Seperti yang beberapa minggu lalu aku kicaukan di Twitter, Internetworking Indonesia Journal edisi Musim Gugur / Musim Dingin 2011 telah terbit. Kali ini ia merupakan terbitan khusus, bertajuk Special Issue on Social Implications of ICTs in the Indonesian Context. Ada beberapa hal yang istimewa pada terbitan ini. Pertama, kali ini (dan mudah-mudahan untuk seterusnya) semua paper telah ditulis dalam Bahasa Inggris. Memang IIJ bersifat dwibahasa, dan memperkenankan paper ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Namun kita tentu paham bahwa paper dalam Bahasa Inggris akan memiliki jangkauan pembaca yang jauh lebih luas. Kedua, edisi kali ini membahas topik yang diminati banyak kalangan, dari para peneliti, pengamat amatir, hobby-ist, pebisnis, dan developer, yaitu Media Sosial.
Editor tamu pada edisi ini adalah Prof. Merlyna Lim dari Arizona State University dan Dr. Yanuar Nugroho dari University of Manchester. Keduanya kebetulan secara personal pernah berinteraksi denganku, dan lucunya lebih banyak dalam konteks keseriusan yang bersalut candaan.
Paper pada edisi ini meliputi:
Guest Editors’ Introduction, by Merlyna Lim and Yanuar Nugroho
Cyber Taman Mini Indonesia Indah: Ethnicity and Imagination in Blogging Culture, by Endah Triastuti and Inaya Rakhmani
An assessment of Mobile Broadband Access in Indonesia: a Demand or Supply Problem? by Ibrahim Kholilul Rohman and Erik Bohlin
The Internet and the Public Sphere in Indonesia’s New Democracy: a Study of Politikana.com, by Agustina Wayansari
The Experience of NGOs in Indonesia to Develop Participatory Democracy by the Use of the Internet, by Yohanes Widodo
The Role of Local e-Government in Bureaucratic Reform in Terong, Bantul District, Yogyakarta Province, Indonesia, by Ambar Sari Dewi
Sila kunjungi situs edisi ini, atau langsung download jurnal online ini secara gratis pada link-link ini:
Rapat anggaran minggu lalu di Bandung, rasanya mirip main anggar dua hari penuh. Rumah kehijauan di Bandung sempat disinggahi, tapi menjelang tengah malam, dan harus ditinggalkan lagi pagi2 sekali untuk main anggar lagi. Tapi dalam waktu sempit itu, aku sempat terpikir untuk mengambil satu document keeper berisi surat-surat Papap buat dibawa ke Jakarta. Surat-surat ini panjang-panjang, ditulis dalam waktu lebih dari 1 dekade. Tapi yang paling banyak adalah surat-surat dari Bangkok, waktu Papap sekolah 2 tahun di sana.
Papap memang rajin menulis.Tentu, di zaman orde baru, tentara tidak bebas menulis di media umum. Papap lebih banyak menulis soal teknologi dan strategi di jurnal-jurnal militer, plus paper-paper lain. Somehow kebiasaan semacam ini diwariskan.
Salah satu cara mewariskan kebiasaan ini adalah dengan menyuruh baca buku-buku. Salah satu buku fenomenal buat kami adalah Seandainya Mereka Bisa Bicara tulisan James Herriot. Ini dibelikan Papap buat kakakku sebenarnya. Tapi kami semua membacai dan mengulang baca buku ini. Tak seperti misalnya biografi kaum cerdas lain seperti Feynman yang melulu berisi kisah keberhasilan, atau Soe Hok Gie yang sengit menyerang sekitarnya, Herriot adalah profesional yang menghadapi keseharian hidup: keberhasilan yang manis, kegagalan yang memalukan, namun lebih sering datar. Namun Herriot dapat membuat tulisan yang menarik dari optimisme dan impressi yang diperoleh dari sekedar menatap awan dan padang rumput, menolong petani sederhana, menyendiri berkeliling Yorkshire di tengah malam, dll. Herriot mendorngku untuk mulai menulis hal-hal kecil, sambil mengajari untuk selalu optimis sekaligus realistis menatap dunia. Tahun 2010 lalu aku sempat ke rumah Herriot di Darrowby, dan sempat mengambil gambar catatan harian yang ditulisnya sejak masa sekolah.
Cara pewarisan kebiasaan menulis yang lebih efektif, tentu, dengan gaya Papap yang sering menulis surat panjang, elegan, serius, dan dengan demikian mendorong kami untuk membalas surat-suratnya dengan gaya yang setidaknya mulai mendekati gaya itu. Kami berempat mulai menulis surat panjang: diketik atau ditulis tangan, 1-3 halaman. Selesai cerita tentang pengalaman (yang tidak banyak untuk anak SMP masa itu), aku harus mengisi ruang dengan eksplorasi hal-hal lain, terutama ide-ide yang setengah jadi. Kami berempat memasukkan surat kami masing-masing ke sebuah amplop dan mengirimkannya ke Bangkok.
Kebiasaan menulis semacam itu membuatku mulai doyan menulis, biarpun ide yang dibayangkan belum jadi ide yang matang. Aku mulai punya catatan sendiri, yang diisi gabungan antara kejadian sehari-hari (yang tak banyak) dan kejadian di semesta (hahaha, lebay). Catatanku disusun dalam dua buku: Catatan harian, dan Surat untuk X. Tapi semua berakhir waktu aku mulai kuliah. Kuliah, seperti kantor, menguras sumberdaya waktu, memaksa kita belajar jadi profesional yang memiliki fokus, dll. Tapi keinginan menulis belum hilang. Aku mengakuisisi majalah Quad sebagai redaksi; menulis buku pelajaran komputer dengan pendahuluan yang selalu bergaya narasi; dan mulai mengirim tulisan ke Jawa Pos, Mikrodata, dll. Syukur mereka mau memuat tulisanku. Lalu datanglah Internet. Dan mail list. Dan personal web. Dan blog.
Tentu, buat aku, jadi blogger bukan keputusan atau pilihan. Itu terjadi secara alami. Aku doyan meracau dalam bentuk tertulis, dan aku menguasai apa pun yang bisa direpresentasikan dalam bentuk digital (sumpah, ini lebay). Bahkan sebelum ada CMS blog yang keren, aku membuat script buat blog-ku sendiri. Syukur, gak lama ada blogger.com; jadi aku bisa meninggalkan kegiatan scripting-ku, dan mulai menikmati proses menulisnya. Catatan pertama di blogku yang termigrasi ke blogger.com berisi rendez-vous dengan buku Herriot yang sudah mulai lusuh.
Blogku mulai teratur diisi waktu aku dalam masa pengasingan. Aku harus ikut program wajib di British Council beberapa bulan di akhir tahun 2000, tempat aku belum punya teman sama sekali, disusul kuliah di Coventry tahun sesudahnya. Di Coventry, aku mengakuisisi domain kun.co.ro. Dan sejarah berikutnya bisa dibaca di blog ini, haha. Sementara itu di Indonesia blogger-blogger berhimpun, membentuk komunitas-komunitas, dan menyusun event-event menarik.
Sebagai pecinta budaya digital, aku mulai doyan berkampanye buat blog, haha; termasuk memanfaatkan komunitas yang ada, mendorong komunitas baru, memanfaatkan organisasi dan company tempat kerja, dll. Mirip siram-siram lahan yang memendam banyak bibit, dan pura-pura kaget menyaksikan bunga beraneka warna tumbuh di atasnya. Kepercayaan dunia usaha akan nilai bisnis blog mulai dibangkitkan. Salah satu pelopornya a.l. Asia Blogging Network, yang mendorong memberikan value blog pada kualitas tulisan, bukan pada urusan jumlah klik. Masyarakat non-digital juga dikenalkan ke budaya digital melalui blogging, yang berawal dari teks, foto, lalu ke gaya hidup seperti kolaborasi pendidikan atau produksi secara online, promosi produk personal atau SME secara online, advokasi secara online, dll. Perhatian juga terarah pada content digital secara lebih luas. Dan aplikasi digital. Hmm, malah balik ke profesi asliku, haha. Berkembang, tapi moga bukan seperti gelembung kosong.
Blog sendiri, sebagai blog, ke mana dia? Mungkin ke masa saat keasikan menulis blog belum dinamai passion, saat obrolan para blogger belum dinamai komunitas, saat kicau bebas belum dinamai socmed. Saat itu blog boleh lepas dari sarang eksklusivitas barunya, dan kembali memberikan pencerahan dan optimisme buat dunia.
Yang menarik dari Kindle adalah bahwa setiap saat kita meminati buku baru (pun baru terbit), kita bisa langsung beli, dan langsung baca di piranti yang kini jauh terasa sebagai buku ini (alih2 perangkat elektronik). Memang membahayakan sih, dari sisi kemudahan belanja :). Mulai agak mengganggu, bahwa setiap saat ide dan kepenasaranan (curiosity) kita melompat, kita mengambil satu buku lagi :). Weekend ini aku sebenarnya hampir menamatkan “Quantum Man” dari Lawrence Krauss. Buku ini berdongeng tentang Richard Feynman. Alih2 menceritakan sisi manusiawi Feynman yang sudah sangat banyak ditulis sana sini, buku ini lebih berfokus ke sisi keilmuwanan Feynman, biarpun bentuknya tetap dongeng buat kaum awam. Di account Facebook-ku bisa diintip beberapa cuplikan buku itu.
Sayangnya, Amazon mendadak mengiming2i buku menarik lagi: Everything is Obvious, Once You Know The Answer. Penulisnya Duncan J Watts, seorang fisikawan yang melakukan riset di engineering, dan akhirnya berprofesi sebagai periset sosiologi. Dia mengawali bukunya dengan berkisah tentang beberapa kasus di mana orang2 penting, seperti penulis John Gribbin, serta senator AS, menganggap riset sosiologi bukan hal yang penting, misalnya sepenting riset fisika. Riset di bidang fisika tentu amat penting. Namun agak lucu kalau menganggap riset sosial itu tak penting dengan alasan — menurut mereka — bahwa hasilnya bisa ditebak dengan logika biasa, tanpa harus melakukan riset yang luas. Di dekade kedua abad ke-21 ini, dengan analisis yang cukup banyak mengenai jejaring sosial, kita mulai tahu bahwa banyak hal yang lebih menarik di riset ilmu sosial, selain sekedar memainkan urusan game theory yang banyak berfokus di urusan insentif, motivasi, dan nilai2. Tapi banyak yang tetap menganggap, penelitian fisika memberikan hasil yang luar biasa, dan menembus batas pikiran sederhana (common sense), sementara ilmu sosial tidak menghasilkan hal2 di luar itu. Masalahnya memang, kalau ilmu sosial itu sederhana, mengapa masalah sosial tak mudah dipecahkan? Soalnya bukan pada resource yang akan terlalu besar untuk memecahkan masalah itu, tetapi benar2 pada ketidaktrampilan kita memahami manusia, sebagai individu maupun masyarakat :D.
Penulis lalu memberikan contoh2 kecil. Paul Lazarsfeld pernah membuat riset pada para prajurit di Perang Dunia II. Ia memaparkan beberapa hasil. Misalnya, penemuan nomor 2: “Pemuda dari pedesaan umumnya memiliki semangat lebih baik dalam ketentaraan daripada pemuda perkotaan.” Reaksi kita? Tentu saja. Itu masuk akal. Pemuda desa lebih terbiasa dengan lingkungan yang keras, kerja keras, gotong royong, dll. Tapi lalu Lazarfeld mengatakan, “Ups. salah baca. Maksudnya, pemuda dari perkotaan umumnya memiliki semangat lebih baik.” Reaksi kita? Haha. OK. Tetap bisa dipahami. Pemuda kota lebih biasa hidup bersesakan, kerja dengan birokrasi panjang yang tidak pasti, penuh tata cara yang mudah berubah, dll. Semuanya masuk akal. Tapi, jika kedua hasil yang berlawanan itu masuk akal, maka ada yang salah dengan urusan “masuk akal” itu: itu masuk akal hanya setelah dijelaskan hasilnya. Yang kita sebut sebagai akal sehat, common sense, sebenarnya tak mampu menyusun prediksi; selain hanya menyusun alasan atas sesuatu yang diketahui hasilnya.
Atau, mengikuti Stephen Hawking di buku satunya, The Grand Design, akal sehat hanyalah kesimpulan dari kumpulan pengalaman pribadi yang terjadi pada masa hidup yang pendek, dan bukan kebijakan yang diperoleh sebagai hasil penelitian yang nyata atas perilaku semesta. Tapi, hanya berbekal akal sehat dari pengalaman singkat ini, banyak keputusan2 diambil. Para politisi yang mencoba mengatasi masalah kemiskinan merasa telah paham mengapa manusia bisa miskin. Penyusun marketing plan menyusun kampanye dengan anggapan bahwa mereka tahu apa yang diinginkan target pasar, dan bagaimana membuat target itu tertarik lagi. Penyusun kebijakan atas kualitas pendidikan, kesehatan, dll, merasa paham atas efek skema insentif. Dan dalam skala lebih kecil, 90% orang Amerika merasa berkecakapan di atas rata2 dalam mengemudi, 25% merasa masuk 1% orang terbaik dalam kepemimpinan, dll, dll.
Watts pun mulai menceritakan sebuah riset. Risetnya mengharuskan mahasiswa meminta tempat duduk di kereta bawah tanah di New York :). Rinciannya agak panjang. Tapi dari sini, kita menangkap kompleksitas hubungan antar manusia, kekuatan (atau keterbatasan kekuatan) autoritas, kekuatan konsensus cair yang bahkan sulit ditembus oleh para peneliti, dan hal2 menarik lain. Lalu dibahaslah soal pengambilan keputusan pada manusia, yang selalu berujung pada soal nilai2 personal (dan sosial). Dan tentu soal konteks. Contoh kasus: dua orang yang tak saling kenal diberi $100. Salah satu (P1) harus membagi dua (tak harus sama besar), dan satunya (P2) memutuskan apakah ia akan menyetujui pembagian itu. Jika P2 tak setuju, uang $100 ditarik lagi, dan keduanya tak memperoleh apa2. Menarik. Sebagian besar P1 membagi sama rata: 50:50, namun tentu banyak juga yang mengambil kesempatan dengan mengambil lebih, misalnya 70:30. Asumsinya P2 akan lebih baik menerima 30 daripada tak menerima apa2. Tapi ada yang sedemikian bakhilnya untuk mengajukan 90:10. Umumnya pembagian yang amat tidak adil ditolak P2. Ahli ekonomi tradisional (yang berfokus pada insentif) akan terkejut mendapati bahwa P2 memilih tak memperoleh apa2 daripada “dimanfaatkan” :). Tetapi memang keadilan adalah nilai universal yang dipuja banyak orang, walau dengan pengorbanan uang. Level ketidakadilan di mana P2 masih mau menerima amat berbeda dari satu etnik ke etnik lainnya. Suku tertentu di Papua malah tak mau menerima pembagian 50:50 — P2 hanya mau nilai yang lebih daripada P1. Unik. Tak universal. Nilai2 antar etnik, antar kelompok, antar budaya, begitu beragamnya, dan cukup banyak yang saling bertentangan; dengan masing2 menganggap kumpulan nilai2 lainnya gila dan tak masuk akal. Tak heran jika dalam mensikapi yang terjadi di budaya lain, kita sering cuma bilang: bangsa sinting — semua logikanya terbalik. Pandangan yang tampak logis, biarpun cuma menunjukkan bahwa kita sama sekali tak memiliki kearifan.
Kesalahan pertama dalam meramalkan (dan mengubah) perilaku adalah bahwa kita mengira manusia digerakkan faktor2 seperti insentif, motivasi, dan nilai2. Sementara, banyak hal2 lain yang justru sengaja atau tidak turut mempengaruhi keputusan akhir: cara berkomunikasi (bentuk komunikasi, pilihan kata, latar musik, bentuk font, warna), atau hal2 lain yang cukup banyak. Kedua, pemodelan kita atas perilaku kolektif lebih buruk lagi. Ada berbagai warna interaksi internal di dalam kelompok yang masing2 pagarnya tak mesti tegas: alur kuasa dan pengetahuan sungguh cair, dan tak mudah diramalkan hanya dengan melihat elemen2nya. Kita cenderung menyederhanakan dengan menganggap kelompok sebagai individu, bernama crowd, market, karyawan, dll. Atau memilih representasi tak jelas seperti pemimpin, influencer, dll. Baru akhir2 ini dipahami bahwa penyederhanaan seperti itu bukan saja kurang tepat, tapi sungguh2 meleset.
Sungguh bacaan menarik di sebuah weekend. Untuk jadi lebih bijak di minggu-minggu ke depan.
Juli 2010 menandakan bahwa blog ini sudah berusia 10 tahun. Tapi tentu angin sedang bertiup kencang, sampai aku tak sempat meluangkan waktu untuk memperingati sesuatu. Selain itu, blog tak lagi dipandang sepenting dulu. Dulu, blog dianggap pembuka jalan bagi masyarakat untuk mengenal Internet, menggunakannya untuk mengangkat akal budi dan kesejahteraan. Kekuatan yang mandiri dari birokrasi dan kapitalisme, kekuatan persaudaraan yang diikat gagasan dan kesetaraan, dan peluang sosial ekonomi yang bisa dibangkitkannya. Tapi aplikasi jejaring sosial dan media sosial telah menggantikan fungsi blog, dengan segala kelebihan dan kekurangannya: aliansi dengan teknologi mobile dengan perangkat yang lebih mudah dan nyaman, proliferasi kesetaraan dan kekuatan 2.0, kekuatan memaksakan suara publik kepada pemerintahan yang masih ingin bertumpu pada ignoransi masyarakat, dll. Blog mungkin hanya jadi tonggak-tonggak bagi aktivis online, namun tak lagi jadi pusat komunikasi dan aktivitas. Bendera yang berkibar senyap di atas riuh.
Namun blog tak akan mati. Bendera tak akan diturunkan. Kata-kata terukir lebih kokoh menghadang waktu dalam prasasti blog daripada di atas pamflet singkat beraneka warna cerah. Para penulis blog masih seperti gerilyawan dalam senyap yang tak kunjung mampu melawan dorongan hatinya, serta komitmennya, untuk menulis. Dan para blogger, yang kini adalah sebutan bagi mereka yang sekedar menyebut diri blogger (pernah menulis blog, pernah membaca blog, pernah berkomentar di blog, dll) terus menjaga aura kekuatan dunia blog.
Words :)
Dan Oktober datang lagi. Seperti Oktober lainnya, para blogger Indonesia merayakan Pesta Blogger dengan berhimpun dalam skala besar. Sayangnya, tak seperti tahun2 lalu, tahun ini aku tak berhasil meyakinkan Telkom Indonesia untuk turut mensponsori Pesta Blogger 2010 (PB2010). Jadi Telkom juga tak menemani para blogger yang saling memberikan pelatihan dan inspirasi di berbagai kota di Indonesia. Ah, sedih :). Tapi dalam proses yang tak berhasil itu, aku jadi lumayan sering maksi bersama Rara, Presiden Blogger 2010 — she’s an inspiring personality! Dan aku pikir, warna kepemimpinan Rara itu yang membuat Pesta Blogger 2010 menjadi sebuah kesuksesan yang gemilang.
Angin yang memang lagi kencang (agak harfiah nih) memang membuat aku tak sempat meregistrasikan diri sebagai peserta Pesta Blogger 2010. Tapi ada dorongan tak terjelaskan untuk tetap nekat hadir (haha). Nyaris tanpa persiapan; satu2nya yang dibuat bekal untuk PB2010 hanya belasan buku untuk disumbangkan ke program 1000 Buku yang juga bersarang di PB2010 — dari buku anak2 sampai buku yang terlalu rumit dibaca anak2. Aku datang ke kawasan Kuningan itu agak sore, dan langsung menghabiskan sore itu mendengarkan kabar berbagai komunitas blogger tanah air; plus berfoto2 di depan logo berbagai komunitas blogger dan onliner Indonesia.
Dari tahun ke tahun, banyak hal yang dikembangkan dalam Pesta Blogger. Nampaknya aspirasi para blogger cukup banyak didengar. Kini Pesta Blogger menjadi Pesta Blogger Plus, dengan menangkap berbagai aktivis komunitas online di luar blog. Juga komunitas yang dulu belum sempat tersentuh, misalnya komunitas pendidikan, kini mendapatkan porsi cukup besar.
Tentu yang paling menarik buat aku adalah berbincang dengan para blogger: sahabat lama dan kenalan baru. Terlalu banyak untuk ditulis satu per satu :). Plus kebagian kaos 1000 Buku dan beberapa pin yang menarik :). Memang sayangnya tak cukup lama. Aku harus kabur lagi. Ke Kemayoran. Baca entry blog sebelumnya deh :).
“Nah ini dia Mas Koen. Jadi gimana nih blog menghadapi serangan Twitter dan Facebook?” Itu kalimat pertama dari Mas Ferly waktu aku datang ke Green Room of MetroTV. Dan dengan segera, tema awal “Tips dan Trik Membuat Blog” di e-Lifestyle itu ditambahi tagline “Blogger Strikes Back” :). Blog bukan saja masih relevan melewati satu dekade usianya, tetapi justru membentuk sinergi kuat dengan social media lainnya. Blog masih jadi alat ampuh bagi personal branding, professional networking, dan business. Tokoh Puti Karina Puar ditampilkan sebagai generasi yang tumbuh dalam arus social media itu. ABG labil versi online, yang justru tampil elegan, educated-syle, tidak harus alay mengikuti arus.
Tahun 2010 ini aku seharusnya memperingati 1 dekade blogging. Lupa tanggal awalnya, karena versi awal blogku – yang dibuat dengan script PHP sederhana itu – dihapus saat blog berpindah ke Blogger pada Juli 2000. Aku menulis blog karena sebuah passion yang mengganggu, yang tak bisa dihapus oleh kesibukan yang luar biasa, yang tak bisa dienyahkan oleh larinya para blogger ke social media yang lebih centil semacam Facebook atau Twitter. Passion ini menyuruhku membuat mini blog di koen.su kalau aku hanya mampu menulis satu dua kalimat dengan HP, atau di sebuah buku kecil kalau aku benar2 tak bisa menulis di atas benda digital. Juga ia menyuruhku menyebarkan virus blog ini, baik sebagai personal, sebagai bagian dari komunitas blogger, maupun sebagai employee di Telkom (via Santri Indigo dan kegiatan2 lain).
Berlawanan dengan pendapat umum, sebenarnya blog tak lebih sulit dari Facebook atau Twitter. Di WordPress.com, kita bisa membuat account dalam waktu 5 menit, mengetikkan teks di editor yang mirip miniatur Word, menekan tombol Publish, dan langsung menjadi editor kelas dunia: tulisan kita terbaca oleh dunia, terpantau oleh Google. Barulah kemudian para blogger baru diajak penasaran dengan dunia online lainnya: mereka bisa upload foto dan video, memasang karya digital, mengkompetisikan dan menjual hasil karya, dan mengangkat personal uniqueness mereka. Dengan kesempatan pengembangan yang luas itu, program semacam Indigo menganggap kegiatan2 blogging sebagai hal yang menarik untuk dikembangkan. Twitter tak perlu mematikan blog. Ia bisa jadi ruang perbincangan yang lebih dinamis atas tema yang dikaji di blog, dan dalam level tertentu memiliki daya tarik ke blog melebihi feed blog kita.
Kita masih memerlukan banyak blog, terutama yang bersifat tematis, untuk memperkaya diskusi cerdas yang independen. Saat media tampil makin jorok memihak penguasa atau pemilik modal, blog bisa jadi pembanding yang secara tajam dan dalam memberikan wacana pembanding. Publik juga masih haus akan tema2 spesifik: pariwisata, pendidikan, aplikasi mobile, kuliner, lifestyle, hobby, film, buku, musik; yang disoroti dari sisi developer, user, appreciator, dll. Informasi publik di negeri kita masih jauh dari terpenuhi. Blog masih harus hidup, dan masih akan hidup.
WordCamp itu kopdar para stakeholder WordPress: developer, designer, dan user. User bukan hanya blogger, tapi juga pihak yang berminat menggunakan engine WordPress sebagai CMS untuk berbagai aplikasi web. Lucu kali ya: dulu semuanya “over IP” — lalu jadi “over web” — dan mungkin akan jadi “over blog” :).
WordCamp Jakarta 2009 diselenggarakan oleh Valent Mustamin, dan dihadiri oleh Matt Mullenweg sendiri. Tempat di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta, 17-18 Januari. Btw, dua hari ini Kuningan keren sekali. Cuaca amat cerah tapi segar tak panas, sementara trafik sungguh jinak :).
Di hari-1, konon hadir 68 orang. Matt maju sebentar membuka acara. Lalu, sebagai sponsor, Edelman Digital menyampaikan presentasi perdana. Presentasinya OK, tapi mungkin salah segmen, haha. Kita mulai membuat livetweet dengan tag #wordcamp. Berikutnya adalah sharing session pagi. Di sini disampaikan kegiatan komunitas pemakai WordPress. Blogger daerah diwakili Rara dari AngingMamiri. Vishnu Mahmud bercerita tentang video podcast. Pitra berbagi tentang forum diskusi Fresh. Dll.
Setelah lunch, Matt yang pemalu memaparkan perkembangan WordPress. Dimulai dari sejarah dan versi2 awal WordPress (yang mengingatkanku pada hal2 yang membuatku bermigrasi ke WordPress: simplicity &
hackability). Matt beralih ke alasan2 yang melandasi evolusi ke 2.7, dan ke rencana 2.8. Yang akan banyak dikembangkan adalah theme, widget, dan plugin. Sebagai penggemar foto, Matt menyampaikan bahwa WordPress sudah memungkinkan photo tagging. Belum mirip Facebook sih, tapi sudah OK lah. Seperti yang juga dipublishnya di blog pribadinya, Matt juga menyebut baru meluncurkan wordpress.tv, tempat sharing informasi mengenai WordPress. Dan yang buat aku paling menarik adalah dukungan untuk pengembangan lebih lanjut WordPress sebagai CMS. Salah satu contoh yang diberikan adalah aplikasi social network menggunakan WordPress.
Menurut data Matt, Bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa ketiga pada pemakai WordPress.com, setelah bahasa Inggris dan Spanyol. Juga yang kedua tumbuh tercepat. Enam bulan terakhir saja, ada 143rb pemakai baru yang berbahasa Indonesia di WordPress.com (143.108 orang). Belum yang menggunakan WordPress.org dan WordPress MultiUser ya :). Dalam kurun waktu yang sama, 40 kota di Indonesia mengirimkan trafik 117 juta ke WordPress. Pemakai di Indonesia cukup bervariasi, dengan pemakai WordPress.com dan WordPress.org cukup berimbang. Di negara seperti RRC misalnya, pemakai WordPress.com agak kecil: ada blok dari penguasa.
Sebagai kopdar, tentu ada perbincangan di luar forum juga. Ada perbincangan2 menarik tentang bagaimana blog terus saling melengkapi dengan media non blog. Vivanews juga sempat menginterview tentang keunggulan platform WordPress. Hihi, ada bagian yang Vivanews belum paham, yaitu tentang interaktivitas blog. Tapi keunggulan WordPress sebagai open source terkomunikasikan dengan baik.
Hari kedua dimulai Mas Romi Satria Wahono dengan berbagai aspek penggunaan blog: mengeksplorasi engine dan eksplorasi kepada nilai komunikasi blog sendiri. Aku rada terlambat, menikmati weekend pagi di rumah dulu, jadi tak mengikuti 100% paparan beliau. Waktu break, aku baru lihat bahwa pasukan BBV membawa anak2 SMA, finalis mading online ke acara ini. Ide keren. Trus kopi. Trus bikin entry blog ini. Matt naik lagi ke panggung untuk talk show tentang aspek bisnis dari platform WordPress. OK, blog disambung lain hari. Lihat di Twitter aja dulu ya.
Tapi kita punya misi yang kita definisikan sendiri. Beberapa. Dan tak perlu peduli sangat pada tikai dan rerumit yang manusiawi belaka itu. Dengan semangat macam itu, aku menjalani sebuah 4 Desember di Bandung. Judulnya, menilai blog bertema open-source software (OSS) sebagai bagian dari OSS Week yang diselenggarakan POSS ITB. Ada 39 peserta di babak penyisihan, dengan sebagian besar memasok hingga 7 entry blog. Pekerjaan lumayan lama untuk memberi nilai satu per satu. Juri lain, dan Pak Bernhard Sitohang (Ketua POSS) mengeluhkan kualitas blog yang masuk. Tapi kita tahu: sebagian besar memang baru belajar berkomunikasi. Buat aku, ini positif (tapi …). Nilai dari juri berlompatan, sesuai sisi yang ditugaskan untuk dinilai. Dan tanggal 4 ini, para dewan juri menghadapi 5 finalis, pengumpul skor terbanyak.
Tentu ini bukan pengalaman perdana jadi juri lomba blog. Tapi mungkin baru pertama kali aku harus mewawancarai pada finalis. Ya, juara lomba blog ini diharapkan bisa jadi Duta Blog OSS, jadi kita harus yakin. Pak Bernhard bahkan mewanti2: kalau perlu, tidak perlu ada gelar juara (dengan tetap memberikan hadiah ke ranking 1-3). Memag tak ada blog yang tak retak. Tapi para juri mencoba mencari celah2 yang hilang di blog. Blog serius, kenapa serius, mau serius ke mana? Blog becanda, mau apa candaannya, dan sesemangat apa candaan itu? Dan semua memperoleh perlakuan sama: beroleh tantangan, antitesis terhadap sikap yang diberikan di blognya. Ini untuk meneruskan “tapi” di atas. Bukan hanya untuk menguji kedalaman isi blog, tetapi untuk melihat sikap para blogger masa kini terhadap kritik. Ya, semua orang bisa salah. Manusia berhak salah. Tapi semanusiawi apa saat kita mendengar kesalahan kita dipaparkan. Berfikir? Mencoba memperbaiki? Mencoba mencari sintesis? Mencoba menggali kreativitas? Atau justru merasa dijatuhkan? Menyerang balik? Hal-hal ini yang secara kuat membuat aku menilai seorang blogger. Dan membuat aku berani bilang ke Ketua POSS: Dewan Juri berani mempertanggungjawabkan hasil penjuriannya. Yang kami nilai sebagai juara adalah benar2 para juara.
Para Juara:
Anggriawan Sugianto, seorang mahasiswa informatika yang bisa mencari solusi lengkap berbasis open source, http://anggriawan.web.id
Dani Iswara, seorang dokter yang mencoba menggunakan dan mengeksplorasi Linux, http://daniiswara.net
Bukan kesengajaan bahwa ketiga juara ini menganggap perlu memiliki domain pribadi. Tapi fenomena sadar brand, dan berani membawa personal brand itu, memang menarik buat aku. Di luar lomba, ternyata tagline sebuah blog juga enak buat dibaca. Banyak yang sok filosofis dengan mencoba memaknai hidup. Ada yang “Life is a Gift from God”, ada yang “Hidup ini seperti telur rebus, bulat, berputar, putih, dan kuning”, tapi ada juga yang semi rekursif dengan “Vivre c’est reinventer la vie” :) *hush*
Program Santri Indigo adalah program nasional dari Republika dan Telkom, untuk menyebarluaskan komunikasi kreatif digital ke berbagai pesantren di tanah air. Berbeda dengan Internet Goes to School, program Santri Indigo ini umumnya bersifat lebih high profile, dalam arti bahwa hingga Menteri, Dirjen, atau Direktur Telkom pun bisa ikut turun dan memberikan pembekalan pada para santri. Koleksi amal ibadah sekalian melepas kangen ke pesantren yang bersuasana tentram. Maka aku rada heran bahwa Mr Dody Gozali (a.k.a. Senor Dominggo Gonzales) menelefonku dan menginstruksikan untuk ke Sukabumi untuk ikut dalam Santri Indigo angkatan keenam, tanggal 8 November. Tapi, demi tugas, dan sudah lama juga tak menjenguk pesantren, maka aku mengiyakan. Dan syukurlah, Mas Ary Mukti pun mendadak menunda officer meeting of IEEE Comsoc Indonesia Chapter yang tadinya dijadwalkan jatuh pada hari yang sama.
Bukan waktu yang pas. Aku dijadwalkan memberikan pembekalan hari Sabtu pagi. Hari Kamis, aku harus memberikan pembekalan ke rekan-rekan di Indigo Centre Surabaya. Air Asia berbaik hati menunda flight sampai lewat tengah malam. Jumat pagi, aku harus menyelesaikan semua tugas karena minggu ini aku harus dikarantina (hihi) dan tidak bisa mengakses dan diakses kantor. Jumat malam, materi untuk Santri Indigo baru bisa difinalkan. Tapi memang aku punya ide bahwa badanku lagi perlu rada disiksa :). Dan begitu aku mengiyakan, Republika langsung memasang iklan setengah halaman.
Duh, aku pikir tadinya speakernya cuman beberapa rekan dari Telkom Sukabumi, Divre III, dan Republika. Huh, masih high profile ternyata. Maka meluncurlah aku ke Sukabumi hari Sabtu 8 November itu. Perjalanan darat Bogor – Sukabumi umumnya diwarnai kemacetan rutin. Aku sudah berhitung: 5 pasar, 5 kemacetan. Jakarta – Bogor – Lido – Cicurug – Parungkuda – Cibadak – Sukabumi. Sesuai hitungan, kemacetan memang terjadi. Tetapi lebih daripada yang diperkirakan. Total perjalanan dari Tol Pondok Gede ke Sukabumi akhirnya memakan waktu 6 jam. Pesantren As-Syafiiyah berada 10 km di luar Sukabumi ke arah Cianjur. Kami memasuki Pesantren waktu adzan Ashar berkumandang, waktu hujan deras tanpa ampun menghiasi pesantren sejuk itu. Pak Indra Utoyo tengah dengan asyik dan akrabnya menceritakan masyarakat digital yang tengah dibangun oleh berbagai komunitas, termasuk Telkom.
Setelah Ashar, aku mulai berpresentasi. Hari Jumatnya, rekan-rekan dari Republika sudah mengajari para santri, bagaimana membuat blog (Blogspot dan WordPress), mencari gagasan menulis, gaya menulis blog, serta memilih plus mengedit template. Hasilnya keren-keren. Aku cukup menambahi dengan hal2 sekitar … ada apa setelah blog: mengapa blog ada dan perlu ada, bagaimana blog bisa punya nilai lebih, bagaimana blog bisa berinteraksi, bagaimana blog kita didengar dunia, dll. Pernak-pernik blog, dan social networks. Tak terasa 2 jam berlalu, lengkap dengan tanya jawab interaktif. Duh, para santri ini. Ceria, penuh ide, cerdas. Dan jail. Jail! Mau menyemestakan hikmah, tapi jail :). Ceria mereka bikin hari ini jadi hari yang paling indah sepanjang November :). Presentasi aku tutup dengan halaman bertuliskan “To be continued.” Ini belum berakhir. Ini harus berlanjut dengan karya2 mereka. Dan mereka benjanji untuk terus menulis dan berkreasi, serta menyemestakan karya mereka melalui Internet.
Sayangnya, tak bisa berlama2 aku di sana. Setelah Maghrib di tempat yang tenang (hujan sudah berhenti) dan sejuk (tetapi tak dingin) itu, kami harus kembali ke Jakarta. Sudah malam, dan sudah tak macet lagi. Jam 23 kami masuk Jakarta. Beberes. Jam 8 pagi harus berangkat ke Bandung. Life goes on :). With smile :).
Blog ini sudah terlalu banyak membahas soal blog :). Membosankan. Sampai ada blog Anti Koen yang mengkritik kampanye blog yang dinilai sudah berlebihan itu. Padahal, sementara itu, aku masih berpikir untuk meneruskan kampanye Blog. Blog 2.0 kalaw perlu :). Ya, yang ini juga:
Héhé :). Buat yang minta rekaman acara e-Lifestyle ini: maaf ya. Aku juga nggak minta copy-nya kok. Ya, narcissism itu lucu dan menarik. Cuman masih nggak aku banget :). Uh, lagian, suaraku Jawa bener #*@&!&#!.
OK. Tapi blog sudah hampir berusia 10 tahun. Bukan barang baru lagi. Hanya kalangan telmi yang belum kenal blog di kota2 besar (Jakarta, Bandung, Makassar). Memang kalangan telmi ini besar. Tapi mereka tak tertolong :). Kalau masih ada energi cukup untuk meneruskan ideologi blogisme (citizen journalism, demokrasi informasi, Koperasi 2.0), arahkan itu ke daerah yang belum terjangkau: di luar kota besar, di luar Jawa. Pembudayaan blog melalui media mainstream (ya, TV harus disebut lagi, tapi juga surat kabar) masih perlu dilakukan. Blog bukan cuman trend: ini perangkat ideologi demokrasi informasi.
Kenapa tidak mendidik untuk berkreasi online? Tentu, ini juga. Tapi lebih mudah memulai dengan memberanikan generasi muda tampil online melalui blog. Menulis. Lalu berpikir: apa lagi setelah menulis. Mulailah mereka menampilkan karya seni, fotografi, animasi, dll; secara online — sesuatu yang mudah sekali, kalau hal sesederhana blog saja sudah biasa bagi mereka.
Atau kenapa tidak mendidik untuk berani menulis buku? Haha. Mudah2an jawabannya nggak bikin kita marah. Kita bangsa mediocre :). (Tak semua sih — aku harus menggambar kurva Gauss dulu). Gak bisa istiqomah dalam berjuang. Menulis bisa. Penuh semangat. Tapi menulis panjang sedikit, mulai keteteran. Mulai tak sinkron. Mulai malas. Tetralogi Laskar Pelangi yang ditulis penulis yang bagus pun menampilkan gejala ini (Selamat Ultah, Andrea. Makin sukses ya!). Apalagi penulis yang biasa2. OK, daripada semangat menulis itu sebagian besar padam, kita awali dulu yang mudah buat kita: menampilkan ide singkat tiga-empat paragraf — lain hari bisa lebih bagus dan tertata rapi.
Di blog, kita bisa mengajarkan rekan kita untuk berekspresi sebagai dirinya sendiri. Tak perlu terpagari keketatan ilmiah macam wiki, tak perlu takut disemprit OOT di mail list. Dan juga mulai belajar bertanggung jawab atas pendapatnya. Mulai berani berbeda pendapat secara terbuka dan elegan. Mulai saling mengarifi. Mulai meninggalkan kata “toleransi” dan menggantinya dengan “empati” :). Mulai sadar bahwa demokrasi bukanlah hak untuk berpendapat, tetapi kearifan untuk berempati pada pendapat orang lain. Ini, belum mungkin jalan secara luas dan cepat di media mainstream, di buku tercetak, pun di media online seperti mail list.
Di e-Lifestyle (yang sedikit banyak sudah diedit itu), Mas Ferly sempat menanyakan soal Kode Etik. Sekilas berpikir, aku langsung mengarahkan ke ide masyarakat madani, dimana kearifan dari interaksi-interaksi menyusun tradisi yang baik, dan dengan demikian menyusun gaya hidup yang baik. Jadi kode etik yang tumbuh dari bawah melalui tradisi, bukan yang tertulis — apalagi yang harus diapprove oleh dewan atau tokoh tertentu.
Terakhir …. masih perlukah Pesta Blogger? Mungkin. Tapi aku rasa harus betul2 berbeda dari tahun lalu. Harus kita akui, dunia blog tahun ini sudah sangat berbeda. Tak lucu kalau masih memiliki gaya tahun lalu.
Tambahan: Soal MetroTV itu … sebenernya Mas Budi Rahardjo yang merekomendasikan MetroTV untuk kontak aku. Dan karena Mas BR nggak pernah menolak direpoti olehku, aku jadi nggak bisa menolak ditunjuk Mas BR. e-Lifestyle itu bertemakan budaya blog. Tidak boleh ada promosi produk maupun corporate. Jadi nama Telkom tak boleh disebut. Juga logo Telkom di blogku disingkirkan kamera. It’s OK. Program2 CSR Telkom beneran juga biasanya tidak membawa2 nama Telkom.
Update 2: Tapi akhirnya aku pernah menolak permintaan tolong BR. Alkisah beliau menugasiku mereview paper. Tapi aku harus menyampaikan bahwa bidang profesiku adalah Communications (Network), bukan Computer. Ya, aku memang jadi anggota IEEE Computer, selain IEEE Communications. Tapi di Computer, aku cuman jadi pengamat. Aku yakin beliau paham. Kita sama2 nggak suka sama “pakar mengaku serba bisa” kan? :)
Memang deployment Internet via community & content tidak bisa dilakukan atau didorong satu pihak saja. Jadi, kayak waktu2 yang lalu waktu di Bandung, di sini juga harus dilakukan sederetan kopdar untuk menyusun sinergi atau sekedar sharing ide. (Aku tetap merasa kopdar penting dan menarik, biarpun kita sedang mempromosikan cyberworld).
Selasa kemarin, bersilat(turrahim) lagi dengan Dagdigdug. Selain Pak Didi dan Paman Tyo, kali ini Presiden Enda turut menerjang. Tapi, barangkali karna sedang puasa, Enda kemarin nampak sopan dan formal sekali. Haha. Jangan2 ada klone Enda pula. Kami berdiskusi tentang peluang menyebarluaskan ideologi citizen journalism. Le monde va changer de base : nous ne sommes rien, soyons tout!
Sorenya, Fresh 2. Bertempat di Bina Nusantara, dengan tema Narcissism 2.0. Sempat berusaha menculik Chika Nadya sebagai contoh hidup (kalau terbawanya hidup2) dari narcissism on web. Apa daya upaya gagal :D. So, di sini berpresentasilah Pitra Satvika tentang lifestyle yang dinamainya narcissism online itu; yang padahal baik oleh Pak Nukman maupun oleh presentasi Catur Puji Waluyo di Fresh 1 lebih dinamai Conversation, sebagai karakteristik utama Web 2.0. Setelah buka bersama, nona rumah RetnoNindyaPrastiwi mempresentasikan riset2 yang telah dilakukannya; menggunakan social networks, terutama yang banyak dicinta dan dicerca: Plurk. Berikutnya Kukuh TW mempresentasikan cara bernarsisis dengan digitally-designed t-shirt yang akan diimplemen kali pertama pada Pesta Blogger 2008 mendatang. Vishnu K Mahmud menyemangati bahwa pasar Internet Indonesia masih luas dan potensial. C’est la lutte finale; groupons nous et demain. L’Internet sera le genre humain.
Kemarin, waktu tergunakan untuk merancang program kerja untuk 2009-2012. Secepat kilat, tapi akan direvisi dan diperdalam lagi. Dan hari ini aku memulai pagi dengan berdiskusi lagi tentang beberapa issue di dunia blog: perlu (atau tidaknya) kode etik, peluang sinergi dan kerjasama dunia blog, ugh, serem, sampai mainan2 lain yang dikembangkan dari ranah blog. Diskusi tertutup dilakukan di MetroTV. Speaker satunya adalah Bu Ventura Elisawati, dengan pengarah Ferly Junandar.
Hmm, sayangnya belum sempat ambil foto. Tapi ini foto aku di antara Mas Ferry dan Mas Deddy (Asisten Produser e-Lifestyle).
OK, setelah kopdar2, mari kerja lagi. La raison tonne en son cratère: c’est l’éruption de la fin.