Anak dari zaman polusi kapitalisme. Gitu kali judulnya. Waktu orang tidak lagi mempercayai ekonomi global, dan mencurigai peredaran dollar dan euro sebagai bentuk imperialisme baru, aku masih dengan setia membayangkan terwujudnya cita2 lama: dunia yang lebih sederhana dengan mata uang virtual. Waktu aku masih sekolah, memang belum ada yang dinamai e-commerce. Credit card juga masih jadi monopoli kelompok ekonomi tertentu. Tapi di masa itu aku udah membayangkan lamban-nya sistem transaksi dengan uang, kayak orang zaman dulu menciptakan uang karena lamban-nya sistem transaksi barter.
Aku apply Visa pertama kali waktu aku baru pertama kali punya ATM. ATM bukan benda luar biasa waktu itu — cuma bisa buat ambil uang di mesin bank yang menerbitkan ATM. Aku apply Visa bukan untuk belanja, tapi untuk bisa daftar IEEE. Tanpa Visa, aku harus transfer uang dengan bank draft — baca prosedurnya aja udah males bener. Terusannya beruntun … dapet Visa (dari Bank Niaga), daftar IEEE, daftar ISP (ibm.net — ISP komersial pertama di Bandung), dan sedikit-sedikit jadi pelaku e-commerce. Yang paling sering pastilah Amazon di tiga negara, gantian.
Aku jarang betah punya CC lebih dari 3 tahun. Biasanya aku mati-in semena-mena, dan bikin CC baru lagi. Proses belajarnya waktu aku kesal sama Citibank, dan memutuskan mematikan Citibank Visa — CC dengan umur terpendek, kira2 hanya 1 tahun. Proses apply CC udah nggak ada hubungannya dengan cita-cita zaman masih sekolah kayaknya. Aku curiganya, jangan2 aku apply CC hanya buat koleksi kartu berwarna-warni.