu di waktu ini menulis, misalnya, ‘penulis Argentina’) gemar sekali dengan labirin dan pelbagai variasinya.

Borges kukenal pertama kali dari salah satu edisi awal Jurnal Kalam (yang dulu terasa mahal sekali). Cerpennya berjudul Tlön, Uqbar, dan Orbis Tertius. Terasa luar biasa, ia langsung tertamatkan, terbaca lagi. Melintas waktu, sempat ia terdiskusikan — di mail ke Nita, dan di mail ke salah satu mail group di Isnet. Di masa ini, cerpen ini mudah digoogle, dan kajiannya bisa dilirik di kepustakaan wiki. Bentuknya sastra fantasi, bermain dengan ekstrapolasi atas idealisme Berkeley. Stylenya, duh, menggabungkan antara yang real (menggunakan beberapa tokoh, termasuk Borges, penulis Bioy Casares dan Schulz Solari; juga mengupas pandangan Berkeley, Hume, Meinong, dll), yang fiktif (tokoh Herbert Ashe), dan yang fiktif (di dalam kefiktifan cerita itu, ia pun fiktif, seperti negeri Uqbar sendiri dan berbagai budaya, bahasa, dan pandangan hidupnya). Yang lebih menjengkelkan, gayanya betul-betul dibuat seperti reportase non fiksi. Misalnya, ia menambahkan satu bagian yang dimulai seperti ini: “Postskriptum (1947). Artikel di atas saya tampilkan sebagaimana aslinya, seperti termuat dalam Antologi Sastra Fantasi (1940).” Postskriptum fiktif :). Ini semua adalah cerpen yang diterbitkan tahun 1940; termasuk postskriptum bertahun 1947 itu :). Btw, Tlön sendiri adalah ruang hidup dimana bangsa di dalamnya berpandangan idealis tulen, sehingga bahasa dan turunannya (agama, sastra, metafisika) semua berlandas idealisme. Dunia bukanlah sekumpulan obyek dalam ruang, melainkan rentetan tindakan mandiri. Semuanya temporal, bukan spasial. Judul entry blog ini adalah contoh satu kalimat dari salah satu dialek Tlön yang berarti “ke atas dari balik yang mengalir tersebut beranjak membulan.”

LKIS sempat menerbitkan kumpulan terjemahan cerpen Borges, dengan judul Labirin Impian (1999). Nirwan Dewanto menulis pengantar terjemahan itu. Di dalamnya kita bisa melihat evolusi pola permainan Borges. Beberapa cerita agak mirip. Kisah labirin “Ibn Hakkan al-Bokhari”  dan kisah “Bentuk Pedang” bercerita tentang pengkhianat yang melintas negeri yang jauh (dari Arab ke Inggris di cerita pertama, dari Irlandia ke Brasil di cerita kedua); dengan penceritaan yang secara mengejutkan mendadak mengubah obyek menjadi subyek. Entah kenapa aku jadi ingat Agatha Christie (di mana tokoh kriminal bisa anak kecil [Josephine], polisi [Three Blind Mice], atau semua orang [Orient Express], atau aku [Roger Ackroyd]).

Kisah Funes si Pengingat mengingatkan aku (aku tidak boleh menggunakan kata ini: ingat) akan diskusi di Isnet juga; bahwa manusia mengenal simbol, sementara malaikat tidak — maka manusia lebih mulia. Funes ini jadi contoh Borges untuk itu. Setelah sebuah kecelakaan, otaknya bekerja tanpa simbol: ia mengingat semua hal. Seluruh angka dipahaminya tanpa penyederhanaan ratusan, puluhan, satuan. John Locke pernah mencoba membayangkan (dan menolak) bahwa setiap benda, batu, burung, bisa punya nama tersendiri. Ia menolaknya karena terlalu rumit. Funes, di lain pihak, menolaknya karena terlalu general. Anjing pada pukul 3:14 (tampak dari depan) haruslah dinyatakan berbeda dengan anjing (yang sama) dilihat pada 3:15 (dilihat dari samping). Tapi, untuk membuatnya makin seru, bayangkan bahwa pikiran dan ingatan kita sendiri pada itu kemudian haruslah memiliki pernyataan yang berbeda.

Sekarang tentang Tuhan. Kisah Mukjizat Rahasia menceritakan seorang penulis Ceska yang dihukum mati tentara Jerman, seminggu setelah disidang. Selama seminggu ia merasakan dari frustrasi, apatis, dan pada hari terakhir ia membuang pikirannya dengan merancang sebuah plot cerita. Ia berusaha menyempurnakan plot itu. Lalu ia bermohon kepada Tuhan, bahwa “Kalau benar aku ada, bukan sekedar kekeliruan plot-Mu, aku minta waktu setahun untuk memperbaiki dramaku.” Pagi harinya, pukul 9:00 (orang Jerman harus tepat waktu), ia disiapkan di depan tembok (seperti kerepotan orang mau bikin foto), lalu pasukan disiapkan, peluru ditembakkan; lalu waktu berhenti … selama setahun … hingga tokoh kita dapat menyelesaikan dramanya di dalam hati, secara lengkap, plus melakukan koreksi lengkap hingga sempurna. Saat drama itu selesai, waktu berjalan kembali, dan matilah sang pengarang.

Tapi satu cerita sebelumnya, “Tulisan Tangan Tuhan” sering kusadur waktu membahas tentang dunia para sufi (zaman dulu), justru berkomplemen (dan karenanya identik). Kisahnya tentang ahli sihir piramida Qaholom yang telah dibumihanguskan pasukan Pedro de Alvarado. Disiksa, dinista, dikurung, ia menghabiskan waktu mengingat dan memperdalam ajaran tradisinya — semuanya didalam hati. Ia merasakan penyatuan semesta, dan segala keindahannya. Ia merasakan kekuatan semesta dengan itu bangkit. Ia menjadi kuat. Ia menjadi sang maha perkasa. Kata-katanya sanggup untuk menghancurkan kembali musuh-musuhnya, dan menegakkan kembali kerajaannya. Tapi .. tapi … pada saat itu, segalanya tak penting lagi baginya. Barang siapa telah memahami rancang bangun semesta dan keindahannya, tak lagi harus memilih siapa yang harus naik dan turun dalam hidup fana manusia. Ia membiarkan hari-hari mengakhiri hidupnya.

Rahib Berkepala Biru

Kisah2 ini adalah bagian2 awal dari buku Math Hysteria dari Ian Stewart. Aku sendiri cuman iseng baca2 halaman depan buku ini, belum beli. Tapi pernah beli buku Ian Stewart yang lain, The Collapse of Chaos. Beli bukunya waktu itu di Warwick University, tempat Prof Stewart ini bekerja.

Kisahnya di sebuah biara tempat para rahib ahli logika. Rahib K (K itu simbol kejailan) iseng mengecat biru kepala rahib A dan rahib B sewaktu mereka tidur. Bangun tidur, rahib A melihat kepala B jadi biru, tapi dia tidak bisa melihat kepalanya sendiri. Namun karena sopan, ia tidak mengatakan apa2. Demikian juga B. Nah, kemudian masuklah rahib Z. Ia tampak heran. Tapi ia cuma berkata: “Setidaknya satu dari kalian kepalanya bercat biru.”

Tentu baik A dan B tahu bahwa setidaknya satu dari mereka kepalanya bercat biru. Ini kedengarannya bukan info baru. Tapi ini jelas info baru. Sekarang A melihat B, dan sadar bahwa B tidak terkejut. B sudah tahu bahwa dari tadi setidaknya satu dari mereka kepalanya bercat biru. Padahal B tak bisa melihat kepalanya sendiri. Maka kini A tahu bahwa kepalanya sendiri bercat biru. Demikian juga B. Baru pada saat itu keduanya jadi terkejut. Ini mendefinisikan informasi :). Informasi bukan hanya data, tetapi juga berkait pada pihak yang menerima dan memberikan data, dan dengan demikian menjadi relasi data. Ingat, yang diucapkan Z itu data yang A dan B sudah tahu :).

Apa yang terjadi kalau si K mengecat bukan dua tetapi tiga kepala rahib? Misalnya A, B, dan C. Paginya, A melihat kepala B dan C biru, tapi tak bisa melihat kepalanya sendiri. Demikian juga B dan C. Lalu Z masuk dan mengatakan hal yang sama: “Setidaknya satu dari kalian kepalanya bercat biru.” Lebih rumit? Sedikit. A akan berpikir seperti ini: “Kepalaku biru nggak? Misalnya nggak biru. Si B akan melihat C yang berkepala biru dan heran bahwa C tidak tampak terkejut. Lalu B akan sadar bahwa kepalanya sendiri biru, karena C pasti melihat kepalanya biru. Tapi kenapa B nggak tampak terkejut? Artinya … Aaaaa … Kepalaku biru donk.” Barulah A terkejut, bersama dengan B dan C. Asumsinya, tentu, kecepatan berpikir mereka sama cepatnya. (Bukan sama lambatnya).

Ian meneruskan kisahnya sampai 100 rahib. 100 rahib yang diam2 kepalanya dicat biru dikumpulkan di aula. Lalu pimpinan biara mengumumkan: “Saya akan membunyikan lonceng. Barang siapa yang dapat memastikan bahwa kepalanya sendiri berwarna biru, silakan angkat tangan.” Sepuluh menit kemudian, ia membunyikan lonceng. Tak ada tangan terangkat. Pimpinan biara berkata, “Aduh, saya lupa bilang: setidaknya salah satu dari kalian memang bercat biru.” Lalu ia membunyikan lonceng lagi, setiap 10 detik. Pada lonceng 1-99, tak ada tangan terangkat. Tapi pada dering lonceng ke 100, semua tangan terangkat. Kini mereka tahu, bersamaan :). Untuk memahaminya, bayangkan salah satu rahib berpikir seperti ini: “Misalkan aku tidak tercat biru. Maka 99 rahib lain tahu. Maka mereka akan melakukan deduksi berantai sampai 99 hitungan, lalu mereka akan mengangkat tangan.” Nah, sampai 99 hitungan, tak ada satu pun yang mengangkat tangan. Dan rahib tadi berpikir: “Uh, asumsiku salah. Berarti aku bercat biru.” Maka ia mengangkat tangan pada hitungan ke 100, bersama 99 rahib lain yang berpikiran serupa.

Bagaimana cara deduksi 99 rahib yang dibayangkan salah satu rahib itu? Serupa dengan logika yang sama dengan deduksi 100 rahib. Jadi sifatnya rekursi hingga 1 rahib. Sekarang, andai hanya ada 1 rahib yang bercat biru; maka ia melihat 99 rekannya tidak bercat biru; maka ia tahu bahwa ia bercat biru pada hitungan pertama, kan? Nah, itu akhir loopingnya :). Maka andai ada 68 orang dari 100 rahib yang bercat biru; pada hitungan ke 68, ke-68 raib biru itu akan mengangkat tangan, dan rahib sisanya tidak akan mengangkat tangan.

Penasaran? Malam ini coba cat biru kepala teman2 serumah kamu waktu mereka sedang tidur. Dan lihat hasilnya besok pagi.

16 Juni 2005

Berbagai aggregator blog bisa jadi saksi: banyak hal yang bisa terjadi dalam 24 jam. Tapi seorang Daniel Altman memaksa membukukan apa yang terjadi pada sebuah 16 Juni 2005 di bukunya yang terbit tahun 2007: Connected 24 Hours in the Global Economy. Bukan buku yang terkenal di antara para ekonom, aku yakin. Tapi jelas pas buat teknolog yang baru mulai belajar ekonomi kayak aku, untuk turut mengamati kaitan2 baik yang klasik maupun non-intuitif, di sisi teknologi-ekonomi-politik-budaya dari seluruh belahan dunia. Oh ya, waktu 24 jam ini dicatat di New York.

Jam 00:03 waktu New York, artinya di 06:03 waktu Stockholm, cerita dimulai dengan aliansi antara Ericsson dengan Napster. Uh, tahun 2005, setelah gelembung2 dotcom meletus, setelah global clusters roboh, masih ada upaya aliansi? Antara Ericsson yang jadi bendera megah Swedia itu, dengan Napster si bekas anak nakal pembajak musik itu? Memang. Dan Altman membekali kita dengan latar belakang berbagai aliansi, baik yang sukses dan yang tidak. Apa alasan EBay mengakuisisi Paypal (padahal ia sudah punya Billpoint) dan kemudian Skype (yang urusannya di Internet sangat beda)? Kenapa merger Morgan Stanley dan Dean Witter gagal mencapai goal? Juga Chrysler dan Daimler-Benz? Bagaimana akuisisi AOL atas Time-Warner dianggap kelicikan? Dan nantinya, di bab lain tentang Cina: Mengapa dan bagaimana Haier dipertahankan untuk tidak dibeli pihak asing? (Kebijakan yang membuat kita terpaksa mengenang kembali kebodohan Laksamana Sukardi yang menjual Indosat).

Tapi lalu Altman kembali ke Ericsson dan Napster. Operator telekomunikasi di dunia tengah berminat mengembangkan content, sebagai bagian dari pengembangan pasar mobile dan Internet. Dan hasil survei menunjukkan content yang paling diminati: musik. Ericsson sebagai vendor dan konsultan significant tentu berusaha memberikan solusi terbaik. Umumnya para operator tidak merasa perlu menggunakan brand masing2 untuk memasarkan content musik. Jadi untuk itu Ericsson mulai mengajak Napster, yang memahami liku2 jalan2 dan gang2 distribusi musik online hingga ke benak customer. Hm, bukan saja tak menggunakan brand para operator. Pakai brand Ericsson pun tidak. Tapi pasar merespons positif kecerdikan ini. Di akhir hari, baik saham Napster maupun Ericsson mencatat kenaikan.

Kemudian, jam 3:02 waktu New York, atau jam 16:02 waktu Tokyo. Cerita beralih tentang perusahaan2 besar di Jepang, dimulai dari Mitsubishi. Intinya: sejauh mana pemerintah mampu membuat pasar global lebih kompetitif. Lucu membaca bahwa seringkali pemerintah justru jadi biang yang membuat industri tidak kompetitif; padahal itu di negara2 dengan tingkat kolusi rendah. Di sini … ah, skip. Berikutnya 3:09 waktu New York atau 14:09 waktu Ho Chi Minh, kisah dibuka dengan kemauan Intel membangun Vietnam digital, dengan pertanyaan: perusahaan2 multinasional ini lebih banyak membawa progress atau problem? Jawabnya … haha :)

Oh ya, aku tadi menyinggung Haier. Ini hampir di tengah buku. 5:15 waktu New York, 17:15 waktu Qingdao. Qingdao itu kota ukuran menengah, yang dulu terkenal dengan industri bir; warisan dari pemukim Jerman di Tsingtao. Industri bir ini sudah separo diakuisisi oleh perusahaan Amrik. Jadi sekarang yang jadi kebanggaan Qingdao adalah Haier: perusahaan perangkat teknologi yang di tahun 2005 sudah sibuk memasarkan HP sekecil pena hingga kulkas yang segede apa ya … kita bisa berdiri di dalamnya. Tokohnya Wei Duan, cewek keren yang jadi brand manager Haier di usia muda, lulusan Nottingham. Haier, dan beberapa perusahaan lain, menarik Wei yang memilih pulang kembali ke RRC dengan tujuan: membuat negerinya maju lagi.

Haier tidak bercita2 untuk menjadi besar sehingga bisa mudah dibeli kapitalis asing; sebaliknya mereka bercita2 untuk lebih besar lagi untuk suatu hari bisa membeli perusahaan2 asing. Tentu, dengan bergerak di teknologi, mereka langsung menghadapi kompetitor kelas raksasa. Tapi Haier memilih niche market secara hati2 dengan memahami budaya berbagai negeri. Hasilnya, a.l., HP segede pena itu. Atau kulkas dengan laci untuk diekspor ke Amrik, dimana user bisa mengambil isi freezer tanpa harus memasukkan tangan ke freezer. Atau mesin cuci gede buat Pakistan yang terkenal dengan keluarga besarnya, sekaligus mesin cuci kecil2 buat Jepang yang penduduknya gemar bebersih sedikit2 tapi tiap hari. Ada juga HP dengan tombol besar dan font besar khusus buat orang2 tua. Partnership juga dilakukan. Dengan Sanyo di Jepang misalnya, sehingga kedua perusahaan mendapatkan kemudahan distribusi di negara seberang. Ia juga berekspansi langsung ke sarang lawan: Korea Selatan dan Amrik. Maka Haier tumbuh 68% dalam setahun. (Bukan typo, kata bukunya). Strategi lain, uh banyak. Juga masalahnya. Bisakah nantinya Cina tumbuh mengejar Amrik? Atau ikutan loyo kayak Jepang sejak 1990an?

Bab lain membahas supply uang di dunia, harga sebuah korupsi, pasar saham, stabilitas politik dan ekonomi, soal minyak, hegemoni Amrik secara ekonomi, soal hak cipta (perlukah hak cipta untuk ide?), dan masih banyak lagi. Bukan hal baru kan, buat para ekonom? Tapi buat kita yang lain, barangkali pas untuk mulai memahami ekonomi dunia.

Oh ya, buku ini dibeli di Periplus waktu discount buku 50%-70% minggu lalu. Musim maruk buku, yang pas dengan musim libur. Libur ini, siang penuh jalan2, malam penuh baca2 buku sampai hampir pagi. Buku memang sahabat yang menarik.

Bad Science

Konon memang pernah ada masanya dokter di negeri ini diluluskan dengan ujian “multiple choice” dan bikin beberapa rekan khawatir mempercayakan kesehatan kepada dokter. Sebaliknya, di negeri lain, profesi yang — menurut poll — dianggap paling terpercaya adalah dokter. Poll ini diadakan di Inggris. Di negeri itu, profesi yang paling tak dipercaya adalah — hahaha — jurnalis. Agen real estate bahkan dianggap lebih dipercaya daripada jurnalis — sialan :). Bayangkan apa kata poll itu kalau blogger dan penulis pesan di mail list dianggap sebagai profesi. Wow, aku yakin mereka lebih tak dipercaya lagi.

Tapi itu hasil poll. Dalam keseharian, orang ternyata lebih percaya issue di mail list, di blog, dan di koran/TV daripada pendapat ilmiah yang dikeluarkan ilmuwan atau dokter. Salah satu contoh yang sempat membuat para dokter marah besar adalah soal vaksinasi MMR (measles, mumps, rubella). Seorang dokter menuduh vaksinasi itu menyebabkan autisme. Segera media menggembar-gemborkan soal itu, tanpa peduli opini mayoritas kalangan ilmiah yang tak sependapat dengan seorang dokter itu. Hasilnya, terjadi lonjakan jumlah kasus akibat kurangnya vaksinasi, yang mengakibatkan kematian.

Maka seorang dokter lain, Ben Goldacre, membuat simpulan: jurnalisme berbahaya bagi kesehatan. Secara keras ia mulai menulis melawan pseudoscience yang sering dikemas sebagai “pengobatan alternatif” :). Tulisan2nya kemudian dikemas dalam buku Bad Science. Tentu bukan menohok para jurnalis. Justru ini untuk mulai mencerahkan jurnalis dan masyarakat yang masih buta sains. Tujuannya untuk membuat kalangan jurnalis mulai bisa mengemas mana hal yang ilmiah dan mana yang pseudoscience dan mana yang jual jamu berkedok pengobatan alternatif dan mana yang merupakan overhype dari pabrik obat. Buku Bad Science memberi contoh misalnya homeopathy, bracelets yang bermain di efek magnetik,  dan contoh lain. Tapi terutama ia memberikan contoh metode ilmiah yang benar yang diterapkan pada pengobatan, termasuk testing dengan efek placebo dan faktor-faktor lain yang cukup kompleks. Goldacre benar2 ingin pembacanya tervaksinasi terhadap nonsense2 berikutnya yang akan mereka hadapi di media atau di mana saja.

Namun, Goldacre juga mengingatkan kembali: sains tidak memiliki autoritas yang monolitik. Sains sendiri tetaplah proses untuk terus menerus mempertanyakan dan pengujian yang jujur dan terus menerus untuk mencari jawaban.

Kesimpulan: buku ini tak direkomendasikan. Membaca buku ini bisa membuat kita dimusuhi saudara, tetangga, blogger, agen MLM, dan kalangan terdekat kita. Lebih baik hidup damai sajalah, kata penatar P4, dan kata orang besorban penjaja SMS Premium di TV.

Maryamah Karpov

Seperti semua entry lain di sini yang judulnya disalin dari judul buku, entry ini pun bukan berupa review buku. Ini adalah beberapa kilas kesan selama menikmati buku Maryamah Karpov: bagian keempat dari tetralogi Andrea Hirata. Dibaca secara ekstra cepat, buku ini tamat dalam hitungan jam. Dan terpaksa diulang baca, kerna blum pwas bacanya. (Salah satu efeknya adalah: aku jadi telat menulis entry blog tentang Fresh 4.0).

Judulnya, mengingatkan pada kritik Andrea pada film Indonesia: yang hanya dari judulnya saja bisa diketahui nasib para pelakunya. Justru judul yang buat aku ajaib inilah yang bikin aku mengulang baca buku ini: hey kenapa gerangan buku ini dijuduli Maryamah Karpov. Huh, Andrea memang outstanding dalam berbagai hal :).

Lalu sebuah cermin. Cermin itu tak dibuat buat kita per seorangan. Tapi tetap cermin. Bab awal langsung memaksaku ingat mendiang Papap yang selalu tampak gagah dan percaya diri di depan anak keduanya ini; apa pun yang terjadi di ujung dunia sana. Tanpa keluhan. Tanpa serangan ke siapa pun. Begitulah cara lelaki menghadapi dunia — yang sampai sekarang masih coba aku pelajari. Kapan berhasil, West? :)

Lalu di bab berikutnya, aku harus ketawa membayangkan sidang tesisku yang juga dilangsungkan di bulan Ramadhan, menjelang winter. Tak perlu tolak bala tapi. Cuman gejala mual dan pening yang sama tengah menyiksa. Syukur hari itu supervisor dan pengujiku tak seseram LaPlaggia, dan biarpun mereka chatting sendiri, tapi mereka nggak menyinggung soal sinshe. Dan alih2 mengetik algoritma, aku cuman — atas keinginan sendiri — menggambar alternatif2 konfigurasi network, dan optimalisasinya. Aku sendiri nggak tau apakah aku mahasiswa bimbingan terakhir Mr Bidgood. Tapi yang jelas itu semester terakhir dia aktif di kampus.

Selebihnya, Andrea membawaku teringat ke buku2 Herriot. Penggemar Herriot sejati dia, harus kuakui. Biarpun aku nggak pernah paham: lanun mana yang menyuruhnya mencampuradukkan kota Edensor dengan Herriot. Tapi adegan dia kedinginan di salju; pilihan kata saat dia terdesak dan justru memutuskan menemukan kesempatan; kisah tukang banyol di warung kopi; sedikit banyak membuat kita rada deja vu. Dan tentu ini: semua pilihan kata saat Andrea mendarat dari sebuah bis maha bising, turun di kampung yang sunyi — amat sangat membuat kita merasa sedang membaca detik-detik mendaratnya Herriot kita kali pertama di Darrowby. Pun hanya dari cara dia dengan elegannya membuatku teringat Herriot, Andrea sudah cukup untuk jadi penulis favoritku. Biarpun masuknya kota Edensor masih menggangguku. Kenapa sih, Ikal?

Lalu kembalinya Laskar Pelangi, tentu melegakan pembaca buku dan penonton film Laskar Pelangi. Satu demi satu tokoh ditampilkan ulang. Dan tentu Lintang, yang dicintai siapa pun, bisa menampilkan kembali kekerenan ilmiahnya yang tak setengah2. Banyak kritik soal kekerenan Lintang. Tapi buat aku, Lintang memang harus seperti itu: ia seorang Übermensch ilmu. Orang2 seperti Lintang ada! Dengan kekerenan tak kurang dari itu. Mereka harus ditampilkan. Dan sebaliknya dengan orang2 pintar macam Mahar yang sudah overexposed di Indonesia, dengan segala pseudoscience, sugesti diri, dan semacamnya. Mahar memang perlu ditampilkan, lengkap dengan Tuk Bayan Tula. Tetapi hanya sebagai lelucon, sebagaimana Andrea memaparkannya. {Aku menikmati sekali jokes daur ulang ala Tuk. Begitu baca nama Tuk, aku langsung ingat candaan antiklimaks di Laskar Pelangi, dan yakin ini terjadi lagi di Maryamah Karpov.}

A Ling? Aku juga suka akhir ceritanya yang diambangkan. Ini buku yang punya ending bagus, justru dengan pengambangan semacam itu. Ini buku tentang hidup. Hidup tidak punya happy end. Ia mengalir terus, dengan tantangan tak masuk akal terus menerus yang harus kita arungi dan hadapi.

Trus, Telkom ke mana? Haha :). Orang Telkom sering ditanyai: kok Andrea tidak pernah menulis tentang Telkom? Ini tentu harus Andrea yang menjawab. Tapi aku tidak merasa itu aneh. Ada waktunya aku juga agak menghindar menulis tentang Telkom. Di CV memang aku tulis: I work with Telkom. Tapi tidak banyak cerita tentang Telkom ditulis di blog ini misalnya. Tentu bukan karena tidak bangga pada Telkom. Sebaliknya. Justru kadang merasa bahwa Telkom yang tidak bangga atasku :). Canda :)  :).

Thanx, Andrea. Nice book. Kan kusebut nama belakangmu 7 kali malam ini, untuk barangkali bisa menggugahku pada hal yang amat jarang kupikirkan selama hidup.

Ketawa Cara Russia

Uni Soviet zaman Stalin:

Seorang lelaki mendadak keluar dari rumahnya di Moskow sambil berteriak, “Hanya satu orang! Dan dia membuat kita semua menderita! Seluruh dunia menderita! Satu orang pendusta!”
Hanya dalam hitungan menit, dia sudah ditangkap, babak belur, dan diinterogasi di kantor KGB.
“Ada apa, kamerad? Anda teriak apa tadi?”
“Satu penipu besar, membuat kita semua menderita!”
“Masa? Lalu siapa satu penipu itu?”
“Siapa? Anda tentu tahu juga! Hitler, tentu saja!”
“Ah tentu. Baiklah, Anda boleh pulang.”
Si lelaki berdiri terhuyung, berjalan ke arah pintu, tapi lalu menoleh balik. “Tunggu. Tadinya Anda kira siapa penipu itu?”

Humor itu memang tak khas Russia zaman Stalin. Ia bisa dipasangkan juga misalnya di Russia zaman Tsar Nikolay.

“Anda tadi yang berteriak-teriak ‘Nikolay penipu besar’ di jalan?”
“Ya. Tapi maaf ada kesalahan. Maksud saya itu Nikolay teman saya, bukan tsar kita.”
“Tidak mungkin. Kalau orang bilang penipu besar tentu Nikolay tsar kita.”

Atau mungkin juga berlaku untuk Soeharto, sasaran joke nasional kita. Tapi yang jelas, versi Soviet jauh lebih terasa lucu daripada versi lainnya (pun versi Russia non Soviet). Tak sulit dipahami. Soviet sendiri adalah sebuah lawakan. Bayangkan: komunisme, sosialisme, demokrasi, sama rata sama rasa, tapi dipadukan dengan diktator (pun berembel proletariat). Sebutlah itu dialektika (secara becanda). Tapi ini jelas kontradiksi terpasang yang memungkinkan humor terjadi setiap saat.

Radio Yerevan menerima pertanyaan: “Benarkah kondisi kamp-kamp kerja kita sudah jauh lebih baik?”
Radio Yerevan menjawab: “Tentu. Orang yang terakhir bertanya seperti Anda telah dipersilakan untuk menjenguk sendiri kamp-kamp itu. Hingga ini penanya itu belum kembali. Diperkirakan ia terlalu betah berada tempat nyaman itu.”


Dan di tempat dimana ketakutan hidup subur ditutupi kemasan kemegahan dan perayaan kasih sayang tak berkesudahan, kitsch tumbuh subur, menciptakan lahan baru untuk ditertawai.

“Sudah dengar bahwa Kamerad Brezhnev harus dioperasi?”
“Ya. Jantung katanya?”
“Bukan. Pembesaran bidang dada, agar bisa menerima medali lebih banyak lagi.”

Atau memaksa orang untuk berkontemplasi tentang asal usul.

Dzherzhinsky: “Malam yang cerah, Kamerad Ilyich?”
Lenin: “Tentu malam yang cerah.”
Dzherzhinsky: “Sebotol vodka, pas kan?”
Lenin: “Tidak lagi, kamerad. Tidak lagi.”
Dzherzhinsky: “Sebotol saja, tak akan jadi masalah kan?”
Lenin: “Terakhir kali kita minum, Anda memang langsung tidur. Tapi aku memanjat tank. Dan lihat hasilnya sekarang!”

Atau me-reka ulang definisi:

“Jadi apa bedanya kerajaan dengan republik?”
“Di kerajaan, kekuasaan diserahkan dari orang tua ke anaknya. Di republik, dari orang tua ke orang tua lain.”
“Dan apa bedanya demokrasi dengan demokrasi sosialis?”
“Tepat sama dengan bedanya kursi dengan kursi listrik.”

Dan tentu, pada dasarnya orang Russia sendiri memang pecinta humor.

“Kamerad Brezhnev, benarkah bangsa Russia tidak suka humor?”
“Justru kami suka mengkoleksi humor-humor.”
“Bagaimana dengan humor yang menertawai pimpinan partai?”
“Justru itu favorit kami.”
“Banyak koleksi Anda?”
“Hampir empat kamp penuh.”

Humor bahkan melejit melampaui masa represi. Di zaman pencerahan Gorbachev pun, humor mengiris masih ada:

+ Kok baksonya persegi sih?
– Perestroika (restrukturisasi)
+ Dan tampak agak mentah?
– Uskoreniye! (akselerasi)
+ Sudah ada bekas gigitan pula?
– Gospriyomka (approval negara)
+ Cuek aja menyampaikan hal seperti ini?
– Glasnost! (keterbukaan)

Dan tentu humor pun berlanjut ke zaman Putin, yang sering disebut sebagai Neo-Stalin :)

Biarpun tidak lagi di zaman komunis, tekad Putin menjaga kedigdayaan negerinya membuat banyak orang menyamakan dirinya dengan Stalin. Maka, di waktu segalanya kusut (inflasi tinggi, perang Chechnya, krisis Georgia, skandal bisnis migas) dll, Putin mengundang arwah Stalin membantunya.
Stalin datang, lalu menasehati: “Mudah saja. Pertama, kumpulkan semua kaum demokrat di lapangan merah, lalu tembak mereka. Kedua, ganti cat Kremlin dengan warna biru.”
Putin tergelitik: “Lho, kenapa warna biru!”
Stalin tertawa. “Putin tersayang, kamu memang pengikutku. Kamu mempertanyakan yang nomor 2, tapi tidak yang nomor 1.”

Buku Mati Ketawa Cara Russia (masa sebelum Gorbachev) sempat diterjemahkan ke Bahasa Indonesia beberapa belas tahun lalu oleh Kelompok Tempo, dan langsung dicetak ulang beberapa kali. Bukan saja pembaca berderai2 tertawa, tetapi bukunya juga berderai2 karena kualitas penjilidan yang tak bagus. Hingga kini, masih terdengar ada yang mencari buku itu di sana sini. Pun setelah humor online macam Mati Ketawa Cara Daripada Soeharto diterbitkan di sekitar masa reformasi.

Huh, harus balik bikin desain-desain lagi. Jadi memori Russia kita stop sebentar, dilanjutkan di bagian comment saja nanti.

Anda sendiri, punya humor Russia kenangan?

Oscar

Judul bukunya ajaib: Ubuntu Kung Fu. Diterbitkan kemarin, dan tampil waktu aku lagi window-shopping di O’Reilly. Hmm, itu tipe miaow bela diri apa miaow IT yach? Jadi ingat buku WordPress yang aku buat buat panduan di training blog itu, yang bercover si miaow juga.

So, enaknya aku menceritakan kembali dongeng tentang kucing. Dari James Herriot :). Seorang gadis kecil datang ke Skeldale House membawa gulungan kecil selimut. Melihat isinya, Tristan yang biasanya periang itu berteriak ketakutan. Tulang2 tampak menonjol di antara bulu2 kucing kecil tak berdaging itu. Plus bekas luka dan lebam di perutnya. Marjorie, si gadis penuh air mata itu, cuma ingin penderitaan kucing yang tak sengaja ditemuinya itu, diakhiri. Tristan tak sependapat, dan memilih mulai melakukan tindakan medis. Dua jam, operasi pada makhluk kecil itu selesai. James (Herriot) tak yakin pada hasilnya. Tapi Helen, istrinya, mengajukan diri untuk terus merawat si kucing: membiarkan tidur di kamar mereka, menyuapi susu setiap saat, berseling makanan bayi. Helen menamainya Oscar. James sendiri harus rajin memberi obat. Dan suatu hari Oscar bisa mulai berjalan lagi. Dan mulai bermain. Dan tak lama, ia menghilang.

Berkeliling keluarga Herriot mencari Oscar, hingga larut malam. Jam 22, Mrs Heslington mengantar Oscar pulang. Katanya Oscar tiba2 masuk ke pertemuan Mother’s Union dan duduk sampai rapat selesai. Tapi tak ada yang aneh, selain keanehan itu, dan selain bahwa tak lama Oscar hilang lagi. Kali ini ia pulang diantar Mr Newbould. Katanya entah kenapa Oscar ikut menonton lomba dart Bapak2. Ketiga kali Oscar menghilang, Herriot tak lagi berusaha mencarinya. Miss Simpson yang mengantarnya pulang dari kopdar di Women’s Institute: pertemuan yang meriah dengan lomba bikin kue. Sekarang Herriot tahu: Oscar memang kucing bergaya sosialita: gemar berkopdar serta bergabung dengan banyak orang. Huh, kenapa bukan dengan sesama kucing?

Keriangan James berhenti saat seorang bapak, Mr Gibbon, datang ke prakteknya, dan menyatakan bahwa Oscar adalah kucing keluarganya yang hilang. Biarpun berat, tapi James amat heran bahwa Helen tampak lebih siap melepas Oscar; yang oleh keluarga Gibbon dinamai Tiger. Terpaksalah berpisah keluarga Herriot dengan Oscar.

Tapi bulan berikutnya, di suatu kunjungan ke Brawton, James mendadak mengajak Helen ke Wederly: bertamu ke keluarga Gibbon. Dan tentu mereka disambut ramah malam itu: becanda, bercakap. Pukul 21, barulah si Tiger tampak masuk rumah.

James penasaran: “Loh, dari tadi di mana aja dia?”
Bu Gibbon menjawab: “Hmm, ini hari Kamis kan? Mmmmm … ya … ada kelas yoga malam ini.”

Bright & Beautiful

Di blog yang lain (aku sendiri nggak tahu jumlah blog yang aku tulis, di luar ABN), aku sempat menulis bahwa kalau misalnya aku disuruh memilih tinggal di satu dari dua planet, satu isinya cuman buku, dan satu lagi Internet termasuk blogging; aku pasti akan memilih planet dengan buku :). Buku terlalu mengasyikkan, dan belum tergantikan sama benda apa pun. So, aku menikmati weekendku dengan buku2. Ya, terinterupsi dikit oleh Kopdar Blogger Bandung dan ekstra nyeri yang secara sporadik mendadak menusuk kepala. Tapi keasikan membaca sedang tak terganggu.

Weekend diawali dengan baca buku … uuuh … bukunya OK dan inspiring banget. Tapi karena belum terbit, aku terpaksa merahasiakan judul dan nama pengarangnya (selain membocorkan dikit). Ini adalah bagian dua dari sebuah trilogi, dan menceritakan seorang kolumnis penjelajah alam. Pekerjaannya adalah melempar dart pada peta Indonesia, lalu mengunjungi tempat di mana dart itu mendarat, lalu menulis kolom tentang tempat itu dari sisi yang unik. Si kolumnis ini sayangnya bukan Internet-savvy, jadi terjebak sebuah masalah yang pasti bisa dipecahkan para techno geek :p. Bagian2 ceritanya sempat bikin aku ketawa terpingkal2, dan sekali terharu berat. Si penulis sampai membaca ulang tulisannya untuk mencari bagian yang bisa bikin aku terharu berat — dan nggak ketemu. Doi lupa apa yang selalu diingatkan Derrida: sebuah teks telah meninggalkan penulisnya dan menjadi milik pembacanya, lengkap dengan segala penafsirannya.

Trus mendadak kangen tulisannya Herriot. Serial Herriot semestinya cukup lengkap di rak buku. Aku mulai dari All Things Bright & Beautiful. Di Darrowby, Herriot mulai mewarisi sedikit sifat paradoks dari Siegfried. Kesal berat pada peternak yang tak menghargai libur natalnya, lalu memuji mereka sebagai pencerah dunia. Bab lain menceritakan Herriot sebagai jagoan pembungkus kucing: seliar apa pun si kucing pasien, ia selalu bisa membungkusnya. Ia hanya gagal waktu menangkap kucing bernama Boris, akibat ulah Tristan si pengacau yang justru menikmati mengejar2 kucing liar + superlincah itu. Tokoh lain yang juga muncul adalah dokter Ewan, yang mengatasi banjir uterus (yang pernah amat menakutkan Tristan) hanya dengan setengah pon gula, rak bir, dan sebotol wiksi.

Herriot lalu juga menceritakan perkenalan pertama dengan Granville, dokter hewan kelas atas yang pasiennya hanya binatang kecil, tinggal di kota besar (200rb penduduk), berasisten seorang resepsionis cantik, beberapa suster cantik, dan memiliki istri yang amat cantik. Granville amat profesional. Bekerja cepat dan efisien, menolong hewan yang sudah tak dapat ditangani Herriot (anjing betina dengan tumor, kucing seorang kolonel yang terlindas mobil dan rahangnya sudah lepas, dst, dst). Ia selalu baik hati & penuh persaudaraan pada Herriot; berbagi tembakau mahal, baju bagus, dan gemar mentraktir bir hingga wiski. Bagian terlucu adalah bahwa setiap kali Herriot bertemu Zoe, istri Granville, ia selalu dalam keadaan amat mabuk dan kusut, sementara mereka berdua tetap tampil prima dan bersahabat. Di adegan kucing itu, Herriot sudah hampir menidurkan si kucing selamanya, sebelum pikiran sehatnya kembali, dan ia melarikan si kucing ke Granville. Operasinya berat, dan si efisien perlu waktu 1 jam plus keringat tebal plus sempat membentak Herriot. Tapi berhasil. Lalu dengan ramah ia mengajak Herriot mengikuti seminar dokter hewan. Waktu Herriot mengiyakan, ternyata seminarnya di luar kota, di balik pematang gunung pembelah Inggris itu, dan mereka baru berangkat jam 8 malam, di tengah badai salju. Di sana mereka ketinggalan seminar, dan “cuma” kebagian banyak bir. Lalu pulang dengan kecepatan tinggi. Baru Herriot pulang ke Darrowby. Paginya ia baru tahu bahwa jalan yang mereka lintasi sambil ngebut semalam itu sudah beberapa hari ditutup karena terlalu berbahaya. Tidak ada mobil yang lewat sana. Buku ini dan buku2 berikutnya banyak menceritakan pertemuan2 dengan Granville.

Membuatku berpikir … sialan, akhir2 ini aku terlalu gampang menyerah ya? Meowwwwww :)

Istoria da Paz

Akhirnya terbaca juga buku Okke ini: Istoria da Paz. Buku ini udah beberapa minggu dibeli, tapi lupa dibaca terus. Dan berbeda dengan buku2 sebelumnya, aku merasa yang ini Okke banget. Ntah kenapa aku merasa karakter Damai a.k.a. Bu Guru Bunga ini mirip Okke. Nggak heran sih. Aku juga kadang membayangkan tokoh Tomas di Unbearable Lightness of Being mirip Kundera :).

istoria-da-paz.png

Bukunya 200 halaman, dengan ukuran saku. Bisa dibaca sambil pusing dalam 1 jam lebih sedikit. Bahasa sang penulis kebetulan tepat sama dengan kecepatan baca optimalku. Tak berbunga, pintar memilih kata yang singkat dan tepat, tapi juga tak pelit ekspresi. Kalau semua buku kayak gini, boros. Cepat habis uang buat beli buku baru lagi.

Kalau Ayu Utami dulu jadi salah satu pelopor dengan novel yang mengandung komunikasi e-mail; Okke melanjutkan tradisi itu dengan novel yang mengandung komunikasi via blog. Plus media online lain. Tokoh Damai dilontarkan dengan suatu alasan (buat aku alasannya nggak penting) ke tempat favorit penulis: Timor. Bukan di Timor Lorosae, tapi di kawasan pengungsi. Ketemu tokoh Dion, sarjana idealis yang memilih bekerja membantu kaum tak terbantu. Dan Abitu, makhluk kecil usil paling jail di dunia. Tokoh2 ditampilkan biasa saja, manusiawi, dengan relasi yang manusiawi tapi hangat. Ya, ada sih adegan Damai harus mengejar2 babi, atau ikut membubarkan kelas untuk mengejar kambing, yang berakhir dengan dirinya dikejar2 kambing sampai jatuh berulang ke semak berduri. Relasi manusiawi yang biasa2 tapi hangat ini sering tertangkap di buku If Only They Could Talk punya Herriot. Tanpa aliran mengklimaks yang tertulis. Kita dibiarkan meluncurkan sebagian cerita oleh kita sendiri, dalam hati kita sendiri. Dan tamat secara menarik; saat tokoh Damai mendadak menemukan jiwa yang lain dalam dirinya.

Okke, makasih ya. Bukunya keren.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑