Category: Book (Page 3 of 10)

Rahib Berkepala Biru

Kisah2 ini adalah bagian2 awal dari buku Math Hysteria dari Ian Stewart. Aku sendiri cuman iseng baca2 halaman depan buku ini, belum beli. Tapi pernah beli buku Ian Stewart yang lain, The Collapse of Chaos. Beli bukunya waktu itu di Warwick University, tempat Prof Stewart ini bekerja.

Kisahnya di sebuah biara tempat para rahib ahli logika. Rahib K (K itu simbol kejailan) iseng mengecat biru kepala rahib A dan rahib B sewaktu mereka tidur. Bangun tidur, rahib A melihat kepala B jadi biru, tapi dia tidak bisa melihat kepalanya sendiri. Namun karena sopan, ia tidak mengatakan apa2. Demikian juga B. Nah, kemudian masuklah rahib Z. Ia tampak heran. Tapi ia cuma berkata: “Setidaknya satu dari kalian kepalanya bercat biru.”

Tentu baik A dan B tahu bahwa setidaknya satu dari mereka kepalanya bercat biru. Ini kedengarannya bukan info baru. Tapi ini jelas info baru. Sekarang A melihat B, dan sadar bahwa B tidak terkejut. B sudah tahu bahwa dari tadi setidaknya satu dari mereka kepalanya bercat biru. Padahal B tak bisa melihat kepalanya sendiri. Maka kini A tahu bahwa kepalanya sendiri bercat biru. Demikian juga B. Baru pada saat itu keduanya jadi terkejut. Ini mendefinisikan informasi :). Informasi bukan hanya data, tetapi juga berkait pada pihak yang menerima dan memberikan data, dan dengan demikian menjadi relasi data. Ingat, yang diucapkan Z itu data yang A dan B sudah tahu :).

Apa yang terjadi kalau si K mengecat bukan dua tetapi tiga kepala rahib? Misalnya A, B, dan C. Paginya, A melihat kepala B dan C biru, tapi tak bisa melihat kepalanya sendiri. Demikian juga B dan C. Lalu Z masuk dan mengatakan hal yang sama: “Setidaknya satu dari kalian kepalanya bercat biru.” Lebih rumit? Sedikit. A akan berpikir seperti ini: “Kepalaku biru nggak? Misalnya nggak biru. Si B akan melihat C yang berkepala biru dan heran bahwa C tidak tampak terkejut. Lalu B akan sadar bahwa kepalanya sendiri biru, karena C pasti melihat kepalanya biru. Tapi kenapa B nggak tampak terkejut? Artinya … Aaaaa … Kepalaku biru donk.” Barulah A terkejut, bersama dengan B dan C. Asumsinya, tentu, kecepatan berpikir mereka sama cepatnya. (Bukan sama lambatnya).

Ian meneruskan kisahnya sampai 100 rahib. 100 rahib yang diam2 kepalanya dicat biru dikumpulkan di aula. Lalu pimpinan biara mengumumkan: “Saya akan membunyikan lonceng. Barang siapa yang dapat memastikan bahwa kepalanya sendiri berwarna biru, silakan angkat tangan.” Sepuluh menit kemudian, ia membunyikan lonceng. Tak ada tangan terangkat. Pimpinan biara berkata, “Aduh, saya lupa bilang: setidaknya salah satu dari kalian memang bercat biru.” Lalu ia membunyikan lonceng lagi, setiap 10 detik. Pada lonceng 1-99, tak ada tangan terangkat. Tapi pada dering lonceng ke 100, semua tangan terangkat. Kini mereka tahu, bersamaan :). Untuk memahaminya, bayangkan salah satu rahib berpikir seperti ini: “Misalkan aku tidak tercat biru. Maka 99 rahib lain tahu. Maka mereka akan melakukan deduksi berantai sampai 99 hitungan, lalu mereka akan mengangkat tangan.” Nah, sampai 99 hitungan, tak ada satu pun yang mengangkat tangan. Dan rahib tadi berpikir: “Uh, asumsiku salah. Berarti aku bercat biru.” Maka ia mengangkat tangan pada hitungan ke 100, bersama 99 rahib lain yang berpikiran serupa.

Bagaimana cara deduksi 99 rahib yang dibayangkan salah satu rahib itu? Serupa dengan logika yang sama dengan deduksi 100 rahib. Jadi sifatnya rekursi hingga 1 rahib. Sekarang, andai hanya ada 1 rahib yang bercat biru; maka ia melihat 99 rekannya tidak bercat biru; maka ia tahu bahwa ia bercat biru pada hitungan pertama, kan? Nah, itu akhir loopingnya :). Maka andai ada 68 orang dari 100 rahib yang bercat biru; pada hitungan ke 68, ke-68 raib biru itu akan mengangkat tangan, dan rahib sisanya tidak akan mengangkat tangan.

Penasaran? Malam ini coba cat biru kepala teman2 serumah kamu waktu mereka sedang tidur. Dan lihat hasilnya besok pagi.

16 Juni 2005

Berbagai aggregator blog bisa jadi saksi: banyak hal yang bisa terjadi dalam 24 jam. Tapi seorang Daniel Altman memaksa membukukan apa yang terjadi pada sebuah 16 Juni 2005 di bukunya yang terbit tahun 2007: Connected 24 Hours in the Global Economy. Bukan buku yang terkenal di antara para ekonom, aku yakin. Tapi jelas pas buat teknolog yang baru mulai belajar ekonomi kayak aku, untuk turut mengamati kaitan2 baik yang klasik maupun non-intuitif, di sisi teknologi-ekonomi-politik-budaya dari seluruh belahan dunia. Oh ya, waktu 24 jam ini dicatat di New York.

Jam 00:03 waktu New York, artinya di 06:03 waktu Stockholm, cerita dimulai dengan aliansi antara Ericsson dengan Napster. Uh, tahun 2005, setelah gelembung2 dotcom meletus, setelah global clusters roboh, masih ada upaya aliansi? Antara Ericsson yang jadi bendera megah Swedia itu, dengan Napster si bekas anak nakal pembajak musik itu? Memang. Dan Altman membekali kita dengan latar belakang berbagai aliansi, baik yang sukses dan yang tidak. Apa alasan EBay mengakuisisi Paypal (padahal ia sudah punya Billpoint) dan kemudian Skype (yang urusannya di Internet sangat beda)? Kenapa merger Morgan Stanley dan Dean Witter gagal mencapai goal? Juga Chrysler dan Daimler-Benz? Bagaimana akuisisi AOL atas Time-Warner dianggap kelicikan? Dan nantinya, di bab lain tentang Cina: Mengapa dan bagaimana Haier dipertahankan untuk tidak dibeli pihak asing? (Kebijakan yang membuat kita terpaksa mengenang kembali kebodohan Laksamana Sukardi yang menjual Indosat).

Tapi lalu Altman kembali ke Ericsson dan Napster. Operator telekomunikasi di dunia tengah berminat mengembangkan content, sebagai bagian dari pengembangan pasar mobile dan Internet. Dan hasil survei menunjukkan content yang paling diminati: musik. Ericsson sebagai vendor dan konsultan significant tentu berusaha memberikan solusi terbaik. Umumnya para operator tidak merasa perlu menggunakan brand masing2 untuk memasarkan content musik. Jadi untuk itu Ericsson mulai mengajak Napster, yang memahami liku2 jalan2 dan gang2 distribusi musik online hingga ke benak customer. Hm, bukan saja tak menggunakan brand para operator. Pakai brand Ericsson pun tidak. Tapi pasar merespons positif kecerdikan ini. Di akhir hari, baik saham Napster maupun Ericsson mencatat kenaikan.

Kemudian, jam 3:02 waktu New York, atau jam 16:02 waktu Tokyo. Cerita beralih tentang perusahaan2 besar di Jepang, dimulai dari Mitsubishi. Intinya: sejauh mana pemerintah mampu membuat pasar global lebih kompetitif. Lucu membaca bahwa seringkali pemerintah justru jadi biang yang membuat industri tidak kompetitif; padahal itu di negara2 dengan tingkat kolusi rendah. Di sini … ah, skip. Berikutnya 3:09 waktu New York atau 14:09 waktu Ho Chi Minh, kisah dibuka dengan kemauan Intel membangun Vietnam digital, dengan pertanyaan: perusahaan2 multinasional ini lebih banyak membawa progress atau problem? Jawabnya … haha :)

Oh ya, aku tadi menyinggung Haier. Ini hampir di tengah buku. 5:15 waktu New York, 17:15 waktu Qingdao. Qingdao itu kota ukuran menengah, yang dulu terkenal dengan industri bir; warisan dari pemukim Jerman di Tsingtao. Industri bir ini sudah separo diakuisisi oleh perusahaan Amrik. Jadi sekarang yang jadi kebanggaan Qingdao adalah Haier: perusahaan perangkat teknologi yang di tahun 2005 sudah sibuk memasarkan HP sekecil pena hingga kulkas yang segede apa ya … kita bisa berdiri di dalamnya. Tokohnya Wei Duan, cewek keren yang jadi brand manager Haier di usia muda, lulusan Nottingham. Haier, dan beberapa perusahaan lain, menarik Wei yang memilih pulang kembali ke RRC dengan tujuan: membuat negerinya maju lagi.

Haier tidak bercita2 untuk menjadi besar sehingga bisa mudah dibeli kapitalis asing; sebaliknya mereka bercita2 untuk lebih besar lagi untuk suatu hari bisa membeli perusahaan2 asing. Tentu, dengan bergerak di teknologi, mereka langsung menghadapi kompetitor kelas raksasa. Tapi Haier memilih niche market secara hati2 dengan memahami budaya berbagai negeri. Hasilnya, a.l., HP segede pena itu. Atau kulkas dengan laci untuk diekspor ke Amrik, dimana user bisa mengambil isi freezer tanpa harus memasukkan tangan ke freezer. Atau mesin cuci gede buat Pakistan yang terkenal dengan keluarga besarnya, sekaligus mesin cuci kecil2 buat Jepang yang penduduknya gemar bebersih sedikit2 tapi tiap hari. Ada juga HP dengan tombol besar dan font besar khusus buat orang2 tua. Partnership juga dilakukan. Dengan Sanyo di Jepang misalnya, sehingga kedua perusahaan mendapatkan kemudahan distribusi di negara seberang. Ia juga berekspansi langsung ke sarang lawan: Korea Selatan dan Amrik. Maka Haier tumbuh 68% dalam setahun. (Bukan typo, kata bukunya). Strategi lain, uh banyak. Juga masalahnya. Bisakah nantinya Cina tumbuh mengejar Amrik? Atau ikutan loyo kayak Jepang sejak 1990an?

Bab lain membahas supply uang di dunia, harga sebuah korupsi, pasar saham, stabilitas politik dan ekonomi, soal minyak, hegemoni Amrik secara ekonomi, soal hak cipta (perlukah hak cipta untuk ide?), dan masih banyak lagi. Bukan hal baru kan, buat para ekonom? Tapi buat kita yang lain, barangkali pas untuk mulai memahami ekonomi dunia.

Oh ya, buku ini dibeli di Periplus waktu discount buku 50%-70% minggu lalu. Musim maruk buku, yang pas dengan musim libur. Libur ini, siang penuh jalan2, malam penuh baca2 buku sampai hampir pagi. Buku memang sahabat yang menarik.

Bad Science

Konon memang pernah ada masanya dokter di negeri ini diluluskan dengan ujian “multiple choice” dan bikin beberapa rekan khawatir mempercayakan kesehatan kepada dokter. Sebaliknya, di negeri lain, profesi yang — menurut poll — dianggap paling terpercaya adalah dokter. Poll ini diadakan di Inggris. Di negeri itu, profesi yang paling tak dipercaya adalah — hahaha — jurnalis. Agen real estate bahkan dianggap lebih dipercaya daripada jurnalis — sialan :). Bayangkan apa kata poll itu kalau blogger dan penulis pesan di mail list dianggap sebagai profesi. Wow, aku yakin mereka lebih tak dipercaya lagi.

Tapi itu hasil poll. Dalam keseharian, orang ternyata lebih percaya issue di mail list, di blog, dan di koran/TV daripada pendapat ilmiah yang dikeluarkan ilmuwan atau dokter. Salah satu contoh yang sempat membuat para dokter marah besar adalah soal vaksinasi MMR (measles, mumps, rubella). Seorang dokter menuduh vaksinasi itu menyebabkan autisme. Segera media menggembar-gemborkan soal itu, tanpa peduli opini mayoritas kalangan ilmiah yang tak sependapat dengan seorang dokter itu. Hasilnya, terjadi lonjakan jumlah kasus akibat kurangnya vaksinasi, yang mengakibatkan kematian.

Maka seorang dokter lain, Ben Goldacre, membuat simpulan: jurnalisme berbahaya bagi kesehatan. Secara keras ia mulai menulis melawan pseudoscience yang sering dikemas sebagai “pengobatan alternatif” :). Tulisan2nya kemudian dikemas dalam buku Bad Science. Tentu bukan menohok para jurnalis. Justru ini untuk mulai mencerahkan jurnalis dan masyarakat yang masih buta sains. Tujuannya untuk membuat kalangan jurnalis mulai bisa mengemas mana hal yang ilmiah dan mana yang pseudoscience dan mana yang jual jamu berkedok pengobatan alternatif dan mana yang merupakan overhype dari pabrik obat. Buku Bad Science memberi contoh misalnya homeopathy, bracelets yang bermain di efek magnetik,  dan contoh lain. Tapi terutama ia memberikan contoh metode ilmiah yang benar yang diterapkan pada pengobatan, termasuk testing dengan efek placebo dan faktor-faktor lain yang cukup kompleks. Goldacre benar2 ingin pembacanya tervaksinasi terhadap nonsense2 berikutnya yang akan mereka hadapi di media atau di mana saja.

Namun, Goldacre juga mengingatkan kembali: sains tidak memiliki autoritas yang monolitik. Sains sendiri tetaplah proses untuk terus menerus mempertanyakan dan pengujian yang jujur dan terus menerus untuk mencari jawaban.

Kesimpulan: buku ini tak direkomendasikan. Membaca buku ini bisa membuat kita dimusuhi saudara, tetangga, blogger, agen MLM, dan kalangan terdekat kita. Lebih baik hidup damai sajalah, kata penatar P4, dan kata orang besorban penjaja SMS Premium di TV.

Maryamah Karpov

Seperti semua entry lain di sini yang judulnya disalin dari judul buku, entry ini pun bukan berupa review buku. Ini adalah beberapa kilas kesan selama menikmati buku Maryamah Karpov: bagian keempat dari tetralogi Andrea Hirata. Dibaca secara ekstra cepat, buku ini tamat dalam hitungan jam. Dan terpaksa diulang baca, kerna blum pwas bacanya. (Salah satu efeknya adalah: aku jadi telat menulis entry blog tentang Fresh 4.0).

Judulnya, mengingatkan pada kritik Andrea pada film Indonesia: yang hanya dari judulnya saja bisa diketahui nasib para pelakunya. Justru judul yang buat aku ajaib inilah yang bikin aku mengulang baca buku ini: hey kenapa gerangan buku ini dijuduli Maryamah Karpov. Huh, Andrea memang outstanding dalam berbagai hal :).

Lalu sebuah cermin. Cermin itu tak dibuat buat kita per seorangan. Tapi tetap cermin. Bab awal langsung memaksaku ingat mendiang Papap yang selalu tampak gagah dan percaya diri di depan anak keduanya ini; apa pun yang terjadi di ujung dunia sana. Tanpa keluhan. Tanpa serangan ke siapa pun. Begitulah cara lelaki menghadapi dunia — yang sampai sekarang masih coba aku pelajari. Kapan berhasil, West? :)

Lalu di bab berikutnya, aku harus ketawa membayangkan sidang tesisku yang juga dilangsungkan di bulan Ramadhan, menjelang winter. Tak perlu tolak bala tapi. Cuman gejala mual dan pening yang sama tengah menyiksa. Syukur hari itu supervisor dan pengujiku tak seseram LaPlaggia, dan biarpun mereka chatting sendiri, tapi mereka nggak menyinggung soal sinshe. Dan alih2 mengetik algoritma, aku cuman — atas keinginan sendiri — menggambar alternatif2 konfigurasi network, dan optimalisasinya. Aku sendiri nggak tau apakah aku mahasiswa bimbingan terakhir Mr Bidgood. Tapi yang jelas itu semester terakhir dia aktif di kampus.

Selebihnya, Andrea membawaku teringat ke buku2 Herriot. Penggemar Herriot sejati dia, harus kuakui. Biarpun aku nggak pernah paham: lanun mana yang menyuruhnya mencampuradukkan kota Edensor dengan Herriot. Tapi adegan dia kedinginan di salju; pilihan kata saat dia terdesak dan justru memutuskan menemukan kesempatan; kisah tukang banyol di warung kopi; sedikit banyak membuat kita rada deja vu. Dan tentu ini: semua pilihan kata saat Andrea mendarat dari sebuah bis maha bising, turun di kampung yang sunyi — amat sangat membuat kita merasa sedang membaca detik-detik mendaratnya Herriot kita kali pertama di Darrowby. Pun hanya dari cara dia dengan elegannya membuatku teringat Herriot, Andrea sudah cukup untuk jadi penulis favoritku. Biarpun masuknya kota Edensor masih menggangguku. Kenapa sih, Ikal?

Lalu kembalinya Laskar Pelangi, tentu melegakan pembaca buku dan penonton film Laskar Pelangi. Satu demi satu tokoh ditampilkan ulang. Dan tentu Lintang, yang dicintai siapa pun, bisa menampilkan kembali kekerenan ilmiahnya yang tak setengah2. Banyak kritik soal kekerenan Lintang. Tapi buat aku, Lintang memang harus seperti itu: ia seorang Übermensch ilmu. Orang2 seperti Lintang ada! Dengan kekerenan tak kurang dari itu. Mereka harus ditampilkan. Dan sebaliknya dengan orang2 pintar macam Mahar yang sudah overexposed di Indonesia, dengan segala pseudoscience, sugesti diri, dan semacamnya. Mahar memang perlu ditampilkan, lengkap dengan Tuk Bayan Tula. Tetapi hanya sebagai lelucon, sebagaimana Andrea memaparkannya. {Aku menikmati sekali jokes daur ulang ala Tuk. Begitu baca nama Tuk, aku langsung ingat candaan antiklimaks di Laskar Pelangi, dan yakin ini terjadi lagi di Maryamah Karpov.}

A Ling? Aku juga suka akhir ceritanya yang diambangkan. Ini buku yang punya ending bagus, justru dengan pengambangan semacam itu. Ini buku tentang hidup. Hidup tidak punya happy end. Ia mengalir terus, dengan tantangan tak masuk akal terus menerus yang harus kita arungi dan hadapi.

Trus, Telkom ke mana? Haha :). Orang Telkom sering ditanyai: kok Andrea tidak pernah menulis tentang Telkom? Ini tentu harus Andrea yang menjawab. Tapi aku tidak merasa itu aneh. Ada waktunya aku juga agak menghindar menulis tentang Telkom. Di CV memang aku tulis: I work with Telkom. Tapi tidak banyak cerita tentang Telkom ditulis di blog ini misalnya. Tentu bukan karena tidak bangga pada Telkom. Sebaliknya. Justru kadang merasa bahwa Telkom yang tidak bangga atasku :). Canda :)  :).

Thanx, Andrea. Nice book. Kan kusebut nama belakangmu 7 kali malam ini, untuk barangkali bisa menggugahku pada hal yang amat jarang kupikirkan selama hidup.

Ketawa Cara Russia

Uni Soviet zaman Stalin:

Seorang lelaki mendadak keluar dari rumahnya di Moskow sambil berteriak, “Hanya satu orang! Dan dia membuat kita semua menderita! Seluruh dunia menderita! Satu orang pendusta!”
Hanya dalam hitungan menit, dia sudah ditangkap, babak belur, dan diinterogasi di kantor KGB.
“Ada apa, kamerad? Anda teriak apa tadi?”
“Satu penipu besar, membuat kita semua menderita!”
“Masa? Lalu siapa satu penipu itu?”
“Siapa? Anda tentu tahu juga! Hitler, tentu saja!”
“Ah tentu. Baiklah, Anda boleh pulang.”
Si lelaki berdiri terhuyung, berjalan ke arah pintu, tapi lalu menoleh balik. “Tunggu. Tadinya Anda kira siapa penipu itu?”

Humor itu memang tak khas Russia zaman Stalin. Ia bisa dipasangkan juga misalnya di Russia zaman Tsar Nikolay.

“Anda tadi yang berteriak-teriak ‘Nikolay penipu besar’ di jalan?”
“Ya. Tapi maaf ada kesalahan. Maksud saya itu Nikolay teman saya, bukan tsar kita.”
“Tidak mungkin. Kalau orang bilang penipu besar tentu Nikolay tsar kita.”

Atau mungkin juga berlaku untuk Soeharto, sasaran joke nasional kita. Tapi yang jelas, versi Soviet jauh lebih terasa lucu daripada versi lainnya (pun versi Russia non Soviet). Tak sulit dipahami. Soviet sendiri adalah sebuah lawakan. Bayangkan: komunisme, sosialisme, demokrasi, sama rata sama rasa, tapi dipadukan dengan diktator (pun berembel proletariat). Sebutlah itu dialektika (secara becanda). Tapi ini jelas kontradiksi terpasang yang memungkinkan humor terjadi setiap saat.

Radio Yerevan menerima pertanyaan: “Benarkah kondisi kamp-kamp kerja kita sudah jauh lebih baik?”
Radio Yerevan menjawab: “Tentu. Orang yang terakhir bertanya seperti Anda telah dipersilakan untuk menjenguk sendiri kamp-kamp itu. Hingga ini penanya itu belum kembali. Diperkirakan ia terlalu betah berada tempat nyaman itu.”


Dan di tempat dimana ketakutan hidup subur ditutupi kemasan kemegahan dan perayaan kasih sayang tak berkesudahan, kitsch tumbuh subur, menciptakan lahan baru untuk ditertawai.

“Sudah dengar bahwa Kamerad Brezhnev harus dioperasi?”
“Ya. Jantung katanya?”
“Bukan. Pembesaran bidang dada, agar bisa menerima medali lebih banyak lagi.”

Atau memaksa orang untuk berkontemplasi tentang asal usul.

Dzherzhinsky: “Malam yang cerah, Kamerad Ilyich?”
Lenin: “Tentu malam yang cerah.”
Dzherzhinsky: “Sebotol vodka, pas kan?”
Lenin: “Tidak lagi, kamerad. Tidak lagi.”
Dzherzhinsky: “Sebotol saja, tak akan jadi masalah kan?”
Lenin: “Terakhir kali kita minum, Anda memang langsung tidur. Tapi aku memanjat tank. Dan lihat hasilnya sekarang!”

Atau me-reka ulang definisi:

“Jadi apa bedanya kerajaan dengan republik?”
“Di kerajaan, kekuasaan diserahkan dari orang tua ke anaknya. Di republik, dari orang tua ke orang tua lain.”
“Dan apa bedanya demokrasi dengan demokrasi sosialis?”
“Tepat sama dengan bedanya kursi dengan kursi listrik.”

Dan tentu, pada dasarnya orang Russia sendiri memang pecinta humor.

“Kamerad Brezhnev, benarkah bangsa Russia tidak suka humor?”
“Justru kami suka mengkoleksi humor-humor.”
“Bagaimana dengan humor yang menertawai pimpinan partai?”
“Justru itu favorit kami.”
“Banyak koleksi Anda?”
“Hampir empat kamp penuh.”

Humor bahkan melejit melampaui masa represi. Di zaman pencerahan Gorbachev pun, humor mengiris masih ada:

+ Kok baksonya persegi sih?
– Perestroika (restrukturisasi)
+ Dan tampak agak mentah?
– Uskoreniye! (akselerasi)
+ Sudah ada bekas gigitan pula?
– Gospriyomka (approval negara)
+ Cuek aja menyampaikan hal seperti ini?
– Glasnost! (keterbukaan)

Dan tentu humor pun berlanjut ke zaman Putin, yang sering disebut sebagai Neo-Stalin :)

Biarpun tidak lagi di zaman komunis, tekad Putin menjaga kedigdayaan negerinya membuat banyak orang menyamakan dirinya dengan Stalin. Maka, di waktu segalanya kusut (inflasi tinggi, perang Chechnya, krisis Georgia, skandal bisnis migas) dll, Putin mengundang arwah Stalin membantunya.
Stalin datang, lalu menasehati: “Mudah saja. Pertama, kumpulkan semua kaum demokrat di lapangan merah, lalu tembak mereka. Kedua, ganti cat Kremlin dengan warna biru.”
Putin tergelitik: “Lho, kenapa warna biru!”
Stalin tertawa. “Putin tersayang, kamu memang pengikutku. Kamu mempertanyakan yang nomor 2, tapi tidak yang nomor 1.”

Buku Mati Ketawa Cara Russia (masa sebelum Gorbachev) sempat diterjemahkan ke Bahasa Indonesia beberapa belas tahun lalu oleh Kelompok Tempo, dan langsung dicetak ulang beberapa kali. Bukan saja pembaca berderai2 tertawa, tetapi bukunya juga berderai2 karena kualitas penjilidan yang tak bagus. Hingga kini, masih terdengar ada yang mencari buku itu di sana sini. Pun setelah humor online macam Mati Ketawa Cara Daripada Soeharto diterbitkan di sekitar masa reformasi.

Huh, harus balik bikin desain-desain lagi. Jadi memori Russia kita stop sebentar, dilanjutkan di bagian comment saja nanti.

Anda sendiri, punya humor Russia kenangan?

Oscar

Judul bukunya ajaib: Ubuntu Kung Fu. Diterbitkan kemarin, dan tampil waktu aku lagi window-shopping di O’Reilly. Hmm, itu tipe miaow bela diri apa miaow IT yach? Jadi ingat buku WordPress yang aku buat buat panduan di training blog itu, yang bercover si miaow juga.

So, enaknya aku menceritakan kembali dongeng tentang kucing. Dari James Herriot :). Seorang gadis kecil datang ke Skeldale House membawa gulungan kecil selimut. Melihat isinya, Tristan yang biasanya periang itu berteriak ketakutan. Tulang2 tampak menonjol di antara bulu2 kucing kecil tak berdaging itu. Plus bekas luka dan lebam di perutnya. Marjorie, si gadis penuh air mata itu, cuma ingin penderitaan kucing yang tak sengaja ditemuinya itu, diakhiri. Tristan tak sependapat, dan memilih mulai melakukan tindakan medis. Dua jam, operasi pada makhluk kecil itu selesai. James (Herriot) tak yakin pada hasilnya. Tapi Helen, istrinya, mengajukan diri untuk terus merawat si kucing: membiarkan tidur di kamar mereka, menyuapi susu setiap saat, berseling makanan bayi. Helen menamainya Oscar. James sendiri harus rajin memberi obat. Dan suatu hari Oscar bisa mulai berjalan lagi. Dan mulai bermain. Dan tak lama, ia menghilang.

Berkeliling keluarga Herriot mencari Oscar, hingga larut malam. Jam 22, Mrs Heslington mengantar Oscar pulang. Katanya Oscar tiba2 masuk ke pertemuan Mother’s Union dan duduk sampai rapat selesai. Tapi tak ada yang aneh, selain keanehan itu, dan selain bahwa tak lama Oscar hilang lagi. Kali ini ia pulang diantar Mr Newbould. Katanya entah kenapa Oscar ikut menonton lomba dart Bapak2. Ketiga kali Oscar menghilang, Herriot tak lagi berusaha mencarinya. Miss Simpson yang mengantarnya pulang dari kopdar di Women’s Institute: pertemuan yang meriah dengan lomba bikin kue. Sekarang Herriot tahu: Oscar memang kucing bergaya sosialita: gemar berkopdar serta bergabung dengan banyak orang. Huh, kenapa bukan dengan sesama kucing?

Keriangan James berhenti saat seorang bapak, Mr Gibbon, datang ke prakteknya, dan menyatakan bahwa Oscar adalah kucing keluarganya yang hilang. Biarpun berat, tapi James amat heran bahwa Helen tampak lebih siap melepas Oscar; yang oleh keluarga Gibbon dinamai Tiger. Terpaksalah berpisah keluarga Herriot dengan Oscar.

Tapi bulan berikutnya, di suatu kunjungan ke Brawton, James mendadak mengajak Helen ke Wederly: bertamu ke keluarga Gibbon. Dan tentu mereka disambut ramah malam itu: becanda, bercakap. Pukul 21, barulah si Tiger tampak masuk rumah.

James penasaran: “Loh, dari tadi di mana aja dia?”
Bu Gibbon menjawab: “Hmm, ini hari Kamis kan? Mmmmm … ya … ada kelas yoga malam ini.”

Bright & Beautiful

Di blog yang lain (aku sendiri nggak tahu jumlah blog yang aku tulis, di luar ABN), aku sempat menulis bahwa kalau misalnya aku disuruh memilih tinggal di satu dari dua planet, satu isinya cuman buku, dan satu lagi Internet termasuk blogging; aku pasti akan memilih planet dengan buku :). Buku terlalu mengasyikkan, dan belum tergantikan sama benda apa pun. So, aku menikmati weekendku dengan buku2. Ya, terinterupsi dikit oleh Kopdar Blogger Bandung dan ekstra nyeri yang secara sporadik mendadak menusuk kepala. Tapi keasikan membaca sedang tak terganggu.

Weekend diawali dengan baca buku … uuuh … bukunya OK dan inspiring banget. Tapi karena belum terbit, aku terpaksa merahasiakan judul dan nama pengarangnya (selain membocorkan dikit). Ini adalah bagian dua dari sebuah trilogi, dan menceritakan seorang kolumnis penjelajah alam. Pekerjaannya adalah melempar dart pada peta Indonesia, lalu mengunjungi tempat di mana dart itu mendarat, lalu menulis kolom tentang tempat itu dari sisi yang unik. Si kolumnis ini sayangnya bukan Internet-savvy, jadi terjebak sebuah masalah yang pasti bisa dipecahkan para techno geek :p. Bagian2 ceritanya sempat bikin aku ketawa terpingkal2, dan sekali terharu berat. Si penulis sampai membaca ulang tulisannya untuk mencari bagian yang bisa bikin aku terharu berat — dan nggak ketemu. Doi lupa apa yang selalu diingatkan Derrida: sebuah teks telah meninggalkan penulisnya dan menjadi milik pembacanya, lengkap dengan segala penafsirannya.

Trus mendadak kangen tulisannya Herriot. Serial Herriot semestinya cukup lengkap di rak buku. Aku mulai dari All Things Bright & Beautiful. Di Darrowby, Herriot mulai mewarisi sedikit sifat paradoks dari Siegfried. Kesal berat pada peternak yang tak menghargai libur natalnya, lalu memuji mereka sebagai pencerah dunia. Bab lain menceritakan Herriot sebagai jagoan pembungkus kucing: seliar apa pun si kucing pasien, ia selalu bisa membungkusnya. Ia hanya gagal waktu menangkap kucing bernama Boris, akibat ulah Tristan si pengacau yang justru menikmati mengejar2 kucing liar + superlincah itu. Tokoh lain yang juga muncul adalah dokter Ewan, yang mengatasi banjir uterus (yang pernah amat menakutkan Tristan) hanya dengan setengah pon gula, rak bir, dan sebotol wiksi.

Herriot lalu juga menceritakan perkenalan pertama dengan Granville, dokter hewan kelas atas yang pasiennya hanya binatang kecil, tinggal di kota besar (200rb penduduk), berasisten seorang resepsionis cantik, beberapa suster cantik, dan memiliki istri yang amat cantik. Granville amat profesional. Bekerja cepat dan efisien, menolong hewan yang sudah tak dapat ditangani Herriot (anjing betina dengan tumor, kucing seorang kolonel yang terlindas mobil dan rahangnya sudah lepas, dst, dst). Ia selalu baik hati & penuh persaudaraan pada Herriot; berbagi tembakau mahal, baju bagus, dan gemar mentraktir bir hingga wiski. Bagian terlucu adalah bahwa setiap kali Herriot bertemu Zoe, istri Granville, ia selalu dalam keadaan amat mabuk dan kusut, sementara mereka berdua tetap tampil prima dan bersahabat. Di adegan kucing itu, Herriot sudah hampir menidurkan si kucing selamanya, sebelum pikiran sehatnya kembali, dan ia melarikan si kucing ke Granville. Operasinya berat, dan si efisien perlu waktu 1 jam plus keringat tebal plus sempat membentak Herriot. Tapi berhasil. Lalu dengan ramah ia mengajak Herriot mengikuti seminar dokter hewan. Waktu Herriot mengiyakan, ternyata seminarnya di luar kota, di balik pematang gunung pembelah Inggris itu, dan mereka baru berangkat jam 8 malam, di tengah badai salju. Di sana mereka ketinggalan seminar, dan “cuma” kebagian banyak bir. Lalu pulang dengan kecepatan tinggi. Baru Herriot pulang ke Darrowby. Paginya ia baru tahu bahwa jalan yang mereka lintasi sambil ngebut semalam itu sudah beberapa hari ditutup karena terlalu berbahaya. Tidak ada mobil yang lewat sana. Buku ini dan buku2 berikutnya banyak menceritakan pertemuan2 dengan Granville.

Membuatku berpikir … sialan, akhir2 ini aku terlalu gampang menyerah ya? Meowwwwww :)

Istoria da Paz

Akhirnya terbaca juga buku Okke ini: Istoria da Paz. Buku ini udah beberapa minggu dibeli, tapi lupa dibaca terus. Dan berbeda dengan buku2 sebelumnya, aku merasa yang ini Okke banget. Ntah kenapa aku merasa karakter Damai a.k.a. Bu Guru Bunga ini mirip Okke. Nggak heran sih. Aku juga kadang membayangkan tokoh Tomas di Unbearable Lightness of Being mirip Kundera :).

istoria-da-paz.png

Bukunya 200 halaman, dengan ukuran saku. Bisa dibaca sambil pusing dalam 1 jam lebih sedikit. Bahasa sang penulis kebetulan tepat sama dengan kecepatan baca optimalku. Tak berbunga, pintar memilih kata yang singkat dan tepat, tapi juga tak pelit ekspresi. Kalau semua buku kayak gini, boros. Cepat habis uang buat beli buku baru lagi.

Kalau Ayu Utami dulu jadi salah satu pelopor dengan novel yang mengandung komunikasi e-mail; Okke melanjutkan tradisi itu dengan novel yang mengandung komunikasi via blog. Plus media online lain. Tokoh Damai dilontarkan dengan suatu alasan (buat aku alasannya nggak penting) ke tempat favorit penulis: Timor. Bukan di Timor Lorosae, tapi di kawasan pengungsi. Ketemu tokoh Dion, sarjana idealis yang memilih bekerja membantu kaum tak terbantu. Dan Abitu, makhluk kecil usil paling jail di dunia. Tokoh2 ditampilkan biasa saja, manusiawi, dengan relasi yang manusiawi tapi hangat. Ya, ada sih adegan Damai harus mengejar2 babi, atau ikut membubarkan kelas untuk mengejar kambing, yang berakhir dengan dirinya dikejar2 kambing sampai jatuh berulang ke semak berduri. Relasi manusiawi yang biasa2 tapi hangat ini sering tertangkap di buku If Only They Could Talk punya Herriot. Tanpa aliran mengklimaks yang tertulis. Kita dibiarkan meluncurkan sebagian cerita oleh kita sendiri, dalam hati kita sendiri. Dan tamat secara menarik; saat tokoh Damai mendadak menemukan jiwa yang lain dalam dirinya.

Okke, makasih ya. Bukunya keren.

PT Harun Yahya

Tidak seperti di Amerika Serikat, Teori Evolusi diajarkan di Indonesia secara damai dan nyaris tanpa pertentangan. Diajarkan sejak awal masa baligh di SMP, teori ini dianggap sama wajarnya dengan teori2 lain, seperti lempeng benua, teori elektromagnetika, dll (teori kuantum nunggu SMA –red). Tentu memang ada kekhawatiran bahwa teori ini tak ditentang bukan karena dianggap wajar, tetapi karena metode pendidikan tingkat menengah di Indonesia yang masih dangkal itu menjadikan semua teori sebagai hal yang hanya perlu dibaca sebentar, dipakai menjawab ujian pilihan ganda, dan kemudian dilupakan selamanya. Tak menjadi dasar pengambilan keputusan, baik skala pribadi maupun skala nasional :). Paling jadi candaan: “Eh, teori evolusi itu yang bilang bahwa manusia keturunan monyet kan? Kalau liat muka elo sih, kelihatannya memang benar.” Tapi itu dulu.

Kini, murid2 menjadi semakin pintar. Khususnya setelah tumbangnya rejim Soeharto, pikiran kritis sudah menjadi keseharian di sekolah. Diskusi dengan mahasiswa zaman sekarang sudah berbeda dengan diskusi dengan para korban brainwash gank Soeharto. Tapi itu aspek positif. Aspek di sisi lain adalah Harun Yahya :).

Berlawanan dengan perkiraan orang, Harun Yahya bukanlah nama orang. Ini adalah nama samaran bagi sebuah tim, dalam sebuah organisasi, dengan Adnan Oktar sebagai ideolog utamanya. Tujuannya mulia. Mengangkat kebenaran dan keindahan Islam menggaung ke seluruh dunia. Tapi tak beruntungnya, kebenaran Islam di sini adalah kebenaran dalam interpretasi organisasi itu. Adnan Oktar sendiri menyukai sains, dan sekaligus mistisisme, lalu ia gabungkan sebagai Sains Islam. Tapi terbitan pertama tokoh ini malah menyoal zionisme, kepalsuan holocaust, dll; yang membuatnya sempat dihukum. Tak lama ia mulai menerbitkan serial Sains Islam yang memang menawan. Semesta ciptaan Allah yang indah (segala puji bagimu, Rabbal ‘Aalamiin). Tapi kemudian sambil menyangkal teori evolusi. Harun Yahya mulai memaksakan pendapatnya tentang cara Allah mencipta dan menyusun semesta. Allah tidak boleh menjalankan semesta sesuai yang dideskripsikan oleh Teori Evolusi (tapi boleh dengan teori kuantum, mudah2an). Lebih menarik lagi, Allah harus masuk ke sains, harus teramati di mikroskop: harus kelihatan dengan mata. Misalnya mata itu sendiri :). Mata adalah bukti bahwa struktur itu diciptakan sebagai struktur, bukan melalui evolusi: ini adalah bukti adanya Sang Pencipta. Kita bisa melihat Sang Pencipta di sini. Begitu ulas Harun Yahya. Berikutnya adalah tuduhan: Teori Evolusi adalah teori atheist. Darwin adalah biang dari materialisme yang artinya biang dari komunisme, naziisme, zionisme, kapitalisme, soekarnoisme, marhaenisme, soehartoisme, terorisme, dll. Tapi jangan lupa bahwa naziisme tidak jahat, karena Harun Yahya sendiri bilang bahwa holocaust itu palsu. Buku2 Harun Yahya diinternasionalkan dalam bahasa2 dunia: Inggris, Urdu, Indonesia. Dan disambut hangat. Jangan lupa, bagian depannya memang bagus :).

picture-9.png

Sementara itu para ilmuwan jadi terpaksa garuk2 kepala. Justru dengan Darwinisme, evolusi genetik, dan evolusi mimetik, evolusi budaya, didukung berbagai teori menarik, misalnya teori game, orang bisa memahami bagaimana budaya terbentuk, dan bagaimana cara terbaik menata masyarakat. Orang yang sungguh2 paham Darwinisme akan menjadi manusia yang menjaga nilai2 pribadi maupun nilai2 masyarakat. Kenapa? Coba tamatkan buku teori game. Justru orang2 dogmatik, yang tak paham ilmu, yang memperalat ideologi dan agama untuk saling membunuh dan menghancurkan.

Aku pikir tadinya demam Harun Yahya akan pudar, dan akal sehat menang. Tapi tentu aku terlalu banyak nonton film :). Dalam kehidupan nyata, justru Harun Yahya sedang memulai tahap baru dari offense-nya. Sebuah buku Atlas of Creation dicetak dan dikirimkan ke banyak sekolah di Eropa. Dukungan segera datang dari beberapa pemuka berbagai agama di Eropa: Protestan, Katolik, Yahudi, dan Islam. Terjadi kaukus kreationisme. Keren juga, jadi Pancasilais yang bisa menyatukan agama2 :). Orang Islam yang tadinya menganggap injil itu tak perlu dibaca (dengan alasan sudah terjadi modifikasi atas ayat Tuhan di dalamnya), kini jadi ikut rajin membaca genesis. Protes berdatangan. Sementara itu masyarakat Perancis gelisah, membacanya sebagai peningkatan radikalisme Islam dalam bentuk perang pikiran. Berikutnya Atlas ini juga disebarkan ke ke seluruh dunia

Tapi, huh sebalnya, bukankah cara Harun Yahya itu sendiri memang tak berbeda dengan cara sebuah kepercayaan disebarkan? Dimulai dengan hal2 yang baik, seperti moral, kasih sayang, yang tak seorangpun akan menyangkalnya; kemudian didukung hukum2 primer; lalu hukum2 sekunder; dan standardisasi; lalu konsensus yang memilih satu hal baik di atas hal baik lainnya (soal pilihan); lalu pematahan ketidaksesuaian pendapat. Dan, demi moral dan kasih sayang, tapi juga demi level ketakutan tertentu, orang masih terus memberikan dukungan. Untuk berlepas dari fraud model Harun Yahya dan model serupa, orang harus mulai juga berlepas dari kebiasaan menerima agama (yang mau tak mau harus diakui: hasil evolusi budaya juga) apa adanya. Orang harus kembali beragama dan berkomunikasi dengan Rabb-nya dengan bersih, yakin diri, ikhlas, kuat, percaya diri; lalu menatap sesamanya dengan kasih sayang tanpa syarat.

“Tapi kan buku Harun Yahya berisi ayat Qur’an.”
“Terus? Mau bikin buku sains beneran yang berisi ayat Qur’an juga boleh kok.”
“Dan dalam kitab suci mana pun tidak tertulis tentang teori evolusi.”
“Dan juga teori kuantum.”
“Teori kuantum ada. Si Koen pernah menuliskan di web yang lama. Nggak tahu kenapa dihapus.”
“Iya, kalau diinterpretasikan seperti itu. Tapi teori evolusi juga ada, kalau diinterpretasikan dengan cara yang sama. Juga teori string, biarpun belum jelas teori string benar atau salah.”
“Tapi buku Harun Yahya dijual di masjid.”
“Jualan di masjid?”

Apa sih yang paling berbahaya dari Harun Yahya? Orang Islam sibuk menajiskan evolusi, peran DNA, dll, plus jualan di masjid; sementara orang2 yang dituding sebagai atheist itu melejit memanfaatkan biotechnology. Tertutup pintu kita untuk revolusi akbar setelah revolusi semikonduktor.

“Ah, dasar si Koen atheist. Pasti dia mau bilang juga bahwa bumi mengelilingi matahari.”

Prague

Hah? Novel? Haha, semua orang — pun kala tidur pun tak sempat — perlu pelarian. Novel ini sendiri dibeli gara2 aku mendadak demam Ceska: dapat surat perpanjangan hosting koen.cz, baca Milan Kundera lagi, termasuk akhirnya mengintip filmnya, Unbearable Lightness of Being, dan membuat web pi.koen.cc dengan tagline mempelesetkan Kundera yang lain: The Blog of Laughter on Forgetting. Dalam suasana seperti itu, buku berjudul Prague terasa pas. Biarpun sekilas aku merasa … jangan2 pelesetan dari Plague (Albert Camus).

Novel ini ditulis oleh Arthur Phillips, dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai Praha, dengan nama Prague tetap ditulis di sampul buku. Setting cerita di Budapest (yang, btw, terdiri atas Buda dan Pest), beberapa bulan setelah jatuhnya komunisme. Hongaria mengajarkan rakyatnya menganggap diri perlu ditolong (mereka dijajah Jerman pada PD II, dihancurkan dan dimusuhi semua pasukan yang berperang, lalu dijajah komunis sejak itu). Sebagian besar tokoh cerita ini adalah para expat pencari peruntungan. Sebagai expat pencari peruntungan, tentu saja mereka punya pola pikir tipikal expat pencari peruntungan (haha). Dengan satu atau cara lain, mereka merasa hilang. Ah, post-eksistensialisme, post-Plague :). Yang menarik, dengan demikian, adalah bahwa cerita ini tidak perlu mengangkat tokoh protagonis dan antagonis. Sekedar hidup di tempat yang sedang menata definisi, termasuk tokoh2nya sendiri.

John Price, tokoh yang paling sering diceritakan, selalu merasa punya visi, mengejar entah apa itu, yang dia yakin … tidak di sini. Dia terus mengejar integritas dirinya, somehow, sambil kadang terjebak seperti yang akhir2 ini seringkali aku pikirkan, bahwa sebenarnya apa yang kita lakukan bukan sepenuhnya kehendak bebas. Sebetulnya gue banget, kecuali …

Ada game sincerity di bagian awal: para tokoh bertemu di sebuah meja, bergantian membuat pernyataan (yang tak dapat dibuktikan dengan mudah), lalu semua saling menilai mana di antara pernyataan yang disebut itu yang benar, dan mana yang bohong. Aku sisipkan juga cara berpikir game itu di sini :p.

Maka di tengah cerita, Charles muda (Karoly, anak imigran Hongaria yang lari ke Amrik saat Soviet menyerbu kembali negeri itu di 1956. “Tak benar bahwa kita salah mengerti tentang para komunis. Mereka benar2 pembunuh, dan jahat.”) berkongsi dengan Imre (pengusaha Hongaria yang telah melewati seluruh penderitaan negerinya). Modal Charles diperoleh dari kongsi dengan banyak partner, yang terkesan atas tulisan John tentang Charles (Dia tak selalu menulis yang sesuai dengan hatinya. Tapi inilah hidup: kita tidak tahu mana yang sesuai hatinya dan mana yang tidak). Masalahnya, Imre mengalami koma. Dan Charles menjual perusahaan mereka ke perusahaan asing dengan keuntungan luar biasa. Saat transaksi ditepuktangani, Imre bangun: lumpuh tetapi bisa berkomunikasi. Terjadi ledakan kemarahan dan penyesalan atau tuduhan jahat? Tentu tidak. Ini, sekali lagi, bukan sinetron Indonesia.

“Kayak apa sih rasanya?” tanya John. Untuk mana Charles mengejek, “Hare gene? Mikirin perasaan?” Sebenernya begitulah seringkali kita berpikir: sesekali mencoba berempati dan di kali lain mengabaikan perasaan. Hidup toh harus jalan terus: ini amanah, Bung. Konyol kalau misalnya menuding Charles penjahat. Dia bukan misalnya pengejar harta yang serakah, tetapi hanya orang yang mencoba secara jujur dan terampil mencari kesempatan bisnis. Tertembaknya Charles, dan terfitnahnya John, hanya merupakan cara untuk menutup novel agar tak jadi lembek. John pergi ke tempat yang sesuai visinya: Praha, memasang harapan yang sama, dan barangkali menemui letup2 hidup yang berbeda tapi sebenarnya sama lagi.

Waktu buku ditutup: ah, sebenarnya memang hidup tak jauh berbeda :p. Mudah2an tak terperangkap seperti tokoh Nadya yang menggelung diri dalam ingatan kolektif. Dan, oh ya, novel ini membosankan.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑